Masa Hukuman Dikurangi Sebab Pelaku Sopan, Bolehkah?

Beberapa waktu lalu mencuat sejumlah putusan sidang yang dianggap kontroversial oleh masyarakat. Putusan-putusan  hukuman dikurangi sebab pelaku sopan. Tidak tanggung-tanggung, putusan hukum tersebut didiskon menjadi setengah dari tuntutan jaksa.

Sejumlah kasus yang menimpa beberapa figur publik ini kemudian menyeruak menimbulkan kehebohan di tengah khalayak masyarakat umum. Beberapa bahkan membanding-bandingkan dengan putusan yang menimpa rakyat kelas bawah yang dirasa memberatkan.

Sebagaimana dilansir dalam Kompas.tv pada 10 Desember 2021 Tercatat ada sebuah kasus yang menimpa seorang selebgram berinisial RV. RV yang melakukan pelanggaran terhadap prokes kesehatan divonis 4 bulan penjara. Kendati vonis tersebut, nyatanya RV tidak perlu menjalani masa penahanan. Putusan ini turun dengan dalih RV bersikap kooperatif, sopan dan tidak berbelit-belit selama menjalani pemeriksaan.

Masih dalam rentan waktu berdekatan, dikutip dari Viva.co.id, artis dan model berinisial CA terjerat kasus prostitusi online. Artis pemilik hotel tempat prostitusi online ini mulanya dituntut 6 tahun penjara dan denda sebesar 200 juta. Akan tetapi, lagi-lagi karena dalih sopan, CA hanya dijatuhi vonis 10 bulan penjara.

Berkaitan dengan kejanggalan putusan hakim tersebut, kita sebagai umat Islam tentulah merasa perlu untuk mencari rujukan landasan dari al-Quran. Benarkah hal-hal yang tendesinya sangat subjektif, seperti bersikap sopan dapat mempengaruhi putusan hukum ataukah tidak.

Terdapat suatu ayat yang menjelaskan bagaimana sikap seharusnya mengenai penjatuhan hukuman dalam al-Quran. Allah berfirman dalam QS. An-Nur [24]: 2:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin”.

Pada ayat tersebut, terdapat redaksi  penting yang perlu digarisbawahi terkait  pelaksanaan hukuman. Redaksi tersebut berbunyi: “dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir”.

Ibnu Asyur dalam karya tafsirnya, “At-Tahrir Wa at-Tanwir“, memaknai kata “ra’fah” sebagai perasaan kasih sayang yang secara khusus timbul ketika menyaksikan potensi bahaya terhadap orang yang dibelaskasihani.

 Kata ra’fah dalam kalimat tersebut berkaitan (taalluq) dengan fi dinillah, guna memberi pemahaman bahwa belas kasihan tersebut bukanlah sikap terpuji karena menganulir hukum Allah. Padahal sejatinya, Allah mensyariatkan had/hukuman dengan tujuan kemaslahatan, sehingga bersikap belas kasihan dalam konteks ini berarti mengandung kerusakan. 

Tindakan semacam ini tentulah seakan-akan meragukan kemaha belaskasihan Allah. Padahal Allah sebagai pensyariat hukuman pastilah Yang Maha belaskasih terhadap hamba-Nya dibandingkan selain-Nya.

Ibnu Asyur kemudian memperkuat argumentasinya dengan riwayat Hadis marfu’ dalam Musnad Abi Ya’la. Dari Huzaifah secara marfu (disandarkan kepada Nabi) berkata: “Kelak akan didatangkan orang-orang yang memukul (menghukum) melebihi had (batasan), kemudian Allah bertanya kepadanya:

“Wahai hambaku, mengapa engkau memukul melebihi batas hukuman?”. Dia menjawab: “Saya marah demi Engkau”. Allah lantas menjawab: “Apakah kemurkaanmu lebih besar dibanding kemurkaan-Ku?”. 

Kemudian orang-orang yang mengurangi hukuman dihadapkan. Allah kembali bertanya: “Wahai hambaku, mengapa Engkau mengurangi hukuman?”. Ia menjawab: “Saya berbelaskasih kepadanya”. Allah kemudian membalas: “Apa benar belaskasihmu lebih besar dari belaskasihku?”. Keduanya lalu digiring menuju neraka.”

Sejalan dengan Ibnu Asyur, Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menafsirkan: “Jangan sampai belas kasih dan kelembutan membuatmu menggugurkan had pezina, karena demikianlah hukum Allah. Alhasil tidak diperbolehkan menggugurkan hudud (batasan hukum) Allah, wajib untuk menetapi nash dan mengagungkan terhadap kehormatan Allah. 

Wahbah Zuhaili kemudian menuturkan riwayat hadits dari ‘Aisyah, Nabi Muhammad bersabda: “Demi dzat Yang menggenggam jiwaku, seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri, akan kupotong sendiri tangannya.”

Redaksi selanjutnya adalah jika kamu beriman kepada Allah. Frase tersebut merupakan frase syarat dengan jawab yang dibuang. Maksudnya, jika kalian beriman maka dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu. Tujuan penggunaan redaksi ini adalah memberikan peringatan keras, sehingga seakan-akan memberi belaskasihan membuat mereka tidak beriman.

Perlu juga dicermati, bahwa petikan kalimat “jika kalian beriman kepada Allah” juga disusul dengan beriman kepaada hari akhir. Hal ini sebagai pengingat bahwa perasaan belas kasihan dengan mengurangi hukuman justru akan menjadi semacam bumerang di hari kiamat. 

Sikap mengurangi hukuman mereka justru akan menyebabkan mereka dikenai siksa di hari kiamat. Perasaan belaskasihan semacam ini justru merupakan belas kasih yang keliru dan berbahaya sebagaimana halnya menghindari pengobatan si sakit karena perasaan tidak tega.

Penafsiran-penafsiran tersebut, sejatinya merupakan semacam pedoman bagi setiap pemangku wewenang khususnya dalam hal persidangan, untuk tidak bersikap subyektif dalam menjatuhkan putusan hukum, terlebih hanya dengan dalih perilaku sopan. Hal ini tentunya menyalahi rasa keadilan dan juga rentan menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Demikian penjelasan terkait hukuman dikurangi sebab pelaku sopan. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH