Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (7): Terbunuhnya Ali bin Abu Thalib

Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu tahu betul di barisan Syiahnya (simpatisannya) banyak pengkhianat. Ia sadar, tidak mungkin memenangkan peperangan bersama orang-orang seperti ini. Sementara Syiahnya (simpatisannya) Muawiyah adalah orang-orang yang taat dan setia.

Setelah Perang Shiffin, kondisi tak kondusif terus dihadapi Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Sampai nantinya ia syahid di tangan orang-orang Khawarij. Cerita terbunuhnya Ali, berawal dari berkumpulnya tiga orang khawarij; Abdurrahman bin Muljim al-Murodi, al-Barrak bin Abdullah at-Tamimi ash-Shirmi, dan Amr bin Bakr at-Tamimi as-Sa’di. Mereka berkumpul. Mengenang teman-teman mereka yang mati di Nahrawan saat berperang dengan Ali. Mereka mulai mebandingkan kehebatan amal teman mereka itu dengan amalan mereka. Lalu merasa kerdil dan malu. Karena amalan mereka sedikit. Sementara amalan yang telah mati itu amat banyak di mata mereka. Lalu mereka berkata, “Apa yang bisa kita lakukan sepeninggal mereka? Bagaimana kalau kita jual diri kita dengan memerangi pemimpin-pemimpin sesat itu? Kita dan negeri ini akan tentram dari keburukan mereka.”

Ibnu Muljim yang berasal dari kelompok Mesir berkata, “Aku yang akan menyelesaikan Ali.”

Al-Barrak bin Abdullah berkata, “Aku akan menyudahi Muawiyah.”

Amr bin Bakr berkata, “Aku selesaikan Amr bin al-Ash.”

Mereka berjanji tidak akan mengurungkan rencana ini. Target yang mati atau mereka yang mati. Mereka hunus pedang-pedang mereka sambil menyebut nama masing-masing target. Dan rencana jahat itu akan dilakukan pada 17 Ramadhan. Ketiganya pun berangkat menuju targetnya.

Setibanya di Kufah, Ibnu Muljim langsung menemui temannya yang berasal dari Bani Taim. Keduanya bercerita, mengenang teman-teman di Nahrawan. Lalu Ibnu Muljim menyampaikan maksud kedatangannya ke Irak adalah untuk membunuh Ali bin Abu Thalib. Rencana busuk ini menjadi rahasia antara mereka berdua.

Di Kufah pula, tempat rencana jahat ditunaikan, Ibnu Muljim bertemu tambatan hatinya. Seorang wanita yang sangat cantik dari Bani Taim. Namanya Qattam. Bak pungguk merindukan bulan, keduanya memiliki pengalaman pahit yang sama terhadap Ali bin Abu Thalib. Ayah dan saudara laki-laki Qattam tewas di Nahrawan saat memerangi Ali. Tak menunggu lama, Ibnu Muljim segera melamar Qattam.

Ini menunjukkan banyaknya ahlul fitnah di Irak, di tempat Ali tinggal. Mereka membaur dengan simpatisan Ali. Atau bahkan menjadi simpatisan ala-ala untuk sang Amirul Mukminin. Wajar Ali dapati para simpatisannya banyak yang berkhianat.

Menanggapi lamaran Ibnu Muljim, Qattam berkata, “Aku tak akan mau menikah denganmu kecuali kau mau mengobati (dendam) ku.” “Apa yang kau inginkan”? kata Ibnu Muljim. Ia berkata, “(Maharku adalah) 3000, seorang budak laki-laki, seorang budak perempuan, dan membunuh Ali.” Ternyata wanita cantik ini menjadikan nyawa Ali sebagai maharnya.

Ibnu Muljim menanggapi, “Adapun membunuh Ali, sebelum kau sebut itu akulah orang yang kau cari.” Qattam berkata, “Carilah kesempatan untuk itu. Kalau kau berhasil, kau telah mengobati dirimu dan diriku. Hidupmu pun akan bahagia bersamaku. Kalau engkau yang terbunuh, pahala di sisi Allah lebih baik dari dunia dan seisinya.” Kata Ibnu Muljim, “Demi Allah, tidaklah kedatanganku ke sini kecuali untuk membunuh Ali. Untukmu apa yang kau pinta.” Qattam berkata, “Aku akan mencarikan orang yang bisa membantumu.” Lalu Qattam mencari seorang laki-laki dari kaumnya, namanya Wardan. Ia berbicara dengannya dan Wardan pun menyanggupinya.

Lalu Ibnu Muljim menemui seorang yang terkenal pemberani, namanya Syabib bin Bujrah. “Maukah engkau meraih kemuliaan dunia dan akhirat”? kata Ibnu Muljim. “Apa itu”? tanyanya. “Membunuh Ali”, jawab Ibnu Muljim.

Syabib berkata, “Celaka ibumu! Engkau datang dengan membawa malapetaka! Bagaimana kau mampu untuk membunuhnya”?

Ibnu Muljim berkata, “Bersembunyi di (jalannya menuju) masjid. Saat dia keluar untuk shalat subuh, kita sergap dan habisi dia. Kalau kita berhasil, kita telah mengobati diri kita sendiri. Dan kalau kita yang terbunuh, pahala di sisi Allah lebih baik dari dunia dan seisinya.”

Syabib berkata, “Celaka engkau! Kalau itu bukan Ali tentu lebih ringan. Kau tahu bahwa ia adalah orang yang pertama-tama memeluk Islam. Seorang yang utama. Dan berjasa dalam Islam. Berat rasanya bagiku untuk membunuhnya.”

Ibnu Muljim berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa dia telah membantai para ahli ibadah yang shaleh di Nahrawan”? “Iya”, jawab Syabib. “Kalau begitu kita membunuhnya sebagai balasan atas terbunuhnya teman-teman kita itu.” Kali ini alasan Ibnu Muljim bisa diterima Syabib. Karena pembunuh hukumannya pun dibunuh. Syabib pun menerima ajakan yang membuatnya celaka dunia akhirat itu.

Perhatikanlah! Sesesat-sesatnya pemahaman, mereka memiliki dalil dari ayat ataupun hadits. Artinya dalil Alquran dan hadits bisa diarahkan tafsirnya oleh semua orang. Walaupun itu bertentangan dengan agama bahkan nurani manusia. Dengan demikian, Alquran dan sunnah tidak bisa berdiri sendiri. Keduanya butuh dipahami dengan bingkai pemahaman yang tepat. Kita butuh memahaminya dengan pemahaman saat Alquran dan sunnah itu diturunkan. Saat belum ada penyimpangan. Saat dimana orang-orang yang mengamalkannya, semuanya mendapat pujian Allah dan Rasul-Nya. Saat itu adalah masa dimana generasi pertama hidup. Yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّياً فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْباً، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَِلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ.

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.”[Riwayat Ibnu Abdil Bar].

Tibalah waktunya, saat itu malam Jumat tepat 17 Ramadhan. Malam dimana rencana buruk dari tiga orang yang buruk ditunaikan. Ibnu Muljim bersama Syabib dan Wardan menyiapkan pedang mereka. Ketiganya bersembunyi di dekat rumah Ali. Saat keluar rumah, Ali terbiasa berseru, “Mari shalat! shalat!” Tiba-tiba tiga orang celaka ini menyergap. Syabib menyabetkan pedangnya, namun menghantam sisi pintu. Lalu Ibnu Muljim giliran berikutnya, pedangnya berhasil mengenai kepala Ali. Ia berkata, “Hukum itu di tangan Allah, hai Ali. Bukan di tanganmu. Dan juga bukan di tangan teman-temanmu (Amr dan Muawiyah).”

Melihat kondisi itu, Wardan segera lari dan masuk ke dalam rumahnya. Lalu datang seorang laki-laki dari anggota keluarganya. Wardan pun menceritakan apa yang terjadi. Laki-laki itu pergi. Kemudian kembali dengan membawa pedang. Ia hantamkan pedang itu ke Wardan hingga ia tewas. Pelaku lainnya, Syabib bin Bujrah. Ia melarikan diri di tengah kegelapan. Kontan orang-orang mengejar dan meneriakinya. Di tengah pelarian itu, ia bertemu laki-laki Hadramaut yang bernama Uwaimir. Ia lihat pedang di tangan Syabib. Lalu ia ambil baru berbicara dengannya. Saat Uwaimir melihat orang-orang datang, sementara barang bukti, pedang Syabib, berada di tangannya, ia pun takut. Lalu ia letakkan pedang itu. Sementara itu Syabib berhasil lari tanpa diketahui.

Setelah Ibnu Muljim melukai Ali, Ali berteriak, “Jangan sampai orang ini lepas.” Orang-orang pun mengejarnya. Dan berhasil menangkapnya. Peristiwa ini menyebabkan Ali tidak mengimami jamaah di masjid. Ia digantikan oleh Ja’dah bin Hubairah. Anak dari saudara perempuan Ali, Ummu Hani’.

Ali berkata, “Bawa ke hadapanku orang yang mencoba membunuhku itu”? orang-orang pun membawanya masuk. Ali berkata, “Hai musuh Allah, bukankah Allah telah berbuat baik padamu.” “Iya”, jawab Ibnu Muljim. “Apa yang memotivasimu melakukan ini”? tanya Ali. Ibnu Muljim menjawab, “Aku telah mengasah pedangku selama 40 hari. Dan aku memohon kepada Allah agar membunuh seburuk-buruk makhluk-Nya dengan pedang ini.”

Ali berkata, “Menurutku engkaulah yang akan dipancung dengan pedang itu. Dan menurutku, engkaulah seburuk-buruk ciptaan Allah itu.” Ali melanjutkan, “Nyawa dibalas dengan nyawa. Kalau aku mati karena perbuatannya ini, maka hukum mati dia. Tapi kalau aku masih hidup, akulah yang akan menentukan hukum untuknya. Wahai Bani Abdul Muthalib, janganlah kalian terlibat dalam permasalahan darah kaum muslimin. Orang-orang mengatakan, ‘Amirul mukminin telah terbunuh’. (Ingat) jangan kalian menghukum mati kecuali orang yang telah membunuhku saja. Hasan, kalau aku wafat karena sabetannya ini. Pancunglah dia dengan satu kali tebasan. Jangan dimutilasi. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالْمُثْلَةَ، وَلَوْ بِالْكَلْبِ الْعَقُورِ

“Janganlah sampai kalian memutilasi. Walaupun terhadap anjing galak.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 1/97 dan al-Haitsami dalam Majmu’ az-Zawaid, 6/376-377).

Sambil menunggu pengadilan, Ibnu Muljim diikat. Tangannya ditarik dan dikebat ke belakang pundaknya. Ummu Kultsum, putri Ali bin Abu Thalib, berkata, “Hai musuh Allah! Ayahku dalam kondisi baik, tapi Allah pasti akan menghinakanmu.” Ibnu Muljim menjawab, “Lalu mengapa kau menangis? Demi Allah, pedangku kubeli dengan 1000. Dan kuracuni juga dengan 1000. Kalau seandainya ditebaskan ke penduduk Mesir dengan satu sabetan, tidak akan tersisa satu orang pun dari mereka.” (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/102).

Ibnu Muljim menyatakan betapa beracunnya pedangnya. Seandainya luka satu tebasan karena sabetan pedangnya, dibagi-bagi ke seluruh penduduk Mesir. Pasti semuanya tak ada yang selamat. Sehingga tak mungkin Ali selamat.

Umat Islam merasa sangat terpukul dengan terbunuhnya Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Perasaan yang sama, juga mereka alami saat terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Kejadian yang berturut-turut dan berdampak melebar ini membuat kaum muslimin sadar bahwa api fitnah akan semakin membara dan menyala. Darah akan tertumpah di tengah umat ini lebih deras lagi.

Setelah Ali wafat, penduduk Kufah membaiat al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Kemudian Hasan menunjuk Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagai panglima besar pasukan (Ibnul Jauzi: al-Muntazham 3/406 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Syarah hadits 7109).

Cucu Rasulullah Mendamaikan Umat

Setelah dibaiat oleh penduduk Irak, al-Hasan radhiallahu ‘anhuma keluar dengan pasukan yang sangat besar. Ia berangkan menuju Madain untuk menemui Muawiyah radhiallahu ‘anhu. Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Demi Allah, al-Hasan bin Ali membawa pasukan seperti gunung-gunung untuk menghadapi Muawiyah.” (Riwayat al-Bukhari, Fathul Bari No: 2704).

Pasukan itu terus bergerak maju mendatangi Syam. Sampai mereka tiba di satu tempat yang penduduk Syam bisa melihat besarnya jumlah pasukan berkuda yang dibawa Hasan. Amr bin al-Ash berkata, “Sungguh aku melihat pasukan yang sangat besar, yang tidak akan mundur hingga menghabisi lawannya.”

Lalu bagaimana respon Muawiyah tatkala melihat pasukan besar ini. Ia berkata kepada Amr, “Amr, seandainya kelompok ini memerangi yang ini. Lalu kelompok lain memerangi kelompok yang lain lagi. Lalu siapa yang akan mengurusi masyarakat? Siapa yang akan menjaga dan melindungi kaum perempuan? Siapa yang akan menjaga harta benda mereka?

Dari rangkaian peristiwa ini, kita bisa mengetahui orang seperti apa Muawiyah itu. Terlepas dari kesalahan ijtihadnya yang menuntut agar pembunuh Utsman segera ditangkap dan diadili, tapi dalam peristiwa Shiffin dan juga dalam menghadapi Hasan bin Ali, kita melihat bahwa Muawiyah adalah seorang yang bijak. Di Shiffin ia berusaha meminimalisir pertumpahan darah. Dengan cepat ia mengambil keputusan untuk bertahkim. Kemudian saat Hasan datang membawa pasukan yang besar, ia memikirkan pasti rakyat terabaikan kalau peperangan kelompok-kelompok kaum muslimin terus berlanjut. Ia tidak memikirkan kekuasaan sebagaimana yang dituduh oleh orang-orang. Namun tetap kita akui, ijtihadnya salah dalam satu kondisi. Yaitu menyikapi terbunuhnya Utsman.

Dan peristiwa ini juga menunjukkan peperangan yang terjadi antara para sahabat bukan ambisi saling menaklukkan. Kita tidak melihat para pemimpinnya sibuk membuat strategi memenangkan peperangan. Atau mengincar pimpinan tertinggi. Sebagaimana yang terjadi di perang pada umumnya.

Lalu Muawiyah mengutus dua orang Quraisy dari Bani Abdu Syams untuk menemui Hasan. Mereka adalah Abdurrahman bin Samrah dan Abdullah bin Amir. Muawiyah berkata, “Temuilah Hasan dan tawarkan padanya perdamaian. Temui, bicaralah baik-baik, dan mintalah ia menerima tawaran damai.” Al-Hasan bin Ali berkata kepada dua utusan ini, “Kami Bani Abdul Muthalib telah ditimpa ujian ini. Dan umat ini telah tertumpah darahnya.” Kedua utusan itu menanggapi, “Karena itu kami menawarkan Anda demikian dan demikian. Kami meminta dan memohon kepada Anda.” Hasan berkata, “Siapa aku ini sampai dipintai demikian”?

Kedua utusan itu berkata, “Kami mengikuti Anda dalam urusan tersebut.” Setiap Hasan bertanya sesuatu, keduanya selalu menjawab, “Kami mengikuti Anda dalam urusan tersebut.” Mereka menjalankan amanah Muawiyah.

Jika Muawiyah menawakan damai, maka cucu Rasulullah ini lebih terdepan lagi dalam kebaikan. Al-Hasan berkata, “Sungguh aku telah mendengar Abu Bakrah berkata, ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar. Sementara al-Hasan bin Ali berada di sisinya. Saat itu Rasulullah sesekali menghadap ke arah hadirin. Dan sesekali menghadap ke arah al-Hasan. Beliau bersabda,

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Cucuku ini adalah seorang tokoh. Dengan perantara dirinya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimn.” [HR. al-Bukhari (2557), Abu Dawud (4662), an-Nasai (1410), dan at-Turmudzi (3773)].

Peristiwa ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau masih hidup. 30 tahun sebelum peristiwa besar ini terjadi. Tentu ini adalah mukjizat. Kabar yang beliau sampaikan satu per satu terbukti dan terjadi. Demikian juga kabar tentang alam kubur, alam akhirat, kiamat, surga, neraka, dan alam gaib lainnya pasti terjadi. Karena itu, rugilah orang yang tidak mengimaninya.

Al-Hasan radhiallahu ‘anhu telah memilih. Ia tidak ingin darah kaum muslimin terus bercucuran. Sebagaimana nasihat yang ia sampaikan pada ayahnya saat fitnah berkecamuk. Ia serahkan kekuasaan ke tangan Muawiyah. Tanpa paksaan. Tanpa terjadi perebutan kekuasaan seperti yang dikabarkan banyak orang. Inilah letak terpujinya Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Ini juga menunjukkan ketajaman visinya. Kalau seandainya seperti yang ditudhukan orang-orang bahwa Muawiyah memerangi Hasan. Kemudian di saat itu baru Hasan menyerahkan kekuasaan. Tentu ini bukan visi yang baik. Dan nilai terpujinya pun kurang. Karena setelah darah tertumpah, kerusakan dan keributan terjadi, baru menyadari. Tapi orang yang cerdas, yang hikmahnya mendalam, dan yang visinya tajam, akan mampu membaca arah kejadian. Ia mampu mengeluarkan kebijakan yang tepat sebelum musibah terjadi.

Dari sini kita simpulkan, para sahabat adalah orang-orang yang mulia. Allah tidak mungkin keliru memilihkan Rasul-Nya para pendamping dan penolong dalam menyebarkan agama Allah. Sebagaimana kata Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.”

(Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, I/379, no. 3600. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa sanadnya shohih).

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

KISAH MUSLIM

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (6): Peristiwa Tahkim Antara Ali dan Muawiyah

Di tengah kecamuk Perang Shiffin masih ada sebagian orang yang berpikir bijak. Mereka takut perang yang terus berlanjut akan membinasakan kaum muslimin. Di sisi lain, para musuh terus menyulut menuju ke sana. Mereka ingin menghancurkan sendi kekuatan Islam. Sehingga punggawa-punggawa dakwahnya terkapar. Tak lagi mampu menyebarkannya dengan maksimal. Di antara mereka yang pertama sadar adalah orang Kufah (pengikut Ali). Dia adalah al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ketika perang tengah berkecamuk, ia angkat bicara di tengah kaumnya. Ia berkata, “Kaum muslimin, kalian telah menyaksikan suatu peristiwa yang tak pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang Arab banyak meninggal. Demi Allah, seumur hidupku ini aku belum pernah sama sekali melihat kejadian seperti ini. Sampaikanlah kepada orang yang tidak mendengar ucapanku. Kalau menunggu besok kita baru berdamai, pasti orang-orang Arab musnah dan kehormatan disia-siakan. Demi Allah, aku mengatakan ini bukan karena ketakutan. Tapi aku ini adalah seorang yang telah berumur, aku khawatir dengan para wanita dan anak-anak kalau kita esok semuanya tewas. Ya Allah, sungguh Engkau tahu aku ini menyayangi kaumku dan saudara seagamaku. Dan tidak ada yang memberi taufik kecuali Allah.”

Saat ucapan al-Asy’ats ini sampai ke telinga Muawiyah, ia berkata, “Demi Rab Ka’bah, dia benar. Kalau kita berjumpa di peperangan esok, orang-orang Romawi akan membahayakan anak-anak dan istri-istri kita. Orang-orang Persia dan Irak akan melenggang masuk membahayakan istri dan anak kita. Orang yang berpandangan seperti ini adalah seseorang yang visioner. Angkatlah mushaf-mushaf di kepala tombak.”

Sha’sha’ah berkata, “Penduduk Syam (pengikut Muawiyah) menyatakan sikap. Mereka berseru di kegelapan malam, ‘Hai penduduk Irak, siapa yang akan melindungi keluarga kami kalau kalian membunuh kami. Dan siapa yang akan menjaga keluarga kalian kalau sampai kami membunuh kalian? Allah.. Allah.. yang abadi.”

Di pagi hari, penduduk Syam mengangkat Alquran di kepala tombak mereka. Lalu mereka gantungkan di kuda. Orang-orang pun bersemangat dengan seruan mereka. Mereka angkat mushaf Alquran Damaskus yang besar. Yang diangkat oleh sepuluh orang laki-laki di kepala tombak mereka. Mereka berseru, “Hai penduduk Irak, kitabullah antara kami dan kalian.” Mereka mengajak agar permasalahan ini diselesaikan dengan berhukum menurut Alquran.

Abu al-A’war as-Salmi muncul dengan kuda pembawa barang. Ia meletakkan mushaf di atas kepalanya, lalu berseru, “Hai penduduk Irak, kitabullah (yang memutuskan perkara) antara kita.”

Al-Ays’ats berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, “Orang-orang mengajak kepada Kitabullah. Sungguh selayaknya Andalah orang yang terdepan memenuhinya dibanding mereka semua. Mereka semua ingin tinggal dan tak ingin berangkat berperang.”

Ali menjawab, “Ini perkara yang masih perlu diteliti lagi.”

Mereka menyatakan bahwa penduduk Syam masih ragu-ragu. Penduduk Syam berkata, “Hai Muawiyah, kita tidak melihat penduduk Irak menanggapi ajakan kita. Ajaklah mereka kelompok demi kelompok. Apabila engkau melakukan hal tersebut pastilah mereka akan menyepakatimu.”

Muawiyah memanggil Abdullah bin Amr bin al-Ash. Lalu memerintahkannya untuk berbicara dengan penduduk Irak. Abdullah bin Amr berangkat dan menemui mereka. Tatkala ia berada di dekat Shiffin ia berseru, “Hai penduduk Irak, aku adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash. Sesungguhnya kita berselisih dalam permasalahan agama dan dunia. Kalau dalam permasalahan agama, Allah membuat kami dan kalian tidak pantas memutuskannya secara mandiri. Kalau dalam permasalahan dunia, Allah telah melebihkan kami dan kalian. Kami telah mengajak kalian pada sesuatu, yang kalau kalian yang menawarkannya pasti akan kami terima. Sungguh yang menyatukan kami dan kalian adalah ridha. Dan itu dari Allah. Manfaatkanlah kesempatan ini.”

Al-Asytar (pembunuh Utsman) tidak berpikir untuk berperang. Ia hanya diam dalam ketakutan. Orang-orang menuding, “Engkau telah menyebabkan kami berperang. Engkau (menyebabkan) membunuh banyak orang. Dan sekarang sekelompok orang menyerukan perdamaian.” (al-Maqrizi: Waqa’atu Shiffin, Hal, 481-484). Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman merasa ketakutan. Mereka merasa nyawa mereka tengah di ujung pedang vonis hukuman mati. Dan mereka mulai menyalahkan al-Asytar yang menyebabkan mereka terlibat.

Dari sini kita bisa mengetahui, baik di Perang Jamal sampai Perang Shiffin ini, para sahabat sama sekali tidak menginginkan peperangan. Di Perang Jamal mereka disusupi oleh kelompok pembunuh Utsman. Lalu terjadilah peperangan. Dan di Shiffin, ahlul fitnah inipun belum berhenti. Mereka tak tinggal diam dan menyerah begitu saja untuk diadili.

Peristiwa ini juga menunjukkan kebohongan orang-orang yang menuduh penduduk Syam. Menurut mereka penduduk Syam yang dalam hal ini di-inisiasi oleh Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu atas arahan Muawiyah radhiallahu ‘anhu membuat tipu daya. Amr dan penduduk Syam menginginkan perang tapi mereka menutup-nutupinya seolah ingin berdamai. Lalu menyerang dari belakang. Ini adalah tuduhan dusta terhadap dua orang sahabat yang mulia ini.

Tindakan mengangkat mush-haf ini adalah perbuatan mulia. Dilakukan oleh orang-orang bijak dari kedua kelompok. Kemudian hal ini juga disepakati oleh Ali bin Abu Thalib yang mengatakan, “Iya. Antara kami dan kalian, Kitabullah. Dan aku adalah orang yang selayaknya terdepan menerima hal ini dari kalian semua (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 8/376).

Orang-orang Syiah membuat banyak riwayat dusta. Tujuan mereka adalah melemparkan tuduhan buruk pada para sahabat. Menanamkan keraguan pada agama ini. Mereka membuat Riwayat-riwayat tentang panasnya peperangan. Besarnya kebencian antar dua kelompok. Lalu mereka besar-besarkan jumlah pasukan yang wafat di Shiffin dan Jamal. Mereka menyebutkan jumlahnya ribuan bahkan sampai puluhan ribu. Darimana kita bisa membenarkan hal ini. Padahal kedua kelompok tidak menginginkan perang.

Akhirnya, disepakatilah tahkim. Muawiyah mengutus Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu. Dan ali memilih Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Perjanjian ini ditulis pada 13 Shafar 37 H.

Riwayat Dusta Tentang Peristiwa Tahkim

Karena tak ingin terus terjadi pertumpahan darah, Ali bin Abu Thalib bersama penduduk Irak dan Syiahnya Ali (simpatisannya) juga Muawiyah bin Abu Sufyan, penduduk Syam, dan Syiahnya Muawiyah (simpatisannya) sepakat untuk berhukum dengan Kitabullah. Apa yang terdapat dalam Alquran akan mereka taati. Karena semua yang ada di dalam Alquran dan sunnah pasti adil. Keduanya menjamin keamanan harta, jiwa, serta keluarga mereka. Itikad baik keduanya ini mendapat dukungan dari kaum muslimin.

Dalam perjanjian ini tidak disebutkan pembahasan tentang kekhilafahan. Mereka tidak berselisih tentang permasalahan khilafah. Muawiyah tidak menyebut dirinya sebagai khalifah. Dan ia tak ingin mencari-cari jalan untuk menjabatnya. Yang menjadi titik sengketa dua kelompok ini adalah Ali menuntut agar Muawiyah dan penduduk Syam berbaiat. Sementara Muawiyah menuntut Ali untuk mengqisas pembunuh Utsman. Inilah letak perselisihannya. Tidak ada pembicaraan tentang kekhilafahan.

Perlu diketahui banyak sekali riwayat-riwayat palsu tentang peristiwa Shiffin ini. Riwayat-riwayat tersebut dibuat-buat oleh orang-orang Syiah. Mereka ingin merusak citra keteladanan yang ada pada sahabat Amr bin al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari. Mereka menuduh Amr sebagai pembuat makar dan penipu. Muawiyah menginginkan dunia (kekuasaan). Abu Musa seorang yang tak cakap dan lalai. Tuduhan-tuduhan ini sungguh tak pantas dilabelkan kepada para sahabat besar seperti mereka.

Sayangnya, justru Riwayat-riwayat palsu inilah yang masyhur tentang peristiwa tahkim. Bahkan dijadikan kurikulum ajar dalam pelajaran sejarah Islam di negeri-negeri Islam. Akibatnya, kaum muslimin pun merasa benci dengan sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara Riwayat dusta itu adalah:

Abu Mikhnaf berkata, “Abu Jannab al-Kalbi menyampaikan padaku bahwa saat Amr dan Abu Musa bertemu di Daumatul Jandal, Amr sengaja lebih dulu bicara dibanding Abu Musa. Ia berkata, ‘Engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan engkau lebih tua dariku. Engkau berbicara kemudian baru aku berbicara. Amr membuat strategi agar Abu Musa selalu berbicara terlebih dahulu. Amr pun mulai berbicara tentang pemakzulan Ali. Amr mengajukan Muawiyah sebagai khalifah. Namun ditolak oleh Abu Musa tidak menyepakatinya. Lalu ia menyebut nama anaknya, Abdullah bin Amr. Abu Musa juga tidak sepakat. Lalu Abu Musa menyebut nama Amr sendiri. Amr berkata, ‘Pendapatku tergantung bagaimana pendapatmu’. Abu Musa berkata, ‘Menurutku, kita makzulkan saja dua orang ini (Ali dan Muawiyah). Lalu kita serahkan kepada kaum muslimin agar mereka memilih sendiri orang yang mereka sukai’. Amr berkata, ‘Pendapatku tergantung bagaimana pendapatmu’. Kemudian keduanya menemui orang-orang. Masyarakat pun berkumpul.

Amr berkata, “Hai Abu Musa, sampaikan pada mereka bahwa pendapat kita adalah pendapat yang sama’. Abu Musa berbicara, ‘Sesungguhnya aku dan Amr telah sepakat dalam satu putusan. Kami berharap dengan hal itu Allah memperbaiki kondisi umat ini’. Amr berkata, ‘Benar dan baik sekali. Hai Abu Musa, maju dan bicaralah’. Abu Musa pun maju untuk berbicara. Lalu Abdullah bin Abbas menanggapi, ‘Celaka kamu! Demi Allah aku yakin Amr telah membuat tipu daya pada dirimu. Dst.. kisah ini diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam al-Umam wa al-Muluk, 3/311.

Riwayat ini tentu tidak sesuai dengan karakter para sahabat. Dan ath-Thabari meriwayatkan kisah-kisah beserta sanadnya. Agar orang-orang bisa melihat kualitas dari berita tersebut. Artinya, Riwayat-riwayat ath-Thabari dalam kitabnya ini bukanlah konsumsi orang awam yang tidak mengerti ilmu sanad. Namun kabar ini dimanfaatkan oleh orang-orang buruk yang ingin merusak citra para sahabat.

Hasil Dari Tahkim

Setelah peristiwa Shiffin, Ali memerangi para pemberontak Khawarij. Dan setelah peristiwa tahkim, Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu mencopot Gubernur Mesir, Qais bin Saad bin Ubadah. Para pemberontak memfitnah Qais bahwa ia menjalin hubungan dengan Muawiyah. Lalu Ali menunjuk Muhammad bin Abu Bakar sebagai penggantinya. Namun Muhammad bin Abu Bakar dianggap sebagai orang yang terlibat dalam terbunuhnya Utsman. Penduduk Mesir pun meminta bantuan Muawiyah untuk menggulingkan Muhammad bin Abu Bakar. Akhirnya, Muhammad terbunuh dalam peperangan. Dan Amr bin al-Ash menjabat sebagai gubernur Mesir. Negeri Nabi Musa ini pun menjadi di bawah kekuasaan Syam.

Pada tahun 40 H, perselisihan antara Ali dan Muawiyah belum juga mengalami titik temu. Muawiyah menulis surat kepada Ali, “Kalau kau mau, untukmu Irak dan untukku Syam. Sehingga pedang-pedang pun berhenti di tengah umat ini. Jangan kau tumpahkan darah kaum muslimin.” Ali pun menyepakati hal tersebut. Dengan demikian Muawiyah dan pasukannya menguasai Syam dan sekitarnya. Sementara Ali menetap di Irak dan menguasainya bersama pasukannya (ath-Thabari: Tarikh ath-Thabari 6/60).

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

KISAH MUSLIM

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (5): Perang Shiffin

Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib telah menetapkan putusan. Ia akan menyerang penduduk Syam. Ia lazimkan penduduk Syam untuk baiat dan tunduk. Al-Hasan bin Ali berkata, “Ayah, jangan lakukan ini. Karena hal ini mengakibatkan pertumpahan darah di tengah kaum muslimin. Dan membuat jurang perselisihan di antara mereka.” Namun Ali tidak menerima saran putranya. Ia sudah membulatkan tekad untuk menyerang Syam yang tidak tunduk (ath-Thabari: Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, 5/217).

Ini adalah nasihat kedua yang dilontarkan al-Husan kepada ayahnya. Sebelumnya ia menasihati ayahnya agar tak menggerakkan pasukan menuju Bashrah. Agar tidak terjadi perang saudara. Namun Ali tetap melakukan apa yang ia pikirkan. Terjadilah Perang Jamal.

Sekarang Ali menggerakkan pasukannya menuju an-Nakhilah. Sebuah daerah di dekat Kufah. Di sana pasukan akan berhimpun dengan pasukan Bahsrah yang dipimpin Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Dari sana mereka serentak bergerak menyisiri Sungai Eufrat menuju Shiffin. Di pihak lain, Muawiyah juga telah bergerak bersama pasukannya menuju Shiffin. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Dzul Hijjah tahun 36 H.

Yang perlu dicatat, sampai pada kondisi ini kedua pasukan tidak berkeinginan untuk berperang. Para sahabat adalah seorang yang sangat mengetahui betapa mahalnya darah seorang muslim. Sehingga pergerakan pasukan ini tidak ditujukan untuk saling bertumpah darah. Bukan untuk saling berperang dan menaklukkan. Mereka tidak mau apa yang terjadi di Perang Jamal terulang kembali.

Hal ini tak akan dipahami oleh mereka yang tidak mengenal para sahabat nabi. Seperti para orientalis dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka tidak memahami bagaimana takwa para sahabat. Bagaiamana persaudaraan di antara mereka. Bagaimana keinginan mereka untuk islah. Bagaimana kecintaan mereka pada kebaikan. Para orientalis tak akan mampu merenungi bagaimana kisah Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Rabi’ saat dipersaudarakan oleh Rasulullah. Mereka tak akan mengerti bagaimana itsar (mendahulukan dalam kebaikan) di tengah para sahabat Muhajirin dan Anshar yang dipuji Allah dalam surat Al-Hasyr. Para orientalis dan orang-orang yang sejalan dengan mereka dengan cepat bertanya, “Bagaimana bisa pasukan digerakkan tapi tidak ingin berperang?”

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Lebih dari satu orang dari pasukan Muawiyah mengatakan, ‘Mengapa engkau melawan Ali? Engkau bukan orang yang mengungguli Ali dalam keutamaan dan kekerabatan (dengan Rasulullah)? Ali-lah yang lebih layak menjabat khalifah dibanding dirimu’. Muawiyah pun mengakui hal tersebut. Namun mereka memihak Muawiyah karena mendapat informasi bahwa di pasukan Ali terdapat kezaliman terhadap mereka. Sebagaimana kezaliman terhadap Utsman. Mereka siap berperang untuk membela diri. Dan berperang karena hal ini boleh. Karena itulah mereka tidak memulai menyerang. Sampai mereka yang diserang (Ibnu Taimyah: Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 4/217).

Artinya, pasukan Muawiyah mendapat informasi bahwa pasukan Ali telah disusupi oleh para pembunuh Utsman. Sebagaimana yang terjadi di Perang Jamal. Inilah yang terjadi. Dari Amir asy-Sya’bi dan Abu Ja’far al-Baqir, “Ali mengutus seseorang menuju Damaskus untuk memperingatkan mereka bahwa ia telah menyeru penduduk Irak tentang loyalitas kalian pada Muawiyah. Saat berita ini sampai pada Muawiyah, ia memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan. Orang-orang pun berkumpul memenuhi masjid. Muawiyah naik mimbar dan berkhutbah, ‘Sesungguhnya Ali telah menyeru penduduk Irak menuju kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang menepuk dada mereka tanpa ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Dan tak ada yang mengangkat pandangan mereka.

Seseorang yang disebut dengan Dzul Kila’ berkata, ‘Hai Amirul Mukminin, engkaulah yang memutuskan dan kami akan melakukan’. Kemudian Muawiyah berkata di hadapan khalayak, pergilah kalian menuju kamp. Siapa yang tertinggal, biarkanlah. Kemudian berkumpullah’. Lalu utusan Ali itu berangkat menuju Ali dan mengabarkannya. Ali pun memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan di masjid. Lalu ia berkhotbah, ‘Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang bergemuruh. Sehingga Ali tak bisa menangkap apa yang mereka ucapkan. Ali turun dari mimbar dan berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/127).

Ali sadar pengikutnya tidak satu suara. Kesetiaan mereka tidak bisa diandalkan. Dan di tengah mereka ada pengkhianatan. Bandingkan dengan kesetiaan pengikut Muawiyah. Benar saja, para pengobar fitnah berusaha menggembosi peperangan. Terjadilah perang yang mayoritas para sahabat tidak turut serta di dalamnya. Diriwayatkan Muhammd bin Sirin rahimahullah berkata, “Saat fitnah bergejolak jumlah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekitar 10.000 orang. Yang turut serta di dalamnya tidak sampai 100 orang. Bahkan tidak sampai 30 orang (Ibnu Taimiyah: Minhaj as-Sunnah, 6/236).

Artinya, para sahabat memegang pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah. Mereka menjauhinya. Tidak seperti cerita yang disampaikan para pendusta. Seakan hampir semua atau bahkan semua sahabat terlibat dalam fitnah ini. Mereka kesankan para sahabat berpecah dan saling menumpahkan darah. Mengkhianati pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ammar bin Yasir dan Para Pemberontak

Di antara kejadian penting dalam rangkaian Perang Shiffin adalah syahidnya sahabat Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu. Ammar berada di barisan Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيْحَ عَمَّارٍ! تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ

“Duhai Ammar, engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.” [HR. al-Bukhari (436, 2657) dan Ahmad (11879)).

Terbunuhnya Ammar ini memperjelas posisi Ali dan Muawiyah. Mana ijtihad keduanya yang benar dan mana yang salah. Ali dan orang yang bersamanya berada di pihak yang benar. Sementara Muawiyah dan orang yang bersamanya keliru dalam ijtihad mereka.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6518-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-5-perang-shiffin.html

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (3): Kekacauan Setelah Wafatnya Utsman

Semakin hari, pengepungan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan pun semakin ketat. Sejumlah sahabat dan putra-putra terbaik mereka berdatangan untuk membela pemimpin mereka. Namun Utsman memerintahkan mereka untuk pulang. Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata, “Aku bersama Utsman di dalam rumahnya. Ia berkata, ‘Tegaskan pada mereka yang masih menaatiku untuk menahan diri dan meletakkan senjata mereka’. Kemudian ia mengatakan, ‘Berdirilah hai Ibnu Umar. Kabarkan pada orang-orang (perintahku)’. Ibnu Umar keluar bersama Hasan bin Ali. Lalu Zaid bin Tsabit datang dan berkata pada Utsman, ‘Sesungguhnya orang-orang Anshar berada di depan rumah. Mereka berkata, ‘Kalau kau mau, kami akan menjadi pembela-pembela Allah (Ansharullah) yang kedua kalianya (setelah membela Rasulullah saat hijrah)’. Utsman menanggapi, ‘Aku tak butuh hal itu. Tahan diri kalian’.”

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hari ini kami akan bersamamu dan akan berperang membelamu.” Utsman menjawab, “Aku tegaskan agar engkau keluar.”

Al-Hasan bin Ali adalah orang yang paling terakhir keluar dari rumah Utsman. Sebelumnya datang al-Hasan, al-Husein, Abdullah bin Umar, Abdullah bin az-Zubair, dan Marwan. Utsman memerintahkan mereka semua untuk meletakkan senjata. Ia tak ingin darah seorang muslim pun menetes demi membela dirinya. Ia kedepankan keselamatan semuanya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang luar biasa.

Abdullah bin Zubair dan Marwan berakta, “Kami pertaruhkan diri kami dan kami tak peduli.” Utsman membuka pintu. Keduanya lalu masuk (al-Qadhi ibnul Arabi: al-Awashim min al-Qawashim fi Tahqiq Mawaqif ash-Shahabah ba’da Wafat an-Nabi, Hal: 138-141). Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat 18 Dzul Hijjah 35 H (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 3/7).

Akhirnya, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu terbunuh. Ini merupakan musibah besar yang menimpa umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepeninggal Utsman, kepemimpinan umat Islam kosong hingga lima hari lamanya (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/208).

Tentu saja orang yang paling pantas memegang amanah khalifah setelah Utsman adalah Ali bin Abu Thalib. Namun Ali dan tokoh-tokoh besar sahabat yang lain menolak jabatan tersebut. Tidak ada di antara mereka yang berhasrat mendudukinya. Mereka memandang betapa berat tanggung jawab itu. Mereka pun menjauhinya. Di sisi lain, para pemberontak terus mencari-cari pemimpin baru. Tapi tak ada yang menanggapi mereka.

Orang-orang Mesir mendatangi Ali. Ali bersembunyi di kebun-kebun Madinah menghindari mereka. Apabila berjumpa dengan mereka, ia menjauh. Ali tidak merespon permintaan mereka. Meskipun telah diucapkan berulang-ulang. Orang-orang Kufah mencari az-Zubair bin al-Awwam radhialahu ‘anhu. Mereka mengirim utusan untuk menemuinya. Namun ia menolak dan menjauhi mereka. Orang-orang Bashrah meminta Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu untuk menjabat khalifah. Ia pun melakukan hal yang sama dengan dua orang sahabatnya. Ia menjauh dan tidak melayani permintaan orang-orang itu. Meskipun mereka mengajukannya berkali-kali.

Perhatikanlah! Para pembentontak ini bersepakat menjatuhkan Utsman, namun mereka beda pendapat tentang siapa penggantinya. Sepertinya, ini menjadi tradisi bagi orang-orang yang menggulingkan pemerintah setelah mereka.

Setelah mendapat penolakan dari tiga tokoh utama para sahabat tersebut. Mereka berkata, “Kita tak akan mengangkat ketiga orang itu menjadi pemimpin.” Lalu mereka menemui tokoh sahabat lainnya, yaitu Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Mereka berkata, “Sesungguhnya Anda termasuk salah seorang ahlu syura (tim musyawarah yang menunjuk khalifah setelah Umar). Kami sepakat mengangkat Anda. Majulah, kami akan membaiatmu.” Saad menjawab, “Aku dan Ibnu Umar tidak mau terlibat dalam hal ini. Saat ini, kami tidak merasa perlu untuk hal itu. Kemudian ia bersyair

لا تخلطنَّ خبيثات بطَيِّبة *** واخلع ثيابك منها وانجُ عريانا

Jangan campurkan keburukan dengan kebaikan
Lepaskan pakaian cari selamat walaupun bertelanjang

Para pemberontak belum menyerah, mereka lalu mendatangi Abdullah bin Umar. Mereka berkata, “Anda Ibnu Umar? Ambillah kepemimpinan ini.” Ibnu Umar menjawab, “Dalam permasalahan ini ada dendam. Demi Allah, aku tak akan menjerumuskan diriku di dalamnya. Carilah orang selainku.” Orang-orang itu pun kebingungan. Tak tau lagi apa yang harus mereka lakukan. Urusan berat ini sekarang menjadi tanggung jawab mereka (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/208). Demikianlah keadaan orang-orang yang bersemangat menjatuhkan pemimpin. Mereka menggulingkan pemimpin dengan alasan pemimpin sudah melakukan kerusakan. Tapi akhirnya mereka bingung. Malah menimbulkan kerusakan baru yang lebih besar.

Para ahlul fitnah ini mulai dihinggapi ketakutan. Mereka khawatir tak seorang sahabat pun mau menerima kekhalifahan. Mereka berkata, “Kalau kita kembali ke negeri kita masing-masing setelah terbunuhnya Utsman ini tanpa adanya seorang khalifah, pasti kita tak akan selamat.” (Ibnul Atsir: al-Kamil 3/99).

Mereka pun mengambil jalan pintas. Mereka kumpulkan penduduk Madinah dan berseru, “Hai penduduk Madinah, kalian adalah ahlu syura. Kalian adalah pemimpin. Kepemimpinan kalian layak diterima di tengah umat. Tunjuklah salah seorang dari kalian untuk menjadi pemimpin. Kami akan mengikuti kalian. Kami akan menghormati hari kalian ini. Demi Allah, sekiranya kalian tidak ada keputusan. Besok kami akan memerangi Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang lainnya.”

Orang-orang bersegera menuju Ali. Mereka berkata, “Kami akan membaiatmu. Engkau telah melihat apa yang terjadi pada agama ini dan apa yang menimpa kita.” Ali menjawab, “Biarkan aku mencari orang selain diriku. Sesungguhnya kita sedang menghadapi kesimpang-siuran dan ketidak-jelasan. Keadaan yang membuat hati bimbang. Dan akal kebingungan.” Mereka berkata, “Kami bersaksi atas Allah padamu, tidakkah kau lihat kondisi kita sekarang? Bagaimana ancaman terhadap Islam? Tidakkah kau melihat fitnah? Tidakkah engkau takut kepada Allah?”

Ali berkata, “Kutanggapi permintaan kalian. Namun perlu kalian sadari, kalau kupenuhi permintaan kalian, aku berjalan bersama kalian sebatas pengetahuanku. Kalau kalian tidak menaatiku, maka tak ada beda antara aku (sebagai pemimpin) dengan kalian (sebagai rakyat). Ketauhilah, (sebagai seorang pemimpin) akulah orang yang paling didengarkan dan ditaati.” Mendengar Ali mulai menerima, orang-orang pun bubar. Dan mereka akan bertemu keesokan harinya.

Keesokan harinya, di pagi hari Jumat, orang-orang memenuhi masjid untuk membaiat Ali. Setelah itu, Ali naik mimbar. Ia berpidato. Ali berkata, “Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya urusan kalian ini tidak ada seorang pun yang berhak kecuali orang yang memimpin kalian. Kemarin kita berbeda pendapat tentang masalah kepemimpinan ini. Kemarin aku tidak suka mengurusi perkara ini. Namun kalian menolak semua orang kecuali aku. Sadarilah, aku ini hanya sebagai kunci urusan kita bersama. Aku tidak akan mengambil satu dirham pun di belakang kalian. Kalau kalian mau kuserahkan perkara ini pada kalian. Kalau tidak, maka tak ada seorang pun yang mau.” Mereka menjawab, “Kami tetap bersama keputusan kami kemarin (bersamamu).” (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/210).

Ketika umat Islam semakin menegaskan keinginan membaiatnya, Ali berkata, “Lakukan baiat di masjid. Karena baiat padaku tidak akan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dan tidak akan terjadi kecuali atas ridha kaum muslimin.” Kemudian Muhajirin dan Anshar masuk masjid untuk berbaiat. Lalu diikuti oleh masyarakat secara umum (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 7/238)

Awalnya, Ali tidak menyepakati ditunjuk seabgai khalifah. Bahkan beliau benci akan hal itu. Namun setelah menimbang maslahat dan melihat kondisi masyarakat, ia berubah pikiran. Ia ingin agar masyarakat bersatu dan kekacauan mereda. Artinya, ia menjabat bukan karena paksaan para pemberontak. Tapi memang benar-benar keinginan masyarakat. Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan, “Terjadilah pembaiatan Ali. Kalau seandainya ia tidak cepat mengambil keputusan baiat. Pastilah orang yang tidak layak akan menduduki posisi. Ditambah lagi ia mendapat dukungan dari Muhajirin dan Anshar. Sehingga ia memandang wajib untuk memenuhinya. Kepemimpinan itu pun diberikan padanya (Ibnul Atsir: al-Kamil, 3/98).

Ali memulai kepemimpinannya di masa-masa kacau ini. Pikirannya pun tak tenang menghadapi tuntutan qishash terhadap pembunuh Utsman. Tidak diragukan lagi, qishash ini wajib ditegakkan. Dan tidak diragukan lagi, Ali pun berkeinginan untuk menegakkannya. Tapi tidak sesederhana itu masalahnya. Para pemberontak ini tengah mendominasi Madinah. Kalau seandainya ia memaksa untuk menegakkan hukuman sekarang juga, pasti para pemberontak akan melawan. Mereka bukan orang-orang yang bertakwa. Pasti mereka tak segan membunuhi penduduk Madinah dan merampas harta-harta mereka. Inilah alasan mengapa Ali menunda penegakan hukum.

Ali menginginkan agar kondisi Madinah tenang terlebih dahulu. Para pemberontak telah terpisah menuju daerah asal mereka masing-masing. Para pembunuh teridentifikasi secara pasti. Kemudian barulah qishahs ditegakkan. Asy-Sya’bi mengatakan, “Setelah terbunuhnya Utsman, Aisyah berangkat menuju Madinah dari Mekah. Ia berjumpa dengan seseorang kerabatnya. Aisyah bertanya, “Apa yang terjadi di Madinah”? Ia menjawab, “Utsman terbunuh. Dan orang-orang sepakat mengangkat Ali. Kondisi di sana kacau.” (Ibnul Atsir: al-Kamil, 3/107).

Meskipun banyak sahabat yang mendukung Ali, tapi saat itu ada dua kelompok sahabat lainnya yang memiliki pandangan berbeda. Ada yang berpendapat qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera ditegakkan. Inilah pendapatnya Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah, dan az-Zubair bin al-Awwam radhiallahu ‘anhum. Mereka semua sama seperti Ali. Mereka adalah tokoh utama para sahabat. Dan orang-orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelompok lainnya adalah kelompok sahabat sekaligus keluarga Utsman bin Affan. Semisal Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.

Ali mengirim seorang utusan kepada Gubernur Syam, Muawiyah. Ia meminta agar Muawiyah dan penduduk Syam membaiatnya. Tapi, Muawiyah berpandangan -sebagai kerabat Utsman- ia meminta agar penegakan hukum qishash dilakukan terlebih dahulu. Baru ia berbaiat. Atau Ali membiarkan Muawiyah dan penduduk Syam menumpas pembunuh Utsman. Setelah itu, barulah Muawiyah dan penduduk Syam akan berbaiat kepada Ali. Tentu ini melampaui tugas khalifah. Sehingga Ali menolak usulan Muawiyah. Bahkan Ali memandang sikap Muawiyah ini sebagai bentuk pembangkangan. Ali pun mau mencopot Muawiyah dari kepemimpinan wilayah Syam. Ia mengirim Sahl bin Hunaif sebagai gubernur yang baru. Tapi, penduduk Syam sangat mencintai Muawiyah. Ia seorang pemimpin yang adil dan lembut terhadap rakyatnya. Mereka menolak kedatangan Sahl bin Hunaif radhiallahu ‘anhu.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6508-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-3-kekacauan-setelah-wafatnya-utsman.html

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (2): Terbunuhnya Utsman bin Affan

Awal Fitnah

Apa yang disampaikan Hudzaifah bin al-Yaman kepada Umar menunjukkan bahwa para sahabat tahu dengan syahidnya Umar terbukalah pintu fitnah. Karena itulah, Amirul Mukminin Utsman bin Affan cenderung mengambil sikap toleran kepada orang-orang yang menyelisihinya. Banyak meng-iyakan orang-orang yang mengadukan pemimpin daerah mereka. Bahkan saat pemberontak mulai mengincar dirinya. Ingin memakzulkannya dari pucuk pimpinan negara Islam, Utsman berkata kepada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya lingkaran fitnah itu sesuatu yang tak berujung. Beruntunglah Utsman jika dia mati dalam keadaan tidak menggerakkannya. Menghalangi manusia, memberikan hak-hak mereka, dan memaafkan mereka. Dan apabila Anda adalah orang yang menjaga hak-hak Allah, janganlah Anda turut mengobarkan fitnah itu.” (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 2/471).

Para provokator membuat makar yang batil terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Mereka mulai memprovokasi masyarakat mencela kepemimpinanya. Namun Utsman tetap bersabar menghadapi mereka. Di tengah provokator tersebut terdapat seorang yang pandai memantik api. Bersabar menghidupkan amarah masa. Orang tersebut adalah Abdullah bin Saba. Atau yang dikenal dengan Ibnu as-Sauda. Ia menampakkan kesalehan. Namun di hatinya menyimpan kekufuran dan permusuhan terhadap Islam dan pemeluknya.

Abdullah bin Saba menyambangi Basrah. Kota besar di Irak yang dipimpin oleh Abdullah bin Amir. Ibnu Sauda datang menemuinya bersama beberapa orang. Abdullah bin Amir bertanya, “Kamu siapa”? Ibnu Sauda menjawab, “Aku seorang dari ahlul kitab yang tertarik pada Islam. dan aku juga ingin tinggal di kotamu.” Ibnu Amir menanggapi, “Tidak sampai kabar padaku. Usir dia.”

Abdullah bin Saba pun menuju Kufah. Di sana pun ia tertolak dan diusir darinya. Lalu ia berangkat ke Mesir dan menetap di sana. Ia berkorespondensi dengan penduduk setempat. Dan sebagian penduduk Mesir tidak sepakat dengan pemikirannya (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/4).

Abdullah bin Saba terus memprovokasi masa dengan mencela Utsman. Dan ia memuji-muji ahlul bait. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad akan kembali. Sebagaimana kembalinya Isa.” Dari sinilah keyakinan reinkarnasi muncul di tengah orang-orang Syiah. Ia menyebutkan bahwa Ali merupakan orang yang diberi wasiat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan wasiat tersebut disembunyikan. Utman itu menyandang kepemimpinan tanpa alasanyang dibenarkan. Lalu ia memprovokasi masyarakat untuk melakukan makar dan terus mencela para pemimpin (Tarikh Ibnu Khaldun, 2/586).

Abdullah bin Saba adalah tokoh nyata. Dialah yang menggerakkan pemberontakan ini. Kalau disebut sebagai tokoh fiktif, maka siapakah penggerak pemberontakan di zaman Utsman?

Para Pemberontak di Kota Madinah

Surat-menyurat antara para penyulut fitnah di Mesir, Basrah, dan Kufah terus saja berlangsung. Mereka saling menyemangati dan memanas-manasi untuk menentang Utsman. Sampai mereka sepakat untuk datang ke Madinah di musim haji. Di sana mereka akan menyuarakan perlawanan dan penentangan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Sebenarnya, Utsman bin Affan tahu apa yang direncakan para pembuat makar ini. Namun ia lebih memilih memaafkan dan senantiasa bersabar. Ia bantah semua tuduhan dan fitnah. Dan apa yang ia lakukan selalu didukung oleh Muhajirin dan Anshar. Hingga akhirnya para pembuat makar ini sepakat untuk membunuh Utsnam. Dan Utsman tetap pada pendiriannya. Tidak mau menjadi penyulut fitnah. Ia tetap tidak menumpas mereka dengan kekuatan militer. Pemberontak ini datang di musim haji. Mereka menyamar seolah hendak berangkat ke Baitullah menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Mereka berkoordinasi. Saling menyurati. “Waktu berkumpul kita adalah di bulan Syawwal di pinggiran Kota Madinah (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 4/438). Peristiwa ini terjadi pada tahun 35 H.

Sesampainya di Madinah, para pemberontak mengepung kota dan mengepung rumah khalifah. Mereka berdemonstrasi menyuarakan tuduhan dusta terhadap Utsman. Mereka menuntut apa yang mereka inginkan. Utsman dan penduduk Kota Madinah tidak menyangka hal ini terjadi. Ditambah sebagian dari mereka ada yang berangkat ke Mekah untuk berhaji.

Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu membantah tuduhan mereka. Namun api fitnah telah berkobar. Orang-orang yang tak mengerti sudah tersulut emosi. Ikut-ikutan menuntut sesuatu yang tidak mereka mengerti. Mereka lancang memberi pilihan. Lengser dari jabatan khalifah atau mati. Utsman menolak tuntutan mereka. Karena itu yang Nabi pesankan kepadanya. Ditambah lagi kalau keinginan pemberontak ini dituruti, ini akan menjadi tradisi. Setiap orang yang merasa tak cocok dengan khalifah akan menuntut mereka lengser dari jabatannya.

Sang Khalifah telah mendapat kabar, bahwa ia akan menyandang syahid di akhir hayatnya. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di kebun. Beliau duduk di sisi Sumur Aris. Kemudian datang seseorang mengetuk pintu. Abu Musa berkata, “Siapa?” Orang itu menjawab, “Utsman bin Affan.” Abu Musa berkata, “Tunggu. Lalu kutemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kusampaikan Utsman minta izin masuk. Beliau katakan, ‘Izinkan dia. Dan beri kabar gembira surge untuknya karena musibah yang ia hadapi’.” (HR. al-Bukhari (3471, 3492) dan Muslim (2403)).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya juga pernah berwasiat kepada Utsman.

فعن عائشة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دعا عثمان فناجاه فأطال، وإني لم أفهم من قوله يومئذٍ إلا أني سمعته يقول له: “ولا تنزعَنَّ قميص الله الذي قمَّصك”

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Utsman dengan doa yang panjang. kata Aisyah, “Saat itu aku tak memahami apa yang beliau katakan. Tapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Jangan sampai kau lepaskan pakaian yang telah Allah kenakan untukmu’.” (Zhilalul Jannah, 2/328).

Karena itulah, meskipun para demonstran menuntutnya untuk mundur disertai dengan ancaman, Utsman bergeming. Tak menuruti mereka. Beliau teguh dengan pesan nabi. Walaupun nyawa harus dipertaruhkan. Sangat pengepungan semakin ketat, Utsman memanggil Ali, Thalhah, dan Zubair. Utsman muliakan mereka. Lalu berkata, “Duduklah kalian semua.” Yang mau memberontak dan penduduk asli Madinah pun duduk. Utsman berkata, “Penduduk Madinah, aku titipkan kalian kepada Allah. Aku memohon kepada-Nya agar memilihkan khalifah yang berbuat baik kepada kalian sepeninggalku.” Utsman menegaskan, “Aku bersumpah atas nama Allah kepada kalian. Ingatkah kalian, kalian berdoa kepada Allah saat Umar wafat, agar Allah memilihkan untuk kalian dan mengumpulkan urusan kalian kepada orang yang terbaik di tengah kalian”?

“Apakah kalian akan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa kita’, lalu kalian menghinakan pilihan Allah itu, padahal kalian adalah orang yang patut menjaga haknya?

Atau kalian akan mengatakan, ‘Allah tidak peduli dengan agamanya. Dia tidak peduli siapa yang memimpin. Dan agama tidak memecah pemeluknya hari itu’.

Atau kalian akan mengatakan, ‘Ia tidak peduli dengan musyawarah. Ia seorang yang sombong. Allah pun membiarkan umat ini apabilah mereka bermaksiat. Dan mereka tidak bermusyawarah dalam menunjuk pemimpin’. Atau kalian akan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak tahu akhir dari urusanku’. (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Utsman radhiallahu ‘anhu menjelaskan kepada mereka kemuliaan sesuatu yang ingin mereka bunuh. Utman berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah. Tidakkah kalian tahu, usaha kebaikan yang telah kuperbuat? Dan keutamaan yang telah Allah berikan padaku? Itu adalah sesuatu yang wajib bagi orang-orang yang setelahku mengetahui kemuliaanku. Karena itu, tahanlah diri kalian. Jangan sampai kalian membunuhku. Karena tidak halal membunuh kecuali pada tiga orang; seseorang yang telah menikah kemudian berzina, seseorang yang murtad, dan seseorang yang membunuh orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Apabila kalian membunuhku, itu artinya kalian telah menjatuhkan vonis hukuman mati untuk diri kalian sendiri. -Dan pembunuhanku akan mengakibatkan- Allah senantiasa membuat kalian berselisih selama-lamanya.” (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Setelah itu, Utsman tetap tinggal di rumahnya. Ia juga memerintahkan para penduduk Madinah untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka semua pun pulang. Kecuali al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Thalhah, Abdullah bin az-Zubair, dan yang sebaya dengan mereka. Pengepungan terhadap Utsman ini berlangsung selama 40 hari. Beberapa hari kemudian pengepungan kian ketat. Sampai-sampai mereka melarang Utsman untuk keluar rumah. Bahkan untuk mengambil air minum di sumur.

Secara rahasia, Utsman mengirim berita kepada Ali, Thalhah, az-Zubair, dan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para pemberontak ini melarangnya untuk ke mengambil air minum. Utsman meminta kepada mereka, kalau seandainya mereka mampu mengiriminya air, lakukanlah. Ali dan Ummu Habibah adalah orang pertama yang merespon permintaan Utsman. Ali datang di kegelapan malam. Ia berkata, “Hai kalian, apa yang kalian lakukan ini bukan seperti perbuatan orang-orang beriman. Bahkan bukan perbuatan orang kafir sekalipun. Janganlah kalian larang dia untuk mengambil air atau memenuhi kebutuhannya. Karena orang-orang Romawi dan Persia pun kalau mereka menawan seseorang, mereka memberi makan dan minum.”

Mereka menjawab, “Tidak demi Allah. Itu bukan usulan yang bagus.”

Kemudian datang Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menunggangi Bighal. Ia membawa sebuah wadah. Lalu orang-orang itu memukul wajah Bighalnya. Ummu Habibah dan Utsman sama-sama berasal dari Bani Umayyah. Ummu Habibah berkata, “Sesungguhnya wasiat Bani Umayyah ada pada Utsman. Aku ingin memintanya agar harta anak-anak yatim dan para janda tidak sirna.” Mereka berkata, “Engaku dusta.” Lalu mereka potong tali Bighal itu dengan pedang mereka. Bighal itu tersentak lari. Hampir saja Ummu Habibah terjatuh. Lalu orang-orang menjumpai Ummu Habibah dan mengantarkannya ke rumahnya (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Sungguh keterlaluan sekali perlakuan para pemberontak ini. Mereka telah menghina keluarga Rasulullah. Menghina kehormatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Utsman berusaha menasihati mereka. Mengingatkan mereka bahwa beliau adalah seorang yang pertama-tama memeluk Islam. Yang langsung disebutkan pujiannya di dalam Alquran. Ia juga jelaskan kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah sahabat utama Nabi sekaligus menantunya yang menikahir dua orang putri beliau. Utsman berkata, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu bahwa aku adalah orang yang membeli Sumur Rumah dengan hartaku sendiri. Agar orang-orang bisa menikmati airnya.”

Mereka menjawab, “Kami tahu.”

Utsman berkata, “Lalu mengapa kalian menghalangiku untuk minum darinya”?

Utsman kembali mengatakan, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu kalau aku membeli sebidang tanah. Lalu kuinfakkan untuk perluasan masjid”?

Mereka menjawab, “Kami tahu.”

Utsman berkata, “Apakah kalian tahu ada seseorang yang dilarang shalat di dalamnya sebelum diriku ini”?

Utsman berkata lagi, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang diriku demikian dan demikian”? Beliau menyebut pujian Nabi terhadap dirinya.

Para pemberontak ini pun berkata, “Bersikap lembutlah kepada Amirul Mukminin.”

Lalu salah seorang dari mereka yang bernama al-Asytar berkata, “Ia melakukan tipu daya pada kalian.” (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Al-Asytar inilah yang akhirnya membunuh Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Ia tetap menggembosi teman-temannya. Bahkan menghina orang-orang yang bertaubat. Tidak mau lagi terlibat dalam pengepungan.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6502-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-2-terbunuhnya-utsman-bin-affan.html

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (1)

Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi beberapa peristiwa besar di tengah para sahabat beliau. Terjadi pembunuhan, perselisihan, dan fitnah yang ditujukan kepada para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti terjadinya pembunuhan Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Terjadi Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ada pemberontakan Khawarij. Dll. benarlah sabda beliau:

َلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ.

“Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan para shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka.” [HR. Muslim]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penjaga sahabatnya. Sepeninggal beliau terjadilah pembunuhan, tuduhan, dan permusuhan di tengah para sahabatnya.

Kedudukan Sahabat

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan istimewa di hati kaum muslimin. Bagi umat Islam, tidak ada yang berada di atas mereka kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penghormatan itu karena apa yang telah mereka korbankan untuk membela Rasulullah, menyebarkan agama, dan pengorbanan jiwa, harta, waktu, dan tenaga untuk meninggikan syiar Islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah menempatkan mereka di kedudukan yang mulia. Allah Ta’ala memuji mereka dengan firman-Nya,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” [Quran Al-Fath: 29]

Inilah alasan yang membuat umat Islam menaruh rasa hormat yang besar kepada mereka. Mereka tak berani lancang menodai kehormatan mereka walaupun dengan satu kata.

Namun, bukan berarti para sahabat itu maksum. Tapi ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan kedudukan mereka ini menjadi rambu peringatan. Agar seseorang tidak melanggar hak mereka. Kalau mereka menerabas batasan tersebut, maka hal itu menjadi tanda kurangnya kualitas agama mereka.

Imam Malik rahimahullah menyifati orang-orang yang membenci para sahabat, “Mereka adalah orang-orang yang ingin mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi celaan tersebut tak mampu mereka tujukan secara langsung pada beliau. Lalu mereka cela sahabat-sahabatnya. Sehingga orang-orang berkesimpulan, ‘Nabi itu orang tidak baik. Kalau beliau orang yang baik, tentulah sahabatnya pun orang baik-baik’. Padahal para sahabat seluruhnya adalah orang yang membela Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harta dan jiwa mereka. Membantu beliau agar agama ini kuat. Meninggikan kalimat Allah. Dan menyampaikan risalah beliau. Dimana saat itu dakwah Nabi belumlah kokoh dan tersebar. Tentu saja, kalau ada seseorang yang melakukan upaya seperti ini. Kemudian ada yang menyakiti mereka, pastilah temannya akan marah. Karena meyakiti orang-orang yang membelanya sama saja dengan menyakitinya.” [Ibnu Taimiyah: ash-Sharim al-Maslul Hal: 583].

Kisah fitnah di tengah para sahabat ini dimulai di masa pemerintah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Tepatnya setelah enam tahun pemerintahan beliau berjalan. Kemudian berlanjut di masa Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu.

Dengan kedudukan para sahabat di sisi Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin dan pembelaan mereka kepada agama ini, tentu menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk membela mereka tatkala ada yang menyakiti mereka. Wajib bagi kita meluruskan berita tatkala orang-orang mamalsukannya. Kita bela kehormatan mereka dari tuduhan orang-orang munafik dan pengikut hawa nafsu.

Perubahan Kondisi

Setelah wafatnya al-Faruq, Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, terjadilah perubahan kondisi sosial yang besar. Hal ini dilator-belakangi luasnya penaklukkan. Berlimpahnya kas negara dan harta di tengah kaum muslimin. Masuk unsur budaya baru yang datang dari negeri-negeri taklukkan. Dan semua itu terjadi dalam waktunya yang singkat.

Di antara orang-orang yang negerinya ditaklukkan ada yang memeluk Islam dengan tulus. Namun di antara mereka, ada yang masuk Islam hanya menginginkan menjadi duri dalam sekam. Membalas dendam akan kekalahan negeri dan agamanya. Kondisi kedua ini, seperti kondisi sebagian orang-orang Yahudi dan orang-orang Persia. Kemudian diperparah dengan sebagian umat Islam yang mulai condong pada kehidupan dunia dan perhiasannya.

Kondisi ini bertolak belakang dengan keadaan Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Fisik beliau yang sudah mulai menua berhadapan dengan perubahan yang besar. Beliau yang sudah tidak sebugar dulu dihadapkan dengan luasnya wilayah pemerintahan. Beliau khawatir tidak maksimal dalam mengemban amanah kepemimpinan. Lalu beliau berdoa kepada Allah Azza wa Jalla:

اللهم كبُرَت سني، وضعفت قوتي، وانتشرت رعيتي؛ فاقبضني إليك غير مضيِّع ولا مفرط

“Ya Allah, usiaku telah menua. Kekuatanku telah melemah. Sementara tanggung jawabku semakin besar. Angkatlah aku kepadamu (wafatkan) tanpa menyia-nyiakan tugas dan tanpa berlebihan (dalam amanah pen.).” [al-Muwatta bi Riwayati Yahya al-Laitsi, 2/824].

Kondisi masyarakat berubah. Dan kondisi Umar sebagai pemimpin pun berubah. Namun perubahan itu saling berkebalikan dan membuat ketidak-seimbangan. Kemudian di zaman Utsman bin Affan, kondisi masyarakat tak lagi sesoleh orang-orang sebelumnya. Ia memimpin rakyat yang berbeda dengan rakyatnya Umar. Umar memimpin para sahabat. Sedangkan Utsman, mayoritas rakyatnya adalah orang-orang yang tak pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan orang-orang yang lahir dari pendidikan nubuwah. Bahkan sebagian mereka memiliki hasrat besar terhadap dunia. Dunia menguasai hati mereka. Dan harta daerah taklukkan membuat mereka mauk kepalang. Kondisi demikian pastilah memuncullah fitnah dan ketidak-stabilan.

Sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan hal ini. Dari Syaqib bin Salamah dia berkata,

سَمِعْتُ حُذَيْفَةَ يَقُولُ بَيْنَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ عُمَرَ إِذْ قَالَ أَيُّكُمْ يَحْفَظُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ قَالَ فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ لَيْسَ عَنْ هٰذَا أَسْأَلُكَ وَلٰكِنْ الَّتِي تَمُوجُ كَمَوْجِ الْبَحْرِ قَالَ لَيْسَ عَلَيْكَ مِنْهَا بَأْسٌ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا قَالَ عُمَرُ أَيُكْسَرُ الْبَابُ أَمْ يُفْتَحُ قَالَ بَلْ يُكْسَرُ قَالَ عُمَرُ إِذًا لَا يُغْلَقَ أَبَدًا قُلْتُ أَجَلْ قُلْنَا لِحُذَيْفَةَ أَكَانَ عُمَرُ يَعْلَمُ الْبَابَ قَالَ نَعَمْ كَمَا يَعْلَمُ أَنَّ دُونَ غَدٍ لَيْلَةً وَذٰلِكَ أَنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِالْأَغَالِيطِ فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَهُ مَنْ الْبَابُ فَأَمَرْنَا مَسْرُوقًا فَسَأَلَهُ فَقَالَ مَنِ الْبَابُ قَالَ عُمَرُ

“Aku mendengar Hudzaifah menuturkan, ‘Ketika kami duduk-duduk bersama ‘Umar, tiba-tiba ia bertanya, “Siapa di antara kalian yang menghafal sabda Nabi ﷺ tentang fitnah?” Maka Hudzaifah menjawab, “Fitnah seseorang di keluarganya, hartanya, dan anaknya serta tetangganya bisa terhapus oleh shalat, sedekah, dan amar makruf nahi mungkar.” ‘Umar berkata, “Bukan tentang ini yang aku tanyakan kepadamu akan tetapi tentang (fitnah) yang bergelombang seperti gelombang lautan.” Hudzaifah berkata, “Kamu tidak terkena dampaknya dari fitnah itu, ya Amirulmukminin, sebab antara kamu dan fitnah itu terdapat pintu tertutup.” ‘Umar bertanya, “Apakah pintunya dipecahkan atau dibuka?” Hudzaifah menjawab, “Bahkan dipecahkan.” Maka ‘Umar berkata, “Kalau begitu tidak ditutup selama-lamanya.” Aku menjawab, “Betul”.’ Saya bertanya kepada Hudzaifah, ‘Apakah ‘Umar mengetahui pintu itu?’ Hudzaifah menjawab, ‘Ya, sebagaimana ia mengetahui bahwa setelah esok ada malam, yang demikian itu karena aku menceritakan hadits kepadanya tanpa kekeliruan.’ Maka kami khawatir untuk menanyakan kepada Hudzaifah siapa pintu sebenarnya. Lalu kami perintahkan kepada Masruq untuk bertanya kepada Hudzaifah, (siapakah pintu itu), Hudzaifah menjawab, ‘ ‘Umar.’” [Muttafaq ‘Alaih, Shaḥiḥ al-Bukhari, no. 7096 dan Shaḥiḥ Muslim, no. 144].

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6499-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-1.html

Kisah Sahabat yang Jenazahnya Dilindungi Lebah

DIRIWAYATKAN dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus 10 mata-mata yang dipimpin Ashim bin Tsabit al-Anshari kakek Ashim bin al-Khaththab. Ketika mereka tiba di daerah Huddah antara Asafan dan Makkah mereka berhenti di sebuah kampung suku Hudhail yang biasa disebut sebagai Bani Luhayan. Kemudian Bani Luhayan mengirim sekitar 100 orang ahli panah untuk mengejar para mata-mata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berhasil menemukan sisa makanan berupa biji kurma yang mereka makan di tempat istirahat itu. Mereka berkata, Ini adalah biji kurma Madinah, kita harus mengikuti jejak mereka.

Ashim merasa rombongannya diikuti Bani Luhayan, kemudian mereka berlindung di sebuah kebun. Bani Luhayan berkata, Turun dan menyerahlah, kami akan membuat perjanjian dan tidak akan membunuh salah seorang di antara kalian. Ashim bin Tsabit berkata, Aku tidak akan menyerahkan diri pada orang kafir. Lalu memanjatkan doa, Ya Allah, beritakan kondisi kami ini kepada Nabi-Mu shallallahu alaihi wa sallam. Rombongan Bani Luhayan melempari utusan Rasulullah dengan tombak, sehingga Ashim pun terbunuh. Utusan Rasulullah tinggal tiga orang, mereka setuju untuk membuat perjanjian. Mereka itu adalah Hubaib, Zaid bin Dasnah dan seorang lelaki yang kemudian ditombak pula setelah mengikatnya. Laki-laki yang ketiga itu berkata, Ini adalah penghianatan pertama. Demi Allah, aku tidak akan berkompromi kepadamu karena aku telah memiliki teladan (sahabat-sahabatku yang terbunuh).

Kemudian rombongan Bani Hudhail membawa pergi Hubaib dan Zaid bin Dasnah, mereka berdua dijual. Ini terjadi setelah peperangan Badar. Adalah Bani Harits bin Amr bin Nufail yang membeli Hubaib. Karena Hubaib adalah orang yang membunuh al-Harits bin Amir pada peperangan Badar. Kini Hubaib menjadi tawanan Bani al-Harits yang telah bersepakat untuk membunuhnya. Pada suatu hari Hubaib meminjam pisau silet dari salah seorang anak perempuan al-Harits untuk mencukur kumisnya, perempuan itu meminjaminya. Tiba-tiba anak laki-laki perempuan itu mendekati Hubaib bahkan duduk dipangkuannya tanpa sepengetahuan ibunya. Sementara tangan kanan Hubaib memegang silet. Wanita itu berkata, Aku sangat kaget. Hubaib pun mengetahui yang kualami. Hubaib berkata, Apakah kamu khawatir aku akan membunuh anakmu? Aku tidak mungkin membunuhnya.

Wanita itu berkata, Demi Allah aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Hubaib. Dan demi Allah pada suatu hari, aku melihat Hubaib makan setangkai anggur dari tangannya padahal kedua tangannya dibelenggu dengan besi, sementara di Makkah sedang tidak musim buah. Sungguh itu merupakan rizki yang dianugrahkan Allah kepada Hubaib. Ketika Bani al-Harits membawa keluar Hubaib dari tanah haram untuk membunuhnya, Hubaib berkata, Berilah aku kesempatan untuk mengerjakan shalat dua rakaat. Mereka mengizinkan shalat dua rakaat. Hubaib berkata, Demi Allah, sekiranya kalian tidak menuduhku berputus asa pasti aku menambah shalatku. Lalu Hubaib memanjatkan doa, Ya Allah, susutkanlah jumlah bilangan mereka, musnahkanlah mereka, sehingga tidak ada seorang pun dari keturunannya yang hidup, lalu mengucapkan syair:

 

 

Mati bagiku bukan masalah, selama aku mati dalam keadaan Islam
Dengan cara apa saja Allahlah tempat kembaliku
Semua itu aku kurbankan demi Engkau Ya Allah
Jika Engkau berkenan,
berkahilah aku berada dalam tembolok burung karena lukaku (syahid)

Lalu Abu Sirwaah Uqbah bin Harits tampil untuk membunuh Hubaib. Hubaib adalah orang Islam pertama yang dibunuh dan sebelum dibunuh melakukan shalat. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memberitahu para sahabat pada hari disiksanya Hubaib, bahwa kaum Quraisy mengutus beberapa orang untuk mencari bukti bahwa Ashim bin Tsabit telah terbunuh dalam peristiwa itu, mereka mencari potongan tubuh Ashim. Karena Ashim adalah yang membunuh salah seorang pembesar Quraisy. Tetapi Allah melindungi jenazah Ashim dengan mengirim sejenis sekawanan lebah yang melindungi jenazah Ashim, sehingga orang-orang itu tidak berhasil memotong bagian tubuh jenazah Ashim sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari, no. 3989; Abu Dawud, no. 2660.)

 

 

[Sumber: 99 Kisah Orang Shalih (alsofwah.or.id)]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2369054/kisah-sahabat-yang-jenazahnya-dilindungi-lebah#sthash.Oh3d7vt9.dpuf