Haji dan Transendensi Makna Hidup (2)

oleh Komaruddin Hidayat

Dengan menjabat tangan Tuhan,  seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Kekayaan, kepintaran, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga, semuanya akan bermakna selama mendekatkan pemiliknya untuk meningkatkan amal kebajikannya sebagai manifestasi rasa syukur atas segala rahmat Tuhan yang dilimpahkan kepadanya.

Dalam suasana batin di mana ‘aku’ dan ‘Engkau’, tak ada lagi jarak yang menghalangi, seorang Muslim yang tengah menunaikan ibadah haji biasanya mencurahkan segala isi hatinya,  untuk bersyukur, memohon ampun, pertolongan ataupun kekuatan untuk menjalani hidup selanjutnya. Makna dan hikmah thawaf yang sejati, oleh karenanya, adalah juga berupa thawaf menjalani siklus kehidupan dari hari ke hari ini.

Sebagaimana thawaf di Makkah, agar aktivitas sehari-hari ini menjadi bermakna maka secara psikologis hendaknya kita mampu mengambil jarak dari rutinitas yang membelenggu. Kita transendensikan semua aktivitas ini sehingga hati nurani memiliki ketajaman untuk membedakan manakah tindakan yang bermakna dan manakah yang menggerogoti harkat kemanusiaan kita.

Wuquf (berdiam diri secara khusyuk) di Arafah, yang merupakan puncak ibadah haji, tak lain adalah semacam meditasi, merenungkan eksistensi dan posisi kemanusiaan kita di hadapan Sang Pencipta dan alam semesta. Dengan wuquf, diharapkan seorang Muslim mendapatkan makrifah atau the wisdom of life sehingga dengan demikian ketika kembali ke tanah airnya masing-masing telah lahir manusia baru yang penuh kearifan hidup.

 

sumber: Republika Online

Haji dan Transendensi Makna Hidup (1)

oleh Komaruddin Hidayat

Begitu siap dengan pakaian ihram, jamaah haji lalu membaca talbiyah, yaitu pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Tuhan. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku – Engkau”, dan segala urusan duniawi ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transendental secara intens. Pikiran, perasaan, ucapan dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah.

Ketika mengenakan pakaian ihram, seseorang tak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh bercermin, tidak boleh membunuh hewan, merusak pepohonan, tidak juga melakukan hubungan seksual. Pendeknya berbagai nafsu egoistik ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan mikraj, mendekati Sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi tangguh, sebuah pribadi yang darinya terpancar sifat-sifat Ilahi.

Upaya mendekati, bahkan memeluk Tuhan ini lalu secara simbolik diperagakan dalam thawaf, yaitu berputar mengelilingi Ka’bah. Batu Hitam (Hajar Aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan thawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah) untuk melakukan audiensi.

Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang Muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada “di seberang sana”, kampung akhirat. Dengan menjabat tangan Tuhan seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

 

sumber: Republika Online