Otobiografi Malcolm X Inspirasi Remaja Amerika Ini Masuk Islam

Amina Cisse Muhammad lahir dalam sebuah keluarga Kristen keturunan Afrika-Amerika. Ia cucu seorang pendeta baptis. Oleh kedua orang tuanya yang taat, Amina diminta untuk menghadiri sekolah minggu dan kebantian di gereja setiap Ahad.

Dilansir dari onislam.net, Kamis (30/7), meski lahir di tengah pemeluk iman Kristiani yang taat, Amina selalu punya masalah dengan konsep trinitas. Ia merasa ambigu ketika Yesus diangkat menjadi anak Tuhan, bahkan menjadi tuhan.

Ia juga mengamati kemunafikan di kalangan anggota jemaat gereja karena masih melihat jelas penghinaan terhadap orang kulit hitam di tengah masyarakat yang mencita-citakan kesetaraan dan persaudaraan itu.

Saat ia belajar sosiologi di perguruan tinggi pada 1970-an, ia diminta untuk membaca otobiografi Malcolm X yang ditulis Alex Haley. Kecuali kesalahpahaman terhadap Islam yang menyebar di tengah masyarakat, pengetahuan Amina praktis nihil.

Buku itu memiliki dampak mendalam pada Amina, terutama beberapa bab terakhir. Malcolm adalah salah satu juru bicara untuk kaum minoritas Muslim kulit hitam yang tertindas. Lantaran ajaran-ajarannya, Malcolm dituduh menghasut kerusuhan di kalangan kulit hitam.

Sebelum dibunuh pada tahun 1965, ia menunaikan ibadah haji pada 1964 dan menyaksikan kesetaraan yang ia impikan di tengah-tengah umat Islam. Orang kulit hitam, kulit putih, semua menyatu di Masjidil Haram. Selepas ibadah haji, Malcolm berganti nama menjadi Al Hajj Malik Al Shabazz.

Amina menemukan jawaban atas berbagai realita dan permasalahan sosial lewat perjalanan hidup Malcolm. Cerita Malcolm, bersama peristiwa hidup yang ia alami, mendorongnya untuk mencari sebuah sistem kepercayaan yang relevan. Sebuah keyakinan atas dasar persatuan, cinta, dan persaudaraan.

Ia memulai pencarian agamanya dengan menelusuri kembali iman Kristiani. Amina membaca Alkitab secara teliti dari depan sampai belakang, pergi ke gereja, bahkan mengunjungi Perkumpulan Saksi Yehovah di Greensboro, New York.

Namun, keraguan Amina mengenai agama Kristen tidak mereda. Kekosongan dalam hidupnya tetap tak terpenuhi. Ia pun hanya bisa mencurahkan isi hati dan meminta-Nya membimbing ke arah yang tepat.

Sekitar waktu yang sama, Amina bertemu seorang pria yang kemudian menjadi suaminya. Mereka berdua bertemu di kelas filsafat. Pria itu sudah memeluk Islam, dan Amina merasa ada ketertarikan yang tak dapat ia jelaskan terhadap pria itu.

Seiring berjalannya waktu, pria itu mulai bercerita tentang Islam. Amina pun hanyut dalam kisah dan penjelasan kawan sekelasnya. Ia nyaris tak mengalami pergolakan atau kebingungan dalam waktu lama seperti sebagian mualaf lain.

Sampai suatu malam, Amina menulis surat pada kedua orang tuanya. Ia menyatakan diri ingin masuk Islam. Amina menekankan bahwa keputusan itu sudah ia pikirkan masak-masak.

Meski mereka sempat menolak dan mencoba mengkonversinya kembali ke Kristen, keluarga Amina akhirnya bisa menerima. Pada usia ke-24 tahun, gadis keturunan Afro-Amerika itu pun menyatakan keislamannya.

 

sumber: RepublikaOnline

Annas Mansyur: Alhamdulillah Saya Juara Lomba Khutbah Jumat

Annas Mansyur memahami pilihannya memeluk Islam memiliki konsekuensi. Allah langsung mengujinya dengan dua hal. Pertama adalah ia diuji dengan diterima oleh masyarakat Muslim di daerah tempat tinggalku ketika bekerja di apotek. Yang kedua, ia diuji dengan sakit yang aku alami.

Memang ini, tidak mudah bagiku, apalagi usiaku ketika itu masih lima belas tahun, sehingga dalam kondisi yang sulit apalagi untuk hidup mandiri. Namun, aku tidak pernah menyesali pilihanku untuk memeluk Islam.

Annas tidak pernah menangisi keadaanku, biarpun tidak ada yang merawatku di kamar ketika aku sakit. Tidak ada kehangatan tangan seorang yang ku panggil ibu yang merawatku. Tidak ada yang membantuku untuk mempersiapkan makanku.

Walaupun Annas sedang sakit, ia tetap melakukan semuanya sendiri. menyiapkan makanku sendiri, mencuci pakaianku sendiri, semua serba sendiri, persis seperti lagu yang dinyanyikan oleh Maggy Z yang berjudul “angka satu”. Ya! Begitulah penderitaan yang aku rasakan ketika itu, begitu sulit dan pahit. Semoga ini akan berubah manis pada waktunya, amin yaa rabbal ‘alamin.

Sabar adalah hal pertama yang saya lakukan. Menerima dengan lapang dada segala ketentuan yang diberikan oleh Allah  karena keyakinanku bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Kini aku pun tahu, ternyata hal itu ada dalam kitab suci Allah Swt.;

Kesabarannya ini, ternyata dilihat oleh Allah. Selama ia sakit, Annas terus berdoa dalam shalatku semoga lekas disembuhkan oleh Allah. Ya! Meski sedang sakit aku tetap berusaha untuk salat. Kata pak ustaz yang mengajariku tentang Islam, salat adalah kewajiban setiap orang Muslim meski dalam kondisi apa pun.

Apabila sedang sakit seperti Annas, maka Ia bisa shalat sambil berbaring kata pak ustaz. Akhirnya,subhanaAllah, Allah memberikan kesehatan kepadaku. Ia pun sembuh sehingga Annas bisa melakukan aktifitasnya seperti semula, bekerja di apotek dan belajar mengaji.

“Saya merasa bahwa Allah sungguh telah memberikan petunjuk kepadaku, dan aku sangat bersyukur karenanya,” kata dia.

Tepat pada tanggal 25 Desember 2013 yang lalu, umat Kristiani merayakan perayaan hari Natal. Sebagaimana kebiasaan yang ada pada umumnya di kampung halamanku, kami merayakannya di gereja. Akan tetapi, pada tahun lalu aku tidak ikut merayakan karena sudah masuk Islam.

Tak lama ayah meneleponku dan memberi tahu bahwa saya harus ikut dalam perayaan tersebut di gereja di dekat tempat tinggal kami. “Fidel, kamu harus pulang, ini ada perayaan Natal di tempat kita,” kata ayah kepadaku.

“Tidak bisa ayah. Aku sedang banyak kerjaan di sini. Gak mungkin aku tinggalkan kerjaan ini, nanti gak selesai-selesai.” tuturku.

Ayah terus saja memaksaku, katanya pemilik toko tempat aku bekerja kan orang Kristen, jadi pasti dia juga memberi waktu kepadaku untuk libur. “Yang punya toko kan orang Kristen juga, gak mungkin kamu gak libur. Banyak alasan aja kamu, pulang kamu! Jangan banyak membantah! Dasar anak kurang ajar!” maki ayah kepadaku.

Tidaklah mudah menjelaskan perpindahan agamaku kepada ayah. Ia adalah sosok yang temperamental. Tak jarang aku ditendang dan dipukul ketika masih berada di rumah. Ibuku pun sering ia marahi. Ayah memang sulit untuk menerima perbedaan, apalagi yang berbeda dengan pendapatnya.

Ia akan marah-marah, bahkan tidak jarang memaki bila ada anak atau istrinya yang tidak sependapat dengannya. Oleh sebab itu, aku mendapat makiannya ketika menolak untuk mengikuti perintahnya pulang ke rumah untuk merayakan Natal bersama keluarga dan sahabat di kampung halaman.

Iman Kristen yang perlahan memudar pada diriku membuatku semakin tidak ingin melakukan hal-hal yang menyangkut agama lamaku. Perayaan-perayaan hari besar saya tinggalkan. Selain karena memang sudah memeluk agama Islam, sebenarnya saya juga merasa risih melakukan hal itu.

Pembaca bisa membayangkan bagaimana ketika seorang yang hendak pergi kebaktian ke gereja. Mereka memang menggunakan pakaian rapih dan bagus, bahkan tidak jarang berharga mahal. Akan tetapi, pakaian yang mereka kenakan belum tentu bersih dari najis, juga tidak menutup aurat.

Coba pembaca pikirkan, seseorang yang ingin menghadap pejabat saja harus berpakaian sopan dan rapih, bagaimana bila kita hendak menghadap Tuhan? Bukankah pakaian yang dikenakan harus bersih, suci, dan menutup aurat? Inilah yang membuat aku risih ketika pergi ke gereja.

Tidak ada saf atau barisan khusus bagi laki-laki dan perempuan, layaknya ibadah salat yang dilakukan oleh umat Muslim. Setiap orang duduk berdasarkan nama sesuai dengan kastanya, berpakaian rok mini maupun dan menggunakan baju tidak berlengan dibolehkan, tidak ada wudhu atau melepas alas kaki ketika masuk ke gereja.

Sungguh berbeda sekali dengan tata cara peribadatan yang umat Muslim lakukan ketika menghadap Allah. Inilah yang seharusnya umat Kristiani pelajari dan renungkan, agar mereka tidak saja menjadi umat yang mengikuti doktrin gereja, melainkan menjadi umat yang memahami agama yang benar-benar mengajarkan kebaikan.

Empat bulan berselang. Aku semakin lancar dan tekun dalam mempelajari Alquran dan Islam. Ketekunanku ini ternyata diperhatikan oleh orang-orang di sekitar mesjid, khususnya ustaz yang mengajarku membaca Alquran.

Tepat pada bulan April yang lalu, ada sebuah perlombaan khutbah Jumat se-kabupaten Gunung Sitoli. Ustaz berkata kepada saya; “Annas, ini ada perlombaan khutbah Jumat, kamu harus ikut perlombaan ini mewakili masjid kita.” katanya kepadaku.

Dengan wajah kaget dan merasa tidak percaya diri, aku berkata kepada ustaz; “Bagaimana kalau aku tidak bisa? Aku takut nanti malah akan membuat malu mesjid kita.” kataku. “Tidak apa-apa, yang penting ada yang mewakili mesjid kita. Dan menurut ustaz kamu layak untuk mengikuti perlombaan tersebut.” jawab ustaz.

Kemudian aku berkata pada waktu itu; “Emangnya tidak ada remaja yang lain ustadz?” tanyaku dengan tidak percaya diri. “Bukan tidak ada, ada, tapi kami percaya sama kamu saja.” Sekali lagi aku bilang kepada ustdaz; “Tapi nanti kalau aku gagal, gak apa-apa ya ustadz? Jangan marah ya?” kataku.

“Ya udah, gak papa.” jawab ustadz. Aku pun kemudian mengikuti perlombaan tersebut yang diadakan di dekat kantor Bupati Gunung Sitoli.

Tiba saatnya pengumuman pemenang. Saya pun deg-degan menanti pengumuman tersebut.Alhamdulillah, dewan juri mengumumkan bahwa aku mendapat juara kedua. Sungguh ini sangat menyenangkan hatiku. Aku bangga pada diriku dan berterima kasih kepada ustaz yang telah membimbingku, sehingga aku bisa seperti sekarang ini.

Terlebih lagi telah memenangkan lomba khutbah Jumat. Hati kecilku berkata; “Alangkah bahagianya ibu kalau ia tahu bahwa anaknya yang dulu nakal dan bandel telah berubah, dan insyaAllah menjadi anak yang saleh.” ujarku dalam hati. Saya ingin sekali menghadiahkan pialaku ini kepada ibu. Betapa aku sangat menyayanginya; “Aku rindu ibu……Sungguh sangat sulit kehidupanku jauh darimu.”

Setelah selesai pembagian hadiah, teman-teman dan juga ustaz mendatangiku. Mereka sangat bangga kepadaku, sehingga mengacungkan jempol mereka kepadaku. Saya juga merasa tersanjung karena mereka bilang hebat. Terlebih lagi ustadz yang mengajariku khutbah; “Bagus, kamu hebat..” katanya.

Banyak di antara mereka yang tidak menyangka bahwa saya akan memenangkan perlombaan ini. Apalagi saya adalah seorang mualaf yang baru saja memeluk Islam, namun subhanallah, Allah yang Maha Tahu apa yang akan terjadi pada hamba-Nya. Aku pun tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Semoga Allah memberikan jalan kemudahan bagiku, amin ya rabbal ‘alamin.

Sumber: Pesantren Mualaf Annaba Center

Red: Agung Sasongko

Peluk Islam karena Tak Kenal Lagi Alkohol

“Selama 8 tahun, aku melewati banyak tahapan dan yakin bahwa itu adalah rencana Tuhan untuk memberiku petunjuk dan bimbingan pada jalan Islam,” kata Karen.

Karen Bujairami adalah seorang mualaf yang mendapat hidayah karena berteman dengan wanita muslim yang taat bernama Fatima. Mereka bertemu pertama kali saat menjalani kuliah di jurusan yang sama. Meski berbeda agama, Karen dan Fatima menjalin persahabatan yang kuat.

Meskipun non-muslim, Karen tertarik untuk mempelajari Islam, agama yang dianut Fatima. Itu karena Karen tidak terlalu bersemangat dengan agama yang dianutnya.

“Fatima selalu menjawab keingintahuanku dengan penuh semangat. Hal itu membuatku kagum,” kenang Karen.

Sesekali waktu, Karen sering berdebat dengan Fatima soal agama. Perdebatan itu kadang berakhir dengan kemarahan Karen karena dirinya merasa tidak bisa memberikan argumentasi yang baik.

Meski kadang berdebat, Karen dan Fatima tetap menjalin pertemanan dan memiliki banyak kesamaan.

Fatima merasa nyaman berteman dengan Karen. Itu karena Karen tidak pernah berkumpul dengan teman pria dan tidak suka mengenakan pakaian yang agak ‘terbuka’.

Mereka sering melakukan kegiatan bersama. Sampai suatu hari Karen merasa ada perasaan lain.

Dia teringat pernah bermimpi berjalan dengan wanita berhijab. Dia pun mengingat dalam mimpinya ada kesamaan lokasi tempat dia berjalan dengan Fatima. Padahal saat itu Karen tidak pernah punya teman atau bergaul dengan muslim.

“Aku yakin itu mimpi adalah petunjuk dari Tuhan. Atas kehendak-Nya, persahabatanku dengan Fatima adalah sebuah pintu mengenal Islam,” kata dia.

Sejak itu, dia makin tertarik dengan Islam. Karen mulai banyak bertanya kepada Fatima dan mulai kehilangan keyakinan pada agamanya sendiri.

Apalagi saat Fatima memberinya DVD yang berisi perdebatan agama oleh Syaikh Ahmad Deedat, membuat Karen semakin sadar bahwa agama yang dipeluknya bukan agama yang benar.

Tahun berganti tahun, Karen dan Fatima tetap bersahabat baik. Sebelumnya hubungan persahabatan mereka sempat tegang, karena kekasih Karen menuduh Fatima telah mencuci otak Karen dengan ajaran Islam.

Karen mulai sering menghabiskan waktu bersama keluarga Fatima. Menurut Karen, keluarga Fatima menyenangkan karena tidak ada alkohol dan hal-hal haram.

“Selama 8 tahun, aku melewati banyak tahapan dan yakin bahwa itu adalah rencana Tuhan untuk memberiku petunjuk dan bimbingan pada jalan Islam,”kata Karen.

Bagi Karen, sejak melihat DVD Syaikh Ahmad Deedat, dia sudah yakin akan menjadi seorang muslim. Namun dia memerlukan tekad yang bulat untuk menuju arah yang benar.

“Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri. Dia menunjukkan Islam padaku delapan tahun yang lalu, ketika aku bermimpi wanita berhijab yang ternyata menjadi sahabat terbaikku.”

Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 2009, Karen mengucapkan kalimat syahadat disaksikan ayahnya dan sahabatnya, Fatima.

“Alhamdulillah, aku bangga menjadi seorang muslimah,” kata Karen. (Ism)

Kisah Hijrah Mantan Anggota Geng Yakuza Jadi Imam Besar

Perubahan besar dalam hidup dialaminya setelah ia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.

Hidayah Allah seringkali datang dengan berbagai cara tak terduga dan bisa menghampiri siapapun yang dikehendaki-Nya. Seperti yang dialami oleh seorang mantan anggota geng Yakuza, Taki Takazawa.

Dahulu Takazawa adalah tukang tato para anggota kelompok mafia paling ditakuti di Jepang, Yakuza. Penampilannya begitu menakutkan dengan rambut gondrong dan tubuh dipenuhi tato. Selama 20 tahun profesi itu digelutinya.

Namun siapa sangka kini Takazawa berubah 180 derajat. Perubahan besar dalam hidup dialaminya setelah ia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, kini ia mengganti namanya menjadi Abdullah yang berarti ‘Hamba Allah SWT’. Takazawa kini bahkan telah menjadi Imam besar di sebuah masjid di Ibukota Jepang, Tokyo.

Suara indahnya ketika mengumandangkan azan bisa terdengar hingga seantero Tokyo tiap kali waktu salat tiba.

Dilansir Dream dari Islamicmovement.org, perkenalan Takazawa dengan Islam berlangsung secara tidak sengaja. Berawal ketika dirinya sedang ada di wilayah Shibuya.

Ia melihat seseorang dengan berkulit putih dan berjanggut putih. Orang itu mengenakan baju dan turban yang juga berwarna putih. “Orang itu memberikan sebuah kertas dan menyuruh saya untuk membaca kalimat yang tertera di dalamnya,” ujar Takazawa.

Kalimat itu ternyata syahadat, pengakuan pada keesaan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Seperti kebanyakan penduduk Jepang, saat itu Takazawa masih menganut aliran kepercayaan Shinto sehingga ia kesulitan untuk memahami keseluruhan maksud kalimat syahadat tersebut. Namun diakuinya, ia pernah sepintas mendengar nama Allah dan Muhammad.

Pertemuan dengan orang serba putih itu rupanya begitu membekas di ingatan Takazawa. Ia pun terus mencaritahu makna di balik pesan kalimat syahadat yang diterimanya.

Hingga akhirnya, dalam pencarian tersebut Takazawa mendapatkan hidayah dan memutuskan untuk menjadi seorang mualaf.

Tak dinyana, dua tahun setelah memeluk Islam, ia bertemu lagi dengan sosok pria serba putih yang mengubah hidupnya. “Ternyata dia adalah salah seorang Imam di Masjid Nabawi, Kota Madinah, Arab Saudi. Saya sangat bersyukur bisa bertemu dengannya,” kata Takazawa.

Setelah pertemuan kedua itu, Imam Masjid Nabawi tersebut meminta Takazawa untuk melaksanakan ibadah haji dan menimba ilmu di Kota Mekah selama beberapa bulan.

Ia pun melakukan haji ke Mekah atas undangan pemerintah Arab Saudi pada tahun 2008, melanjutkan studi dan melakukan dakwah selama berada di Saudi. Saat Takazawa berada di Madinah ia bahkan pernah menjadi Imam di Masjid Nabawi.

Sepulangnya dari Arab, Takazawa dipercaya untuk menjadi Imam di sebuah masjid besar di wilayah Kabukicho, Tokyo. Kini, Abdullah Taki Takazawa dikenal sebagai satu dari lima Imam besar Masjid yang ada di Jepang. (Ism)

 

sumber: Dream.co.id

Ucapkan Syahadat, Eks Bintang Real Madrid Peluk Islam

Striker Emmanuel Adebayor telah melalui beberapa bulan yang sulit di Tottenham Hotspur. Belum lama ini, pemain kelahiran Togo tersebut bahkan telah mengungkapkan beberapa cerita gila tentang keluarganya di halaman Facebook.

Tottenham bahkan sampai memberikan Adebayor waktu untuk istirahat pada bulan Mei silam. Sebab, klub mulai merasa khawatir dengan kesehatan mentalnya.

Dengan masa depannya di Tottenham yang kini semakin tidak jelas, mantan striker Arsenal dan Manchester City ini memutuskan untuk masuk Islam demi mendapatkan ketenangan dalam hidup.

Proses mualaf mantan bintang Real Madrid dan Arsenal itu bahkan direkam dalam video amatir. Dengan masuk Islam, Adebayor sepertinya berusaha untuk melupakan sejarah dan permasalahan keluarga.

Masuk Islam Setelah Mencoba Puasa Satu Bulan

Bennet, perempuan dari New York dan juga seorang keturunan Puerto Rico, memeluk Islam setelah satu bulan mencoba untuk berpuasa di bulan Ramadan.

“Saya juga seorang keturunan Afrika-Amerika,” ujarnya memperkenalkan diri dikutip Dream dari laman OnIslam.net, Jumat 9 Juli 2015.

Bagi Bennet, Islam adalah sebuah agama hebat yang bisa mengubah seluruh kehidupannya.

Sebelum memeluk Islam, Bennet hanya pergi ke tempat beribadah untuk acara-acara khusus atau merayakan hari besar keagamaan.

Sebenarnya pengalaman pertama puasa Ramadan Bennet terjadi sebelum menjadi seorang mualaf.

“Saya telah berlatih puasa satu hari sebelum atau ketika belum Ramadan,” kenang Bennet.

Entah mengapa saat itu dia terbangun untuk sahur. Dia ingat bahwa dia akan berpuasa pada hari itu, tapi waktu itu bukan bulan Ramadan. Tapi dia tetap melakukannya ketika itu.

Bennet kemudian berpuasa dan bekerja sepanjang hari dan semuanya berjalan baik-baik saja. Bagi Bennet, dia telah menemukan sebuah tantangan.

Bennet pun merasa ia sanggup setelah mencoba selama satu hari. Dia memutuskan; ‘OK, saya akan berpuasa penuh di bulan Ramadan’.

Bennet mengingatkan dia berpuasa bukan karena alasan agama karena saat itu dia bukan seorang Muslimah. Namun Bennet mampu menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh.

Ketika berhasil menyelesaikan puasa satu bulan penuh itu, Bennet merasa seperti telah meraih satu prestasi pribadi.

“Saya merasakan kedamaian. Saya merasakan kasih sayang yang tidak pernah diberikan anggota keluarga saya,” katanya.

Tiga pekan setelah bulan Ramadan, Bennet memutuskan masuk Islam. “Saya masuk Islam pada 13 September 2009. Setelah menjadi mualaf, rasanya seperti hari-hari lain, tapi hari berikutnya saya merasakan sesuatu yang luar biasa.”

Sebelum berpuasa, Bennet mengalami berbagai pergolakan; perang batin, bertengkar dan segala hal yang bisa menghanguskan sebuah pertemanan.

Namun setelah masuk Islam, hatinya dipenuhi oleh kedamaian yang sangat dalam.

Selama Ramadan, Bennet mengunjungi rekan-rekan yang membantunya masuk Islam. Dia merasa ingin selalu bersama mereka. Setiap pulang kerja, Bennet akan pergi ke pusat Islam di Brooklyn dan larut dalam persaudaraan Muslim.

“Saya ingin bersama mereka. Saya telah mengamati semua agama lain dan saya tidak mendapatkan perasaan luar biasa,” ujar Bennet.

H Budi Setyagraha, Berislam Sebagai Wujud Syukur

”Pak Budi habis sunat.” Begitulah ejekan orang-orang terhadap H Budi Setyagraha, tiap kali ia hendak ke masjid. Mantan ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Yogyakarta ini memang selau bersarung dan memakai kopiah tiap kali datang untuk shalat jamaah. Tak jarang, pria bernama asli Huang Ren Cong ini menerima ledekan yang lebih pedas.
”Bila saya datang ke tempat orang hajatan atau kematian, orang selalu menyelutuk ‘iki, kajine teko’ (nih, pak hajinya datang),” ujarnya. Biasa mendengar ledekan begitu, ia tak marah, bahkan menimpalinya dengan kata: “Amien!” Dan, ”Alhamdulillah, selang setahun setelah saya masuk Islam, saya benar-benar bisa menunaikan ibadah haji,”kata Budi. Menurut dia, pada tahun 1983 masih banyak orang, khususnya keturunan Tionghoa, yang pengetahuan dan persepsi mereka terhadap Islam selalu negatif. Mengadopsi pandangan Belanda yang berabad-abad menjajah Indonesia, Islam dipandang identik dengan kekotoran, kebodohan, dan kemiskinan.
Padahal, kata Budi, keindahan Islam itu ibarat berlian tetapi ditutupi debu. Debu dalam konotasinya adalah umat Islam itu sendiri. Sehingga mereka, khususnya warga keturunan Tionghoa, melihat agama Islam itu sudah menakutkan. ”Waktu saya masuk Islam orang tanda tanya, kenapa saya masuk Islam. Biasanya orang keturunan yang secara ekonomi mapan justru tidak mau masuk Islam. Bahkan saya dikira mau cari proyek,” ujarnya. Waktu kemudianlah yang membuktikan, keinginan Budi memeluk Islam adalah atas dasar nuraninya.
Budi mengaku masuk Islam karena hidayah Allah, bukan pengaruh orang. ”Saya memeluk agama Islam sebagai rasa bersyukur pada Tuhan, karena saya sukses dalam berusaha, punya isteri yang cantik, serta punya anak lengkap, laki-laki dan perempuan,”kata Budi yang lahir tanggal 20 November 1943 ini. Sebelum memeluk agama Islam, ayah dari dua anak ini memeluk agama Budha mengikuti orangtuanya. Namun ia mengaku hanya agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja, karena ia tak pernah mengunjungi tempat peribadatan.
Ia justru mengoleksi gambar-gambar masjid. Sejak usia sekolah dasar, ia sangat mengangumi arsitektur rumah ibadah kaum Muslim itu. Ketika ibunya meninggal sekitar dua tahun setelah menunaikan haji Budi menemukan foto masa kecilnya yang berpose di depan Masjid Syuhada Yogyakarta. Padahal saat itu mereka tinggal di desa Wuryantoro, Wonogori. ”Mungkin ini sudah suratan Allah untuk menjadikan saya orang Muslim,”ujarnya. Budi dan orang tuanya mulai tinggal di Yogyakarta tahun 1960. Setelah lulus SMA tahun 1964 di Sekolah Tionghoa Yogyakarta, ia membantu menjajakan dagangan orangtua berupa sirup, anggur, serta minuman dan makanan lainnya. Dengan mobil tua ia berkeliling keluar masuk kampung-kampung di wilayah DI Yogyakarta.
Tahun 1977 Budi menikah dan setahun kemudian ia mendirikan toko besi. Belum lima tahun ia menekuni bisnis itu, Budi sudah menuai keberhasilan. Grafik labanya meningkat secara luar biasa. ”Saat itulah, saya mulai berfikir bagaimana bersyukur pada Tuhan. Setelah saya tanya pada teman-teman dan mendatangi ustadz dari Tapanuli (Drs Ma’ruf Siregar-red). Saat itulah hati saya semakin mantap bahwa ternyata Islam yang saya cari,”ungkap pemilik Toko Besi ABC, BPR Syariah Margi Rizki di Yogyakarta, dan BPR Lumbung Arta di Muntilan ini.
Ia pun terus belajar agama Islam, sholat, dan mengaji. Ajaran agama Islam yang baru dianutnya, diamalkannya dengan sungguh-sungguh. Tahun 1984 Budi menunaikan ibadah haji. Sepulangnya berhaji, keluarganya mendapat hidayah kedua; isteri menyatakan diri masuk Islam. Pada tahun 1996 ia menunaikan ibadah haji lagi bersama sang isteri. Budi mendidik anaknya secara Islam. Bahkan anak keduanya, Mia Budi Setia Graha yang lahir tahun 1981, sejak TK disekolahkan di sekolah Islam.
Etos kerja etnis Tionghoa sejatinya selaras dengan etos kerja Muslim. Ia pun selalu memberi nasihat kepada kedua anaknya, ”Kalau mencari rizki sebisa mungkin mencari sebanyak-banyaknya seolah-olah kita hidup seribu tahun lagi, tetapi juga jangan lupa harus beramal seolah-olah besok kita akan meninggal.” Budi juga berdakwah dengan caranya sendiri. ”Karena saya masuk Islam karena Allah, saya berusaha menjadi Muslim yang baik. Saya harus memberikan contoh baik, sehingga syiar Islam bisa berkembang dan nur Islam bisa menyoroti hati nurani orang-orang Tionghoa,” kata penasehat dan pendiri Paguyuban Sosial Bakti Putra ini.
Tak lama setelah ia masuk Islam, banyak warga keturunan Tionghoa yang dekat dengannya juga turut bersyahadat. Bila pada tahun 1983 hanya ada tiga atau empat orang keturunan Tionghoa yang memeluk Islam itupun sudah tua kini jumlah Muslim Tionghoa di Yogyakarta terus bertambah. Tahun ini, anggota PITI berjumlah lebih dari 200 orang. Muslim Tionghoa juga sudah tidak malu lagi memeluk Islam. Secara psikologis, kata Budi, mereka sudah berani tampil dan bahkan bangga sebagai penganut Islam. Menurut dia, selama ini, pendekatan dakwah bagi keturunan Tionghoa seringkali keliru. ”Orang Tionghoa sering ‘dicina-cinakan’. Padahal bagi orang Tionghoa, kata Cina itu konotasinya negatif,” ujarnya.
Persinggungan Budi dengan organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, atau kemudian disebut dengan Persatuan Iman Tauhid Indonesia (PITI) ini dimulai sejak dia berislam. Setahun kemudian, tahun 1984, dia duduk sebagai ketua PITI Yogyakarta. Namun tahun 1999-2004 ia harus berhenti karena menjadi anggota legislatif. Karena tidak ada yang mau menjadi ketua PITI, akhirnya secara aklamasi sejak tahun 2000 hingga sekarang isterinya, Hj Raehana Fatimah, yang bernama asli Lie Sioe Fen, diangkat menjadi ketua PITI.
”Sebetulnya isteri saya sempat menangis tidak mau, karena tidak punya pengalaman berorganisasi. Selama ini ia ibu rumah tangga dan sibuk cari uang,” kata Budi. Tetapi ia mengingatkan pada amanah yang sudah diberikan teman-teman. Istrinya pun akhirnya mengangguk. Setiap bulan, PITI Yogyakarta mengadakan pengajian dan bakti sosial. ”Kami juga mengajak anggota orang Tionghoa untuk peduli terhadap kaum dhuafa, karena selama ini mereka mau beramal, tidak tahu harus diberi pada siapa,”kata bendahara DPW Pantai Amanat Nasional Yogyakarta ini.
Ia mengatakan program PITI adalah menjembatani orang Tionghoa yang ingin masuk Islam dan mendorong pembauran antara warga keturunan dengan pribumi. Dikatakannya, sudah dua tahun ini PITI DIY menyelenggarakan Imlek di masjid. Acaranya berupa diskusi dan sujud syukur di masjid karena mendapat karunia bertambahnya usia satu tahun. Tradisi Imlek berupa saling memberi kue keranjang juga dilakukan. Tahun ini, PITI DIY mengadakan kerja sama dengan UGM dalam peringatan Imlek. Mereka menggelar saresehan bertama “Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa”. Tujuannya adalah agar umat Islam dan Tionghoa saling mengenal Islam dan Budaya Tiongkok.