Ikadi: Islam dan Agama Terdahulu Melarang LGBT

Perilaku LGBT memang menjadi perhatian masyarakat Indonesia saat ini. Padahal, perilaku LGBT sudah jelas dilarang agama dan pernah mendatangkan bencana pada kaum Nabi Luth.

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Prof Dr KH Ahmad Satori Ismail mengatakan Islam selayaknya agama-agama terdahulu, jelas melarang adanya perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Trandsgender (LGBT).

Menurut dia, larangan perilaku LGBT tak hanya tertera di Alquran melainkan juga ada di kitab suci Yahudi dan Nasrani.
“Islam seperti agama sebelumnya, Yahudi dan Nasrani dalam kitab suci mereka pun melarang LGTB,” kata Satori kepada Republika.

Satori berpendapat, Yahudi dan Nasrani cukup kerepotan menghadapi kemunculan perilaku-perilaku LGBT, khususnya di negara-negara barat. Satori merasa kondisi itu sebagai pertanda jelas, kalau umat Islam di Indonesia pun harus bisa menghilangkan perilaku-perilaku LGTB, sebelum sulit lagi disembuhkan.

Pasalnya, lanjut Satori, Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang penduduknya sebagian besar menganut agama Islam. Dengan kondisi itu, perilaku LGBT yang dibiarkan merajalela di Indonesia, akan membuat Islam secara global merugi.

Untuk itu, Satori mengingatkan umat Islam agar senantiasa menguatkan iman dan amal soleh, sehingga memiliki dasar aqidah yang kokoh.

Satori menambahkan dengan aqidah yang kokoh, bukan menjadi sesuatu yang sulit bagi umat Islam kembali kepada fitrah, yang telah ditentukan Allah SWT.

 

sumber: Republika Online

 

Tokoh JIL Serang Mahfud dan Tuding Putra Prabowo LGBT

Tokoh Nahdlatul Ulama sekaligus mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD tidak setuju dengan kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Mahfud pun berpendapat sambil bercanda ketika ditanya pengikutnya terkait isu LGBT yang tengah mengemuka.

“LGBT itu berbahaya dan menjijikkan, tapi penanganannya tak perlu pengawalan Brimob,” katanya melalui akun Twitter-nya,@mohmahfudmd.

Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Akhmad Sahal pun seolah protes dengan pendapat Mahfud. Kandidat doktor di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, itu langsung saja tiba-tiba menuding putra Prabowo Subianto sebagai pengikut LGBT.

“Apakah Didit putra Pak Prabowo Subianto menurut Prof@mohmahfudmd itu berbahaya dan menjijikkan?” katanya melalui akun Twitter, @sahaL_AS.

 

Mendapat “serangan” seperti itu, Mahfud mengaku hanya menyoroti perilaku LGBT, bukan menyebut nama. “Saya tak sebut nama. Tapi sifat dan perilaku. Kalo perilaku, ya siapa pun, anak-cucu siapa pun sama saja. Dikira saya takut?”

Mahfud meneruskan pernyataannya ketika mendapat pertanyaan dari akun @SuaraSocmed terkait keberaniannya di-bully akun pendukung LGBT. “Ya, satu dua saja yang nge-bully, tapi ratusan yang mendukung karena yang saya sampaikan lebih manusiawi dan Indonesiawi. Siapa takut?”

Sahal yang tidak puas kembali membalas kicauan Mahfud. “Bilang LGBT ‘menjijikkan’ itu bukan manusiawi, tapi hujatan. Manusiawi itu menerimanya sebagai manusia, meski tak setuju,” katanya.

 

Sahal pun yakin kalau Abdurrahman Wahid alias Gus Dur masih hidup tidak akan berkomentar seperti Mahfud. “Kalo Gus Dur masih ada, pasti tak akan menghujat LGBT sbg ‘menjijikkan dan membahayakan’, meski GD tak setuju.”

Meski terus diserang, guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu tetap santai dan tidak peduli dengan para pem-bullyyang terus menyerangnya. Sejak dulu saya tak pernah takut di-bully.Track saja di semua medsos. Pem-bully hanya 0,01 % dibanding pendukung. Rasional saja,” kata Mahfud.

Sahal melanjutkan argumennya yang sepertinya kesal dengan pendapat Mahfud. “LGBT itu fakta. Profesor mestinya melihat fakta secara ilmiah. Patokannya bukan sikap personal, tapi ilmu. Hujatan itu tak ilmiah blas, Prof.”

 

 

sumber: Republika Online

Rasa Malu Merupakan Cabang Iman yang Terpenting

Saat ini, kita banyak menyaksikan orang-orang sudah tak malu lagi mempertontonkan kemaksiatan di depan umum. Aksi kemesraan sesama jenis yang diperlihatkan kaum Lesbian, Gay, Bisek dan Transgender (LGBT), ataupun aksi para para selebritis yag mengumbar auratnya di acara-acara televisi.

Bahkan, ada juga kelompok yang mengatasnamakan HAM (hak asasi manusia) membela atau mengadvokasi mereka yang kerap mempertontonkan kemaksiatan tersebut.

Padahal, cara hidup kelompok dengan kemaksiatan itu justru menyebarkan prilaku yang tidak sehat, yang akibatnya mewabahnya virus HIV/AIDS. Alih-alih menyetop prilaku sex bebas, kelompok ini justru membagikan kondom secara gratis.

Fenomena ini membuktikan bahwa rasa malu sudah tak lagi melekat pada diri manusia, sehingga apa yang dilakukan manusia sudah seperti yang kita saksikan pada binatang.

Rasulullah sendiri jauh-jauh hari sudah mengingatkan kepada kita begitu pentingnya rasa malu pada diri manusia, dan rasa malu merupakan cabang terpenting dari iman.

 

 الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً ، أَفْضَلُهَا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

 

Iman itu mempunyai tujuh puluh cabang lebih, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.

Riwayat Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah r.a.

Menurut Kitab  Syarah Mukhraarul Ahaadiits, salah satu cabang iman adalah malu. Rasa malu ini disebutkan dalam hadist ini bahkan juga dalam hadist lainnya, hal ini menunjukkan bahwa malu merupakan cabang terpenting dari iman. Dengan kata lain, tidklah sempurna iman seseorang sebelum ia mempunyai rasa malu, yakni malu kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, serta malu kepada orang-orang mukmin.

 

 

 

Sukarja, dengan mengutip Kitab Syarah Mukhraarul Ahaadiits, Sayyid Ahmad Al-Hasyimi

 

Cerdas Pilih Mainan Hindari Anak dari Kecenderungan LGBT

Orang tua berperan penting untuk membentuk karakter anak sejak kecil dan menghindarkannya dari kecenderungan seksual yang menyimpang. Psikolog pendidikan Alfa Restu Mardhika mengatakan, salah satu contohnya adalah memilihkan anak usia dini dengan mainan sesuai gendernya.

“Seperti kalau anak laki-laki jangan diberikan boneka, namun mobil-mobilan. Dan, kalau anak perempuan, dipilihkan boneka,” ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (26/1).

Restu mengatakan, membentuk karakter anak dapat dimulai sejak umur dua tahun sampai lima tahun. Dia mengaku, sebagian individu yang memiliki kelainan saat remaja, terjadi karena pola asuh yang salah. Sebab, anak lahir bagaikan kertas kosong dan murni.

Selain itu, ada anak laki-laki yang lebih suka bermain dengan anak perempuan. Kemudian, anak perempuan lebih suka bermain dengan anak laki-laki saat masih kecil. Padahal, saat usia anak masih berumur dua hingga lima tahun, kecenderungan anak menjadi penyuka sesama jenis dapat dihindari, terutama kalau orang tua jeli melihat pertumbuhan si anak.

“Atau orang tua juga bisa menceritakan, kalau laki-laki itu nanti akan menjadi seorang ayah. Sedangkan, kalau perempuan nantinya akan menjadi ibu,” tutur dia.

Kemudian, kalau memiliki seorang anak laki-laki dan lebih banyak anak perempuan di rumah, tetap saja sebagai orang tua harus bijak memilihkan mainan untuk sang anak. Meskipun saudaranya perempuan dan dia sendiri laki-laki, bermain dan berkumpul di rumah bersama.

Karena dari hal sederhana, juga termasuk sesuatu yang dapat membentuk karakter anak ke depannya nanti. Jika tidak ditangani sejak kecil, sang anak yang salah asuh dapat salah pergaulan dan menjurus ke pelaku LGBT saat remaja.

 

sumber: Republika Online

Cegah LGBT Anak, Orang Tua Harus Lakukan Pendampingan Penuh

TERSEBARNYA fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di kalangan anak-anak semakin memprihatinkan dan menyedihkan. Pada masa itu, anak-anak sebenarnya tengah mencari jati diri dan perlu mendapatkan arahan dari orang tua.

Demikian dikatakan Widianingsih, M.Pd Pengasuh Rubrik Me and The Children Islampos pada hari Selasa (26/01/2015).

“Persoalan LGBT pada anak ini memang kompleks, tapi salah satu faktor yang sangat mempengaruhinya adalah orang tua kurang memperhatikan mereka,” ujar penggagas Komunitas Sekolah Orang Tua Smart ini kepada Islampos.

Widia menilai, baik orang tua yang bekerja maupun tidak bekerja, harus memperhatikan bagaimana tahap perkembangan anaknya.

“Kita mengenal yang namanya fitrah seksualitas di mana anak-anak itu sudah mengenal gender yang seharusnya sudah dikenalkan sedini mungkin,” tuturnya.

Lebih lanjut Widia menyatakan, penyimpangan itu muncul biasanya pada saat anak sudah mengenal kasih sayang. Sebenarnya, lanjut Widia, dari usia SD, anak sudah mulai terlihat tentang penyimpangan ini.

Widia menilai apabila orang tua dekat dengan anak dan paham tentang perkembangan anak, akan lebih mudah terdeteksi sedini mungkin.

“Orang tua harus serta merta melakukan pendampingan penuh dengan memberikan arahan dan bimbingan kepada anaknya,” tambahnya.

Dalam Al Quran, Allah berfirman, anak sesungguhnya terlahir dalam keadaan fitrah tergantung orang tuanya yang menjadikan anak tersebut yahudi atau nasrani.

“Berarti dalam hal ini, tergantung bagaimana orang tua mendidik anaknya. Harusnya sejak usia dini, anak sudah dibangun mengenai pendidikan akidah dan bagaimana menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan,” tegasnya.

Lebih lanjut Widia menjelaskan, jika anak-anak mengalami masa labil, mereka tidak diterima di rumah maka mereka akan mencari pelarian.

“Pelarian yang mereka lakukan bisa dengan teman sebaya, mendapatkan sesuatu dari internet, sinetron ataupun bacaan yang masih dapat menerima mereka,” lanjutnya.

 

Widia menambahkan, mengatasi hal ini diperlukan kerja keras, kerja cerdas, dan perlu kerja sama dari semua pihak.

“Semua komponen yang berhubungan dengan anak-anak seperti guru, orang tua dan lingkungan harus benar-benar membangun kecerdasan spiritual,” terangnya.

Semua komponen ini bisa saling menguatkan pondasi akidah, menanamkan nilai-nilai islami sejak dini kepada anak. [ry/islampos]

 

sumber: Islam Pos

Muhammadiyah: Cegah LGBT, Tanamkan Pendidikan Agama kepada Anak

Fenomena lesbian dan gay telah merambah dunia kampus. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir meminta para orang tua agar berhati-hati dan senantiasa memberikan perhatian kepada anak-anaknya.

“Ini pelajaran dan peringatan penting bagi para orang tua dan institusi keluarga agar lebih perhatian terhadap anak-anaknya,” ujar Haedar saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (26/1).

Haedar menyampaikan, orang tua berkewajiban memberikan pendidikan kepada anak agar mereka tidak salah memilih jalan hidup. Terutama, orang tua harus bisa memberikan pendidikan agama, akhlak, dan nilai-nilai hidup yang luhur terhadap anak.

Penanaman nilai agama, pengawasan yang positif, dan pola asuh terhadap anak harus ditingkatkan. Haedar mengingatkan agar orang tua selalu mendampingi anak dalam seriap pertumbuhannya. Ia mengatakan, akan tidak boleh dibiarkan tumbuh sendiri, apalagi di tengah gempuran media elektronik dan media sosial yang serbabebas seperti sekarang ini.

“Jangan mengurusi anak sekadar lahir dan materi belaka,” katanya menegaskan.

 

sumber: Republika Online

Perilaku Homoseksual tak Dapat Dilihat dari Pilihan Bermain Saat Anak-Anak

Orang tua harus jeli melihat keseharian perilaku buah hati. Sebagai pihak yang sering menghabiskan waktu bersama anak, orang tua tentu dapat mengamati perilaku anak. Cara tersebut bisa menjadi titik awal mengetahui apakah ada perbedaan dalam orientasi seksual si anak.

“Perhatikan gaya bicara, berpakaian, tingkah laku, dan juga teman-temannya,” ujar psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia kepada Republika.co.id, Selasa (26/1).

Namun, kata dia, ada juga anak yang menutup rapat-rapat tentang dirinya. Apabila anak bersikap seolah ada rahasia dan tidak ingin orang tuanya tahu, inilah yang harus diwaspadai ayah dan ibu.

Orientasi seksual tidak dapat ditentukan dari permainan apa yang dipilihnya. Ciri-ciri apakah seorang anak termasuk homoseksual baru bisa terlihat ketika anak sudah memasuki masa pubertas. Kalau masih di bawah masa pubertas, lanjut dia, tidak masalah anak mau main apa saja.

“Walaupun tidak apa-apa, orang tua bisa mengarahkan anak saat bermain. Misalnya, ketika anak laki-laki bermain boneka, sebaiknya dia berperan sebagai ayah,” kata Vera menjelaskan.

Perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dapat terpengaruh dari lingkungan. Namun, kata Vera, prosesnya tidak semudah itu. Banyak hal yang membuat seseorang mampu terpengaruh, di antaranya latar belakang, nilai agama, dan pengalaman. Seandainya anak memperoleh pengasuhan yang tepat, dekat dengan orang tuanya, baik ayah dan ibu, serta memiliki nilai agama yang kuat, Vera jamin tidak akan terpengaruh.

 

sumber: Republika Online

Bukti Gay-Biseksual Berisiko Terbesar Mengidap HIV

Pasangan sejenis dari kelompok pria, yakni gay dan biseksual, ternyata memiliki risiko untuk mengidap HIV tertinggi di Amerika Serikat.

Gay, biseksual, dan pria yang memiliki kecenderungan seksual dengan pria saat ini mencapai dua persen dari total populasi penduduk di Amerika Serikat.

Dikutip dari Pusat Kendali Penyakit dan Pencegahan (CDC) Amerika Serikat tentang HIV yang beralamat di www.cdc.gov, kelompok gaydan biseksual usia muda (13-24 tahun) tercatat sebanyak 72 persen di antaranya terinfeksi HIV dari kelompok usia penduduk 13-24 tahun.

Sementara, sebanyak 30 persen yang terkena infeksi HIV dari total jumlah kelompok gay dan biseksual (penelitian 2010). (Link sumber CDC).

Pada akhir 2011, setidaknya 500.022 (57 persen) orang yang didiagnosis menderita HIV di Amerika Serikat adalah gay, biseksual, dan kelompok tersebut yang juga menggunakan narkoba.

Pada 2010, sebanyak 63 persen dari jumlah gay dan biseksual pria (semua kelompok umur) diketahui mengidap HIV. Jumlah tersebut diketahui menyumbang 78 persen dari semua pria yang baru terkena penyakit HIV.

Pada akhir 2011, sebanyak 311.087 gay dan biseksual dengan AIDS telah meninggal dunia di Amerika Serikat karena adanya epidemik yang merepresentasikan 47 persen semua orang dengan AIDS.

Dari penelitian tersebut, disimpulkan bahwa “gay dan biseksual pria lebih berpeluang terinfeksi HIV ketimbang kelompok lain di Amerika Serikat”.

Kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) semakin eksis di Amerika Serikat usai adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang melegalkan pernikahan sesama jenis di semua negara bagian pada 28 Juni 2015 lalu. Sebelumnya, terdapat 14 negara bagian yang masih melarang pernikahan sesama jenis.

Di Indonesia, kelompok LGBT kembali ingin menunjukkan eksistensinya di kampus-kampus. Kelompok kajian seks, seperti SGRC UI, didirikan sebagai tempat konsultasi para LGBT. Beberapa pendirinya mengaku sebagai gay.

 

sumber: Republika Online

 

ihh. Amit,..Amit, deh!

Bagaimana Muslim Bersikap Terhadap Lesbian dan Homo?

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) telah menjadi fenomena sosial di tengah masyarakat. Rita Soebagio dari Aliansi Cinta Keluarga (AILA) menilai masyarakat perlu merangkul orang-orang dengan ketertarikan sesama jenis ini, tanpa mengkompromikannya dengan nilai-nilai agama yang tetap. Pandangan Islam terhadap kelompok LGBT sudah jelas.

“Ketika berbicara tentang LBGT, kita berhadapan dengan suatu gerakan sosial. Bukan person to person. Ada orang yang memiliki same sex attraction (SSA) dan gerakan sosial yang mendukungnya,” kata Rita Soebagio dalam Talkshow Holding Hands with LGBT di kampus Universitas Indonesia, Depok, Selasa (22/9) sore.

Bunda Rita menggarisbawahi, kita tidak sedang menumbuhkan kebencian kepada orang per orang. Tidak dipungkiri, ada orang yang mempunyai kecenderungan sesama jenis. Yang ditolak adalah ketika orang-orang ini menampakkan perilaku tersebut di muka umum, membenarkan tindakan mereka, bahkan mempropagandakan LGBT.

Menurut Rita, umat Islam harus mewaspadai gerakan ini. Ada gerakan yang mungkin tidak disadari oleh para SSA sendiri, suatu gerakan didukung oleh dana jutaan dolar. Dengan tuntutan kesetaraan, kelompok LGBT melakukan redefinisi dan dekonstruksi, yang berimbas pada institusi keluarga. Konsep ayah-ibu dirombak sesuai kepentingan kelompok.

Kaum feminis sering berargumen, LGBT sudah lama menjadi bagian dari budaya Indonesia, lewat tradisi bissu, calabai, warok, dan sejenisnya. Menurut Bunda Rita, itu tidak bisa menjadi pembenaran LGBT sudah diterima secara luas di Indonesia. Kendati artikulasi perilaku seksual sejenis bisa didapati dalam budaya daerah, LGBT baru muncul sebagai fenomena sosial dalam masyarakat perkotaan pada abad ke-20.

 

Homoseksual dan Agama

Peneliti Center for Gender Studies (CGS) itu menguraikan gerakan LGBT dimulai pada abad 20 lewat proses legalisasi beberapa produk hukum. Meminjam teori aktivis LGBT Dede Oetomo, perjalanan kelompok LGBT di Indonesia dibagi tiga tahap. Awal 80-an, kelompok LGBT masih belum berani tampil. Memasuki akhir 80-an, mereka mulai masuk lewat advokasi AIDS. Kemudian, fase paling berani terjadi pasca reformasi. Pergerakan kelompok LGBT semakin masif dan tidak lagi malu-malu.

“Antara homoseksualitas dan agama sampai kapanpun benturannya akan keras sekali. Islam sudah jelas pandangannya terhadap LGBT. Sekalipun banyak tafsir-tafsir baru dari kelompok pro-LGBT bermunculan,” lanjut Bunda Rita. Tahun 2014, MUI kembali menguatkan lewat fatwa No. 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan.

Menyikapi LGBT, menurut Bunda Rita, seorang Muslim harus berpegang pada nilai-nilai agama yang tetap. Kendati sangat keras terhadap perilaku sesama jenis, Islam yang rahmatan lil ‘alamin ini juga mengajarkan akhlak dan hak-hak terhadap sesama. Islam mengenal prinsip ta’awanu ala birri wa taqwa, menolong para SSA untuk kembali kepada fitrahnya. Ia mengisahkan, tidak sedikit SSA yang datang dengan segenap kegalauan mengisahkan orientasi seksual mereka.

“Jangan sampai lingkungan semakin menguatkan identitas gender yang salah. Termasuk, lewat tindakan bullying. Bagaimana kita tetap merangkul mereka tanpa kompromi dengan nilai-nilai agama yang tetap. Jangan sampai kita menyisihkan mereka sehingga diambil oleh aktivis gender yang mungkin lebih hangat, kemudian menguatkan potensi SSA itu,” tegas Sekjen AILA itu.

 

sumber: Republika Online

Akun LGBT Marak, Orangtua Diminta Awasi Anak-anak

Tanda kehancuran suatu bangsa bisa dilihat dari deklarasi Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat yang telah melegalkan perkawinan sesama jenis seperti, Lesbian, Homoseksual, Biseksual dan Transgender (LGBT) di seluruh penjuru Amerika, Kamis (25/06/2015) lalu.

Demikian pernyataan disampaikan oleh Direktur Divisi Kokoh Keluarga Indonesia Ar-Rahman Qur’anic Learning (KKI AQL) Islamic Center, Bendri Jaisyurrahman saat ditemui hidayatullah.com, di Puri Casablanca, Jakarta, Selasa (30/06/2015).

Nggak usah berpikir macam-macam, kita tinggal lihat kapan datangnya adzab dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mereka,” cetus Bendri.

Menurut Bendri, Amerika adalah kiblatnya modernisasi dan lifestyle dunia. Untuk itu, katanya, keluarga Indonesia harus bisa mengantisipasi bagaimana supaya dampak legalisasi LGBT di Amerika tidak sampai ke masyarakat Indonesia.

“Anak-anak kita ini masih belum punya kemampuan yang baik untuk menyortir budaya Barat. Mereka hanya melihat sejauh mana trend yang terbaru, justru itulah yang mereka ambil dan ikuti,” ungkap Bendri.

Bendri menegaskan bahwa saat ini Amerika sedang membentuk sebuah trend di bidang kejahiliyahan dengan melegalkan pernikahan sesama jenis. Setelah pernikahan sesama jenis dilegalkan di Amerika, menurutnya, kini tanpa malu-malu mulai banyak bermuncul kaum LGBT ke permukaan (di tengah-tengah masyarakat,red).

“Akun-akun LGBT mulai banyak muncul. Itu yang harus kita antisipasi, saya khawatirnya trend itu menjadi sesuatu yang bisa dimaklumi. Sebab, jika kemaksiatan menjadi trend bisa dianggap sebagai hal yang biasa saja nantinya,” kata Bendri.

Jadi, menurut Bendri, mau tidak mau orangtua harus segera memberikan pemahaman kepada anak-anaknya, mana yang sejatinya bisa diterima dan tidak, serta membedakan antara mana yang haq dan batil. Jika ada orangtua yang tidak bisa melakukan hal itu. Maka, menurutnya, orangtua akan menerima hasilnya, di mana anak akan menerima semua informasi yang diperoleh tanpa menyortirnya terlebih dahulu.

“Nah, pendidikan halal dan haram itu harus sudah dimulai di usia dini. Misalnya kenapa ada anak lelaki menyerupai perempuan, itu anak harus kita tahu. Kita harus bersikap tegas saat anak lelaki kita berhomoseksuala seperti perempuan. Itu salah satu cara yang bisa kita lakukan,” papar Bendri.

Selain itu, Bendri menjelaskan cara antisipasi rusaknya seksualitas (LGBT) itu dengan melibatan peran ayah sebagi tauladan hasanah. Menurutnya, salah satu kenapa alasan perilaku LGBT itu muncul karena peran ayah yang hilang di dalam sebuah keluarga.

“Itu berdasarkan interaksi saya dengan mereka. Saat membimbingan dan membina kaum homoseksual saya tanya kenapa mereka memilih menjadi homoseksual dan mereka menjawab karena merasa sosok ayah telah hilang saat mereka usia dini, bahkan ayah tak lagi dianggap figur baik,” kata Bendri.

“Itu yang membuat anak-anak memiliki persepsi buruk terhadap ayah. Dan akhirnya membuat mereka lebih berpikir untuk membenci lelaki dan ayah,” imbuh Bendri.

Untuk itu, menurut Bendri, ayah harus menjadi figur yang baik bagi jika tak mau anaknya masuk ke dalam hubungan sesama jenis itu. Dan mau tidak mau, ayah juga harus memberikan stimulant yang tepat terhadap anak, di mana anak akan menjadikan ayah sebagai pahlawannya.

“Jika selama ini ada pahlawan namanya Batman, Ironman, dan Superman, maka perlu pahlawan baru namanya Fatherman,” cetus Bendri.

Fatherman itu, jelas Bendri, artinya bahwa ada figur seorang ayah bagi anak-anaknya. Jadi, lanjutnya, bukan lagi seperti Batman, Ironman, dan Superman yang menjadi pahlawan bagi anak-anak melainkan ayah.

“Jika figur ayah itu terbentuk, maka baik anak laki-laki dan perempuan akan senantiasa terjaga dari budaya jahliyah (hubungan sesama jenis.red) itu,” pungkas Bendri.*

 

 

sumber: Hidayatullah