Makrifatullah dan Urgensinya (Bag. 3)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Jangan Sampai Kita Melupakan Allah Jika Tidak Ingin Dijadikan Lupa Akan Diri Kita Sendiri

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hasyr ayat 19,

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Allah Ta’ala melarang kita menjadi orang-orang yang lupa kepada Allah. Dan Allah mengancam orang-orang yang lupa kepada Allah dengan menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri!

Bagaimana maksud “lupa akan diri sendiri”?

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan ayat yang mulia ini. Maksudnya adalah Allah menghukum orang-orang yang lupa kepada Allah dengan menjadikan ia lupa akan perkara yang bermanfaat baginya, lupa akan memperbaiki aibnya, serta lupa akan kebutuhan jiwanya yang paling bermanfaat, yaitu mengingat Allah, mencintai-Nya, dan mensyukuri-Nya dengan taat kepada-Nya. Inilah hakikat lupa akan diri sendiri”.

Beda halnya dengan orang yang ingat Allah, maka Allah akan ganjar dengan menjadikannya ingat akan perkara yang bermanfaat baginya, dan ingat akan aibnya. Sehingga Allah jadikan ia sibuk memperbaiki aibnya, dan ingat akan kebutuhan jiwanya yang paling bermanfaat, yaitu mengingat Allah, mencintai-Nya, dan mensyukuri-Nya dengan taat kepada-Nya. Allah takdirkan sebab dan akibat kebaikan untuknya. Inilah hakikat “ingat terhadap diri sendiri”.

Itulah beberapa alasan urgensi makrifatullah. Dan sebenarnya masih banyak alasan lainnya dari pentingnya kita mempelajari makrifatullah, seperti: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, serta agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Makrifatullah adalah asas perbaikan hati dan jasad.

Buah Makrifatullah yang Terpenting

Buah makrifatullah yang terpenting adalah mengesakan Allah (tauhidullah). Karena dari mengenal nama dan sifat Allah dapat disimpulkan bahwa Allah Mahaesa dalam kekhususan ketuhanan-Nya, maka kita wajib mengesakan-Nya.

Maksud mengesakan Allah (Tauhid) adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan-Nya, yaitu dalam perbuatan-Nya (Ar-Rububiyyah), hak untuk diibadahi (Al-Uluhiyyah), serta nama dan sifat-Nya (Al-Asma’ wash Shifat). Sehingga di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid nama dan sifat).

Baca Juga: Mengenal Allah Hanya di Bulan Ramadhan Saja

Apa Itu Tauhid “Nama dan Sifat” dan Bagaimana Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya?

Tauhid nama dan sifat adalah, “Mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan beriman terhadap nama, sifat, dan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya, tanpa menolak maupun menyamakan-Nya dengan makhluk.

Penjelasan dari definisi tersebut adalah:

Mengesakan Allah, adalah meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah Mahaesa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia.

Ciri khas nama Allah adalah “Husna” (Terindah), yaitu tidak ada nama yang sama atau lebih indah dari nama-Nya karena nama-Nya mengandung sifat termulia.

Ciri khas sifat Allah adalah “’Ula (A’la)” (Termulia), yaitu paling sempurna, tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya karena seluruh sifat-Nya itu sempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun.

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “Tauqifiyyah“, yaitu harus berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, baik dalam itsbat (penetapan kesempurnaan bagi Allah), maupun dalam nafi (peniadaan aib dan kekurangsempurnaan dari Allah). Oleh karena itu, kita tidak boleh menamai Allah dan mensifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Yang dimaksud tuntutan di sini adalah konsekuensi hukum dan tuntutan peribadatan, serta pengaruhnya pada keimanan.

Tanpa menolak maupun menyamakan-Nya dengan makhluk. Maksudnya adalah tidak menolak penetapan nama dan sifat Allah, namun menetapkan keduanya dengan benar, yaitu tanpa menyamakan Allah dengan selain-Nya dalam nama maupun sifat-Nya.

Contoh penerapan tauhid nama dan sifat:

Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Mahamendengar), maka berdasarkan definisi tauhid nama dan sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan benar, jika meyakini:

Pertama, penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar).

Kedua, penetapan makna, yaitu sifat Allah yang terkandung di dalam nama-Nya, yaitu sifat السمع (Mendengar). Dan setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya.

Ketiga, beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya. Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan, jauh maupun dekat, suara seorang hamba sedang beribadah maupun suaranya saat bermaksiat. Semua itu membuahkan keyakinan tentang adanya janji Allah dan ancaman-Nya.

Dengan beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya, maka akan muncul pengaruh berupa: 1) takut kepada Allah Ta’ala yang didasari ilmu tentang-Nya; 2) yakin diawasi oleh Allah Ta’ala; 3) malu kepada Allah Ta’ala; 4) berhati-hati dalam berucap, dengan berusaha mengucapkan ucapan yang diridai oleh Allah dan menjauhi ucapan kemaksiatan bahkan ucapan yang makruh.

Dan dalam setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya.

Menetapkan Nama dan Sifat Allah Tanpa Menyamakan Allah dengan Makhluk

Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya. Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini mengandung kaidah tauhidul asma` wash shifat yang agung, mencakup nafi dan itsbat, menunjukkan bahwa keimanan terhadap nama dan sifat Allah terbangun atas nafi dan itsbat.

Nafi (peniadaan)

Meniadakan seluruh yang ditiadakan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah dari Allah, berupa aib dan kekurangsempurnaan, berarti meniadakan aib dan kekurangsempurnaan dari Allah Ta’ala.

Itsbat (penetapan)

Menetapkan seluruh yang ditetapkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah bagi Allah, berupa nama yang husna dan sifat yang ‘ula.

Di dalam ayat yang telah disebutkan di atas terdapat terdapat nafi (peniadaan) kesamaan Allah dengan makhluk-Nya, yaitu dalam firman Allah,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya.”

Oleh karena itu, tidak boleh menyamakan Allah dengan selain-Nya, baik dalam nama maupun sifat-Nya.

Dalam ayat tersebut juga terdapat pula penetapan (itsbat), yaitu dalam firman Allah,

 و هو السميع البصير 

“Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat.”

Yaitu penetapan dua nama maupun dua sifat Allah,

Pertama, nama Allah السَّمِيعُ (Yang Mahamendengar) dan nama البَصِيرُ (Yang Mahamelihat).

Kedua, sifat  السَمْع (mendengar) dan sifat البَصَر  (melihat).

Masuk Surga dengan Menghapal Al-Asma’ul Husna, Mempelajarinya, dan Berdoa kepada Allah Dengannya

Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 180,

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan Allah memiliki al-asma’ul husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan al-asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari sikap wajib terhadap nama-nama-Nya, mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”

Hakikatnya dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla menyeru hamba-hamba-Nya untuk mengenal-Nya dengan mempelajari nama dan sifat-Nya, serta menyeru mereka untuk memuji-Nya dengannya, dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam nama dan sifat-Nya.

Maksud “berdoa kepada Allah dengan asma’ul husna” adalah:

Pertama, berdoa dengan menyebut nama Allah yang sesuai dengan isi doa.

Kedua, berdoa dengan memuji Allah dengan menyebut nama-Nya.

Ketiga, berdoa dengan beribadah kepada Allah dengan ibadah selain doa dan pujian, yaitu dengan melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung di dalam asma’ul husna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam Shahihul Bukhari,

إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وتِسْعِينَ اسْمًا مِئَةً إلَّا واحِدًا، مَن أحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang meng-ihsho’-nya, niscaya ia akan masuk Surga.” (HR. Al-Bukhari)

Penjelasan:

Pertama, 99 nama Allah ini dikenal dengan asma’ul husna. Namun ini bukan batasan jumlah asma’ul husna, karena dalam dalil lain menunjukkan bahwa nama Allah tidak dibatasi dengan bilangan tertentu. Bahkan, banyak nama-nama Allah yang tidak Allah beritahukan kepada kita, dan hanya Allah yang mengetahuinya.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما أصاب أحدًا قط همٌّ و لا حزنٌ ، فقال : اللهمَّ إني عبدُك ، و ابنُ عبدِك ، و ابنُ أَمَتِك ، ناصيتي بيدِك ، ماضٍ فيَّ حكمُك ، عدلٌ فيَّ قضاؤُك ، أسألُك بكلِّ اسمٍ هو لك سميتَ به نفسَك ، أو علَّمتَه أحدًا من خلقِك ، أو أنزلتَه في كتابِك ، أو استأثرتَ به في علمِ الغيبِ عندَك ، أن تجعلَ القرآنَ ربيعَ قلبي ، و نورَ صدري ، و جلاءَ حزني ، و ذَهابَ همِّي ، إلا أذهبَ اللهُ همَّهُ و حزنَه ، و أبدلَه مكانَه فرجًا قال : فقيل : يا رسولَ اللهِ ألا نتعلَّمُها ؟ فقال بلى ، ينبغي لمن سمعَها أن يتعلَّمَها

“Tidaklah seseorang tertimpa kegelisahan dan tidak pula kesedihan lalu mengucapkan,

‘Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu pria maupun wanita, ubun-ubunku ada di tangan-Mu, hukum-Mu pastilah berlaku atas diriku, keputusan-Mu selalu adil, saya memohon dengan setiap nama-Mu yang Engkau beri nama diri-Mu dengannya, atau Engkau ajarkannya kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkannya dalam Kitab-Mu, atau Engkau khususkan diri-Mu (dalam mengetahuinya) di ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai air kehidupan bagi hatiku, cahaya kelapangan dadaku, penghilang kesedihanku, dan penghilang kegelisahanku.’

Melainkan Allah akan hilangkan kegelisahan dan kesedihannya, serta Allah akan gantikannya dengan kegembiraan.”

Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita tertuntut untuk mempelajarinya?”, lalu beliau bersabda, “Tentu! Selayaknya orang yang mendengarnya itu mempelajarinya!” (HR. Imam Ahmad dan selainnya, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah)

Kedua, makna “ihsho’” yang dijanjikan surga bagi pelakunya, yaitu: menghapal 99 asma’ul husna tersebut, mempelajari maknanya, dan mengamalkan tuntutannya. Wallahu Ta’ala a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73257-marifatullah-dan-urgensinya-bag-3.html

Makrifatullah dan Urgensinya (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Urgensi Makrifatullah

Alasan pentingnya kita mempelajari makrifatullah itu sangat banyak. Namun alasan yang paling pokok adalah sebagai berikut:

Pertama, sebagai tujuan hidup kita.

Hal ini karena kita diciptakan untuk mengenal Allah Ta’ala dan beribadah kepada-Nya semata.

Kedua, sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnya.

Makrifatullah itu bagian dari iman kepada Allah. Sedangkan iman kepada Allah itu mendasari seluruh rukun iman lainnya. Padahal, agar seseorang bisa beriman kepada Allah dengan benar, dia perlu mengenal Allah dengan baik. Karena iman kepada Allah itu mencakup beriman kepada keberadaan-Nya dan kemahaesaan-Nya. Dan semua ini butuh ilmu makrifatullah.

Ketiga, makrifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah semata yang berpengaruh pada kesempurnaan ibadah seorang hamba.

Ibadah kepada Allah semata adalah salah satu dari dua tujuan hidup kita, sedangkan kualitas ibadah kita dipengaruhi seberapa besar kita mengenal Allah dengan mengenal nama dan sifat-Nya dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam setiap nama dan sifat-Nya yang kita kenal.

Hamba yang paling sempurna ibadahnya adalah orang yang paling mengenal Allah dan melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung di dalamnya. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,

وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر

“Dan manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah orang yang beribadah dengan melaksanakan tuntutan peribadahan dari seluruh nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.”

Contoh penerapan makrifatullah sebagai dasar peribadatan kepada Allah semata:

Allah Ta’ala adalah Ar-Rahiim (Yang Mahapenyayang).

Dia mencintai orang-orang yang penyayang, sehingga kita pun terdorong untuk menjadi penyayang agar dicintai dan diridai-Nya. Dan ini hakikat ibadah kepada-Nya semata, tatkala mempersembahkan kepada-Nya semata segala yang Dia cintai dan ridai sebagaimana definisi ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Allah Ta’ala adalah Asy-Syakuur (Yang Mahamensyukuri).

Dia mencintai orang-orang yang pandai bersyukur kepada-Nya. Di antaranya dengan berterima kasih kepada manusia dan membalas kebaikannya sehingga kita pun terdorong untuk menjadi orang yang pandai bersyukur kepada-Nya sebagai bentuk peribadatan kepada-Nya semata.

Allah Ta’ala adalah Al-‘Aliim (Yang Mahamengetahui).

Dia mencintai orang-orang yang berilmu syar’i dan mengamalkannya sehingga kita pun terdorong untuk menjadi orang yang berilmu syar’i dan mengamalkannya sebagai bentuk peribadatan kepada-Nya semata.

Allah Ta’ala adalah At-Tawwaab (Yang Mahamenerima taubat).

Dia mencintai orang-orang yang bersegera bertaubat kepada-Nya semata dari segala dosa sehingga kita pun terdorong untuk menjadi orang yang bersegera bertaubat kepada-Nya semata dari segala dosa sebagai bentuk peribadatan kepada-Nya semata.

Allah Ta’ala adalah Al-Jamiil (Yang Mahaindah).

Dia mencintai orang-orang yang indah ucapannya, perbuatannya, akhlaknya, penampilan fisiknya, barang-barangnya, serta segala sesuatunya. Sehingga, kita pun terdorong untuk menjadi orang yang indah dalam segala sesuatunya sebagai bentuk peribadatan kepada-Nya semata.

Allah Ta’ala adalah Ath-Thoyyib (Yang Mahabaik).

Dia mencintai orang-orang yang baik ucapan dan perbuatannya, baik zahir maupun batinnya sehingga kita pun terdorong untuk menjadi orang yang baik dalam segala sesuatunya sebagai bentuk peribadatan kepada-Nya semata.

Allah Ta’ala adalah Ar-Rafiiq (Yang Mahalembut).

Dia mencintai orang-orang yang lembut dalam ucapan dan perbuatannya, sehingga kita pun terdorong untuk menjadi orang yang lembut dalam ucapan dan perbuatannya sebagai bentuk peribadatan kepada-Nya semata.

Keempat, pokok dari setiap ilmu yang bermanfaat adalah makrifatullah.

Karena jika kita tahu siapa Allah dengan baik, niscaya kita akan tahu siapa selain-Nya. Dan akan benar sikap kita terhadap Allah dan makhluk serta terhadap semua jenis ilmu yang bermanfaat. Sehingga, kita mempelajari segala jenis ilmu dan mengamalkannya itu sesuai dengan kecintaan dan keridaan Allah.

Contoh penerapan makrifatullah adalah pokok dari setiap ilmu yang bermanfaat:

Pertama, barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Al-Khooliq (Yang Mahamenciptakan), Yang Mahasempurna, maka ia akan mengetahui bahwa selain-Nya adalah ciptaan (makhluk) yang lemah dan membutuhkan kepada-Nya. Sehingga ia pun menghambakan dirinya kepada-Nya semata.

Kedua, barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Ar-Razzaaq (Yang Mahamemberi rezeki), maka ia akan mengetahui bahwa selain-Nya adalah hamba yang diberi rezeki, dan bukan pemberi rezeki. Sehingga, ia tidak berdoa meminta rezeki dan bertawakal, kecuali kepada-Nya saja.

Ketiga, barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Al-‘Aliim (Yang Mahamengetahui), maka ia akan mengetahui bahwa selain-Nya adalah hamba yang pada asalnya tidak memiliki ilmu apa-apa. Al-‘Aliim yang mengajarkan berbagai macam ilmu kepada makhluk sehingga ia berusaha senantiasa memohon petunjuk ilmu yang bermanfaat kepada-Nya semata dan tidak sombong.

Keempat, barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Al-Qodiir (Yang Mahakuasa), maka ia akan mengetahui bahwa selain-Nya adalah hamba yang pada asalnya tidak memiliki kuasa apa-apa. Sehingga dia berusaha senantiasa mohon kekuatan dalam menjalani ujian hidup di dunia ini.

Kelima, barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Allah Mahaawal, maka ia akan mengetahui bahwa selain-Nya adalah dulunya tidak ada, lalu Allah ciptakan dan adakan. Sehingga dia sadar seluruh kenikmatan dan kebaikan yang ada pada dirinya adalah anugerah dari Yang Mahaawal. Ia pun menyandarkan kenikmatan kepada-Nya semata dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat tersebut.

Barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Allah Mahakekal, maka ia akan mengetahui bahwa selain-Nya adalah hamba yang akan mati dan bersifat fana. Oleh karena itu, ia tidak ujub dan tidak menyombongkan prestasi ibadah, diri, serta hartanya.

Keenam, barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Al-Ghoniy (Yang Mahakaya), maka ia akan mengetahui bahwa selain-Nya adalah hamba yang fakir. Pada asalnya, ia tidak punya apa-apa dan senantiasa membutuhkan kepada-Nya setiap saat.

Ketujuh, barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Al-Malik (Raja segala sesuatu), maka ia akan mengetahui bahwa selain-Nya adalah hamba milik-Nya, di bawah kekuasaan kerajaan-Nya, serta di bawah pengaturan-Nya, sehingga ia rida atas pengaturan-Nya atas diri-Nya sebagai hamba-Nya.

Kesimpulan

Barangsiapa yang mengenal Allah Ta’ala  melalui mengetahui nama-Nya yang husna dan sifat-Nya yang ‘ula, maka niscaya ia tahu bahwa Allah Mahasempurna dari segala sisi dan disucikan dari aib dan kekurangan dari segala sisi, dan niscaya ia pun mengetahui bahwa dirinya lemah, banyak aib dan kekurangan, dan senantiasa membutuhkan petunjuk dan penjagaan dari Allah Ta’ala. Inilah maksud “Makrifatullah adalah pokok dari setiap ilmu yang bermanfaat”. Barangsiapa yang tahu siapa Allah dengan baik, niscaya ia akan tahu siapa selain-Nya!

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73254-marifatullah-dan-urgensinya-bag-2.html

Makrifatullah dan Urgensinya (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Dua Tujuan Penciptaan Manusia 

Pertama, makrifatullah (mengenal Allah), yaitu agar kita mengenal siapa Rabb kita, dapat melalui mempelajari nama, sifat, dan perbuatan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah (berulangkali) turun pada keduanya agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS.Ath-Thalaaq: 12)

Pada ayat ini, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit, bumi, serta apa yang terdapat pada keduanya dan apa yang ada di antara keduanya. Allah Ta’ala pun menurunkan perintah-Nya, baik perintah yang syar’i, yaitu agama-Nya, maupun perintah yang kauni qodari, yaitu takdir-Nya yang dengan itu Allah Ta’ala mengatur hamba-hamba-Nya.

Sungguh semua itu tujuannya adalah agar kita mengetahui tentang-Nya, mengetahui bahwa kekuasaan dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa kita diciptakan untuk mengenal Rabb kita, mengenal nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Inilah salah satu tujuan hidup kita terlahir di dunia ini, yaitu makrifatullah (mengenal Allah Ta’ala melalui mengenal nama, sifat, dan perbuatan-Nya).

Kedua, ‘ibadatullah semata (tauhid), yaitu agar kita bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja).” (QS. Az-Zariyat: 56)

Adapun pada ayat ini, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia dengan tujuan agar mereka beribadah kepada-Nya saja, atau dengan kata lain mentauhidkan Allah Ta’ala dalam peribadatan yang kemudian dikenal dengan istilah tauhidul uluhiyyah.

Kesimpulan:

Dari kedua ayat ini menunjukkan bahwa tujuan hidup kita di muka bumi ini untuk mengenal Allah Ta’ala dan beribadah serta taat kepada-Nya semata, dengan jenis peribadatan yang terbangun atas makrifatullah. Tidak masuk akal sehat orang menyembah Allah semata, namun tidak mau mengenal siapa Allah dengan baik.

Definisi Makrifatullah (Mengenal Allah) dan Macam-Macamnya

Definisi makrifatullah adalah mengenal Allah Ta’ala dengan cara mengenal nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.

Terdapat dua macam makrifatullah, yaitu:

Pertama, makrifatullah global, yaitu mengenal Allah Ta’ala yang merupakan dasar iman sehingga menyebabkan selamat dari kekufuran akbar dan kesyirikan akbar, serta terjaga kesahan keimanan. Makrifatullah jenis ini diketahui oleh kaum muslimin secara umum. Tidak hanya diketahui oleh ulama dan muslim yang taat saja, bahkan muslim yang awam dan pelaku maksiat pun tahu.

Contoh makrifatullah global diantaranya mengenal bahwa Allah Ta’ala itu Esa, tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Wajib beribadah kepada Allah Ta’ala semata, tidak boleh beribadah kepada selain-Nya. Mengenal bahwa tauhid itu wajib dan syirik itu haram sebagaimana dalam surah Al-Ikhlas.

Kedua, makrifatullah terperinci, yaitu mempelajari nama, sifat, maupun perbuatan Allah Ta’ala secara rinci berdasarkan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis disertai penjelasannya sehingga terbangun keyakinan tentang Allah Ta’ala atas dasar dalil dan membuahkan cinta dan iman kepada Allah yang semakin meningkat.

Makrifatullah jenis ini biasanya hanya dipelajari oleh orang-orang yang benar-benar dan bersungguh-sunguh dalam mencintai Allah Ta’ala. Mereka membuktikan bahwa dengan berusaha mengenal Allah Ta’ala dengan terperinci. Bukan hanya mempelajari tiap nama, sifat, maupun perbuatan Allah Ta’ala beserta dengan dalilnya, tetapi juga mempelajari penjelasan ulama tentang dalil-dalil sehingga ia mendapatkan kaidah ilmiah maupun faedah keimanan yang menambah rasa takut, harap, dan cintanya kepada Allah Ta’ala. Semua ini membuahkan ketakwaan yang meningkat sehingga bertambah baik keyakinannya, ucapannya, perbuatannya baik zahir maupun batin. Begitu pula bertambah baik akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Mudah untuk husnuzan kepada Allah Ta’ala. Bertambah kuat kepercayaannya kepada Allah. Tidak berputus asa dari rahmat Allah. Hatinya tawakal hanya kepada Allah. Merasakan kelezatan iman dan kemanisan ibadah kepada Allah semata. Mengagungkan Allah dan syariat-Nya. Serta rindu berjumpa dengan Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73252-marifatullah-dan-urgensinya-bag-1.html