Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 3)

Istri Meminta Izin Suami untuk Puasa Sunnah

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَصُومُ المَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Seorang wanita (istri) tidak boleh berpuasa, sedangkan suaminya ada di sisinya, kecuali dengan ijinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan hadits ini,

هذا محمول على صوم التطوع والمندوب الذي ليس له زمن معين وهذا النهي للتحريم صرح به أصحابنا وسببه أن الزوج له حق الاستمتاع بها في كل الأيام وحقه فيه واجب على الفور فلا يفوته بتطوع ولا بواجب على التراخي

“(Larangan) ini dimaksudkan untuk puasa sunnah (yang memiliki waktu tertentu, misalnya puasa Senin-Kamis, puasa Arafah) dan juga puasa sunnah yang tidak memiliki waktu tertentu (puasa sunnah mutlak). Larangan ini bermakna haram, sebagaimana yang ditegaskan oleh ulama madzhab Asy-Syafi’i. Sebab larangan ini adalah suami memiliki hak untuk meminta hubungan badan dengan istri di setiap hari. Hak suami ini adalah kewajiban yang wajib segera ditunaikan oleh istri, bukan kewajiban yang bisa ditunda, dan tidak bisa dihalangi oleh puasa sunnah.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Kapan Boleh Puasa Sunnah Tanpa Izin Suami?

Karena sebab larangan itu adalah adanya kemungkinan suami meminta hubungan badan di siang hari, maka jika si suami baru sakit sehingga tidak mampu berhubungan badan, maka dzahir hadits di atas menunjukkan bahwa boleh bagi istri untuk berpuasa tanpa ijin suami. 

Demikian pula, jika suami sedang safar (sehingga tidak pulang ke rumah selama beberapa hari), maka istri boleh berpuasa sunnah tanpa ijin suami. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan,

وقوله صلى الله عليه وسلم وزوجها شاهد أي مقيم في البلد أما إذا كان مسافرا فلها الصوم لأنه لا يتأتى منه الاستمتاع إذا لم تكن معه

“Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “sedangkan suaminya ada di sisinya”, maksudnya adalah sang suami tidak safar. Adapun jika suami sedang safar (musafir), maka istri boleh puasa sunnah karena tidak akan mendatangi istri untuk meminta hubungan badan, karena tidak sedang bersama sang istri.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Istri Tidak Boleh Sembarangan Menerima Tamu Lelaki Ajnabi

Seorang istri tidak boleh memasukkan lelaki asing (ajnabi) ke dalam rumah, kecuali atas seijin suami

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa, sementara sementara suaminya ada di rumah, kecuai dengan seizinnya. Dan tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya, kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5195)

Istri Meminta Izin Suami untuk Shalat di Masjid

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا

“Jika salah seorang dari istri kalian meminta izin pergi ke masjid, maka janganlah dia melarangnya.” (HR. Bukhari no. 5238 dan Muslim no. 442)

Apakah makna larangan (“janganlah”) dalam hadits di atas? Jika dimaknai haram, maka suami tidak boleh melarang istri apa pun alasannya. Namun jika dimaknai haram, maka tidak ada artinya istri minta ijin, karena suami tidak boleh melarang (harus diijinkan).

Makna ke dua dari larangan di atas adalah dalam rangka memberikan bimbingan (petunjuk). Artinya, jika suami melihat ada alasan-alasan tertentu, boleh bagi suami untuk tidak mengijinkan istri pergi ke masjid. Misalnya, sang anak yang masih bayi baru rewel, baru sakit, atau alasan-alasan lain yang bisa dibenarkan. 

Jika ke masjid saja perlu minta ijin, bagaimana lagi dengan pergi ke tempat yang lain? Tentu lebih-lebih lagi harus minta ijin. Meskipun demikian, jika sang istri mengetahui bahwa sang suami itu longgar dan ridha dalam hal-hal tertentu berdasarkan pengalaman dan kebiasaan selama ini, maka tidak perlu minta ijin. Misalnya, kalau cuma pergi ke warung sebelah itu tidak masalah, maka istri boleh tidak meminta ijin. 

Wajib Memenuhi Ajakan Jimak Suami, Kecuali Ada Udzur

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, 

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ، لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu dia enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, maka dia akan dilaknat malaikat hingga pagi.” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1060)

Juga diceritakan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, 

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke ranjang (untuk bersenggama) sedangkan dia enggan, melainkan yang ada di langit murka kepadanya sampai suaminya memaafkannya.” (HR. Muslim no. 1436)

Dikecualikan dalam masalah ini jika sang istri memiliki ‘udzur yang bisa dibenarkan, misalnya baru sakit atau sangat kelelahan setelah mengurus pekerjaan rumah tangga. Sehingga hendaknya suami juga memperhatikan dan bisa memahami kondisi sang istri. 

Inilah Pembagian atau Ketetapan dari Allah Ta’ala

Beberapa perkara di atas menunjukkan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Bagi istri, hendaklah menerima hal ini karena inilah pembagaian atau ketetapan dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 32)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52605-pemimpin-rumah-tangga-3.html

Rasulullah Ancam Pria Tebar Pesona ke Istri Orang

PERTAMA, di antara ciri lelaki yang baik, dia bukan tipe orang yang suka tebar pesona, menggoda banyak wanita. Apalagi sampai mengganggu rumah tangga orang lain. Menarik perhatian istri orang lain, membuka peluang untuk menikah dengannya.

Bahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan ancaman buruk bagi lelaki yang menarik perhatian istri orang lain, hingga merusak hubungan keluarga mereka. Dalam hadis, mereka disebut Khabbab, perbuatannya disebut takhbib.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bukan bagian dariku seseorang yang melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.” (HR. Abu Daud 2175 dan dishahihkan al-Albani)

Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dariku.” (HR. Ahmad 9157 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Ad-Dzahabi mendefinisikan takhbib dengan pernyataan, “Merusak hati wanita terhadap suaminya.” (al-Kabair, hal. 209).

Jika lelaki mantan pacar itu orang saleh, tentu dia tidak akan mengganggu keluarga orang lain. Lelaki semacam ini tidak bisa dipercaya. Bisa jadi, setelah dia menikah dengan anda, dia akan mencari mangsa yang lain, dengan mengganggu istri orang lain.

Kedua, gugat cerai yang dilakukan wanita tanpa sebab, itu dosa besar. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutnya sebagai wanita munafik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafik.” (HR. Nasai 3461 dan dishahihkan al-Albani)

Al-Munawi menjelaskan hadis di atas, “Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.

Beliau juga menjelaskan makna munafik dalam hadis ini, “Munafik amali (munafik kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat. (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami as-Shogiir, 1:607).

Dalam hadis lain, dari Tsauban radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187 dan dihahihkan al-Albani).

Hadis ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat. Dalam Aunul Mabud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna tanpa kondisi mendesak, “Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai” (Aunul Mabud, 6:220)

Ketiga, syukuri keberadaan suami saleh di tengah anda.

Betapa banyak wanita yang merasa keluarganya seperti neraka. Suaminya keras kepala, ibarat setan berkepala manusia. Kasar, keras, dan ucapannya serba menyakitkan. Anda yang diberi oleh Allah suami yang baik, bisa menjadi pemimpin keluarga yang baik, seharusnya sangat bersyukur, karena ini anugerah besar dari Allah untuk anda.

Di sini kita di dunia. Semua serba ada kekurangannya. Karena lelaki dunia bukan malaikat, dan wanita dunia juga bukan bidadari. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK