Amalan Memudahkan Masuk Surga dan Terhindar dari Neraka

Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dari Mu’az bin Jabal radhiallahuanhu dia berkata : Saya berkata : Ya Rasulullah, beritahukan saya tentang perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari neraka, beliau bersabda: Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah ta’ala, : Beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya sedikitpun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji. Kemudian beliau (Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam) bersabda: Maukah engkau aku beritahukan tentang pintu-pintu surga ?; Puasa adalah benteng, Sodaqoh akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam (qiyamullail), kemudian beliau membacakan ayat (yang artinya) : “ Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya….”. Kemudian beliau bersabda: Maukah kalian aku beritahukan pokok dari segala perkara, tiangnya dan puncaknya ?, aku menjawab : Mau ya Nabi Allah. Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad. Kemudian beliau bersabda : Maukah kalian aku beritahukan sesuatu (yang jika kalian laksanakan) kalian dapat memiliki semua itu ?, saya berkata : Mau ya Rasulullah. Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda: Jagalah ini (dari perkataan kotor/buruk). Saya berkata: Ya Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ?, beliau bersabda: Ah kamu ini, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkel wajahnya di neraka –atau sabda beliau : diatas hidungnya- selain buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka. (Riwayat Turmuzi , Hadits hasan shahih)

Dalam Hadits ini, Mu’adz Ibn Jabal Radhiyallahu ‘anhu mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw tentang amalan yang dapat membantu seseorang masuk syurga dan terhindar dari neraka. Kisah(asbabul wurud) Hadits ini, ketika Mu’az dan Sahabat lainnya berjalan menuju Tabuk bersama Rasulullah untuk berperang yang terkenal dengan sebutan “ghozwat Tabuk”. Perjalanan itu sangat sulit, jaraknya yang sangat jauh dan jalan yang dilalui tidak nyaman, panas matahari mencekam.

Di awal Hadits tersebut, dalam versi riwayat lain, Muaz menceritakan betapa getirnya perjalanan itu, ketika Mu’az berada paling dekat dengan Rasulullah Saw, lalu ia mendekatkan dirinya dan bertanya tentang pertanyaan tersebut. Hadits ini dan hadits sejenisnya masih banyak, menggambar tentang suatu hal, yakni pandangan hidup ukhrowi yang melekat di kalangan shahabat waktu itu. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada Rasulullah, umumnya bekisar di seputar kerinduan kepada syurga dan kecemasan kepada neraka.  Mereka tidak menanyakan bagaimana supaya cepat kaya.

Lalu jawaban Rasul saw, ialah meyakinkan Mu’adz bahwa persoalan itu sebenarnya mudah dan tak terlalu sulit. Tetapi akan tergantung kepada orang. Mudah bagi siapa dan sulit untuk siapa? Hal itu mudah bagi orang-orang yang diberikan Allah baginya kemudahan untuk mengamalkannya. Namun hal itu akan terasa sulit bagi orang lain. Memang dari isi (contents) jawaban Rasul itu, sepintas lalu terasa mudah, karena itu adalah rukun Islam yang lima.

1). Amal pertama yang disebutkan dalam hadits ini, ialah kebesihan akidah dari segala unsur syirik. Di sini diterangkan hal yang pertama sekali diperhatikan oleh seorang Muslim adalah soal keyakinan akan Allah Swt. Bahwa keyakinan ini harus murni dan bersih dari segala aneka syirik (penyekutuan Allah Swt). Berbagai bentuk Syirik : Di antara bentuk-bentuk syirik, perbuatan yang terkait dengan kuburan atau makam, seperti meminta bantuan dan pertolongan kepada manusia yang sudah meninggal. Atau berkeyakinan bahwa orang yang meninggal dapat memberikan untung dan rugi, karena kedudukannya masa hidupnya sangat dihormati dan diagungkan oleh murid dan pengikutnya.

Ibadaha apapun yang dilakukan seseorang, selama dirinya masih berlumuran dengan syirik, maka ibadah itu akan ditolak. Di dalam al-Quran disebutkan : “Barangsiapa yang mensekutukan Allah swt , maka seluruh amalnya akan punah.”

Menjauhi syirik saja tidaklah cukup, akan tetapi harus dibarengi dengan melaksanakan perintah-perintah Allah Swt yang lain yang terangkum dalam rukun Islam, di antaranya :  2). Menegakkan Shalat. 3). Membayar Zakat, 4). Berpuasa Ramadhan,  5). Menunaikan Haji.

Pintu-pintu Kebajikan :

Di dalam hadits ini Rasul juga menerangkan sejumlah perbuatan yang mulia di mata Allah. Amalan ini sudah jelas berkaitan dengan tujuan pertanyaan semula, yaitu memudahkan seseorang masuk ke dalam syurga dan menjauhkan dari neraka. Ada tiga amal yang disebutkan di dalam potongan hadits ini; puasa, shadaqah dan shalat malam.

1). Puasa. Puasa yang dimaksud di sini tentu tidak sekadar puasa Ramadhan saja. Karena Puasa Ramadhan sudah tertuang pada bagian pertama Hadits ini. Tetapi yang dimaksud di sini adalah puasa tambahan di luar Ramadhan seperti puasa tiga hari setiap bulan Hijriyah, Puasa Senin dan Kamis setiap pekan, Puasa Sya’ban, Puasa enam hari dalam bulan Syawal. Di sini dikatakan, bahwa puasa itu adalah perisai. Perisai di sini artinya adalah tameng atau benteng yang melindungi seseorang dari ancaman musuh. Jadi puasa diibaratkan sebagai perisai yang melindungi orang Mukmin dari maksiat. Sekaligus melindunginya agar tidak masuk ke dalam neraka.

2). Sedekah (shodaqoh). Maksudnya di sini adalah pemberian di luar zakat. Sedekah diibaratkan Nabi seperti air yang memiliki kemampuan memadamkan api. Demikian juga sedekah, mampu menjadi dinding bagi seseorang agar tidak terjerumus ke dalam neraka.

3). Shalat Malam. Shalat Malam adalah salah satu Ibadah yang sangat disukai oleh Allah Swt. Permintaan hamba yang meminta di tengah malam akan dikabulkan oleh Allah Swt, seperti janjiNya yang tertuang di dalam sebuah hadits Qudsiy. Shalat Malam biasa disebut dengan shalat tahajjud atau qiyamullail, lebih mendekati keikhlasan karena jauh dari pandangan orang banyak. Shalat Malam biasanya dilakukan seseorang sendirian, di rumah atau di kamarnya, tiada yang melihat dan mengetahuinya, kecuali dia dan Robb-nya.

Pangkal Agama, Tiang dan Puncaknya Hadits ini juga mengetengahkan tiga istilah (terminologi) :

(1) Pangkal atau induk persoalan agama (ro’su al-amri), adalah Islam. Pada riwayat Ahmad, dikatakan bahwa pangkal agama adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan bahwa Muhammad Saw adalah hamba dan utusan Allah.” Ungkapan terakhir ini tidak lain adalah dua kalimat syahadah (syahadatain) yang merupakan bukti keislaman seseorang.

(2). Tiang atau Penyangga (‘Amud)nya adalah Shalat. Ungkapan ini sebagai tamsil untuk menerangkan betapa kuat dan kokohnya posisi shalat dalam Islam, ibarat tiang bagi sebuah bangunan. Bangunan apalagi dia tinggi, haruslah memiliki tiang, jika tidak, bangunan itu akan runtuh. Jadi Syahadat yang diucapkan seseorang tidak cukup untuk menjaga keislamannya, akan tetapi harus ditopang oleh shalat. Shalatlah yang akan menjadi penghubung antara hamba denga Robb-nya.

(3). Puncak (yang paling tinggi) dari dien ini adalah jihad. Hadits ini adalah salah satu di antara sekian banyak hadits yang menerangkan kedudukan Jihad yang sangat terhormat, paling tinggi di antara seluruh amal sholeh yang ada.  Belakangan ini kebanyakan kaum Muslimin, bahkan Ulamanya, enggan menyebut kata “jihad”, seolah-olah Jihad merupakan perbuatan jahat dan tercela. Na’uzubillah min dzalik. Kaum Muslimin telah jatuh dalam perangkap musuh Islam yang berusaha menjauhkan terminology jihad dari Islam dan menganggapnya sebagai perbuatan yang tercela. Andaikan mereka terpaksa menyebut Jihad, mereka mencoba lari dari pengertian yang hakiki.

Sering dikatakan Jihad tak usah diartikan sebagai perang, tetapi banyak amal perbuatan yang tergolong dalam jihad. Merekapun mencari-cari rujukan dari perkataan Ulama terdahulu sebagai dalil/alasan untuk mendukung pendapat mereka ini, dengan mengatakan bahwa pengertian Jihad adalah memberantas syirik, mengajarkan ilmu. Ini sudah cukup diartikan sebagai Jihad.

Kita tak boleh lupa bahwa Jihad dalam arti perang itulah yang mampu mengusir Prancis dari Aljazair, mengusir Belanda dari Indonesia, mengusir Itali dari Libya, mengusir Inggris dari Mesir dan India, serta penjajah-penjajah lainnya dari bumi Islam. Pengertian ini tak boleh kita simpangkan ke makna lain, sekalipun tidak dipungkiri bahwa kata Jihad itu maknanya dapat diperluas ke bidang-bidang yang lain yang di sana terdapat suatu perjuangan dan perlawanan, seperti jihad pemikiran.

Salah satu strategi Barat akhir-akhir ini untuk melawan Islam, menempelkan jihad pada terorisme dengan tujuan untuk membuat dunia alergi kepada Islam dan bahkan membencinya. Jihad dan terorisme merupakan dua perbuatan yang berbeda secara total. Jihad adalah perbuatan mulia dan terhormat, sedang terorisme adalah perbuatan tercela dan penakut.

Bahaya Mulut

Di dalam Hadits ini, Rasulullah mengingatkan kepada Mu’az suatu hal yang sering disepelekan banyak orang, yaitu bahaya lidah/mulut. Rasulullah menyebut sikap mawas diri terhadap bahaya lidah sebagai ‘kendali semua itu’. Bahkan Rasulullah sebagai bentuk penekanan yang sangat tajam, mengambil lidahnya seraya berkata : “Jaga yang satu ini.” Rasul mengingatkan dengan serius dan menerangkan bahwa kebanyakan orang terjerumus ke dalam neraka, disebabkan oleh karena lidahnya.

Tentu saja yang dimaksud di sini, penggunaan lidah untuk perbuatan yang menimbulkan dosa dan murka Allah swt seperti berbohong, memfitnah, menggosip, menggunjing, memaki, mengejek, menghina dan sejenisnya. Di dalam sebuah Hadits lain diterangkan, bahwa seseorang gara-gara mengeluarkan ucapan yang membuat Allah menjadi murka, akan dilemparkan kelak ke dalam neraka dan mendekam selama empat puluh tahun di neraka itu. Bukankah hadits ini membuat kita menjadi takut untuk berbicara sembarangan? Sedangkan penggunaan lidah untuk perbuatan mulia, seperti menasehati orang, menunjuki orang ke jalan yang benar, berdakwah, emmbaca al-Qur’an, membantah kebatilan yang dilontarkan oleh musuh Islam, justru menuai pahala dan ridho Allah Swt. Mari jaga lidah masing-masing. []

 

sumber: Suara Islam

Korupsi dalam Pandangan Islam

 “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Q.S. Al Imran [3] : 161)

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 188)

 

Pengertian Umum

Dua ayat di atas memang tidak secara spesifik berbicara tentang tindak pidana korupsi, tetapi menjelaskan tentang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, seperti yang terjadi pada tindak pidana korupsi. Korupsi pada hakikatnya juga mengambil harta orang lain dengan berbagai cara yang tidak dibenarkan. Ayat pertama menjelaskan salah satu contoh mengambil harta orang lain tanpa hak, yaitu  penggelapan harta rampasan perang. Kalau diamati kasus-kasus korupsi yang diberitakan oleh berbagai media, maka penggelapan adalah sebagai salah satu dari  bentuk korupsi.

Ayat ini menjelaskan betapa buruknya perbuatan ini, dengan menyatakan bahwa perbuatan itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang nabi yang mempunyai kepribadian yang mulia, bersifat amanah dan terpelihara dari berbuat yang buruk. Kemudian buruknya perbuatan ini dipertegas dengan hukuman yang ditetapkan Allah bagi pelaku penggelapan nanti di hari kiamat.

Mereka akan dipermalukan  dengan memanggul barang yang mereka gelapkan itu, agar perbuatan yang dahulu mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi itu diketahui oleh orang banyak , sehingga aibnya terbuka, yang membuat semakin pedihnya azab. Kemudian Allah menegaskan bahwa tidak ada satu perbuatanpun yang akan luput dari pembalasan.

Selanjutnya, pada ayat yang kedua dijelaskan larangan memakan harta orang lain secara batil. Larangan ini menunjukkan pada hukum haram. Artinya, haram memakan/mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan syari’at, seperti riba, risywah/suap/gratifikasi, penggelapan, korupsi, pencurian, perampokan, penipuan dan lain sebagainya. Kemudian Allah secara khusus menyebutkan  tentang (larangan) penyuapan terhadap hakim, agar hakim memutus dengan tidak adil, yaitu memenangkan pihak yang menyuap. Untuk lebih jelasnya tentang dua ayat ini dapat dilihat pada penjelasan ayat berikut:

 

Penjelasan

 

Kata kunci dalam ayat ini adalah yaghul (al-ghal,al-ghuluul), berarti khianat. Pengertian asalnya adalah mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi (penggelapan/korupsi, pencurian). Kata ini banyak dipakai untuk penggelapan atau pengkhianatan terkait harta rampasan perang sebelum dibagikan. Tetapi, sebenarnya menurut bahasa kata ini dipakai untuk pengkhianatan secara umum.

Di awal ayat ini Allah menegaskan bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi, yang Allah telah memelihara mereka dari segala perilaku tidak terpuji (ma’shuum), berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, seperti yang dikhawatirkan oleh segolongan pasukan pemanah pada perang Uhud yang melanggar perintah Nabi Saw, dengan meninggalkan posisi mereka, ketika melihat tanda-tanda kekalahan pasukan musuh di awal-awal peperangan, karena khawatir tidak akan mendapatkan harta rampasan perang, karena akan dimonopoli oleh pasukan lain yang ada di depan kalau mereka tidak mengambilnya sendiri. Terkait hal ini diriwayatkan bahwa Rasul menegur mereka dengan mengatakan, “Apakah kalian mengira kami akan berkhianat dan tidak akan membagi-bagikan ghanimah kepada kalian?”

Dengan demikian, awal ayat ini menjawab keragu-raguan segolongan sahabat Nabi dan sekaligus memberi penegasan bahwa: Dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin seorang Nabi manapun berkhianat, termasuk dalam pembagian harta rampasan perang, karena salah satu sifat mutlak nabi itu adalah amanah. Karena Nabi adalah contoh teladan utama bagi umatnya, maka umatnya pun semestinya tidak wajar melakukan pengkhianatan, berupa penggelapan, korupsi, risywah dan lain sebagainya.

Dalam lanjutan ayat dijelaskan akibat hukum bagi para pengkhianat yang melakukan penggelapan/korupsi, yaitu:

 

Siapa saja yang melakukan penggelapan, pada hari kiamat akan datang dengan membawa apa yang digelapkan/dikorupsinya itu. Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang khutbah nabi yang menjelaskan hukuman akhirat yang akan diterima oleh orang yang melakukan penggelapan/korupsi dengan dipermalukan di hadapan Allah, yaitu dengan memikul barang yang digelapkannya, seperti unta, kuda, pakaian, emas dan perak. Dalam keadaan sulit itu, mereka berteriak minta tolong kepada Rasul dengan mengatakan: “Ya Rasulullah tolonglah aku!” Aku (Rasul) akan menjawab: “Aku tidak dapat  berbuat apa-apa di hadapan Allah untukmu, karena aku telah menyampaikan kepadamu (tentang haramnya perbuatan itu).” Ada yang memahaminya dalam arti hakikat, bahwa mereka benar-benar memikul barang-barang yang digelapkan atau dikorupsinya. Orang itu sangat malu dan tersiksa dengan beban yang dipikulnya itu, karena semua mata tertuju kepadanya. Dan ada yang memahaminya sebagai suatu perumpamaan, dalam arti bahwa para pelaku akan membawa dosa akibat perbuatannya itu, seperti orang yang memikul barang-barang yang digelapkannya, sehingga ia sangat kepayahan, dan tidak seorangpun mau menolongnya. Lalu ia menuju orang yang diharapkan bisa menolongnya, dalam hal ini Rasul, tetapi perkiraannya salah, karena Rasulpun tidak mau menolongnya. Sementara itu, Abu Muslim al-Asfihani mengatakan bahwa yang dimaksud dengan  al-Ityaan/ya’tiy pada ayat ini adalah, bahwa Allah mengetahui benar perbuatan mereka dan akan menyingkapkan lebar-lebar. Artinya, walaupun perbuatan penggelapan dan seumpamanya itu dilakukan dengan sangat tersembunyi, sehingga mungkin tidak seorangpun yang tahu, tetapi itu akan diketahui oleh Allah. Kelak, di hari kiamat Allah akan menampakkan perbuatan itu kepada pelakunya.

 

Kemudian setiap diri akan diberi balasan terhadap apa yang dikerjakannya dengan (pembalasan) yang setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. Pembicaraan mengenai pembalasan ini bersifat umum untuk semua perbuatan, walaupun konteks pembicaraan di awal terkait dengan pelaku penggelapan. Hal ini merupakan penegasan pembalasan itu adalah pasti untuk semua perbuatan dosa yang dilakukan, baik kecil maupun besar, seperti yang dinyatakan oleh firman Allah dalam Q.S. Al Kahfi (18) : 49.

 

Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain secara batil. Artinya mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak diizinkan oleh aturan syari’at. Di dalam ayat ini digunakan lafazamwaalakum/harta kamu. Ini menurut para mufassir mengandung beberapa makna, yaitu; bahwa pada dasarnya umat adalah satu dalam menjalin kerja sama, dan harta itu diperoleh dari hasil interaksi antara satu dengan yang lain. Di samping itu harta itu juga semestinya memiliki fungsi sosial, dimana sebagian dari yang dimiliki oleh seseorang adalah juga merupakan milik orang lain. Dengan demikian, menghormati harta orang lain pada hakikatnya menghormati harta sendiri. Begitu juga sebaliknya.

Larangan di dalam ayat ini adalah memakan harta orang lain dengan cara batil. Menurut Ali Ash-Shaabuuni, yang dimaksud al-baathil secara terminologi adalah, harta yang haram, seperti harta yang didapat dengan jalan merampok, mencuri, berjudi dan riba. Sementara itu al-Maraghi  menyebutkan bahwa yang termasuk kepada al-baathil itu adalah riba, risywah/suap/gratifikasi, harta zakat yang diambil oleh orang yang tidak berhak, hasil penjualan jimat dan seumpamanya, gashab manfaat, misalnya mempekerjakan orang tanpa diberi upah, atau memberi upah yang tidak pantas, penipuan dan pemerasan, upah melakukan ibadah.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa seseorang dilarang mencari kekayaan dan penghidupan dengan cara-cara yang dilarang oleh syari’at, karena hal itu akan merugikan orang lain.

 

Dan janganlah kamu menyuap/menyogok hakim atau dengan memberikan keterangan yang palsu dengan maksud bisa menguasai harta yang bukan milikmu. Artinya, janganlah kamu meminta bantuan hakim untuk mengambil harta orang lain dengan cara batil, karena perbuatan itu hukumnya haram dan berdosa.

Larangan membawa perkara harta ini kepada hakim itu adalah karena tujuannya tidak benar, yaitu agar bisa mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar, seperti berbohong, sumpah dan kesaksian palsu, dan lain sebagainya. Padahal kamu (hatimu) tahu dan sadar betul  bahwa perbuatanmu itu adalah salah dan berdosa.

Meminta bantuan hakim untuk mendapatkan pembenaran formal, tidak akan mengubah hukum di sisi Allah, karena  putusan hakim, pada dasarnya sama sekali tidak bisa mengubah yang haram jadi halal atau sebaliknya. Hakim hanya bisa memberikan keputusan berdasarkan fakta-fakta  lahiriah yang ada di persidangan.

Bila hakim memutuskan seseorang menang di pengadilan berdasarkan fakta di persidangan, sedangkan sebenarnya itu bukan haknya, maka putusan pengadilan tidak bisa menghalalkan yang haram itu.

Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,  Muslim dan beberapa perawi lain dari Ummu Salamah, disebutkan bahwa ketika dua orang yang bersengketa tentang satu objek harta datang kepada Nabi, Beliau bersabda:

“Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian; dan kalian mengadukan sesuatu kepada saya. Boleh jadi salah seorang di antara kalian lebih pintar dalam memberikan argumentasi dari yang lain, lalu aku memutus sesuai dengan keterangan yang aku dengar. Siapa yang aku putuskan baginya sesuatu  dari hak saudaranya, lalu ia mengambilnya, berarti aku telah memberikan kepadanya sepotong api neraka.”

Mendengarkan penjelasan Nabi ini, maka kedua orang itu menangis, lalu yang satu berkata kepada saudaranya: “Kepunyaanku terserah kepada temanku ini.”Kemudian Rasul berkata kepada keduanya: “Pergilah kalian, capailah tujuan dengan cara yang benar. Lakukanlah undian, dan sesudah itu hendaklah kalian saling memaafkan.”

Ayat dan hadits ini, menjadi panduan yang berharga bagi orang yang beriman dalam masalah hukum yang menyangkut hak/harta, menjadi siapapun dia, apakah hakim, pembela, penggugat, ataupun tergugat.

Para hakim dituntut memutus secara benar, jangan pernah mau disogok dan ditekan, para pembela jangan hanya berfikir yang penting kliennya menang, para penggugat dan tergugat, jangan pernah mau menggugat dan  mengambil yang bukan haknya.

 

Dr. Hj. Isnawati Rais, MA.

sumber dan selengkapnya: Tabligh.or.id