Halalkah Makan dari Piring Non Muslim?

Pertanyaan :

ass.wr. wb.

Ustazyangdi rahmati Allah.

saya ingin bertanya, saya bekerja dilingkungan non muslim, dan yang mengganjal di diri saya adalah, saya sering diundang pada acara-acara tertentu yang akhirnya disuguhi makanan. sering saya tidak datang, tapi kalau di gedung dan nasinya nasi box dari rumah makan padang, biasanya saya baru akan makan.

Mereka selalu bilang, tenang bu.. ga ada babinya kok. sajianbabi di pisah sama ayam koq. ih.saya sudah bergidik mendengarnya. saya pernah baca, barang-barang yang pernah kena najis besar seperti anjing dan babi, jika belum disama’ tetap saja bernajis.

Tidak hanya itu, saya juga bingung, menempatkan fikih atau akhlak toleransi, karena setiap hari teman dikantor sering bawa makanan yang dimasak dirumahnya (teman saya non-Islam), sering berbagai alasan saya tolak tetapi beberapa kali saya makan juga karena sungkan selalu menolak.

Sepertinya saya tidak konsekuen, mereka tahu babi dan anjing haram buat kita muslim, tetapi apakah makanan yang mereka masak juga jadi haram semuanya. Mereka malah membuat kesimpulan, bahwa makanan yang dimasak oleh orang kristen adalah haram bagi orang Islam.

Bagaimana ustaz. tolong jelaskan.


Jawaban:

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kalau teman-teman non muslim anda menawarkan makanan kepada Anda, itu berarti mereka adalah kawan anda. Buktinya, mereka sampai mau berbagi dalam masalah makanan.

Dan yang namanya kawan pasti tidak mau menjerumuskan, atau tidak akan melecehkan diri anda. Termasuk tidak ingin menghalangi anda dari menjalankan agama anda dengan baik. Dan rasanya, hampir tidak ada orang non muslim yang tidak tahu, bahwa babi dan anjing itu hukumnya haram dimakan oleh muslim. Demikian juga dengan khamar.

Kita tidak boleh memperlaukan seorang non muslim seolah sebagai orang yang ingin menjerumuskan, menjebak atau menelikung kita. Memang ada kalangan non muslim yang demikian, namun tidak semuanya.Wadah Makanan Bekas Najis

Yang anda khawatirkan barangkali kalau-kalau teman non muslim itu pernah memasak dan memakan makanan yang termasuk najis. Sebenarnya najis itu ada tiga macam, mulai dari yang ringan, sedang dan berat.

Najis yang ringan sering dicontohkan dengan air kencing bayi laki-laki yang belum minum atau makan apapun kecuali air susu ibunya. Di tengah-tengahnya ada najis sedang seperti darah, nanah, bangkai dan lainnya. Cara mensucikannya cukup dengan dicuci pakai air hingga hilang warna, rasa dan aroma najisnya.

Adapun najis yang terakhir adalah najis yang berat (mughalladzhah). Najis seperti ini memang tidak bisa menjadi suci hanya dengan dicuci pakai air saja. Sucinya dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan air.

Ritual ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW ketika menyebutkan cara mencuci wadah yang berisi air namun sempat diminum atau dimasuki moncong anjing.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila anjing minum dari wadah air milikmu, harus dicuci tujuh kali.(HR Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW bersabda, “Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.(HR Muslim dan Ahmad)

Oleh para ulama, ketentuan pensucian najis air liur anjing ini disamakan dengan pensucian babi yang keduanya dikelompokkan sebagai najis berat.

Maka bila kita mengacu kepada pengelompokan najis, piring milik saudara kita yang non muslim itu belum tentu semuanya harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Karena tidak selalu mereka memasak anjing atau babi.

Mungkin saja mereka hanya memakan bangkai hewan yang tidak disembelih sesuai dengan syariah. Hukumnya buka najis berat tapi najis sedang, jadi najisnya akan hilang saat piring-piring itu dicuci biasa.

Adapun bila kita hanya berpraduga secara umum, misalnya kita bilang, ‘jangan-jangan piring ini pernah digunakan untuk wadah daging anjing atau babi’, sebetulnya dugaan itu belum mengubah status hukum.

Karena sebuah status hukum itu harus didasarkan pada sesuatu yang nyata dan terbukti, tidak cukup hanya dengan dugaan. Kalau kita pernah lihat langsung, atau si non muslim itu jujur mengatakan bahwa piring itu pernah dipakai untuk wadah anjing atau babi, barulah saat itu status hukumnya menjadi pasti. Dan barulah saat itu kita diharamkan menggunakan piring itu sebelum kita sucikan sesuai syariah.

Namun selama kita masih menduga-duga, apalagi bahkan si pemilik piring pun menampik bahwa piring itu pernah digunakan untuk wadah anjing atau babi, maka status hukum piring itu masih sesuai asalnya, yaitu tidak najis. Atau minimal sesuai dengan keadaan pisik yang anda lihat, bersih dan suci.

Kita tidak akan dimintai pertanggung-jawaban dari Allah SWT atas segala hal yang di luar yang nyata di hadapan kita. Kalau secara lahiriyah piring itu suci, maka hukumnya suci. Seandainya diam-diam teman kita yang non muslim itu secara sengaja berbohong untuk menjebak kita, insya Allah kita terbebas dari dosa.

Kesimpulan jawaban ini bisa kita ringkas dalam sebuah kaidah: nahnu nahkumu didzdzhawahir wallahu yatawallas-sarair. Kita menetapkan hukum berdasarkan lahiriyah, sedangkan yang tersembunyi menjadi urusan Allah.

Wallahu a’lam bishshwab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

RUMAH FIQIH

Kaitan Antara Makanan Halal dan Terkabulnya Doa

Doa tidak diterima kecuali orang makan dari sumber yang halal.

Terdapat sebuah hadits yang mengisyaratkan doa tidak diterima kecuali orang yang berdoa memakan makanan dari sumber yang halal.

Allah SWT juga memerintah para Rasululullah SAW dan umatnya memakan makanan yang baik dan halal kemudian mengerjakan amal saleh. Perintah ini tertulis pada Surah Al-Mu’minuun ayat 51 yang artinya, “Wahai para Rasul makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal saleh.”

Abu Hurairah berkata Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para Rasul.

Maka Allah Ta’ala berfirman: Wahai para Rasul makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shaleh (surah al-Mu’minuun Ayat 51). Kemudian Allah Ta’ala berfirman: Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu (surat al-Baqarah ayat 172).

Kemudian Nabi Muhammad SAW menyebutkan orang yang lama bepergian, rambutnya kusut, berdebu dan menengadahkan kedua tangannya ke langit (untuk berdoa); Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan terkabul? (HR Muslim).

Mengutip Syarah Arba’in Nawawi, dalam hadis tersebut terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal. Makanan haram dapat merusak amal dan membuatnya tidak diterima.

KHAZANAH REPUBLIKA

Jenis Makanan Halal dan Haram dalam Islam

Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan beberapa kaidah dan kriteria makanan halal menurut Islam.

Pada tulisan ini insya Allah akan dijelaskan jenis-jenis makanan yang diharamkan. Namun sebelumnya akan disebutkan terlebih dahulu beberapa sebab suatu makanan dan minuman menjadi haram. Syekh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam kitabnya Shahih Fiqih Sunnah menyebutkan bahwa makanan dan minuman menjadi haram karena salah satu dari lima sebab berikut;
1. Membawa mudharat pada badan dan akal (sebagaiman disinggung pada kaidah ketiga di edisi lalu),
2. Memabukkan. Merusak akal, dan menghilangkan kesadaran (seperti khamr dan narkoba),
3. Najis atau mengandung najis,
4. Menjijikkan menurut pandangan orang kebanyakkan yang masih lurus fitrahnya, dan
5. Tidak diberi idzin oleh syariat karena makanan/minuman tersebut milik orang lain. Artinya haram mengkonsumsinya tanpa seidzin pemiliknya.

Jenis-jenis Makanan dan Minuman Yang Diharamkan
Salah satu kaidah yang masyhur dalam urusan makanan adalah bahwa segala sesuatu hukumnya halal, kecuali yang disebutkan pengharamannya dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Oleh karena itu di sini akan disebutkan jenis-jenis makanan yang haram sebagai disebutkan dalam al-Qur’an dan al-hadits.
1. Bangkai
Yaitu hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan yang syar’i. Dalil pengharaman bangkai adalah firman Allah dalam surah Al-an ‘Am ayat 145:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”.
Termasuk kategori bangkai adalah setiap hewan yang mati secara tidak wajar, tanpa disembelih secara syar’i, yakni (a) Hewan yang mati karena tercekik [al-munkhaniqah], (b) Hewan yang mati karena dipukul [al-mauqudzah], (c) Al-Mutaraddiyah, yaitu Hewan yang mati karena terjatuh dari tempat yang tinggi, (d) An-Nathihah, yaitu hewan yang ditanduk oleh hewan lain, lalu mati, dan (e) Hewan yang dimangsa atau diterkam oleh binatang buas. Jika suatu hewan mati karena salah satu dari kelima sebab diatas, maka haram memakannya. Kecuali jika masih hidup dan sempat disembelih, maka ia menjadi halal. Dalil larangan untuk hewan yang mengalami kelima kondisi diatas adalah surah Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.. . “ (Qs:5:3)

Ayat tersebut sekaligus menjadi dalil keharaman jenis makanan yang akan disebutkan selanjutnya.
Faidah (1) Termasuk bangkai adalah bagian tubuh yang terpotong dari hewan yang masih hidup. Maksudnya;hewan tersebut tidak disembelih. Tapi hanya dipotong tubuh tertentu saja, paha misalnya. Maka bagian tubuh yang dipotong itu termasuk bangkai dan tidak halal dimakan. Hal ini berdasakan sabda Nabi yang mengatakan bahwa, “Ma Quthi’a minal bahimati wa hiya hayyah fa huwa maytatun, Bagian tubhuh yang terpotong dari hewan yag masih hidup termasuk bangkai”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Faidah (2) Ada dua bangkai yang dikecualikan (tidak haram), yakni ikan (hewan laut) dan belalang. Dasarnya adalah perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Telah dihalalkan untuk kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang, . . “ (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad). Lalu bagaimana jika kita menemukan ikan atau hewan laut lainnya yang terapung di atas permukaan air? Apakah halal dikonsumsi atau tidak? Dalam masalah ini ada dua pendapat ulama. Namun yang paling rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan ke-halal-an nya. Kecuali jika terbukti secara medis bahwa ikan yang terapung itu sudah rusak dan membahayakan kesehatan atau mengeluarkan bau busuk, maka mengindari dan meninggalkannya lebih utama. Karena hal itu lebih selaras dengan kaidah syari’ah yang mengaramkan setiap makanan yang buruk dan menjijikkan.
2. Darah yang mengalir
Tidak halal mengkonsumsi darah yang dialirkan atau ditumpahkan. Ha ini berdasarkan firman Allah pada surah al-Maidah ayat 3 dan Al-An ‘am ayat 146;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ ….. ۚ
““Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, . . . “ (Terj. Qs:5:3).
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا . . . .
“. . ., kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir. . . “ (Terj. Qs. 6:146)
Adapun darah yang sedikit semisal yang tersisa pada daging sembelihan, maka hal itu dimaafkan. Selain itu dikecualikan pula hati dan limpa, sebagaimana dalam atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan Ibnu Maajah dan Ahmad diatas, “Telah dihalalkan untuk kita dua macam bangkai dan dua macam darah. . . . Dan adapun dua macam darah adalah hati dan limpa “ (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad).

3. Daging Babi
Berdasarkan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 146:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ ………. ۚ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, …” (Terj. Qs. 5:3),
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ ….. ۚ
“,. . kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, daging babi, . . “ (Terj. Qs. 6: 146).
Penyebutan ‘daging’ mencakup seluruh bagian tubuhnya, baik daging, lemak, tulang, rambut, dan sebagainya. “Tidak ada perselisihan diantara ulama tentang haramnya babi; dagingnya, lemaknya, dan seluruh bagian tubuhnya”, demikian penegasan Penulis kitab Shahih Fiqih Sunnah. Ini termasuk dalam kaidah ‘dzikrul ba’dh yuradu bihil kull’, Menyebutkan sebahagian, tapi yang dimaksud adalh keseluruhan. Jadi hanya disebutkan daging, yang dimaksud seluruh bagian tubuh babi. Karena biasanya yang dimakan dari hewan adalah dagingnya.
4. Hewan yang disembelih Tanpa Menyebut nama Allah atau Menyebut Selain Nama Allah
Dasar pengharamannya adalah surah al-maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 121:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ….. ۚ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,. . . “ (Terj. Qs:5:3)
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan -hewan-hewan- yang tidak disebut nama Allah saat menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan semacam itu termasuk kefasikan”. (Terj. Qs. 6:121).
Oleh karena itu, tidak dihalakan mengkonsumsi semeblihan orang kafir, orang musyrik, atau orang Majusi. Sebab sembelihan mereka tidak sah karena tidak menyebut nama Allah. Adapun sembelihan Ahli Kitab boleh dimakan, selama tidak diketahui bahwa mereka menyembelih dengan menyebut nama selain Allah. “Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu”, kata Allah dalam surah Al-Maidah ayat 5 (Lih. Terj. Qs.5:5).
Bagaimana dengan daging dan makanan olahan dari daging yang diimpor dari negeri non Muslim?
a. Jika yang diimpor dari negeri non Muslim berupa daging-daging hewan laut, maka halal dimakan. Karena hewan laut boleh dimakan tanpa disembelih, baik ditangkap oleh Muslim maupun non Muslim.
b. Apabila yang diimpor adalah unggas dan daging hewan darat yang halal dimakan, seperti ayam, bebek, sapi, kambing, kelinci, dan sebagainya; maka dilihat negara asalnya. Jika berasal dari negeri yang mayoritas penduduknya menganut paham atheis, beragama majusi, penyembah berhala (paganisme), maka daging-daging dari negeri tersebut tidak halal.
Adapun jika berasal dari negeri-negeri yang penduduknya mayoritas penganut Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab), dihalakan dengan dua syarat: Pertama, Disembelih secara syar’i (sembelihan ahli kitab halal dimakan); Kedua, Tidak diketahui, mereka menyebut selain nama Allah ketika menyembelihnya.
Akan tetapi; Sebagian negara eksportir yang biasa mengekspor ke negeri Muslim melibatkan ummat Islam dalam proses penyembelihan dan disembelih secara syar’i. Oleh karena itu jika ada pengakuan (yang telah dichek kebenarannya) dari negara pengekspor, bahwa hewan tersebut disembelih secara syariat, halal memakannya. Tetapi jika terbukti, dari berbagai temuan dan fakta yang ada, negara-negara tersebut tidak menyembelihnya menurut syari’at Islam, tidak halal dimakan. Adapun sekadar label halal atau tulisan ‘disembelih menurut syari’at Islam” yang tertemepel pada kemasan daging tersebut, maka tidak dapat dijadikan standar.
c. Keju impor yang berasal dari negeri ahli kitab yang memproduksi keju dari lemak hewan yang halal dikonsumsi, maka boleh bagi kaum Muslimin memakannya. Tetapi jika mereka memproduksi keju dari lemak hewan yang haram dimakan seperti Babi, maka keju dari negeri tersebut haram dikonsumsi.

5. Hewan Yang Disembelih Untuk Berhala.
Dasarnya adalah firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 3;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ ……… وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ …. ۚ
“Dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala”. (Terj. Qs.5:3).
Ini mencakup semua binatang yang disembelih untuk untuk kuburan, sesajen yang dilabuhkan ke laut, tumbal proyek pembangunan jembatan atau jalan, tugu peringatan yang disembah sebagai tanda dan simbol bagi sesembahana selain Allah, atau sebagai perantara kepada Allah. Hewan yang disembelih untuk berhala haram dikonsumsi meskipun disembelih dengan menyebut nama Allah. Jika tidak menyebut nama Allah saat menyembilhnya (misalnya menyebut nama berhala yang kan dituju), maka lebih haram lagi. Karena menggabungkan dua sesab keharaman sekaligus. Sembelihan atas nama selain Allah dan untuk selain Allah. (sym)

Oleh A. Huzaimah el Munawiy

Sumber dari: https://wahdah.or.id/makanan-halal-dan-haram-dalam-islam-2/

Awas, Makanan Haram Menolak Doa

DOA orangtua adalah salah satu doa yang diijabah Allah. Namun mengapa ada doa orangtua yang tertolak, hingga seakan tak berpengaruh sama sekali untuk anak? Berikut ini kisah dan penjelasan tertolaknya doa orangtua akibat makanan.

“Saya sudah mendoakan anak saya untuk sekian lama, ustaz. Selesai salat fardhu, selesai salat malam. Tapi anak saya tetap nakal. Tidak ada perubahan sama sekali. Doa saya seperti tidak mempan,” kata seorang ibu menceritakan kondisi anaknya yang duduk di bangku sekolah menengah.

Sang ustaz diam sejenak. Ia mencoba mencerna keseluruhan cerita ibu tadi. Dengan nada berhati-hati ia mencoba menggali pertanyaan. “Mohon maaf apakah ibu pernah memberikan makanan dari hasil syubhat atau haram kepada anak ibu?”

Mendengar pertanyaan itu, sang ibu terdiam. Air mukanya menyiratkan kegundahan dan perlahan matanya berkaca-kaca.

“Iya, ustadz. Kalau dari uang syubhat sering. Suami saya sering mendapatkan uang yang tidak jelas. Kadang sebagai bentuk terima kasih customer yang telah dilayaninya. Kadang pemberian pimpinan yang nggak jelas dari mana. Kadang juga ada rekayasa laporan di tempat kerjanya.”

“Nah, itu bu. Ketika anak-anak mendapatkan asupan makanan yang haram atau syubhat, salah satu efeknya ia bisa terhijab dari doa. Apalagi orangtuanya juga memakan makanan haram. Semakin tidak nyambung itu doanya. Allah tidak berkenan mengabulkan doa orang tua tersebut”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk sama seperti yang diperintahkan kepada para nabi. Kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya, Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dia juga berfirman yang artinya, Hai orang-orang mukmin, makanlah makanan yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu. Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh hingga rambutnya kusut dan kotor, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, Ya Rabb, ya Rabb. Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim)

Ketika menjelaskan hadits ini, para ulama menerangkan bahwa laki-laki tersebut telah memenuhi empat hal yang semestinya membuat doanya terkabul yakni ia seorang musafir, ia lelah, ia menengadahkan dua tangan dan sangat berharap kepada Allah. Namun karena ia menggunakan barang haram, doanya tertolak. Sebab makanan haram, minuman haram dan pakaian haram adalah penghalang terkabulnya doa.

Para orangtua muslim, mari kita menjaga diri dari makanan dan hal-hal yang haram. Kita jaga pula anak-anak kita dari makanan dan hal-hal yang haram. Dengan demikian, semoga tak ada penghalang antara doa kita dan ijabah Allah. Semoga tak ada penghalang terkabulnya doa kita untuk kebaikan anak-anak kita. [bersamadakwah]

 

INILAH MOZAIK

Ini Akibat Makanan Haram terhadap Anak

DOA orangtua adalah salah satu doa yang diijabahi Allah. Namun mengapa ada doa orangtua yang tertolak, hingga seakan tak berpengaruh sama sekali untuk anak? Berikut ini kisah dan penjelasan tertolaknya doa orang tua akibat makanan.

“Saya sudah mendoakan anak saya untuk sekian lama, ustaz. Selesai salat fardhu, selesai salat malam. Tapi anak saya tetap nakal. Tidak ada perubahan sama sekali. Doa saya seperti tidak mempan,” kata seorang ibu menceritakan kondisi anaknya yang duduk di bangku sekolah menengah.

Sang ustaz diam sejenak. Ia mencoba mencerna keseluruhan cerita ibu tadi. Dengan nada berhati-hati ia mencoba menggali pertanyaan. “Mohon maaf apakah Ibu pernah memberikan makanan dari hasil syubhat atau haram kepada anak ibu?”

Mendengar pertanyaan itu, sang ibu terdiam. Air mukanya menyiratkan kegundahan dan perlahan matanya berkaca-kaca.

“Iya, ustaz. Kalau dari uang syubhat sering. Suami saya sering mendapatkan uang yang tidak jelas. Kadang sebagai bentuk terima kasih customer yang telah dilayaninya. Kadang pemberian pimpinan yang nggak jelas dari mana. Kadang juga ada rekayasa laporan di tempat kerjanya.”

“Nah, itu Bu. Ketika anak-anak mendapatkan asupan makanan yang haram atau syubhat, salah satu efeknya ia bisa terhijab dari doa. Apalagi orangtuanya juga memakan makanan haram. Semakin tidak nyambung itu doanya. Allah tidak berkenan mengabulkan doa orangtua tersebut”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk sama seperti yang diperintahkan kepada para nabi. Kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya, Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dia juga berfirman yang artinya, Hai orang-orang mukmin, makanlah makanan yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu. Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh hingga rambutnya kusut dan kotor, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, Ya Rabb, ya Rabb. Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim)

Ketika menjelaskan hadis ini, para ulama menerangkan bahwa laki-laki tersebut telah memenuhi empat hal yang semestinya membuat doanya terkabul yakni ia seorang musafir, ia lelah, ia menengadahkan dua tangan dan sangat berharap kepada Allah. Namun karena ia menggunakan barang haram, doanya tertolak. Sebab makanan haram, minuman haram dan pakaian haram adalah penghalang terkabulnya doa.

Para orangtua muslim, mari kita menjaga diri dari makanan dan hal-hal yang haram. Kita jaga pula anak-anak kita dari makanan dan hal-hal yang haram. Dengan demikian, semoga tak ada penghalang antara doa kita dan ijabah Allah. Semoga tak ada penghalang terkabulnya doa kita untuk kebaikan anak-anak kita. [bersamadakwah]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341311/ini-akibat-makanan-haram-terhadap-anak#sthash.qh7yxxMz.dpuf

Ini Akibat Makanan Haram terhadap Anak

DOA orangtua adalah salah satu doa yang diijabahi Allah. Namun mengapa ada doa orangtua yang tertolak, hingga seakan tak berpengaruh sama sekali untuk anak? Berikut ini kisah dan penjelasan tertolaknya doa orang tua akibat makanan.

“Saya sudah mendoakan anak saya untuk sekian lama, ustaz. Selesai salat fardhu, selesai salat malam. Tapi anak saya tetap nakal. Tidak ada perubahan sama sekali. Doa saya seperti tidak mempan,” kata seorang ibu menceritakan kondisi anaknya yang duduk di bangku sekolah menengah.

Sang ustaz diam sejenak. Ia mencoba mencerna keseluruhan cerita ibu tadi. Dengan nada berhati-hati ia mencoba menggali pertanyaan. “Mohon maaf apakah Ibu pernah memberikan makanan dari hasil syubhat atau haram kepada anak ibu?”

Mendengar pertanyaan itu, sang ibu terdiam. Air mukanya menyiratkan kegundahan dan perlahan matanya berkaca-kaca.

“Iya, ustaz. Kalau dari uang syubhat sering. Suami saya sering mendapatkan uang yang tidak jelas. Kadang sebagai bentuk terima kasih customer yang telah dilayaninya. Kadang pemberian pimpinan yang nggak jelas dari mana. Kadang juga ada rekayasa laporan di tempat kerjanya.”

“Nah, itu Bu. Ketika anak-anak mendapatkan asupan makanan yang haram atau syubhat, salah satu efeknya ia bisa terhijab dari doa. Apalagi orangtuanya juga memakan makanan haram. Semakin tidak nyambung itu doanya. Allah tidak berkenan mengabulkan doa orangtua tersebut”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk sama seperti yang diperintahkan kepada para nabi. Kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya, Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dia juga berfirman yang artinya, Hai orang-orang mukmin, makanlah makanan yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu. Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh hingga rambutnya kusut dan kotor, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, Ya Rabb, ya Rabb. Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim)

Ketika menjelaskan hadis ini, para ulama menerangkan bahwa laki-laki tersebut telah memenuhi empat hal yang semestinya membuat doanya terkabul yakni ia seorang musafir, ia lelah, ia menengadahkan dua tangan dan sangat berharap kepada Allah. Namun karena ia menggunakan barang haram, doanya tertolak. Sebab makanan haram, minuman haram dan pakaian haram adalah penghalang terkabulnya doa.

Para orangtua muslim, mari kita menjaga diri dari makanan dan hal-hal yang haram. Kita jaga pula anak-anak kita dari makanan dan hal-hal yang haram. Dengan demikian, semoga tak ada penghalang antara doa kita dan ijabah Allah. Semoga tak ada penghalang terkabulnya doa kita untuk kebaikan anak-anak kita. [bersamadakwah]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341311/ini-akibat-makanan-haram-terhadap-anak#sthash.k4bTrCs3.dpuf

Makanan Halal dan Haram Dalam Islam

Diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda -Nu’man menunjukkan kedua jarinya ke kedua telingannya-: ‘Sesungguhnya sesuatu yang halal itu sudah jelas, dan sesuatu yang haram itu sudah jelas, di antara keduanya terdapat sesuatu yang samar tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa yang mencegah dirinya dari yang samar maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam hal yang samar itu berarti ia telah jatuh dalam haram. Seperti seorang penggembala yang menggembala hewan ternaknya di sekitar daerah terlarang, dikhawatirkan lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketauhilah, setiap raja memiliki area larangan, dan area larangan Allah adalah apa-apa yang telah diharamkannya. Ketahuilah, bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging, bila ia baik maka akan baik seluruh tubuh. Namun bila ia rusak maka akan rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah ia adalah hati.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hadis ini, menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, telah disepakati kesahihannya oleh para ulama hadis. Menurut Imam an-Nawawi, hadis ini merupakan salah satu hadis tentang pokok ajaran agama. Ia menjelaskan bahwa perkara yang halal sudah jelas, begitu pula perkara haram. Perkara halal dan haram, termasuk makanan, telah diterangkan ajaran agama melalui al-Qur’an dan hadis sahih. Pengetahuan tentang halal dan haram ini sangat penting bagi umat, karena menyangkut kehormatan diri dan kemurnian agama.

Berbicara halal dan haram lebih identik dengan pembahasan masalah pangan. Memang, hadis ini menitikberatkan pada masalah pangan, karena masalah ini sangat urgen dalam aktivitas manusia sehari-hari. Tidak heran, dalam penggalan hadis ini disebutkan bahwa orang yang tidak peduli dengan hal-hal syubhat, yang tidak jelas halal haramnya, seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar area terlarang. Apabila tidak hati-hati maka lambat laun akan masuk pada area terlarang. Area terlarang itu adalah hal-hal yang diharamkan Allah.


Hadis ini ditutup dengan penjelasan Nabi SAW tentang peran sentral hati dalam aktivitas manusia. Apabila hati baik maka akan muncul perilaku dan sikap yang baik. Namun bila hati jahat maka perilaku dan sikap yang muncul menjadi buruk. Bahkan menurut Ibnu Hajar al-`Asqalani dalam Fathul Bari, dalam riwayat lain digunakan kata shihhah dan saqam (sehat dan sakit) bukan shalah dan fasad. Ini mengindikasikan bahwa hati juga merupakan salah satu penyebab kesehatan bagi seseorang.

Tampaknya Nabi hendak menjelaskan kiat menjaga kebersihan dan kesehatan hati adalah dengan sikap hati-hati mengonsumsi makanan dan minuman. Karena makan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh akan membentuk jaringan tubuh, termasuk hati. Tidak heran bila Nabi SAW mengingatkan umat dalam sebuah hadis diriwayatkan Jabir bin Abdullah ketika Nabi menasehati Ka’ab bin ‘Ajrah: ”Wahai Ka’ab bin ‘Ajrah, tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR. Darimi dalam Sunan dengan sanad kuat).

 

Kriteria makanan halal

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa makanan halal adalah apabila al-Qur’an maupun hadis menjelaskannya dan tidak melarangnya. Namun makanan halal yang dijelaskan teks agama tidak mencakup seluruh makanan yang ada. Karena itu para ulama berijtihad sesuai kaedah: ”al-Ashlu fi al-asyya’ al-ibahah illa ma dalla ad-dalilu ‘ala tahrimihi” (Hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah/boleh kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya). Secara umum al-Qur’an maupun hadis memberikan kriteria bahwa makanan halal itu adalah thayyib (halalan thayyiban). Maksud halalan thayyiban, menurut Sayyid Sabiq, terangkum dalam tiga hal: pertama, sesuai selera alamiah manusia. Kedua, bermanfaat dan tidak membahayakan tubuh manusia. Ketiga, diperoleh dengan cara yang benar dan dipergunakan untuk hal yang benar.

Para ulama menjelaskan kriteria makanan yang halal sebagai berikut:

Pertama, makanan nabati berupa tumbuh-tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan, selama tidak membahayakan tubuh.

Kedua, minuman seperti air, susu (dari hewan yang boleh dimakan dagingnya), kopi, cokelat.

Ketiga, makanan hewani terdiri dari binatang darat dan air. Hukum binatang darat baik liar mapun jinak adalah halal selain yang diharamkan syariat. Begitu juga binatang air, dalam pendapat yang paling sahih, adalah halal kecuali yag membahayakan.

Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW ketika ditanya tentang bersuci dengan air laut, beliau menjawab: “Laut itu suci airnya dan halal bangkai binatangnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i).

Menurut Syeikh Mutawalli Asy-Sya’rawi bahwa apa yang dihalalkan oleh Syariat lebih banyak dibandingkan dengan yang diharamkan. Makanan yang diharamkan sangat sedikit, itulah hikmah Syari’at lebih banyak menyebut yang haram ketimbang yang halal.

 

Kriteria makanan haram

Makanan dan minuman yang pelarangannya dijelaskan oleh al-Qur’an dan al-Hadis adalah haram. Al-Qur’an maupun hadis menjelaskan kriteria makanan haram itu adalah khabitsah dan rijs, seperti khamr yang dinyatakan rijs min ‘amal asy-syaithan (QS. al-Maidah: 90). Rijs kata ulama berarti najis secara fisik dan ma’nawi. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Harga anjing itu khabits, mahar pelacur itukhabits dan upah bekam itu khabits.”

Selain itu setiap binatang yag diperintahkan untuk dibunuh adalah haram. Seperti binatang fawasiq(pengganggu); burung gagak, rajawali, kalajengking, anjing gila dan tikus. Hal ini dijelaskan dalam riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i dari Aisyah RA. Begitu juga hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh seperti semut, lebah, burung hud-hud dan burung surad dan katak. Namun pendapat ini ditolak Imam Syaukani, bahwa tidak mesti hewan yang diperintahkan untuk dibunuh atau dilarang berarti haram dagingnya. Karena keharaman mengonsumsinya harus ada dalil yang jelas.

Makanan yang diharamkan dalam Islam terbagi menjadi haram lidaztihi dan haram lighairihi; yaitu makanan yang pada asalnya halal namun ada faktor lain yang haram menjadikannya haram. Makanan yang diharamkan lidzatihi oleh al-Qur’an dan hadis secara jelas, antara lain darah (dam masfuh), daging babi, khamr (minuman keras), binatang buas yang bertaring, burung bercakar yang memangsa dengan cakarnya seperti elang, binatang yang dilarang dibunuh, binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, keledai rumah (humur ahliyah), binatang yang lahir dari perkawinan silang yang salah satunya diharamkan, anjing, binatang yang menjijikan dan kotor, semua makanan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Sedangkan makanan yang haram lighairihi, di antaranya adalah binatang yang disembelih untuk sesajian, binatang yang disembeli tanpa menyebut nama Allah (basmalah), bangkai dengan berbagai kriterianya, makanan halal yang diperoleh dengan cara haram dan diperuntukkan untuk hal yang dilarang, jallalah atau binatang yang sebagian besar makanannya kotoran atau bangkai, dan makanan halal yang tercampur dengan najis dalam bentuk cair, namun bila berbentuk padat, maka cukup membuang yang terkena najis saja.

 

Kriteria syubhat (samar)

Syubhat yang dimaksud dalam hadis adalah perkara yang tidak dijelaskan halal dan haramnya oleh syariat. Dalam hal ini sebagian ulama mengatakan selama suatu perkara itu tidak ada penjelasan halal dan haramnya maka dikembalikan ke hukum asal, yaitu mubah (boleh) kecuali bila ada dalil yang mengharamkan. Hal ini  didasari banyak ayat al-Qur’an dan hadis, di antaranya:

Firman Allah SWT:

”Dialah (Allah) yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian.”  (QS. al-Baqarah: 29).

Riwayat Abu Darda bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Apa yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram. Dan apa yang tidak dijelaskan adalah dimaklumi (afwun). Maka terimalah apa yang diperbolehkan Allah karena sesungguhnya Allah tidak melupakan sekecil apapun.” (HR. Al-Bazzar dengan sanand Sahih).

Riwayat Abu Tsa’labah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Sesunguhnya Allah mewajibkan kepada kalian kewajiban-kewajiban (faraidh) maka janganlah kalian abaikan, dan telah memberi batasan kepada kalian, maka janganlah kalian langgar, dan mendiamkan masih banyak perkara sebagai rahmat bagi kalian bukan karena kealpaan. Maka janganlah kalian membahasnya berlebihan.” (HR. Daruquthni dalam Sunan)

Menurut  Imam Nawawi, ada beberapa pendapat ulama tentang sesuatu tidak ada penjelasan halal haramnya: pertama, tidak dapat dikatakan halal, haram atau mubah. Karena mengatakan sesuatu halal atau haram harus kembali kepada dalil syar’i. Kedua, hukumnya mubah, kembali ke hukum asal, bahwa segala sesuatu itu mubah selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketiga, hukumnya haram. Keempat, tawaqquf.

Kebanyakan ulama merujuk kepada pendapat kedua, bahwa sesuatu yang tidak dijelaskan halal haramnya, hukumnya kembali pada hukum asal, yaitu mubah. Dan perlu ditegaskan, bahwa yang halal lebih banyak dibanding yang haram. Karena itu makanlah makanan yang halal, karena hidup akan menjadi berkah, selamat di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Oleh DR H Abdul Malik Ghozal, Lc MA

 

sumber: Majalah Gontor

Makanan Haram

Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominant bagi diri orang yang memakannya, artinya : makanan yang halal, bersih dan baik akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah baik, tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dan firmanNya yang lain : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit : “Ya Rabbi ! Ya Rabbi! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram,dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya” [Hadits Riwayat Muslim no. 1015]

Allah juga berfirman.

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [Al-A’raf : 157]

Makna الطَّيِّبَاتِ (at-Thoyyibaat) bisa berarti lezat/enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. [Lihat Fathul Bari (9/518) oleh Ibnu Hajar]

Sedangkan makan الْخَبَائِثَ (al-Khabaaits) bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya dan haram. Sesuatu yang menjijikan seperti barang-barang najis, kotoran atau hewan-hewan sejenis ulat, kumbang, jangkrik, tikus, tokek/cecak, kalajengking, ular dan sebagainya sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i. [Lihat Al-Mughni (13/317) oleh Ibnu Qudamah]. Sesuatu yang membahayakan seperti racun, narkoba dengan aneka jenisnya, rokok dan sebagainya. Adapun makanan haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.

KAIDAH PENTING TENTANG MAKANAN
Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu kita tegaskan terlebih dahulu bahwa asal hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbuhan, laut maupun daratan adalah halal. Allah berfirman.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” [Al-Baqarah : 168]

Tidak boleh bagi seorang untuk mengharamkan suatu makanan kecuali berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Apabila seorang mengharamkan tanpa dalil, maka dia telah membuat kedustaan kepada Allah, Rabb semesta alam. FirmanNya.

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan lebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [An-Nahl : 116]

MAKANAN HARAM
Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci dalam Al-Qur’an satu persatu, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya. Lain halnya dengan makanan haram, Allah telah memerinci secara detail dalam Al-Qur’an atau melalui lisan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah berfirman.

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 119]

Perincian penjelasan tentang makanan haram, dapat kita temukan dalam surat Al-Maidah ayat 3 sebagai berikut ;

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” [Al-Maidah : 3]

Dari ayat di atas dapat kita ketahui beberapa jenis makanan haram yaitu :

1. Bangkai
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sebagai berikut.

a. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
b. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
c. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati
d. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir]

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits.

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11]

Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda.

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُأَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِيْذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ

” Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11]

Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no. 480): “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” [Hadits Riwayat Daraqutni : 538]

Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. [Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi]

2. Darah
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya :

أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا

“Atau darah yang mengalir” [Al-An’Am : 145]

Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24]

Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih. Semuanya itu hukumnya halal. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: ” Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. [Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan]

3. Daging Babi.
Baik babi peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.

Hikmah pengharamannya karena babi adalah hewan yang sangat menjijikan dangan mengandung penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu,makanan kesukaan hewan ini adalah barang-barang yang najis dan kotor. Daging babi sangat berbahaya dalam setiap iklim, lebih-lebih pada iklim panas sebagaimana terbukti dalam percobaan. Makan daging babi dapat menyebabkan timbulnya satu virus tunggal yang dapat mematikan. Penelitian telah menyibak bahwa babi mempunyai pengaruh dan dampak negatif dalam masalah iffah (kehormatan) dan kecemburuan sebagaimana kenyataan penduduk negeri yang biasa makan babi. Ilmu modern juga telah menyingkap akan adanya penyakit ganas yang sulit pengobatannya bagi pemakan daging babi. [Dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagaimana dalam Fatawa Islamiyyah 3/394-395]

4. Sembelihan Untuk Selain Allah
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.

5. Hewan Yang Diterkam Binatang Buas
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dan lain sebagainya, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.

Al-Mauqudhah, Al-Munkhaniqoh, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah dan hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar’i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.

6. Binatang Buas Bertaring
Hal ini berdasarkan hadits, dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” [Hadits Riwayat. Muslim no. 1933]

Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119).

Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. [Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi]

Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. [Lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani]

Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing, gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bukan pendapat orang….”.

Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits.

عن بن أبي عمار قال قلت لجابر : الضبع صيد هي قال نعم قال قلت آكلها قال نعم قال قلت له أقاله رسول الله صلى الله عليه وسلم قال نعم

“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. [Shahih. Hadits Riwayat Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507)] [1]

Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28)

7. Burung Yang Berkuku Tajam
Hal ini berdasarkan hadits.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَىرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِوَعَنْ كُلِّ ذِى مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ

“Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” [Hadits Riwayat Muslim no. 1934]

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234) “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung
yang berkuku tajam.”

8. Khimar Ahliyyah (Keledai Jinak)
Hal ini berdasarkan hadits.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ

“Dari Jabir berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. [Hadits Riwayat Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941]

Dalam riwayat lain disebutkan begini.
“Pada perang Khaibar, mereka meneyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda” [Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811]

Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :

Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. [Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani]

Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha’ bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij berkata: “Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan’ani]

9. Al-Jalalah
Hal ini berdasarkan hadits.
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki”. [Hadits Riwayat. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih]

Dalam riwayat lain disebutkan:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليهوسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memakan jallalah dan susunya.” [Hadits Riwayat. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189]

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya ” [Hadits Riwayat Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648]

Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manusia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. [Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648]

Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya…”

Hukum jalalah adalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-‘Ied dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. [Lihat Fathul Bari (9/648)]

Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).

10. Ad-Dhab (Hewan Sejenis Baiawak) Bagi Yang Merasa Jijik Darinya
Berdasarkan hadits .
“Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). [Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam FathulBari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390)]

Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhab baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi).

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَكْلِ الضَّبِّ، فَقَالَ: لَا آكُلُهُ وَلَا أحَرِّمُه

“Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” [Hadits Riwayat Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943]

Demikian pula hadits Ibnu Abbas dari Khalid bin Walid bahwa beliau pernah masuk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah Maimunah. Di sana telah dihidangkan dhab panggang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk mengambilnya. Sebagian wanita berkata : Khabarkanlah pada Rasulullah tentang daging yang hendak beliau makan !, lalu merekapun berkata : Wahai Rasulullah, ini adalah daging dhab. Serta merta Rasulullah mengangkat tangannya. Aku bertanya : Apakah daging ini haram hai Rasulullah? Beliau menjawab : “Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di kampung kaumku sehingga akupun merasa tidak enak memakannya. Khalid berkata : Lantas aku mengambil dan memakannya sedangkan Rasulullah melihat. [Hadits Riwayat Bukhari no. 5537 dan Muslim no. 1946]

Dua hadit ini serta banyak lagi lainnya –sekalipun lebih shahih dan lebih jelas- tidak bertentangan dengan hadits Abdur Rahman bin Syibl di atas atau melazimkan lemahnya, karena masih dapat dikompromikan diantara keduanya.Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/666) menyatukannya bahwa larangan dalam hadits Abdur Rahman Syibl tadi menunjukkan makruh bagi orang yang merasa jijik untuk memakan dhab. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bolehnya dhab, maka ini bagi mereka yang tidak merasa jijik untuk memakannya. Dengan demikian, maka tidak melazimkan bahwa dhab hukumnya makruh secara mutlak. [Lihat pula As-Shahihah (5/506) oleh Al-Albani dan Al-Mausu’ah Al-Manahi As-Syar’iyyah (3/118) oleh Syaikh Salim Al-Hilali]

11. Hewan Yang Diperintahkan Agama Supaya Dibunuh

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِىالْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ،وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam.” [Hadits Riwayat Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular”]

Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” [Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi]

عَنْأُمِّ شَرِيكٍ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ

“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129) : “Tokek/cecak telah
disepakati keharaman memakannya”.

12. Hewan Yang Dilarang Untuk Dibunuh

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : نَهَىرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَالدَّوَابِّ : النَّمْلَةِ ، وَالنَّحْلَةِ ، وَالْهُدْهُدِ ، وَالصُّرَدِ

“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad ” [Hadits Riwayat Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916]

Imam syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” [Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi]

Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. [Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi]

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ قَالَ : ذَكَرَطَبِيبٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَوَاءً ،وَذَكَرَ الضُّفْدَعَ يُجْعَلُ فِيهِ ، فَنَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الضُّفْدَعِ (أخرجه أحمد و ابن ماجه و الدارمي

Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuhnya” [Hadits Riwayat Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani]

Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafi’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak. [Lihat pula Al-Majmu’ (9/35), Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam]

13. Binatang Yang Hidup Di Dua Alam
Sebagai penutup pembahasan ini, ada sebuah pertanyaan : “Adakah ayat Qur’an atau Hadits shahih yang menyatakan bahwa binatang yang hidup di dua alam haram hukum memakannya seperti kepiting, kura-kura, anjing laut dan kodok?”.

Jawab secara umum : Perlu kita ingat lagi kaidah penting tentang makanan yaitu asal segala jenis makanan adalah halal kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya. Dan sepanjang pengetahuan kami tiddak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya “asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yangmengharamkannya. [Lihat pula “Soal jawab” Juz. 2 hal. 658 oleh Ustadz A Hassan dkk]

Adapun jawaban secara terperinci :
1. Kepiting – hukumnya halal sebagaimana pendapat Atha’ dan Imam Ahmad. [Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm]

2. Kura-kura dan Penyu – juga halal sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’ Madinah. [Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84]

3. Anjing laut – juga halal sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi’i, Laits, Sya’bi dan Al-Auza’i [Lihat Al-Mughni 13/346]

4. Katak/kodok – hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas. Wallahu A’lam

Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan. Apabila benar, maka itu dari Allah dan apabila salah, maka hal itu karena kemiskinan penulis dari perbendaharaan ilmu yang mulia ini dan penulis menerima nasehat dan kritik pembaca semua.

 

 

Oleh Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari

sumber: AlManhaj.or.id