Hukum Orang Kafir Masuk Masjid

Masjid adalah tempat yang paling Allah cintai. Di dalamnya terdapat kaum muslimin beribadah kepada Allah Ta’ala, mengagungkan Allah dan berdzikir kepada Allah. Masjid adalah tempat yang mulia dan penuh keberkahan. Lalu bagaimana jika orang kafir memasuki masjid? Apakah diperbolehkan? Masalah ini telah dibahas oleh para ulama, dan pada artikel ini akan kami uraikan secara ringkas.

Kisah Tsumamah bin Utsal

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘amhu, beliau menceritakan,

بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim pasukan berkuda mendatangi Najed, kemudian pasukan tersebut kembali dengan membawa tawanan seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Kemudian laki-laki itu diikat di salah satu tiang masjid.” (HR. Bukhari no. 469 dan Muslim no. 1764).

Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya orang kafir masuk masjid. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui perbuatan para sahabat yang mengikat Tsumamah bin Utsal di masjid. Ketika itu, Tsumamah (yang masih dalam agama kaum musyrikin), berupaya untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun digagalkan oleh Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu. Kemudian ia pun diikat di masjid.

Pada hari ke tiga, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya dan bertanya,

مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ

“Apa yang Engkau miliki wahai Tsumamah?” (HR. Bukhari no. 2422, 4372 dan Muslim no. 1764). 

Maksudnya, beliau bertanya kepada Tsumamah apakah dia sudah makan atau belum? Hal ini mencerminkan tingginya sifat rahmah (penyayang) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun kepada orang yang hendak membunuh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ini menjadi salah satu sebab masuk Islamnya Tsumamah setelah itu.

Syarat-Syarat Bolehnya Mengizinkan Orang Kafir Masuk Masjid

Mayoritas ulama memberikan batasan atau persyaratan dalam masalah ini. Di antaranya adalah hal itu memiliki tujuan yang bermanfaat, misalnya untuk mendengarkan Al-Qur’an; untuk mendengarkan ilmu agama yang bermanfaat; atau orang kafir tersebut diharapkan masuk Islam; atau orang kafir tersebut sedang meminta keadilan hukum. Atau kondisi-kondisi lain yang memang ada manfaat di dalamnya. Namun, jika tidak ada manfaatnya, maka mereka tidak boleh memasuki masjid. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah dalam salah satu riwayat madzhab tersebut. 

Sebagian ulama mengatakan, orang kafir boleh memasuki semua masjid kecuali masjidil haram. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi’i, juga menjadi pendapat Ibnu Hazm rahimahumullah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (QS. At-Taubah [9]: 28)

Hal ini berdasarkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa najinsya orang-orang musyrik adalah najis yang melekat di badan (najis yang sifatnya konkret). Dilarangnya orang kafir untuk memasuki masjidil haram adalah pendapat yang kuat, berdasarkan cakupan makna umum dari ayat di atas. Wallahu a’lam.

Dari dalil-dalil tersebut, orang kafir boleh memasuki masjid -selain masjidil haram- dalam rangka mengamalkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Selain itu, terdapat maslahat ketika orang kafir masuk masjid, terutama ketika mereka melihat shalat yang dilakukan oleh kaum muslimin, dan juga mendengarkan bacaan Al-Qur’an, sebagaimana hal ini terjadi pada Tsumamah bin Utsal. 

Akan tetapi, terdapat syarat bahwa hal itu adalah benar-benar ada maslahat dan juga ada izin dari pihak yang memiliki kewenangan. Hal ini karena semua perkara yang terjadi pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu perkara yang berkaitan dengan maslahat orang banyak, maka hal itu harus dengan izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini terjadi pada kasus diikatnya Tsumamah bin Utsal. 

Kisah Jubair bin Muth’im

Dalil yang lain dalam masalah ini sebagaimana yang diceritakan oleh Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, ketika itu beliau menyiapkan tebusan untuk tawanan perang Badar dan masih musyrik. Beliau mengatakan,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ

“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat Maghrib membaca  Ath-Thur.” (HR. Bukhari no. 765)

Dan peristiwa itu adalah sebab beliau radhiyallahu ‘anhu mendapatkan hidayah.

Demikian pula kisah Dhimam bin Tsa’labah, dimana beliau masuk masjid dan mengikatkan untanya di masjid, kemudian bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, kemudian beliau pun masuk Islam. (HR. Bukhari no. 63).

Bolehkah Orang Kafir Menjadi Pengurus Masjid?

Jika masuknya orang kafir tersebut bersyarat, yaitu adanya maslahat, maka orang kafir tidak boleh menjadi pengurus masjid atau membuat batas-batas pendirian masjid, karena terdapat kaum muslimin yang mampu mengurusnya. Hal ini karena orang kafir dikhawatirkan akan melakukan tipu daya ketika membuat batas-batas masjid dan juga ketika membangunnya. 

Oleh karena itu, siapa pun yang akan membangun masjid, baik itu perorangan atau yayasan, hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala berkaitan dengan harta dan diri mereka. Jangan sampai mereka menyerahkan urusan pembangunan masjid tersebut kepada orang-orang kafir dengan alasan bahwa mereka lebih ahli dan profesional atau alasan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ

“Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221).

Wallahu Ta’ala a’lam.

 [Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54639-hukum-orang-kafir-masuk-masjid.html

Mendahulukan Kaki Kanan ketika Masuk Masjid

Ketika seseorang memasuki masjid, terdapat adab khusus yang berkaitan dengannya. Yaitu, seseorang mendahulukan kaki kanan. Karena sisi kanan itu didahulukan untuk hal-hal yang mulia, sedangkan sisi kiri untuk hal-hal kebalikannya. Namun, adab ini seringkali dilupakan oleh banyak kaum muslimin ketika mereka memasuki masjid, baik karena tidak tahu atau karena tergesa-gesa masuk masjid. Padahal, terdapat dalil-dalil baik yang bersifat umum maupun dalil yang bersifat khusus dalam masalah ini yang sudah seharusnya mendapatkan perhatian kaum muslimin.

Dalil Khusus

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

مِنَ السُّنَّةِ إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُمْنَى، وَإِذَا خَرَجْتَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُسْرَى

“Termasuk sunnah ketika masuk masjid adalah mendahulukan kaki kanan. Dan jika keluar dengan mendahulukan kaki kiri.” (HR. Al-Hakim, 1: 218. Beliau berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim”, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Pendapat yang benar (shahih) bahwa jika ada sahabat mengatakan, “Termasuk sunnah”, maka status hukumnya adalah perkataan Nabi (marfu’).” (Fathul Baari, 1: 523)

Dalil Umum

Al-Bukhari rahimahullah berkata di dalam kitab Shahih-nya,

بَابُ التَّيَمُّنِ فِي دُخُولِ المَسْجِدِ وَغَيْرِهِ  وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ: يَبْدَأُ بِرِجْلِهِ اليُمْنَى فَإِذَا خَرَجَ بَدَأَ بِرِجْلِهِ اليُسْرَى

“Bab mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan selainnya. Ibnu ‘Umar biasa (masuk masjid) dengan mendahulukan kaki kanan, dan ketika keluar masjid, mendahulukan kaki kiri.” 

Kemudian beliau (Al-Bukhari) menyebutkan hadits yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ، فِي طُهُورِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَتَنَعُّلِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan dalam setiap perbuatannya selama beliau mampu, seperti dalam bersuci, menaiki kendaraan, dan memakai sandal.” (HR. Bukhari no. 426 dan Muslim no. 268)

Al-‘Aini rahimahullah berkata, “Kesesuaian antara judul bab dengan hadits tersebut adalah dari sisi cakupan makna umumnya. Karena cakupan makna umumnya menunjukkan memulai dari sisi kanan ketika memasuki masjid.” (‘Umdatul Qari, 3: 429)

Ibnu ‘Allan rahimahullah berkata, “Kaki kanan dikhususkan untuk masuk masjid, karena kemuliaannya. Sedangkan kaki kiri ketika keluar masjid, karena kejelekannya. Ini termasuk adab yang hendaknya diperhatikan, sebagaimana adab-adab yang lainnya.” (Al-Futuhaat Ar-Rabbaniyyah, 2: 42)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54283-mendahulukan-kaki-kanan-ketika-masuk-masjid.html

Adab Memasuki Masjid

Masjid adalah tempat suci yang digunakan untuk beribadah. Berbeda denagn bangunan yang lainnya, masjid mempunyai aturan atau adab tersendiri saat ingin memasukinya atau menetap di dalamnya.

Dalam buku Ensiklopedia Islam Al Kamil yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At Tuwaijiri dijelaskan adab jiak hendak memasuki masjid,

1. Tenang dan Tidak Terburu-buru.

Disunnahkan bagi seorang muslim masuk masjid dengan kondisi yang tenang, dan tidak mengatupkan antarjari jemarinya, karena sedang dalam shalat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila telah dikumandangkan iqamah, maka janganlah mendatanginya dengan berlari-lari, akan tetapi datangilah dengan tenang. Apa yang kalian dapatkan, shalatlah dan apa (rakaat) yang tertinggal maka sempurnakanlah. Sesungguhnya salah seorang kalian bila telah berniat menuju shalat maka dia dalam shalat.”(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Mendahulukan Kaki Kanan Ketika Masuk Masjid.

Disunnahkan bagi seorang muslim jika datang ke masjid, mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid, seraya mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung dan kepada wajah-Nya yang Mulia, dan kekuasaan-Nya yang dahulu, dari setan yang terkutuk.”(HR. Abu Dawud)

3. Mendahulukan Kaki Kiri  Ketika Keluar Masjid.

Disunnahkan jika keluar dari masjid dahulukan kaki kiri seraya mengucapkan, “Dengan nama Allah, salawat dan salam atas Rasulullah, ya Allah sesungguhnya aku memohon karunia-Mu. Ya Allah jagalah aku dari setan yang terkutuk.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

4.  Mengucapkan salam kepada orang yang berada di dalam masjid, kemudian shalat tahiyatul masjid dua rakaat.

5. Berdzikir, Membaca Alquran atau Sunnah.

Disunnahkan untuk mengisi waktu saat menunggu hingga shalat didirikan dengan berdizikir kepada Allah, membaca Alquran, atau sunnah-sunnah. Dan berusaha berada di shaf pertama, disisi kanan Imam.

6. Dibolehkan sesekali tidur di masjid.

Hal ini karena boleh dilakukan karena adanya keperluan, seperti orang fakir miskin dan orang asing yang tidak mempunyai tempat tinggal. Tetapi menjadikan masjid sebagai tempat tinggal dan tempat mengobrol itu dilarang, kecuali bagi orang yang beriktikaf dan sebagainya.

Sumber: Ensiklopedia Islam Al Kamil yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At Tuwaijiri. Bagian Ketiga. Ibadah. Adab memasuki masjid. Hal 653-654.

REPUBLIKA