Hukum Memindahkan Makam karena Ingin Dekat Keluarga

Belum lama ini kita mendengar kabar mengenai rencana pemindahan makam artis vanessa angel. Rencana pemindahan makam tersebut dilakukan dengan tujuan makam Vanessa Angel dapat lebih dekat dengan makam ibunya. Lantas, bagaimanakah hukum memindahkan makam karena ingin dekat keluarga?

Dalam literatur fikih Syafi’i, terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa pemindahan makam hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini karena pemindahan jenazah dapat merusak kehormatan jenazah. Sebagaimana disebutkan dalam keterangan kitab Al-Sirajul Wahhaj berikut,

و كذلك يحرم نقله بعد دفنه الا لضرورة

Artinya : “Begitu juga haram memindahkan jenazah setelah dikuburkan kecuali karena darurat.”

Syekh Salim bin Sumair dalam kitabnya menjelaskan beberapa kondisi yang dapat dikategorikan sebagai udzur dibolehkannya membongkar dan memindahkan kuburan. Udzur – udzur tersebut diantaranya karena untuk memandikan jenazah bila kondisinya masih belum berubah, untuk menghadapkannya ke arah kiblat, karena adanya harta yang ikut terkubur bersamanya, dan bila si mayat seorang perempuan yang di dalam perutnya terdapat janin yang dimungkinkan masih hidup.

Udzur di atas sangat diperhatikan karena pada dasarnya seseorang diharamkan untuk memindahkan makam kecuali dalam kondisi tertentu. Sedangkan alasan pemindahan karena ingin dekat dengan makam keluarga itu masih belum memenuhi syarat untuk bolehnya memindahkan kuburan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Safinatun Naja, halaman 53 berikut,

ينبش الميت لأربع خصال: للغسل إذا لم يتغير ولتوجيهه إلى القبلة وللمال اذا دفن معه وللمرأة اذا دفن جنينها معها وأمكنت حياته

 Artinya: “Mayit yang telah dikubur boleh digali kembali dengan empat alasan: untuk memandikannya bila kondisinya masih belum berubah, untuk menghadapkannya ke arah kiblat, karena adanya harta yang ikut terkubur bersamanya, dan bila si mayat seorang perempuan yang di dalam perutnya terdapat janin yang dimungkinkan masih hidup.”

Namun demikian, mazhab Maliki memperbolehkan pemindahan jenazah setelah dikuburkan dengan tujuan supaya lebih dekat dengan keluarganya. Hal ini dengan syarat pemindahan tersebut tidak merusak tubuh jenazah sehingga akan menodai kehormatan mayyit. Sebagaimana dalam Kitab al-Syarh al-Kabir juz 1 hal. 421 berikut,

و) جاز (نقل) الميت قبل الدفن وكذا بعده من مكان إلى آخر بشرط أن لا ينفجر حال نقله وأن لا تنتهك حرمته وأن يكون لمصلحة كأن يخاف عليه أن يأكله البحر أو ترجى بركة الموضع المنقول إليه أو ليدفن بين أهله أو لأجل قرب زيارة أهله (وإن) كان النقل (من بدو) إلى حضر

Artinya : “Diperbolehkan memindahkan mayit baik sebelum maupun setelah dikuburkan asal pemindahan tersebut tidak sampai menyebabkan mayit terpecah sehingga dapat menodai kehormatan mayit (menyebabkan aib bagi mayit), dan disyaratkan adanya maslahat dalam pemindahan itu seperti dipindahkan karena khawatir mayit akan tergerus air laut, atau pemindahan mayit tersebut untuk dipindahkan ketempat yang lebih berkah atau akan dimakamkan diantara keluarganya atau supaya keluarganya lebih dekat untuk menziarahi kuburannya.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dalam literatur fikih Syafi’i, pemindahan jenazah karena ingin dekat dengan makam keluarga itu masih belum memenuhi syarat untuk bolehnya memindahkan kuburan. Namun, mazhab Maliki masih memperbolehkan hal itu dengan syarat pemindahan tersebut tidak merusak tubuh jenazah.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Lebih Baik Menguburkan Jenazah di Pemakaman Umum Atau Pemakaman Keluarga?

Terdapat sebagian orang yang lebih suka menguburkan keluarganya yang meninggal di pemakaman keluarga sendiri dibanding menguburkan di pemakanan umum. Salah satu alasannya adalah agar lebih mudah merawat kuburan keluarganya karena tidak bercampur dengan kuburan orang umum. Sebenarnya, bagaimana hukum membuat pemakaman keluarga ini, dan lebih baik mana antara menguburkan jenazah di pemakaman umum dan pemakaman keluarga? (Baca: Doa Tahlil Ketika Mengangkat Jenazah untuk Dibawa Ke Pemakaman)

Menurut para ulama, membuat pemakaman khusus untuk keluarga hukumnya adalah boleh, namun makruh. Mereka mengatakan bahwa sebaiknya jenazah dikuburkan di pemakaman umum bersama jenazah para kaum muslimin yang lain.

Hal ini karena mengubur jenazah di pemakaman umum merupakan sunnah Nabi Saw. Nabi Saw senantiasa menguburkan jenazah para sahabat di pemakaman umum, yaitu Baqi. Selain itu, jenazah yang dikuburkan di pemakaman umum akan sering mendapatkan doa kaum muslimin yang berziarah dibanding yang dikubur di pemakaman khusus keluarga sendiri.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

المقبرة أفضل مكان للدفن ، وذلك للاتباع ، ولنيل دعاء الطارقين ، وفي أفضل مقبرة بالبلد أولى وانما دفن النبي صلى الله عليه وسلم في بيته لان من خواص الانبياء انهم لدفنون حيث يموتون. ويكره الدفن في الدار ولو كان الميت صغيرا

Pemakaman umum adalah tempat terbaik untuk kuburan mayit. Selain dalam rangka mengikuti sunah Nabi Saw, juga untuk mendapatkan doa setiap orang yang melewatinya. Dan disarankan dikuburkan di pemakaman terbaik di daerahnya. Adapun Nabi Saw dikuburkan di dalam rumahnya karena di antara keistimewaan para nabi adalah dikubur di tempat di mana mereka wafat. Dan makruh menguburkan jenazah di dalam rumah, meskipun jenazah tersebut merupakan jenazah anak kecil.

Juga disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah sebagai berikut;

دفن الميت فرض كفاية، والدفن في المقبرة أفضل من غيرها؛ وذلك للاتِّباع، ولنيل دعاء الزائرين، وإنما دُفن النبي صلى الله عليه وآله وسلم في بيته؛ لأن من خواص الأنبياء عليهم الصلاة والسلام أنهم يدفنون حيث يموتون.قال الإمام النووي في روضة الطالبين: بَابٌ: الدَّفْنُ… أَنَّهُ فَرْضُ كِفَايَةٍ، وَيَجُوزُ فِي غَيْرِ الْمَقْبَرَةِ، لَكِنْ فِيهَا أَفْضَلُ

Menguburkan mayit adalah fardhu kifayah, dan menguburkan di pemakaman umum lebih utama dibanding lainnya. Selain dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Saw, juga untuk mendapatkan doa setiap orang yang berziarah. Adapun Nabi Saw dikuburkan di dalam rumahnya karena di antara keistimewaan para nabi adalah dikubur di tempat di mana mereka wafat. Imam Al-Nawawi berkata dalam kitab Raudhatut Thalibin berikut; Bab; menguburkan (mayit) adalah fardhu kifayah, dan boleh menguburkannya di selain pemakaman umum, akan tetapi menguburkan di pemakaman umum adalah lebih utama.

BINCANG SYARIAH

Hukum Menulis Sebagian Ayat Al-Quran di Nisan Kuburan

Umumnya, nisan kuburan hanya ditulisi nama orang yang dikubur. Namun terdapat sebagian nisan kuburan yang tidak hanya ditulisi nama orang yang dikubur, tetapi juga ditulisi sebagian ayat Al-Quran, seperti ayat ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’un’, dan ayat-ayat lainnya. Bagaimana hukum menulis sebagian ayat Al-Quran di nisan kuburan, apakah boleh?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum menulis ayat-ayat Al-Quran tertentu di nisan kuburan. Setidaknya, ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama, menurut ulama Malikiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran tertentu di batu nisan kuburan adalah haram. Sementara jika yang ditulis adalah nama jenazah, tanggal lahir dan tanggal wafatnya, maka hukumnya adalah makruh.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah berikut;

المالكية قالوا: الكتابة على القبر إن كانت قرآنا حرمت، وإن كانت لبيان اسمه، أو تاريخ موته، فهي مكروهة

Ulama Malikiyah berkata; Menulis di atas kuburan, jika tulisan tersebut adalah Al-Quran, maka hukumnya haram. Namun jika tulisan tersebut adalah untuk menjelaskan nama dan tanggal wafat jenazah, maka dimakruhkan.

Kedua, menurut ulama Syafiiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran di batu nisan kuburan, jika bukan kuburan orang alim atau orang shalih, maka hukumnya adalah makruh. Namun jika kuburan orang alim atau shalih, maka tidak masalah menulis ayat-ayat Al-Quran, nama, tanggal lahir dan tanggal wafat pada batu nisannya. Ini bertujuan untuk membedakan antara kuburan orang alim dan orang shalih dengan kuburan orang-orang pada umumnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah berikut;

الشافعية قالوا: الكتابة على القبر مكروهة، سواء كانت قرآنا أو غيره، إلا إذا كان قبر عالم أو صالح، فيندب كتابة اسمه، وما يميزه ليعرف

Ulama Syafiiyah berkata; Menulis di atas kuburan hukumnya makruh, baik tulisan tersebut berupa al-Quran atau lainnya. Kecuali kuburan orang alim atau orang shalih, maka sunah menulis namanya dan sesuatu yang bisa membedakannya agar bisa diketahui.

Dengan demikian, melalui penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa menurut ulama Malikiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran di batu nisan kuburan hukumnya adalah haram. Sementara menurut ulama Syafiiyah, jika kuburan orang alim atau shalih, maka boleh menulis ayat Al-Quran di batu nisannya, dan adapun kuburan selain orang alim dan shalih tidak boleh.

BINCANG SYARIAH

Hai Jiwa yang Tenang, Kembalilah Pada Tuhanmu (1)

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diradai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)

Wahai jiwa yang telah yakin pada kebenaran, tidak diliputi keraguan, tetap pada aturan syariat, tidak tergoda dengan syahwat (nafsu duniawi), serta tidak tergoyahkan dengan keinginan semu, kembalilah pada tempat yang mulia di sisi Tuhanmu, yang telah rida dengan segala amalmu ketika di dunia, keridaan atasmu…maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang mulia, tempuhlah jalan mereka…maka nikmatilah segala yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, terdetik dalam hati. Demikian penjelasan Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, Al-Maraghi, ketika menafsirkan rangkaian ayat di atas.

Di dalam Alquran, kata yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna jiwa adalah kata ‘nafs’. Secara eksplisit, Alquran menyebut tiga jenis nafs, yaitu: 1) al-nafs al-muthmainnah, terdapat dalam QS. Al-Fajr [89]: 27; 2) al-nafs al-lawwamah, terdapat dalam QS. Al-Qiyamah [75]: 2; 3) al-nafs al-ammarah bi al-su’, terdapat dalam QS. Yusuf [12]: 53.

Selain ketiga jenis nafs di atas, Alquran juga menyebut istilah nafs zakiyyah, seperti terdapat dalam QS. Al-Kahfi [18]: 74.

Menurut Ahmad Mubarok dalam bukunya, Jiwa dakan Alquran, dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya maha suci (zakiyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespons secara positif terhadap lingkungan hidupnya, maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs muthmainnah, setelah terlebih dahulu berproses di dalam tingkat nafs lawwamah. Akan tetapi, jika nafs itu merespons lingkungan secara negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya. [Didi Junaedi]/bersambung…

INILAH MOZAIK