Jangan Abai dalam Bermuhasabah

Muhasabah atau mengevaluasi diri sendiri perlu kita lakukan setiap saat, terlebih pada saat pergantian tahun Hijriyah seperti sekarang ini. Kita tak boleh bertindak lengah dan abai dalam bermuhasabah. Dengan bermuhasabah, kita menjadi lebih tahu diri dan tak telanjur berlarut-larut membuat kesalahan yang akan menimbulkan berbagai penyesalan yang tiada berguna.

Introspeksi dan mawas diri harus secepatnya dilakukan. Terkait hal ini, Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Perhitungkanlah dirimu sebelum kamu diperhitungkan oleh Allah dan timbanglah dahulu amalannya sebelum ditimbang di hari qiyamah.”

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban, “Bila engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu-nunggu datangnya waktu sore, dan jika engkau berada di waktu sore jangan pula menunggu datangnya waktu pagi. Ambillah kemanfaatan sewaktu hidupmu ini untuk mempersiapkan bekal kematianmu, dan sewaktu engkau masih sehat untuk bekal di waktu sakitmu.

Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menekankan perlunya evaluasi terhadap diri sendiri. Muhasabah dinyatakan bagai seorang pedagang yang memperhitungkan harta perniagaannya, ia perlu meneliti kembali modal asalnya, kemudian keuntungan atau kerugiannya, sehingga dapat diketahui secara jelas apakah harta perniagaannya bertambah atau berkurang.

Apabila bertambah, harta perlu disyukuri dan apabila berkurang, harta perlu diteliti dan diselidiki latar belakang kekurangan tersebut dan diusahakan bagaimana cara penanggulangannya.

Menurut Imam Al-Ghazali, orang yang beragama diibaratkan sebagai pedagang. Modal pokok seseorang beragama adalah amalan-amalan yang wajib. Keuntungannya adalah amalan-amalan yang sunah. Adapun kerugian-kerugiannya bagi orang yang beragama itu adalah perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dilarang agama.

Pertama-tama, hendaklah dibuat perhitungan tentang ibadah-ibadah wajib. Jika ibadah wajib  telah dikerjakan sebagaimana mestinya, bersyukurlah kepada Allah SWT. Dengan suatu harapan kepada-Nya, semoga untuk selanjutnya kita tetap senang berbuat dan beribadah sebagaimana yang sudah-sudah, sambil terus meningkatkan mutu dan kualitas ibadah tersebut.

Namun, apabila dalam mengerjakan ibadah-ibadah wajib itu masih terdapat kekurangan, hendaklah kita tutupi kekurangan-kekurangan tersebut dalam menunaikan ibadah-ibadah wajib itu, lebih baik lagi disertai memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunah. Mengerjakan ibadah-ibadah sunah tidak hanya dikerjakan sebagai penutup kekurangan-kekurangan di dalam mengerjakan ibadah wajib, tetapi ibadah sunah itu dikerjakan sebagai bekal dan keuntungan kita kelak.

Kemudian, apabila kita merasa telah berbuat kemaksiatan, bersegeralah bertobat kepada Allah dengan penyesalan yang mendalam dan bertekad tidak akan mengulangi perbuatan maksiat tersebut untuk selama-lamanya.

Allah  SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu menutupi kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai.” (QS At-Tahrim [66] :8)

Bulan Muharram merupakan momentum untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Mari kita bersihkan akidah kita dari berbagai sikap dan perkataan yang menjurus pada kemusyrikan. Kita sirnakan dendam kesumat dan buruk sangka terhadap orang lain, sehingga apa yang kita harapkan dari-Nya cepat atau lambat akan terwujud, sesuai dengan permohonan kita setiap saat.

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka.” (QS Al-Baqarah [2)] :201). Semoga.

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

sumber: Republika Online