Mengetahui Sifat-Sifat Allah

Salah satu kitab kuning yang membahas tentang aqidah ini adalah ‘Aqidah Al-Awwam karya Sayyid Ahmad Al-Marzuki Al-Maliki, yang ditulis pada tahun 1258 H. Kitab ini terdiri dari beberapa bab (pasal). Bab pertama membahas tentang Sifat-sifat yang wajib dimiliki Allah, sifat jaiz (boleh) dan mustahil bagi Allah. Jumlahnya ada 41 sifat yang terdiri atas 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan satu sifat jaiz bagi Allah.

Karena itu, menurut pengarang kitab ini, wajib hukumnya bagi orang mukallaf (orang yang terbebani hukum syariat) untuk mengetahui sifat-sifat Allah tersebut. Ke-20 sifat wajib bagi Allah adalah : wujud (ada; (QS Thaha:14, Al- Rum:8, Al-Hadid:3), qodim (terdahulu), baqa’ (kekal; QS Ar Rohman: 26-27 dan Al-Qashas : 4), Mukhalafatuhu li al-Hawaditsi (berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya; (QS As Syuro;11, Al-Ikhlas:4), Qiyamuhu bi Nafsihi (berdiri sendiri; QS Thoha:111, Al-Faathir:15 dan Al-Ankabut:6), Wahdaniyah (Maha Esa; QS Al-Ikhlash:1-4, Az Zumar:4), Qudrah (Maha Berkuasa; QS An-Nur:45, Al-Faathir:44), Iradah (Maha Berkehendak; QS An-Nahl;40, Al-Qashash:68), ‘Ilmu (Maha Mengetahui; QS.Ali Imran:26, Asy-Syuura:94-50, Al-Mujadalah:7), Hayyu (Maha Hidup; QS Al-Furqon:58, Al-Mu’min:65, Thaha:111), Sama’ (Maha Mendengar; (QS.Al-Mujadalah:1, Thaha:43-46)), Bashar (Maha Melihat; (QS Al-Mujadalah:1, Thaha : 43-46), Kalam (Maha Berbicara; QS. An Nisa:164, Al-A’raaf:143). Kemudian Qodirun (Berkuasa), Muridun (Berkendak), ‘Aliman (Mengetahui, Berilmu), Hayyan (Hidup), Sami’an (Mendengar), Bashiran (Melihat), Mutakalliman (Berbicara).

Ke-20 sifat tersebut terbagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu Nafsiyah (jiwa, sifat wujud), salbiyah (meniadakan: Qidam, Baqa’, Mukholafatuhu Lilhawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniyah), Ma’any (karena sifat ini menetapkan pada Allah makna Wujudnya yang menetap pada Zat-nya yang sesuai dengan kesempurnaannya. Sifat Ma’ani ini ada tujuh yaitu sifat berkuasa, berkehendak, berilmu, hidup, mendengar, melihat dan berbicara. Sedangkan yang terakhir adalah sifat Ma’nawiyah, yang bernisbat pada sifat ma’ani yang merupakan cabang dari sifat ma’nawiyah. Disebut ma’nawiyah karena sifat itu menetap pada sifat ma’ani, yaitu bahwa Allah Maha berkuasa, berkehendak, berilmu, hidup, mendengar, melihat, dan berbicara.

Sementara itu, lawan dari sifat wajib adalah mustahil. Ke-20 sifat mustahil bagi Allah itu adalah ‘Adam (tidak ada); Hudust (baru); Fana (rusak); Mumatsilah lilhawaditsi (sama dengan makhluknya); A’damu Qiyamuhu binafsihi (tidak berdiri sendiri); Ta’dud (berbilang); A’juzn (dlaif; lemah); Karahah (terpaksa); Jahlun (bodoh); Mautun (mati); Shomamun (tuli); ‘Umyun (buta); Bukmun (bisu); Kaunuhu A’jizan (Dzat yang lemah); Kaunuhu Kaarihan (Dzat yang terpaksa); Kaunuhu Jaahilan (Dzat yang bodoh); Kaunuhu Mayyitan (Dzat yang mati); Kaunuhu Ashomma (Dzat yang tuli); Kaunuhu A’maa (Dzat yang buta); Kaunuhu Abkamu (Dzat yang bisu).

Sedangkan sifat Jaiz (boleh) bagi Allah Ta’ala adalah sesuatu yang akan diciptakan tergantung pada Allah, apakah akan diciptakan atau tidak. Pengarang Nadhom (Al-Marzuky) berkata : Dengan karunia dan keadilanNya, Allah memiliki sifat boleh (wenang) yaitu boleh mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Keterangan ini berdasarkan firman Allah: “Dan Tuhanmu menetapkan apa yang Dia kehendakidan memilihnya, tidak ada pilihan bagi mereka” (QS Al-Qashash:68 dan Al-Baqarah:284).

Pasal kedua kitab ini membahas tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi dan Rasul serta jumlah Nabi dan Rasul. Adapun sifat itu adalah sifat wajib, mustahil dan boleh (jaiz). Sifat wajib itu adalah Fathonah (cerdas) lawannya adalah baladah (bodoh), Siddiq (jujur) lawannya Kidzib (bohong), Tabligh (menyampaikan risalah atau wahyu) lawannya adalah Kitman (menyembunyikan atau menyimpan) dan Amanah (dapat dipercaya) lawannya Khianat (tidak dapat dipercaya).

Dan sifat Jaiz pada haknya para Nabi dan Rasul adalah adanya sifat-sifat (yang bisa terjadi) pada manusia yanag tidak menyebabkan terjadinya pengurangan pada martabat (kedudukan) mereka (Nabi dan Rasul) yang tinggi.

Dari keterangan ini, maka lengkaplah aqidah yang perlu diketahui setiap orang Islam tentang sifat-sifat Allah dan Rasul-rasulnya yang berjumlah 50 sifat, yaitu sifat Wajib bagi Allah (20), mutahil (20), Wajib bagi Rasul (4), sifat mustahil bagik rasul (4) dan sifat Jaiz bagi Allah dan Rasul (masing-masing 1 sifat).

 

REPUBLIKA

Urgensi Takwa

Dalam kitabnya, Kifayat al-Atqiya’ Wa Minhaj al-Ashfiya karya Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi menyatakan hal terpenting yang mesti dipahami sebelum memasuki ranah pengertian ‘trilogi piramida’ tasawuf adalah memperjelas arti takwa. Tampaknya, baik sang penulis syair sendiri, Sayid Zainuddin, ataupun pensyarah Sayid Bakari sepakat akan hal itu.

Alhasil, bahasan pertama kali yang diuraikan penulis dalam kitab ini ialah bab tentang takwa. Sebelumnya, Sayid Bakari membahas makna basmalah, hamdalah, dan shalawat di mukadimah syair.

Sayid Bakari menjelaskan, bagi  para salik yang hendak meniti tangga menuju akhirat maka takwa adalah titian pertama dan paling mendasar. Uraian ini dipergunakan untuk memperjelas syair yang berbunyi:

“Taqwa al ilahi madaru kulli saadatin tiba’u ahwa ra’su syarrin habaila.” (Takwa kepada Allah pusat segala kebahagiaan dan mengikuti hawa nafsu pangkal keburukan).

Takwa merupakan dasar terpenting yang mengumpulkan semua kebaikan baik dunia ataupun akhirat. Tak pelak, sejumlah kalangan pun lantas mencoba memberikan definisi yang komprehensif tentang pengertian takwa.

Namun, kata takwa sendiri secara umum sering diartikan sebagai bentuk ketaatan atas perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara lahir dan batin. Sikap tersebut mesti disertai pula rasa pengagungan, tunduk, dan takut terhadap Allah.

Terdapat pula pengertian takwa yang menurut sejumlah kalangan cukup disederhanakan dengan definisi menghindari apa pun selain ridha Allah. Ada juga yang memahami takwa dengan menjauhi tiap tindakan dosa yang dilarang agama.

Mengutip perkataan an-Nashr Abadzi, Sayid Bakari menjelaskan, siapa pun yang membumikan sikap takwa maka kecenderungan yang ada di hadapannya tak lain hanyalah keinginan menjauhi dunia yang fana. Hal ini disebabkan oleh keyakinan yang amat mendalam akan janji Allah.

Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memahaminya? (QS al-An’am [6]: 32). Wasiat senantasia bertakwa tak terbatas pada umat Islam saja, tetapi juga pernah ditujukan kepada para umat terdahulu.

Sayid Bakari mengemukakan, takwa menuntut seseorang untuk menjauhi hawa nafsu yang kerap dipenuhi oleh tipu daya setan. Akibatnya, kepatuhan terhadap nafsu berakibat pada kebinasaan. Bahkan, Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, pernah mengingatkan umatnya agar tidak teperdaya oleh nafsu setan.

 

REPUBLIKA

Dua Perkara yang Dikhawatirkan Rasulullah

Dalam kitab Kifayat al-Atqiya’ Wa Minhaj al-Ashfiya, Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi menilai, takwa menuntut seseorang untuk menjauhi hawa nafsu yang kerap dipenuhi oleh tipu daya setan.

Akibatnya, kepatuhan terhadap nafsu berakibat pada kebinasaan. Bahkan, Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, pernah mengingatkan umatnya agar tidak teperdaya oleh nafsu setan.

Ada dua perkara yang paling dikhawatirkan Rasulullah akan menghinggapi pribadi Muslim, yaitu mengikuti hawa nafsu dan thul al-amal (banyak angan-angan). Hawa nafsu dapat mengarahkan seorang Muslim jauh dari kebenaran. Sedangkan, pengharapan berlebihan (banyak angan-angan), mengakibatkan lalai akan kehidupan akhirat. Apalagi, setan akan terus melakukan tipu daya dan menebarkan bisikan jahat kepada anak Adam.

Alkisah, iblis pernah menampakkan diri di hadapan Nabi Yahya AS dengan membawa rantai yang dikalungkan di tubuhnya. Nabi Yahya pun bertanya, ihwal benda tersebut. Iblis menjawab, Ini adalah syahwat yang dibelenggukan kepada anak Adam.

Dari sinilah maka dapat disimpulkan, kata Sayid Bakari, kunci menggapai kebahagiaan dan kebaikan adalah melawan kedua perkara yang diperingatkan Rasulullah tersebut. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. (QS an-Naziaat [79]: 40).

 

REPUBLIKA

Sabilal Muhtadin Rujukan Umat Islam di Tanah Air

Ulama asal Nusantara banyak yang menjadi ulama besar di dunia. Karya-karyanya menjadi rujukan umat. Namun, terkadang tak sedikit umat Islam di Indonesia mengenal ulama Nusantara dan karyanya yang mendunia.

Salah satu karya besar dalam bidang fikih utamanya Mazhab Syafi’i adalah kitab Sabilal Muhtadin. Kitab ini ditulis oleh ulama besar asal Banjar, Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sabilal Muhtadin sangat terkenal pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Kitab ini tak hanya menjadi rujukan umat Islam di Tanah Air, namun juga dipelajari dan diajarkan di Masjidil Haram, Makkah, juga Malaysia dan Thailand. Kitab ini diajarkan oleh para ulama asal Melayu kepada orang-orang Melayu yang datang ke Makkah sebelum mereka mahir berbahasa Arab.

Sabilal Muhtadin ditulis dengan aksara Arab ber bahasa Melayu. Kitab ini adalah kitab kedua yang ditulis dengan gaya bahasa Arab pegon setelah Sirat al-Mustaqim karya Syekh Nuruddin ar-Raniri dari Aceh.

Sabilal Muhtadin adalah kitab fikih ibadah. Kitab ini dibagi dalam dua jilid. Jilid pertama diawali dengan mukadimah, pembahasan soal bersuci di bagian pertama dan diakhiri soal hal-hal yang makruh dalam shalat.

Sementara, jilid kedua diawali pembahasan tentang sujud sahwi dan diakhiri dengan al at’imah yang membahas tentang halal dan haram makanan. Tebal kitab ini 524 halaman dengan rincian jilid pertama 252 halaman dan 272 halaman di jilid kedua. Syekh Arsyad al-Banjari mulai menulis kitab ini atas anjuran Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah yang memerintah di Kesultanan Islam Banjar (1778- 1808).

 

Disarikan Dialog Jumat Republika

Menjernihkan Pikiran Manusia

Ciptaan Allah juga berfungsi untuk menjernihkan pikiran manusia. Memandangi dan menikmati ciptaan Allah terasa lebih menenangkan hati bila dibandingkan karya manusia.

Al-Ghazali mencontohkan singgasana raja yang mewah dan terbuat dari perhiasan mahal. Seseorang yang memandangi singgasana itu akan terpesona.

Namun, jika memandangi hal itu berkalikali, tentu akan membosankan. Orang akan mengalihkan pandangannya ke hal lain.

Bedakan dengan memandangi ciptaan Allah berupa langit. Ketika memandangi langit, seseorang akan merenungkan kekua saan Allah yang melampaui batas manusia. Dia melihat awan berarak di langit biru. Belum lagi mentari yang begitu cerah me nyinari bumi. Makhluk apa yang mampu menciptakan itu semua? Tidak ada. Itu ada lah karya Sang Pencipta yang tak tertandingi.

Memandangi langit membuat manusia menyadari dirinya sangat kecil bila dibandingkan ciptaan lainnya. Langit sangat tinggi sehingga tidak mungkin siapa pun mampu menjangkaunya tanpa bantuan makhluk lain.

Meskipun langit begitu besar, ternyata itu belum seberapa bila dibanding dengan ukur an makhluk Allah lainnya. Al-Ghazali mencontohkan, malaikat Israfil yang meniup sangkakala, kakinya menancap ke permukaan bumi yang paling bawah. Badannya sangat besar dan tinggi.

Ukuran itu pun masih kalah dengan arasy atau singgasana Allah yang jauh lebih besar lagi. Gambaran itu menunjukkan ukuran manusia tidak ada apa-apanya. Sangat tidak layak manusia bersombong, meng anggap dirinya besar. Sikap tersebut ha nya la yak dimiliki Sang Pencipta yang bergelar al-Mutakabbir.

Merenungkan ciptaan Allah merupakan jalan menuju penghayatan akan kebesaran Sang Pencipta. Hal itu membuat siapa pun merasa dekat dengan-Nya. Al- Gha zali menjelaskan, barang siapa melihat kerajaan langit dan bumi dengan akal dan pikirannya, niscaya ia akan mengenal Tuhan dan mengagungkannya.

Hujjatul Islam menyadari, ada saja orang yang meragukan, bahkan menafikan kehadiran Allah, tapi hal itu tidak akan terjadi bila seseorang terus menghayati hikmah penciptaan makhluk Allah. Ketika selalu menghayati hikmah itu, hati akan sampai kepada kesimpulan bahwa Allah Mahabesar dan Mahabenar dengan segala firman-Nya.

Setiap makhluk hidup ada dalam ber bagai tingkatan berbeda. Semuanya ber gantung pada cahaya akal dan hidayah. De ngan membaca dan memahami Alquran ser ta ketundukan kepada Allah, seseorang akan semakin mengenal dan meyakini Allah.

 

REPUBLIKA

Al Hikmah Fi Makhluqatillah Menghayati Keagungan Ilahi

Alam menyatukan semua makhluk. Mereka bercengkerama, berinteraksi, dengan memanfaatkan apa yang ada di dalamnya. Meski ada banyak makhluk berbeda, mereka tetap ada dalam kesatuan. Semuanya menggambarkan kehidupan yang tidak berjalan otomatis. Ada yang menggerakkan mereka, yaitu Allah.

Alam seperti rumah yang kokoh. Di dalamnya terdapat segala hal yang dibutuhkan. Langit menjulang tinggi seperti atap. Bumi terbentang layaknya karpet. Bintang ber kelap-kelip bagaikan lampu. Ada banyak ciptaan di dunia ini.

Saking banyaknya, manusia kesulitan untuk menghitung ciptaan Allah satu per satu. Jangankan menghitung semuanya, sekiranya semua makhluk bersatu untuk mendalami hikmah di balik penciptaan satu makhluk saja, sungguh mereka tidak akan mampu.

Itulah tulisan Hujjatul Islam al-Ghazali dalam bukunya al-Hikmah fi Makhluqatillah yang menggambarkan betapa hebatnya ciptaan Allah. Buku yang berarti hikmah penciptaan Allah itu disajikan dalam narasi reflektif yang mengha nyutkan pembacanya kedalam alam pencip taan.

Ketika membaca bab hikmah tentang penciptaan ikan, misalkan, al-Ghazali meng arahkan pembacanya untuk mengamati keindahan ikan-ikan yang berenang di lautan luas. Pembaca seakan diajak menyelam ke dalam laut untuk menyaksikan dengan sendirinya bagaimana ikan-ikan itu berkembang biak, seperti apa rupanya, dan ada makhluk apa saja selain ikan yang hi dup di dalam laut.

Ikan memiliki sirip dan ekor yang bergoyang-goyang sehingga membuatnya dapat berenang. Makhluk itu dapat berkembang biak dengan cepat. Hanya dengan sekali kehamilan, ikan dapat melahirkan banyak anak yang tidak memerlukan pengasuhan karena anak-anak itu dapat langsung hidup dengan sendirinya. Apa hikmah di balik itu?

Menurut Hujjatul Islam, jumlah mereka akan selalu banyak karena satu dan lainnya saling memakan. Selain itu, manusia dan hewan di darat juga menyukai daging ikan.

Itu baru satu. Masih ada 14 hikmah lain nya yang kaya dengan penjelasan tentang ciptaan Allah. Siapa pun yang membacanya akan berpikir bahwa ciptaan tersebut tidak mungkin hadir begitu saja. Ada yang mendesainnya dengan sangat apik sehingga hidup dan berkaitan dengan makhluk lainnya.

 

REPUBLIKA