Peran Tasawuf dalam Pencegahan Korupsi: Menyucikan Hati dan Menyelamatkan Bangsa

Korupsi merupakan penyakit sosial yang merusak fondasi keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan masyarakat. Korupsi juga sering disebut dengan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime karena efek yang ditimbulkannya yang luar biasa.

Dalam konteks ini, tasawuf, sebagai dimensi spiritualitas dalam Islam, dapat memainkan peran yang signifikan dalam upaya pencegahan korupsi. Tasawuf bukan hanya sekadar praktik ibadah, tetapi juga merupakan jalan untuk menyucikan hati, membentuk karakter yang baik, dan menciptakan masyarakat yang adil. Berikut adalah beberapa cara di mana tasawuf dapat memberikan kontribusi dalam upaya pencegahan korupsi.

  1. Penekanan pada Ketakwaan dan Keadilan

Tasawuf mengajarkan pentingnya ketakwaan kepada Allah dan keadilan sebagai prinsip utama dalam kehidupan. Dengan mengutamakan ketakwaan, seseorang akan lebih cenderung untuk menolak perilaku koruptif karena menyadari bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai spiritual dan moral.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu menurut Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (Al-Hujurat, 49:13)

  1. Membentuk Akhlak Mulia

Pengembangan akhlak mulia seperti jujur, amanah, dan bertanggung jawab adalah fokus utama dalam pendekatan tasawuf. Dengan membentuk akhlak yang baik, individu akan lebih mampu menolak godaan korupsi dan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya engkau berbudi pekerti yang agung.” Ayat ini menegaskan bahwa karakter dan akhlak yang baik adalah hal yang luhur dan penting dalam ajaran Islam. Ketika seseorang menerapkan hal ini maka dipastikan tidak akan terjerumus melakukan korupsi

  1. Mengajarkan Kesederhanaan

Tasawuf mendorong praktik kesederhanaan dan menekankan pentingnya tidak terjebak dalam keinginan duniawi yang berlebihan. Kesederhanaan ini dapat mengurangi dorongan untuk terlibat dalam praktik koruptif demi memperoleh kekayaan atau keuntungan pribadi.

Dalam Hadist, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Kemewahan dan kekayaan tidaklah datang dari banyaknya harta, tetapi kemewahan dan kekayaan adalah datang dari hati yang tenang dan jiwa yang lapang.” (H.R Bukhari).

  1. Memupuk Rasa Empati

Tasawuf mengajarkan keberpihakan kepada sesama dan memupuk rasa empati terhadap orang lain. Dengan memiliki rasa empati, individu cenderung lebih peduli terhadap kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak mudah terlibat dalam tindakan korupsi yang merugikan banyak orang.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan dari yang buruk itu, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadap nya.” (Al-Baqarah, 2:267)

  1. Mendorong Akuntabilitas Diri

Tasawuf mengajarkan konsep muhasabah (introspeksi diri) yang berarti mengkaji dan mengevaluasi perbuatan diri sendiri secara berkala. Dengan melakukan muhasabah, individu akan lebih aware terhadap perbuatan koruptif yang mungkin dilakukan dan lebih bertanggung jawab terhadap tindakan mereka.

Sebagaimama dalam hadist, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam: “Perhitungan diri sebelum dihisab, dan kamu akan mendapatkan kemudahan dalam perhitungan kelak di hari kiamat.” (H.R Ahmad). Hadis ini mengajarkan umat Islam untuk secara kritis menilai dan mengevaluasi perbuatan mereka sendiri sebelum dihisab oleh Allah SWT pada hari kiamat.

Pencegahan korupsi bukan hanya melibatkan aspek hukum dan kebijakan semata, tetapi juga memerlukan transformasi batin dan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Tasawuf, dengan ajaran-ajarannya yang mendalam tentang spiritualitas dan moralitas, dapat menjadi pilar penting dalam membentuk individu yang berkarakter kuat dan masyarakat yang adil.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat berharap melihat perubahan positif dalam upaya pencegahan korupsi, membangun masyarakat yang lebih bermoral dan adil.

ISLAMKAFFAH

Seperti Apa Nepotisme yang Dilarang Agama?

Dalam Alquran banyak kisah-kisah yang mengarah pada nepotisme.

Nepotisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri terutama dalam jabatan. Sifat ini oleh sebagian manusia dikatakan negatif atau buruk. Karena itu, bagaimana nepotisme menurut Islam?

Musthofa Mu’in dalam bukunya berjudul Menggapai Kebahagiaan yang Hakiki menjelaskan bahwa dalam Alquran banyak kisah-kisah yang mengarah pada nepotisme. Ia mencontohkan seperti hampir para nabi-nabi terdahulu adalah dari keluarga sendiri. Nabi Musa adalah saudara nabi Harun sekaligus menantu nabi Syuaib, nabi Ibrahim adalah ayah dari nabi Ismail. 

Begitu juga para Khulafaur Rasyidin hampir mereka adalah keluarganya sendiri. Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khattab keduanya adalah merupakan mertua dari nabi Muhammad SAW. Begitu pula Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib keduanya adalah menanti nabi Muhammad SAW. 

Dalam bukunya itu Musthofa Mu’in berpendapat selama nepotisme menajdi wajar selagi dimandatkan kepada keluarga yang mempunyai kemampuan di bidangnya. Namun hal itu dilarang bila keluarga tidak mempunyai kemampuan. 

“Selama nepotisme tersebut dimandatkan kepada keluarga yang mempunyai kemampuan di bidangnya mengapa tidak? Karena apapun dengan jabatan yang diberikan kepada keluarga yang mempunyai kemampuan maka akan lebih baik, karena ada unsur darah atau keluarga. Nepotisme yang dilarang oleh agama adalah nepotisme yang mengutamakan keluarga walaupun yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan di bidangnya,” jelas Musthofa Mu’in dalam bukunya berjudul Menggapai Kebahagiaan yang Hakiki yang diterbitkan oleh Pustaka Media, 2020, halaman 59).

Lebih lanjut Musthofa Mu’in menuliskan bahwa dalam Alquran banyak menceritakan akan hal itu. Seperti ketika nabi Nuh meminta keringanan atas hukuman Allah SWT yang diberikan kepada putranya (Kan’an), maka Allah SWT menolaknya. Sebagaimana dapat ditemukan pada Alquran surat Hud ayat 46. 

Nabi Ibrahim tidak bisa memberikan keringanan sedikitpun kepada ayahnya di saat berbuat durhaka kepada Allah SWT. Bahkan Allah SWT mengancam kepada istri-istri nabi yang berbuat kejahatan, mereka akan mendapatkan dua kali hukuman dari manusia biasa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Akhzab ayat 30. 

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

Artinya: Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. (Alquran surat Al Ahzab ayat 30).

“Ini adalah fakta sejarah yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa sepanjang sanak famili tersebut mempunyai kemampuan dan keahlian maka nepotisme dianggap suatu kewajaran. Namun apabila mereka tidak mempunyai kemampuan di bidang itu maka nepotisme dianggap sebagai pelanggan,” kata Musthofa Mu’in.

Musthofa menjelaskan karenanya Islam mengajarkan agar selalu mempersiapkan sumber daya keluarga sebelum dipanggil oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT: 

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Alquran surat An Nisa ayat 9).

“Dalam kaitan sedekah umpamanya justru Islam mengajarkan agar kita lebih memprioritaskan sanak famili yang hidup dalam kekurangan dari pada orang lain. Sehingga keluarga tersebut tidak menjadi tanggungan yang merepotkan orang lain, sekaligus sebagai media untuk mempererat silaturahmi antar keluarga. Hal-hal semacam ini nepotisme yang ditolerir oleh agama. Yang termasuk pelanggaran adalah nepotisme yang tidak melihat kapasitas dan kemampuan yang bersangkutan,” jelas Musthofa Mu’in.

IQRA

Harta Haram Pejabat

Hadiah atau yang sekarang disebut dengan gratifikasi juga merupakan harta haram. Nabi menyebutnya ghulul atau suhut

Oleh: Dr. Budi Handrianto

SETELAH beberapa tahun kerja, saya ditempatkan di bagian marketing. Kira-kira sebelum tahun 2000 karena seingat saya, saya baru punya anak 1.

Karena yang kami jual barang komoditi, maka yang mendekati justru pihak konsumen daripada produsen. Di mana-mana yang “nyogok” itu biasanya yang jualan, bukan yang beli.

Pada industri ini memang beda. Bargaining position produsen lebih tinggi dari pada konsumen, berbeda dengan barang customer goods atau yang lainnya.

Beberapa hari memegang jabatan tersebut, saya didatangi seorang customer lama. Katanya ingin main ke rumah.

Karena masih lugu, saya persilakan saja karena menjamu tamu bagi kami sebuah kemuliaan. Setelah selesai makan siang sang tamu berpamitan kepada saya dan mengeluarkan segepok amplop -tentu berisi uang.

“Ini buat anak-anak ya pak.”

Saya terima saja dan besoknya saya berikan kepada salah seorang direksi, minta untuk dikembalikan dan “menegur” customer lama tersebut. Kalau langsung saya kembalikan, orang-orang yang pernah menerima pasti menyangka saya juga menerimanya.

Karena butuh “saksi”, uang itu saya bawa ke pimpinan untuk dikembalikan.

Kejadian di atas merupakan bentuk penyuapan, meski berdalih hadiah. Sang pemberi pasti mempunyai niat mengambil keuntungan daripada sekedar kehilangan uang dalam amplop tersebut.

Mungkin ia bermaksud supaya pasokan barang ke pabriknya lancar, mendapatkan harga lebih murah, mengutamakannya ketika pasokan barang minim dan sebagainya. Untuk jasa saya mempermudah urusannya, dia memberikan “hadiah”. Tapi betulkah ini hadiah?

Nabi ﷺ pernah marah besar ketika beliau ﷺ memperkerjakan Ibnul Atabiyah sebagai pengumpul zakat dari Bani Sulaim.

Dalam haditsnya Beliau ﷺ  bersabda; Diriwayatkan dari Abu Humaid As Sa’idi RA dia berkata :

اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا

“Rasulullah ﷺ pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengumpulkan zakat dari Bani Sulaim, dia bernama Ibnu Al Latabiyyah. Maka ketika laki-laki itu datang, Rasulullah ﷺ memeriksanya. Berkata Ibnu Al Latabiyyah,”Ini harta [zakat] Anda. Sedang ini adalah hadiah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah bapakmu atau ibumu hingga datang kepadamu hadiah kamu jika kamu memang benar?” (HR: Bukhari).

Hadiah yang diberikan kepada para pejabat baik di institusi pemerintah maupun perusahaan adalah harta haram. Benar kata Nabi ﷺ Kalau seseorang tidak menduduki jabatan itu, alias berdiam diri saja di rumah orang tuanya, apakah hadiah itu akan datang? Tentu tidak.

Orang memberi -apapun namanya, pasti karena jabatan yang dipegang orang itu. Hak dari orang yang memegang jabatan itu dari kantornya hanyalah gaji dan tunjangan -mungkin juga ada bonus atau insentif, yang resmi diberikan pemerintah atau perusahaan.

Gampangnya, apa yang ada di dalam slip gaji, itulah hak pekerja. Di luar itu adalah barang haram. Kekayaaan yang didapat di luar yang disebutkan itu (tentunya di luar warisan, pengembangan usaha dari sisa gajinya, pemberian orang tua atau pekerjaan di luar kantor yang tidak mengganggu dsb) tidak sah.

Jabatan strategis -termasuk yang disebut-sebut sebagai bagian yang “basah” harus dipegang orang yang tepat, yang kompeten. Dikatakan kompeten karena memenuhi tiga unsur yaitu knowledge (pengetahuan), skill (ketrampilan) dan attitude (sikap).

Tidak sekedar mampu, tapi juga kuat mental. Mental untuk menghadapi godaan jabatan. Kalau tidak kuat atau tidak mampu, jangan diangkat menduduki jabatan tersebut.

Apalagi, untuk menduduki jabatan tersebut dia juga “nyogok”.

Abu Dzar al-Ghifari pernah meminta jabatan kepada Nabi ﷺ Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda: يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَ إِنَّها أَمَانَةٌ وَ إِنَّها يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَ نَدامَةٌ إِلاَّ من أَخَذَها بِحَقِّها وَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْه فِيْها

“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825).

Hadits ini merupakan petunjuk bagi pimpinan dalam mengangkat seseorang pada jabatan strategis. The right man on the right place, sudah diterapkan oleh Nabi ﷺ  sejak dulu.

Maka beliau ﷺ  bersabda,

مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً عَلَى عَصَابَةٍ وَ فِيْهِمْ مَنْ هُوَ اَرْضَى اللهُ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ  اْلمُؤْمِنِيْنَ. الحاكم

“Barangsiapa mengangkat seorang sebagai pemimpin padahal ia tahu di dalam kelompok itu terdapat orang yang lebih baik, maka dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin.” (HR: al-Hakim).

Urusan amanah jabatan ini sangat penting dalam ajaran Islam. Sampai-sampai Nabi ﷺ  memanggil kembali Mu’adz bin Jabal yang diutus ke Yaman.

Mu’adz bercerita, “Rasulullah ﷺ mengutusku ke Yaman menjadi penguasa daerah itu. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pulang kembali.

Nabi ﷺ  bertanya kepadaku, ‘Tahukah kamu mengapa aku mengutus orang menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu untuk kepentingan sendiri tanpa seijinku. Itu merupakan pengkhianatan dan barangsiapa berbuat khianat, kelak di hari kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban apa yang dikhianatinya. Untuk itu engkau kupanggil dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugasmu.”

Bayangkan, Madinah-Yaman bukan jarak yang dekat waktu itu. Tapi Mu’adz dipanggil “hanya” untuk mendengarkan nasihat singkat Nabi ﷺ. Kesimpulannya, nasihat beliau ini sangat penting.

Abu Mas’ud al-Anshari berkata, ”Rasulullah ﷺ  pernah mengangkatku menjadi petugas pengumpul zakat.” Beliau ﷺ  bersabda, “Hai Abu Mas’ud, berangkatlah. Semoga pada hari kiamat kelak aku tidak mendapatimu datang dalam keadaan punggungmu memikul seekor unta sedekah yang meringkik-ringkik yang kamu khianati.” Aku berkata, “Kalau begitu aku tidak berangkat.” Beliau ﷺ  bersabda, “Aku tidak memaksamu.” (HR: Abu Dawud)

Para sahabat kalau merasa tidak mampu mengerjakan tugas langsung mengundurkan diri karena merasa takut tidak mampu menunaikan amanah dari pada sekedar imbalan materi dan kekuasaaan.

Nabi ﷺ  mengingatkan, yang artinya;

“Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rizqi (gaji, tunjangan dan fasilitas) maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud).

Hukuman yang diterapkan Rasulullah ﷺ  pun tidak main-main dari mulai pemberhentian, pemecatan, denda, penjara, sampai hukuman mati (jika menyangkut masalah besar seperti membocorkan rahasia negara). Bahkan hukuman publikasi atas kecurangan koruptor sangat dianjurkan.

Maka kalau ada orang korupsi silakan diungkap, diberitakan, diviralkan. Biar kapok dan ditangkap KPK (semoga masih bisa diharapkan).

Dalam Perang Hunain seorang muslim tewas dalam peperangan dan dilaporkan kepada Nabi ﷺ. Beliau bersabda, “Shalatkan sahabatmu itu!” Maka para sahabat kaget karena seorang muslim yang mati syahid tidak perlu dishalatkan pada saat mau dikubur. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya sahabatmu itu telah berbuat khianat dalam perjuangan di jalan Allah.”

Zaid bin Khalid al-Juhaini yang juga perawi hadits ini, membongkar barang milik orang itu dan ternyata menemukan beberapa butir permata milik orang Yahudi senilai 2 dirham. Walaupun dua dirham kalau didapat dengan cara khianat, tetap itu korupsi dan Nabi ﷺ  tidak mau menyolatkan.

Islam sangat melarang segala bentuk harta haram. Karena harta haram yang masuk ke tubuh manusia akan membuat manusia cenderung berbuat jahat dan kejam.

Jika seorang bapak membawa harta haram ke rumah, lalu dimakan anak istrinya, kemungkinan besar akan berpengaruh buruk terhadap mereka. Fakta kejadian akhir-akhir ini telah membuktikannya.

Bagi pejabat pemerintah maupun swasta, suap atau mendapatkan harta secara ilegal untuk mempermudah urusan sangat dilarang dan disebutkan secara khusus oleh Nabi ﷺ;

Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah ﷺ bersabda:

لعنةُ اللَّهِ علَى الرَّاشي والمُرتَشي

“Laknat Allah terhadap orang yang memberi suap dan menerima suap.” (HR. Ibnu Majah).

Bahkan dalam hadits riwayat Thabrani dan Ahmad ada tambahan, “dan orang yang menyaksikan penyuapan.”

Suap menyuap terjadi agar pejabat tidak menjalankan tugas sebagaimana kewajibannya. Abdullah bin Rawahah diutus Nabi ﷺ  berangkat ke Khaibar (daerah Kaum Yahudi yang baru ditaklukkan) untuk menaksir kebun kurma di daerah itu.

Nabi ﷺ  memutuskan hasil bumi Khaibar dibagi separuh untuk kas negara, separuh untuk orang Yahudi pemilik kebun. Ketika Abdullah sedang menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi datang kepadanya dengan membawa berbagai perhiasan.

Kepada Abdullah mereka berkata, “Perhiasan ini untuk Anda, tolong ringankan kami dan berikan kepada kami bagian lebih dari separuh.” Abdullah bin Rawahah marah besar dan berkata, “Hai Kaum Yahudi! Demi Allah, kalian memang manusia-manusia yang paling kubenci. Apa yang kalian perbuat justru mendorong diriku lebih merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan adalah barang haram dan kami kaum muslimin tidak akan memakannya!” Mendengar jawaban itu mereka menyahut, “Karena itulah langit dan bumi masih tetap tegak.” (HR Malik dalam al-Muwatha’).

Orang Yahudi paham dari kitab suci mereka bahwa kalau ada sekelompok orang yang masih bersih tidak mau menerima suap maka langit dan bumi ini masih tetap tegak. Sebaliknya, kalau suap menyuap sudah marak di masyarakat, berarti bencana sebentar lagi akan terjadi.

Hadiah atau yang sekarang disebut dengan gratifikasi juga merupakan harta haram. Nabi menyebutnya ghulul atau suhut.

Rasulullah ﷺ bersabda:

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

“Hadiah bagi pejabat (pegawai) adalah ghulul (khianat).” (HR. Ahmad

Menurut Ibnu Mas’ud, suhut adalah jika seorang minta bantuanmu untuk melakukan kezaliman kemudian ia memberi hadiah kepadamu.

Dr. Syamsuddin Arif menyebutkan ada tiga teori mengapa orang korupsi. Teori pertama, teori “kesempitan”. Karena gaji kecil, hidup dalam kesempitan, maka mereka korupsi.

Maka sudah selayaknya pemerintah maupun pimpinan perusahaan memberikan gaji, tunjangan dan fasilitas yang memadai bagi para pejabat. Nabi ﷺ  bersabda, yang artinya;

عن الْمُسْتَوْرِدَ بْنَ شَدَّادٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ وَلِيَ لَنَا (1) عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ، فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا، أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ، أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا، أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ ” (أخرجا أحمد: 19015, 29/543 وصححه أحمد شاكر)

Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah (dinikahkan), jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya (untuk diri sendiri), itulah kecurangan (ghalin).” (HR: Imam Ahmad, disahihkan Syeikh Amhad Syakir).

Faktanya, orang yang korupsi di negeri ini adalah orang yang kehidupannya lebih dari cukup. Terlihat mereka pamer kekayaan di media sosial, baik diri dan anak istrinya. Lalu, mengapa orang korupsi? Ada teori kedua, karena “kesempatan”.  Jika tidak ada kucing, tikus berpesta pora. Ada kucing, tikus tidak berani menampakkan diri. Jika ada pengawasan, tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Tapi, di negeri ini juga, semakin ketat pengawasan, semakin mudah orang bermain. Justru bisa bermain dengan aman karena sistem yang mengatur sudah tidak bisa mendeteksinya.

Kadang, seseorang melakukan pengawasan/aturan ketat agar ada yang datang lewat pintu belakang untuk dilonggarkan. Tentu tidak gratis. Jadi, sebenarnya bagaimana?

Maka, teori ketiga ini menjadi solusi yaitu teori “kelemahan”. Orang korupsi karena lemah mentalnya, lemah iman dan rendah akhlaknya. Maka, jika ingin korupsi diberantas, perbaiki orangnya. Tepatnya mental orangnya.

Untuk menghasilkan orang-orang baik (a good man) melalui institusi pendidikan. Jika pendidikan sekarang tidak menghasilkan a good man, hanya orang-orang cerdas yang bermental korup dan silau dengan kemewahan dunia, review kembali kurikulum pendidikan kita, apakah sudah sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki akhlak mulia, atau belum.

Kalau pendidikan hanya bertujuan untuk menghasilkan orang-orang pintar saja, mungkin sekarang sudah tercapai. Termasuk pintar korupsi.*

Sekretaris Program Doktor Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor

HIDAYATULLAH

Hadis Nabi Tentang Ancaman Korupsi

Berikut ini 5 hadis Nabi tentang ancaman korupsi. Barangkali dapat disepakati bahwa korupsi adalah masalah raksasa dari bangsa ini, yang hingga kini masih belum ada satu kekuatan politik yang mampu mengatasinya. Bahkan diciptakannya lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) oleh pemerintah, belum dapat membuat jera para ‘tikus-tikus berdasi’ dan para kadernya untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan akal sehat itu.

Korupsi Akar Masalah Ekonomi

Tindakan-tindakan korupsi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar yaitu grand corruption atau korupsi besar dan petty corruption atau korupsi kecil. Tidak ada landasan teori yang pasti sebagai dasar penggolongan tersebut, tetapi prinsip yang dapat dijadikan acuan adalah besaran dana, modus operandi serta level pejabat publik yang terlibat di dalamnya. 

Grand corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi disebut juga corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan, karena para pelaku umumnya sudah berkecukupan secara materiil.

Korupsi besar menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun non-finansial. Modus operandi yang umum terjadi adalah kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan publik. Melalui pengaruh yang dimiliki, kelompok kepentingan tertentu mempengaruhi pengambil kebijakan guna mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. 

Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, fenomena ini sering disebut dengan state capture atau elit capture.

Misalnya, suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundangan, suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik, suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait dengan kasus-kasus besar, suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan moneter, dan  sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.

Petty corruption atau korupsi kecil, sering disebut survival corruption atau corruption by need, adalah korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat pendapatan yang tidak memadai. Korupsi kecil merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara yang gagal menyusun dan mengimplementasikan kebijakan publik yang mensejahterakan rakyat. 

Berbagai fakta memuakkan yang terjadi mengenai korupsi di Indonesia memberikan dorongan kepada masyarakat untuk memberikan perlawanan sesuai dengan background masing-masing. Salah satunya dengan merujuk Al-Qur’an dan hadits yang merupakan pegangan umat muslim agar tidak kehilangan arah dan mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. 

Hadis Nabi tentang Ancaman Korupsi 

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Dalam Hadis nabi, sangat banyak pedoman bagi manusia dalam urusan dunia maupun akhirat. 

Nabi Muhammad Saw mengajarkan cara-cara untuk mendapatkan wasilah keridhaan Allah dengan membolehkan dan melarang beberapa hal, termasuk terdapat juga ancaman terhadap para koruptor.

Pada zaman sahabat, sudah ditemukan beberapa kasus korupsi dalam berbagai bentuknya. Nabi Muhammad saw kemudian mengingatkan kepada para sahabat agar tidak melakukan perbuatan tercela ini. Sebagaimana sebelum pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Yaman Rasul sempat berpesan kepada Mu’adz agar tidak korupsi sesampainya di sana.  Hal ini karena seseorang yang melakukan tindakan korupsi kelak akan memperoleh balasan dosanya di hari kiamat. 

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Sunan Turmudzy, juz 3, halaman 621 berikut,

    عن معاذ بن جبل قال بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى اليمن فلما سرت أرسل في أثري فرددت فقال أتدري لم بعثت إليك لا تصيبن شيئا بغير إذني فإنه غلول ومن يغلل يأت بما غل يوم القيامة لهذا دعوتك فامض لعملك  

Artinya, “Dari Mu’az bin Jabal, ia berkata, ‘Rasulullah saw mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau berkata, 

 ‘Apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah korupsi. Dan barangsiapa melakukan korupsi, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu.’ 

Selain itu Nabi juga mengancam seseorang yang melakukan korupsi akan diwujudkan dalam bentuk seekor unta yang menjerat lehernya. Sebagaimana dalam kitab Mirqatul Mafatih, juz 6, halaman 2435 berikut,

   عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ ثُمَّ قَالَ لَا أُلْفِيَنَّ يَجِيءُ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا    

Arinta, “Dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Pada suatu hari Rasulullah saw berada di tengah tengah kami, lalu beliau menyebut-nyebut tentang ghulul dan menganggap hal itu bukan perkara enteng, kemudian Rasul bersabda, ‘Aku belum pernah mendapatkan seorang dari kalian pada hari kiamat yang pada lehernya terdapat seekor unta yang bersuara.’” 

Wal hasil, korupsi adalah tindak kejahatan yang mewabah di negeri ini. Korupsi merupakan kejahatan berbagai tatanan masyarakat, mulai dari agama, sosial-budaya, ekonomi, dan moralitas. Yang penting ditekankan adalah, siapapun berkewajiban melakukan kontrol sosial (amar makruf nahi mungkar) dalam rangka memerangi korupsi. Korupsi dapat dihilangkan dari bumi pertiwi apabila seluruh elemen masyarakat bahu membahu untuk melawannya.

Demikian penjelasan hadis Nabi tentang ancaman korupsi. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Korupsi Menurut Perspektif Ekonomi Islam

Berikut ini penjelasan terkait korupsi menurut perspektif ekonomi Islam. Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Tindakan korupsi dinilai sangat buruk karena merugikan banyak orang, melambatnya pertumbuhan ekonomi negara. Korupsi juga dapat meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.

Dilansir dari Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa potensi kerugian keuangan negara akibat korupsi di Indonesia pada 2021. ICW menilai kerugian negara sebesar Rp 62,93 triliun pada tahun lalu.

Angka tersebut meningkat 10,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka tersebut juga merupakan yang terbesar dalam 5 tahun terakhir. Kerugian negara yang ditangani Kejaksaan sebesar Rp 62,1 triliun ,sementara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya Rp 802 miliar

Korupsi memiliki banyak objek, tetapi objek yang lebih dominan dijadikan sebagai objek korupsi adalah uang. Seakan uang bukan lagi sebagai sarana, melainkan tujuan. Demi uang, apapun akan dilakukan sekalipun melewati batasan moral. Tentu, pandangan ini sangat bertentangan dengan Islam yang menganggap harta hanyalah sebagai sarana dan bukan tujuan.

Ahmad Muhammad Mahmud Nasshar dalam kitabnya Mabadi’ al-Iqtishad al-Islami menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam harta bukanlah menjadi tujuan akhir, sebagai berikut:

هذه النظرة الدينية هي الأساس في اعتبار المال وسيلة وليس غاية, وأنه هناك أهداف سامية للتملك, وهذه النظرة ليست من صنع اجتهاد فقهي أو فكري وإنما هي في صميم التشريع السماوي وجاءت به النصوص الصريحة في القرآن والسنة

“Pandangan agama adalah dasar untuk menganggap uang sebagai sarana dan bukan tujuan, dan harta merupakan tujuan yang mulia untuk suatu kepemilikan. Pandangan ini bukanlah karya fikih atau penalaran intelektual (pakar ekonomi Islam semata), melainkan merupakan inti dari undang-undang agama yang dibawa oleh nash-nash yang tersurat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Di antara dalil bahwa harta bukanlah sebagai tujuan adalah Al-Quran Surat Al-Hadid Ayat 7:

ءَامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُوا۟ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَأَنفَقُوا۟ لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

Syaikh Wahbah az-Zuhaili, dalam tafsirnya Al-Wajiz menjelaskan bahwa, pada hakikatnya, harta itu adalah milik Allah. Allah menitipkannya kepada manusia. Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka baginya itu pahala yang sangat besar, yaitu surga.

Kepemilikan atas uang terikat pada suatu tujuan dan dibatasi oleh syarat-syarat yang sudah ditetapkan dalam Islam. Terkait dengan cara memperolehnya, penggunaan, dan pendistribusian, harus sesuai dengan cara yang sudah ditetapkan oleh syariat. Di antara ketetapan itu adalah tidak melupakan hak Tuhan di dalamnya dan kepentingan utamanya terfokus pada kemaslahatan manusia.

Korupsi dalam Perspektif Ekonomi Islam

Dalam konteks persoalan korupsi yang sangat merugikan banyak pihak dan negara, tentunya perilaku ini timbul karena keserakahan dan anggapan bahwa uang adalah tujuan akhir yang harus dicapai. Mereka lupa bahwa harta hanyalah sebuah titipan dari Allah semata.

Tindakan korupsi juga menyebabkan kemiskinan semakin merajalela, dan menambah penderitaan yang lebih parah di tengah masyarakat.  Hal tersebut dikarenakan para koruptor bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri maupun pihak tertentu tanpa memikirkan orang lain.

Dalam Ekonomi Islam tidak memisahkan antara ekonomi dengan sistem agama dan sosial. Selain memperhatikan faktor material, dalam Ekonomi Islam juga tidak mengabaikan aspek spiritual dan kemaslahatan manusia. Sehingga sistem dalam Ekonomi Islam saling melengkapi serta bisa memberikan solusi yang komprehensif untuk kehidupan.

Konsep ini tentu berbeda dengan ekonomi kapitalis yang fokusnya adalah menciptakan keuntungan material sebesar-besarnya bagi setiap individu. Dalam ekonomi Islam, untuk mewujudkan kegiatan ekonomi yang maksimal harus melibatkan agama, terkait dengan kepemilikan keuangan dan pendistribusiannya, di mana hal tersebut merupakan faktor utama dalam kegiatan ekonomi.

Karena ruh dari ekonomi Islam adalah penghambaan kepada Tuhan dan kemaslahatan manusia secara umum. Untuk mencapai tujuan yang luhur ini haruslah dimulai dengan kesadaran setiap individu sebagai hamba Tuhan, kerja sama, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan.

Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah Ayat 188;

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Dalam ayat di atas, terdapat seruan kepada umat manusia untuk memperoleh harta dari sumber yang halal. Oleh karena itu, ekonomi harus dijalankan sesuai dengan apa yang Allah perintahkan, dengan cara-cara yang jauh dari penipuan, riba, korupsi, pencucian uang, pencurian, penipuan, dll.
Kesimpulan 

Korupsi sangatlah tidak dibenarkan apa pun alasannya. Untuk itulah pemberantasan korupsi dalam negeri adalah sesuatu yang harus diupayakan dan harus dilakukan secara sistematis demi mencapai kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan sosial.

Ekonomi Islam memiliki peran untuk merealisasikan tujuan mulia ini. Islam menempatkan ekonomi dalam kerangka yang benar, dan membuat ikatan yang erat antara ekonomi dan aturan nilai spiritual yang harus dijalankan oleh setiap individu dan masyarakat Islam secara umum.

Demikian penjelasan terkait korupsi menurut perspektif ekonomi Islam. Semoga bermanfaat.

*Editor: Zainuddin Lubis

BINCANG SYARIAH

Nabi Muhammad Ibaratkan Koruptor Seperti Mayat

Koruptor oleh Nabi Muhammad diibaratkan seperti mayat.

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang sangat dibenci oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan, Rasulullah mengibaratkan koruptor seperti halnya mayat. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang bersumber dari Abdullah bin Mughirah bin Abdi Burdah al-Kinani.

عن عبد الله المغيرة بن أبي بردة الكناني انه بلغه أن رسول الله صل الله عليه وسلم أتى الناس فى قبا ئلهم يدعولهم وانه ترك قبيلة من القبائل قال وان القبيلة وجدوافي بردعة رجل منهم عقد جزع غلولا فأتاهم رسول الله صل الله عليه وسلم فكبر عليهم كما يكبر على الميت (رواه مالك)

‘An ‘abdillahibnil mughiratibni ai burdatal kinaniyyi annahu balahahu anna rasulallahi shallallahu ‘alaihi wasallama atan nasa fi qaba’ilihim yad’u lahum wa annahu taraka qabilatanminal qabaili qala, wainnal qabilata wajadu fi barda’ati rajulin minhum iqdajaz’in ghululan fa atahum rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallama fakabbara ‘alaihim kama yukabbiru ‘alal mayyiti (rawahumaliku).

Artinya:

Bersumber dari Abdullah bin Mughirah bin Abdi Burdah al-Kinani. Ia menyampaikan bahwa Rasulullah Saw mendatangi orang-orang pada kabilah mereka. Rasul mendoakan mereka. Ketika tinggal satu kabilah yang tersisa, beliau berkata,

“Sesungguhnya kabilah ini terdapat ini terdapat ikatan batu akik (marjan) di pelana milik seseorang dari mereka yang merupakan hasil korupsi.” Kemudian Rasulullah Saw mendatangi kabilah ini dan bertakbir atas mereka sebagai mana takbir atas mayit. (HR. Malik).

Dikutip dari buku “Agar Anda Terhindar dari Jerat Korupsi”, Syarwani menjelaskan, dari hadits tersebut dapat diketahui betapa mengejutkannya perlakukan nabi pada seorang koruptor. Koruptor tidak dianggap nabi sebagai orang hidup, tapi disamakan dengan mayat.

Menurut  Syarwani, perlakuan nabi ini semakin menunjukkan kebencian beliau terhadap tindakan korupsi. Karena itu, umat Islam tidak memiliki jalan lain selain menjauhi serta memberantas korupsi, sesuai kemampuan yang dimiliki.

KHAZANAH REPUBLIKA

Dalam Islam, Gratifikasi Sama dengan Mengambil Ghulul

Islam melarang pejabat dan pegawai menerima gratifikasi.

Dalam hukum bernegara, gratifikasi adalah tindakan melanggar hukum yang bisa dijerat pidana. Penerima gratifikasi bisa dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kasus korupsi yang menjerat pejabat negara lantaran gratifikasi yang ia terima.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan, “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”

Pembahasan gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, ucapan terima kasih, tips, dan lainnya. Menurut pakar ekonomi Islam, Syafii Antonio, pemberian hadiah dinilai haram jika kondisi pemberi dan penerima pada posisi dari “bawah” ke “atas”. Misalnya, dari bawahan ke atasan, dari wajib pajak ke petugas pajak, dari rakyat ke pejabat, dan seterusnya.

Pemberian dari bawah ke atas ini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu imbalan, baik secara materi atau non-materi. Misalnya, memperlancar kepentingan bisnis, naik jabatan, pemberian wewenang atau keputusan dari atasan, dan semua hal yang berkaitan dalam ruang lingkup bawahan ke atasan tersebut. Ia mengharapkan ada timbal balik dari atas ke bawah.

Tetapi, jika pemberian hadiah dari atas ke bawah atau kepada sesama, hal ini diperbolehkan. Misalnya, dari orang kaya ke orang miskin, dari bos kepada karyawan, atau sesama teman. Alasannya, tidak ada “udang di balik batu” dari pemberian tersebut. Pemberian hadiah didasarkan untuk memupuk persaudaraan, persahabatan, dan kasih sayang semata.

Sebagaimana gratifikasi dilarang dalam hukum bernegara, demikian juga pandangan hukum Islam dalam bersikap. Rasulullah SAW sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya untuk menerima gratifikasi. Riwayat dari Abu Humaid as-Sa’idi mengisahkan, salah seorang dari suku Al-Azdi bernama Ibnu Lutbiah ditugaskan memungut zakat. Setelah ia pulang, ia melaporkan dan menyerahkan zakat hasil pungutannya kepada Baitul Mal.

“Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi,” ujar Ibnu Lutbiah. Rasulullah SAW pun marah dan memerintahkan Ibnu Lutbiah untuk mengembalikan gratifikasi yang diterimanya. Rasulullah SAW bersabda, “Cobalah dia (Ibnu Lutbiah) duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya. Apakah akan ada yang memberikan (gratifikasi) kepadanya?” (HR Bukhari Muslim).

Rasulullah SAW dalam hadis Beliau menegaskan, menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul, yakni barang curian dari harta rampasan perang. Ancamannya sangat jelas, siapa yang memakan harta gratifikasi akan datang di Hari Kiamat dalam kondisi kesusahan. Di lehernya akan dipikulkan unta, sapi, dan kambing yang mengembik. (HR Bukhari Muslim).

Tidak bisa dimungkiri, pejabat berwenang yang menerima gratifikasi akan berpengaruh pada putusan dan kinerja apa yang diwewenanginya. Demikian juga pegawai pemerintahan. Ketika ia meminta atau menerima gratifikasi, ia akan cenderung melayani konsumen yang memberi gratifikasi.

Lama kelamaan, ia bahkan tak mau melayani orang yang tak mau memberi gratifikasi. Padahal, semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Pegawai tersebut sudah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum.

Demikian juga seorang hakim, pasti akan terpengaruh dengan gratifikasi. Ia akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasannya Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi.

Pakar fikih kontemporer, Dr Ahmad Zain An-Najah, mengatakan, masuk juga dalam kasus gratifikasi, seorang pegawai yang kongkalikong dengan pihak lain. Misalnya, pegawai pemerintahan yang ditugaskan untuk menyediakan alat-alat multimedia di kantornya. Ketika penganggaran, harga alat-alat multimedia ini di-mark-up lebih tinggi. Kemudian, saat pembelian, dia memilih membeli alat-alat tersebut di toko yang mau menawarkan harga lebih murah dari anggaran belanja yang ada. Alasannya, selisih uang pembelanjaan bisa masuk ke kantong pribadinya.

Di samping itu, pegawai pemerintahan tadi juga mendapatkan diskon dari penyedia alat-alat multimedia tadi. Diskon tersebut sebenarnya harus ia laporkan ke kantor tempatnya bekerja secara transparan. Jika ia mengambil potongan harga tersebut untuk pribadinya, hal ini juga termasuk dalam definisi gratifikasi.

Bisa juga, jika pegawai tadi meminta uang lebih kepada konsumen, katakanlah uang transport, uang jasa, atau uang lelah karena telah melayani pelanggan. Padahal, pegawai tersebut sudah digaji dan memiliki tunjangan-tunjangan atas pekerjaannya. Hal ini juga termasuk dalam gratifikasi.

Semasa Nabi Muhammad, hadiah-hadiah yang didapat para sahabat dari tugasnya di lapangan selalu dilaporkan secara transparan. Misalnya, Muaz bin Jabal RA yang pulang bertugas dari Yaman dan membawa hadiah budak-budak. Muaz sempat ditegur Allah SWT melalui mimpi karena belum melaporkan budak-budak tersebut kepada khalifah Abu Bakar RA.

Keesokan harinya, Muaz langsung menyerahkan seluruh budak tersebut kepada Abu Bakar RA. Bijaknya Abu Bakar, hadiah budak yang memang diperuntukkan bagi Muaz pun ia perintahkan untuk dikembalikan kepada Muaz. Demikian atsar yang dikisahkan Ibnu Abdul Barr dalam kitab At Tamhid (2/7).

Mungkin pada awalnya, gratifikasi bertujuan baik. Pelanggan yang puas dengan pelayanan yang prima ingin memberi hadiah sebagai penyemangat atau memotivasi. Mungkin juga sebagai tanda terima kasihnya karena puas dengan pelayanan si pegawai. Tapi, hadiah semacam ini untuk jangka panjang akan merusak mental si pegawai. Lama-lama, niatnya bekerja bisa berpaling. Ia bekerja bukan atas nama perusahaannya, tapi untuk dirinya sendiri. Ia menunggu dan mengharapkan gratifikasi, baru mau bekerja. Apalagi, meminta gratifikasi dari konsumennya yang sebenarnya bukanlah haknya.

Para ulama mengisyaratkan, jika memang ingin memberi tips atau hadiah kepada pegawai tersebut, berikanlah pada kondisi dan waktu yang tidak berkaitan dengan dunia kerjanya. Misalnya, memberikan hadiah pada waktu ia tak lagi sebagai pegawai. Wallahu’alam. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Saat Nabi Muhammad Melarang Sahabat Korupsi dan Ambil Suap

Nabi Muhammad melarang sahabat melakukan korupsi dan mengambil suap.

Kasus korupsi yang menjerat pejabat publik kembali meramaikan pemberitaan. Padahal dalam agama Islam melalui Nabi Muhammad, korupsi berupa konflik kepentingan dan suap-menyuap merupakan hal yang dilarang keras.

Sebagaimana diketahui, Rabu (8/1) lalu, Komisioner pusat Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan (WS), terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). WS terjaring saat menerima suap untuk memuluskan proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P.

Dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi yang merupakan karya dari kumpulan bahtsul masail ulama-ulama NU disebutkan, hal paling mendasar dalam konflik kepentingan adalah adanya kepentingan kelompok maupun pribadi yang ingin berkesinambungan. Baik itu di lingkup pengusaha, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Dengan adanya fakta partai politik yang melahirkan para wakil rakyat dan pemimpin memiliki komitmen finansial tertentu, hal ini sangat besar memungkinkan terjadinya praktik korupsi. Namun begitu hingga saat ini, belum ada aturan yang tegas untuk mengatur bahwa seorang pengusaha harus lepas sama sekali dari partainya.

Penguasa sekaligus sebagai pengusaha dimungkinkan akan menimbulkan mudharat akibat kecenderungan munculnya konflik kepentingan. Ibnu Khaldun bahkan berpendapat, kedua profesi yang dijalankan beriringan ini dapat mengarahkan pelakunya untuk berusaha memperkaya diri atau kelompoknya.

Nabi Muhammad sedari dulu telah mengantisipasi umatnya untuk mencegah konflik kepentingan ini. Pada masa Rasul, terdapat contoh konflik kepentingan antara petugas pemungut zakat yang juga sekaligus pendakwah Islam di Yaman.

Kala itu, petugas tersebut ditugaskan di Yaman karena masyarakatnya sedang dibina mengenai zakat. Nabi kemudian mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman sebagai juru dakwah. Dalam pengakuan Mu’az bin Jabal, sesaat setelah Nabi melepasnya dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, Nabi ternyata melupakan satu wasiat penting. Hingga akhirnya, beliau mengutus kembali seseorang agar mereka kembali baru dilepaskan lagi.

Usai mereka kembali, peristiwa ini pun terekam dalam hadis shahih riwayat Ahmad: “Dari al-Hars bin Amr dari beberapa orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Nabi mengutus Mu’az dan beliau bertanya: ‘bagaimana kamu akan memutuskan hukum?’, Mu’az pun menjawab akan memutuskan hukum dengan dasar Kitabullah.

Kemudian, Rasulullah bertanya kembali: ‘Kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitabullah?’, Muaz menjawab akan merujuk dasar sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi: ‘Kalau tidak kau dapatkan dalam sunnah Nabi?’ Muaz menjawab akan melakukan ijtihad dengan pemikirannya. Mendengar ini, Rasulullah pun bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menolong utusan Rasulullah SAW,”.

Rasulullah juga berpesan kepada Mu’az untuk tidak melakukan korupsi terhadap apapun selama bertugas menjadi pendakwah dan pejabat di Yaman.
Berdasarkan hadis riwayat At-Tirmizi diceritakan:

“Dari Mu’az bin Jabal, ia berkata: Rasulullah mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau berkata: apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul. Dan barangsiapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu,”.

Atas dasar hadis tersebutlah, cakupan ghulul pada tahun ke-10 hijriah bukan hanya sebatas pada harta rampasan perang sebagaimana yang terjadi di tahun sebelumnya. Uang tip, pelicin, dan uang keamanan masuk dalam kategori tindakan korupsi. Dalam istilah Nabi, uang-uang ini disebut al-maksu atau pungutan liar.

KHAZANH REPUBLIKA

Budaya Suap: Tradisi Mendarah Daging Bangsa Yahudi

Tahukah kita, bahwa budaya memberi suap dan uang sogok adalah budaya dan tradisi yang mengakar kuat (mendarah daging) di kalangan bangsa Yahudi? Allah Ta’ala berfirman,

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

“Mereka itu (orang-orang Yahudi) adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan ‘as-suht’ (QS. Al-Maidah [5]: 42).

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ([as-suht] السحت)  adalah harta haram, yaitu risywah (uang suap atau uang sogok) (Tafsir Jalalain, 1/144).

Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ([as-suht] السحت)  adalah harta haram, yaitu risywah, sebagaimana penjelasan shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu (Tafsir Ibnu Katsir, 3/106).

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata tentang ayat di atas,

كَانَ الْحَاكِمُ مِنْهُمْ إِذَا أَتَاهُ أَحَدٌ بِرُشْوَةٍ جَعَلَهَا فِي كُمِّهِ فَيُرِيهَا إِيَّاهُ وَيَتَكَلَّمُ بِحَاجَتِهِ فَيَسْمَعُ مِنْهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَى خَصْمِهِ، فَيَسْمَعُ الْكَذِبَ وَيَأْكُلُ الرُّشْوَةَ. وَعَنْهُ أَيْضًا قَالَ: إِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْحَكَمِ إِذَا رَشَوْتَهُ لِيُحِقَّ لَكَ بَاطِلًا أَوْ يُبْطِلَ عَنْكَ حَقًّا

Para hakim dari kalangan bangsa Yahudi dulu, jika mereka didatangi seseorang (salah satu pihak yang memiliki perkara atau bersengketa, pen.) dengan membawa uang suap yang disembunyikan di balik lengan bajunya untuk kemudian diperlihatkan (uang suap tersebut) kepada sang hakim, maka orang yang membawa uang suap itu lalu menyampaikan keperluannya (yaitu, menyampaikan tuntutannya). Hakim (yang sudah disuap tersebut, pen.) hanya mendengarkan perkataan orang yang memberi suap dan tidak melihat kepada kasus yang mereka tangani (artinya, tidak memperhatikan lagi pihak lawan yang tidak membawa suap). Mereka suka mendengar perkataan dusta dan memakan uang suap.” Beliau rahimahullah juga berkata,”Yang demikian itu hanyalah dalam masalah hukum. Mereka disuap untuk mengubah yang salah menjadi benar, atau mengubah yang benar menjadi salah” (Tafsir Al-Baghawi, 3/58).

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS. An-Nisa [4]: 60).

Di dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan sebab turunnya ayat di atas. Al-Qurthubi menyebutkan riwayat dari Asy-Sya’bi yang mengatakan,

كان بين رجل من المنافقين ورجل من اليهود خصومة، فدعا اليهودي المنافق إلى النبي صلى الله عليه وسلم، لأنه علم أنه لا يقبل الرشوة. ودعا المنافق اليهودي إلى حكامهم، لأنه علم أنهم يأخذون الرشوة في أحكامهم، فلما اختلفا اجتمعا على أن يحكما كاهنا في جهينة

“Terjadi sengketa antara seorang Yahudi dan seorang munafik (orang Yahudi yang pura-pura masuk Islam). Maka orang Yahudi mengajak orang munafik untuk mendatangi Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam (untuk memutuskan sengketa di antara mereka, pen.) karena dia mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menerima uang suap. Sedangkan orang munafik tadi mengajak si Yahudi untuk mendatangi hakim dari kalangan bangsa Yahudi, karena dia tahu bahwa hakim dari kalangan Yahudi bisa disuap ketika membuat putusan. Ketika mereka berbeda pendapat (siapa yang didatangi), akhirnya mereka bersepakat untuk mendatangi seorang dukun di daerah Juhainah”  (Tafsir Al-Qurthubi, 5/623).

Allah pun lalu menurunkan ayat di atas untuk mencela keduanya: (1) “Orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu” adalah orang munafik; dan (2) “dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu” adalah orang Yahudi.

Al-Qurthubi juga menyebutkan jalur riwayat dari Adh-Dhahak yang menjelaskan bahwa thaghut (dukun) yang didatangi oleh orang Yahudi dan orang munafik tadi adalah Ka’ab bin Al-Asyraf (Tafsir Al-Qurthubi, 5/623). Di dalam Tafsir Jalalain juga disebutkan bahwa keduanya kemudian mendatangi Ka’ab bin Al-Asyraf  (Tafsir Jalalain, 1/144).

Demikianlah, budaya sogok-menyogok dalam membuat putusan hukum, ternyata budaya warisan turun-temurun dari bangsa Yahudi. Kita mencela dan melaknat orang-orang Yahudi, namun justru kita sendiri (mungkin) mengikuti budaya mereka, tanpa kita sadari. Wallahu a’lam.

***

Selesai disusun di malam hari, Masjid Nasuha ISR Rotterdam, 17 Shafar 1436

Yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24040-budaya-suap-tradisi-mendarah-daging-bangsa-yahudi.html

Perbuatan Korupsi Tanda Umat Muslim Belum Pahami Agama

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid prihatin dengan masih banyaknya politisi Muslim yang tersangkut kasus korupsi. Ini membuktikan mereka belum memahami ajaran agama dengan baik.

“Sikap keberagamaannya yang hanya sebatas kulitnya saja sehingga dengan mudah tergoda melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama seperti korupsi,” ujar Zainut kepada Republika, Kamis (9/11).

Ia berpendapat korupsi terjadi atas dorongan memiliki harta sebanyak mungkin. Mereka selalu tidak puas atas harta yang dimilikinya. Ditambah dengan lingkungan yang semakin materialistik dan hedonis sehingga ikut memengaruhinya. Termasuk iman yang lemah ikut mendorong mereka menempuh jalan pintas memperoleh kekayaan meskipu tak sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam sudut pandang Islam, kata Zainut, dorongan-dorongan untuk melakukan korupsi bisa dicegah antara lain meningkatkan mutu shalat dan penguatan iman. Menurut Zainut terdapat dua aspek yang perlu ditanamkan dalam diri politisi Muslim yakni rasa malu. Rasulullah SAW menegaskan bahwa malu merupakan bagian dari iman.

“Seorang yang kehilangan rasa malu ibarat seekor hewan yang memakan barang miliki siapa saja,” Zainut mengungkapkan.

Aspek kedua yaitu penguatan iman terkait dengan hari akhirat. Setiap mukmin, lanjutnya, sejatinya percaya terhadap adanya hari hisab. Di hari tersebut amal manusia akan dihitung oleh Allah SWT. Dari perhitungan tersebut, manusia akan ada yang masuk ke surga dan neraka. Karena itu, melakukan perbuatan baik dan menghindari kemungkaran merupakan cara agar kelak tidak masuk neraka.

“Melakukan perbuatan korupsi dan perbuatan munkar lainnya mengindikasikan orang tidak beriman pada hari akhirat. Sebab beriman pada sesuatu tidak hanya dibenarkan oleh hati dan diikrarkan oleh lida tetapi lebih-lebih lagi disertai perbuatan baik,” kata Zainut.

 

REPUBLIKA