Menyikapi Hadits Dhaif dan Maudhu’ Ihya Ulumiddin Secara Proporsional

TIDAK bisa dipungkiri bahwa beberapa ulama mengkritik kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al Ghazali, salah satunya adalah kritik seputar hadits-hadits yang termaktub dalam kitab masyhur tersebut. Diantara para pengkritik adalah adalah Al Hafidz Ibnu Al Jauzi yang menyatakan dalam kitab Al Ihya’ penuh dengan hadits-hadits maudhu’. (lihat, Talbis Iblis, hal. 160)

Selain Ibnu Al Jauzi, ada Abu Walid Ath Thurthusi menyatakan bahwa Imam Al Ghazali memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits maudhu’at. Hal yang hampir sama dikatakan oleh Al Maziri (Lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 6/241, 243).

Jika menurut dua ulama di atas, bisa disimpulkan bahwa kitab Al Ihya dipenuhi dengan hadits-hadits maudhu’.

Takhrij As Subki

Namun selain para ulama di atas, ada pula para ulama yang melakukan kajian mendalam terhadap hadits-hadits Al Ihya, seperti At Taj As Subki. As Subki mengumpulkan ada lebih dari 900 hadits yang ia belum menemukan sanadnya (lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra 6/287-389)

Jumlah hadits yang terdapat dalam Al Ihya cukup banyak, yakni 4848 hadits berdasarkan Tartib Ahadits Al Ihya, karya Syeikh Mahmud Said Mamduh. Jika demikian hadits yang belum ditemukan isnadnya oleh Imam At Taj As Subki hanya seperlima dari jumlah keseluruhan hadits di Al Ihya. Dan hadits-hadits yang belum ditemukan isnadnya oleh As Subki tidak otomatis bahwa hadits-hadits itu tidak bersanad, hanya saja As Subki belum menemukannya. Hal ini menunjukkan bahwa takhrij yang dilakukan As Subki belumlah final, karena takhrij setelahnya menunjuukan bahwa hadits-hadits itu memiliki sanad.

Takhrij Al Iraqi

Selain As Subki Ulama yang juga telah melakukan kajuan khusus terhadap hadits-hadits Al Ihya’ adalah Al Hafidz Al Iraqi. Dalam muqadimahnya takhrijnya, Al Iraqi menyatakan bahwa ia sengaja mengakhirkan penyelesaian kitab takhrijnya tahun 751 H, dikarenakan banyak hadits-hadits yang belum ia temukanan sanadnya. Namun setelah itu ia banyak menemukan isnad bagi hadits-hadits yang sebelumnya belum ia temukan isnadnya. Maka pada tahun 760 H ia pun menyelesaikannya. (lihat, muqaddimah Mughfi An Haml Al Asfar fi Takhrij Ma fi Al Ihya Min Al Akhbar, 1/3)

Mengenai takhrij Al Iraqi, Syeikh Abdul Qadir Al Aidrus Ba’alwi ketika menjawab kritikan mengenai adanya hadits maudhu dan dhaif dalam Al Ihya menyatakan,”Walhasil, jawaban untuk hal itu baik dari Imam Al Ghazali maupun salah satu pengagumnya Al Hafidz Al Iraqi, bahwa sebagain besar yang disebutkan Al Ghazali bukan hadits maudhu’, hal itu terbukti dari takhrijnya. Dan ia bukan sebagian besar, dan sangat sedikit.” (Ta’rif Al Ahya’ fi Fadhail Al Ihya’ disertakan dalam jilid awal Ihya Ulumiddin, 1/365)

Takhrij Az Zabidi

Kemudian datanglah Al Hafidz Al Murtadha Az Zabidi yang mensyarah Ihya’ Ulumiddin dengan nama Ithaf As Sadah Al Muttaqin fi Syarh Ihya Ulumiddin. Al Murtadha Az Zabidi dalam mensyarh Al Ihya’ juga melakukan melakukan takhrij hadits-haditsnya dan ia pun mengomentari takhrij yang telah dilakukan Al Hafidz Al Iraqi.

Az Zabidi berkata,”Sesungguhnya (Hadits-hadits) yang telah disebutkan oleh penulis (Al Ghazali), derajatnya seputar muttafaq alaihi, juga termasuk  yang shahih dan hasan serta pembagian dari keduanya dan di dalamnya terdapat dhaif, syadz, munkar, serta maudhu dengan jumlah yang sedikit, sebagaimana engkau akan menemuinya insyaallah.” (Ithaf As Sadah Al Muttaqin, 20/1)

Mengenai takhrij Az Zabidi ini, Dr. Usamah Sayyid Al Azhari, seorang ulama hadits Al Azhar menyampaikan,”Dan ia tidak meninggalkan satu hadits pun dalam Al Ihya’, kecuali ia jabarkan takhrijnya, dia adalah dia, ia adalah ayat Allah yang agung dalam masalah ilal, thuruq, dan pengetahuan mengenai sumber hadits dan ia seorang penghafal dalam sanad-sanad. Sampai Syeikh Al Islam Al Hafidz At Taj As Subki membuat pembahasan khusus dalam thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra sebuah pasal yang menyatakan,’Ini adalah pasal mengenai hadits-hadits Al Ihya’ yang aku belum menemukan sanadnya.’ Maka Anda mendapati bahwa Al Imam Al Murtadha Az Zabidi telah menemukan hadits-hadits itu memiliki sanad dan memiliki asal dan ia menghukuminya dan menunjukkan takhrijnya.” (Al Hadits wa Al Muhadditsun fi Al Azhar Asy Syarif, hal. 37)

Jika demikian, perkataan yang diambil mengenai status hadits-hadits dalam Al Ihya, adalah para ulama yang telah melakukan kajian takhrij secara khusus terhadap hadits-hadits Al Ihya, yakni As Subki, Al Iraqi dan Al Murtadah Az Zabidi, dan hasilnya Al Iraqi dan Al Murtadha Az Zabidi membuktikan bahwa hadits maudhu’ dalam Al Ihya sangatlah sedikit.

Hadits Dhaif dalam Al Ihya

Adapun mengenai hadits dhaif dalam Al Ihya, Al Murtadha Az Zabidi berkata,”Adapun mengenai hadits-hadits yang tidak shahih, maka tidak boleh diingkari dalam penyebutannya, dikeranakan hal itu dibolehkan dalam masalah tarhib wa targhib (ancaman dan motivasi).” (Ithaf As Sadah Al Muttaqin, 20/1)

Demikian juga jawaban yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Qadir Al Aidrus Ba’alwi,”Adapun yang dikritik terhadapnya, bahwasannya Imam Al Ghazali menyebut banyak hadits dhaif, maka kritikan itu gugur karena telah ditetapkan bahwa dhaif dipakai dalam fadhail dan kitabnya berkenaan dengan raqa`iq (masalah adab dan akhlak) yang merupakan bagian dari fadhail.” (Ta’rif Al Ahya fi Fadhail Al Ihya’, 1/ 363)

Walhasil, sangat tidak proporsional mencacati kitab yang dipuji oleh banyak ulama ini dan menyeru manusia untuk meninggalkannya karena terdapat hadits maudhu di dalamnya. Hal itu tidak bisa diterima kerena jumlah hadits maudhu’ sangat sedikit, dan itu telah diperingatkan oleh para ulama pentakhrij hadits Al Ihya’.

Hadits Maudhu’ di Luar Al Ihya`

Sebenarnya tidak hanya kitab Al Ihya yang mengandung hadits-hadits maudhu’, bahkan kitab para huffadz juga terdapat hadits maudhu’, diantaranya adalah kitab-kitab Ibnu Al Jauzi sendiri, semisal Dzam Al Hawa dan Tablis Iblis. Dimana dalam hal ini Al Hafidz As Sakhawi berkata,”Dan banyak dilakukan oleh Ibnu Al Jauzi dalam karya-karyanya yang bersifat nasihat dan sejenisnya dengan menyebutkan hadits-hadits maudhu’ dan sejenisnya.” (Syarh Al Alfiyah, hal. 107)

Demikian pula yang terjadi kepada Al Hafidz Adz Dzahabi dalam kitabnya Al Kabair yang juga menyebut hadits-hadits maudhu’, sebagaimana disebutkan Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam komentarnya terhadap Al Ajwibah Al Fadhilah. (Al Ajwibah Al Fadhalah, hal. 119, 120)

Bahkan dalam kitab-kitab Ibnu Qayyim Al Jauziyah sendiri terdapat hadits-hadits dhaif dan munkar seperti yang terdapat dalam Madarij As Salikin dan Zad Al Ma’ad, sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam komentarnya terhadap Al Ajwibah Al Fadhulilah (Al Ajwibah Al Fadhilah, hal. 130-132)

Tentu, sangat tidak bijak jika harus meninggalkan kitab-kitab para ulama tersebut, dikarenakan terdapat hadits dhaif dan madhu’, lebih-lebih jika para ulama sudah menyampaikan perihal hadits-hadits maudhu dalam kitab-kitab tersebut. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam

 

HIDAYATULLAH