Mazhab Hanafi Hukumi Sunah Hapus Air Wudu

DENGAN melihat banyak dalil dari sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagian memandang yang lebih utama setelah wudu adalah dibiarkan saja menetes-netes, tidak usah dilap atau dihanduki. Namun juga dengan menggunaan dalil sunah Rasulullah, sebagian malah memandang lebih utama kalau air sisa bekas wudu itu segera dilap dan dikeringkan.

2. Sunah

Sebaliknya mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa menyeka atau mengeringkan bekas sisa air wudu hukumnya sunnah. Dasarnya karena Rasulullah pernah melakukannya.

Bahwa Nabi berwudu kemudian beliau membalik jubahnya dan mengusapkannya pada wajahnya. (HR. Ibnu Majah).

Selain dalil fi’liyah yang dilakukan langsung oleh Rasulullah di atas, mereka yang mendukung pendapat ini juga memandang bahwa mengusap bekas sisa air wudu itu seperti menghilangkan dosa. Sebab di hadis yang lain disebutkan bahwa wudu itu merontokkan dosa. Logikanya, sisa bekas air wudhu itu dianggap mengandung dosa, sehingga harus segera dibersihkan.

Dalilnya sebagai berikut :

Apabila seorang hamba yang muslim atau mukmin itu berwudu di mana sewaktu ia membasuh mukanya, maka keluarlah semua dosa yang dilihat dengan kedua matanya dari mukanya bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air yang terakhir. Jika ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah semua dosa yang diperbuat oleh kedua tangannya itu bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir. Dan jika ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah semua dosa yg diperbuat oleh kedua kakinya itu bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air yg terakhir, sehingga ia benar-benar bersih dari semua dosa. (HR. Muslim).

Perhatikan lagi sabda Rasulullah berikut ini:

Maukah kamu sekalian aku tunjukkan sesuatu yang mana dengan sesuatu itu Allah akan menghapus dosa-dosa kalian dan dengan sesuatu itu pula Allah akan mengangkat kalian beberapa derajat?” Para sahabat menjawab, “Iya, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Yaitu menyempurnakan wudu atas hal-hal yang tidak disukai, memperbanyak langkah ke masjid-masjid dan menantikan salat sehabis salat. Maka itulah yang dinamakan ar-Ribath (mengikatkan diri dalam ketaatan) (HR. Muslim)

Silahkan pakai pendapat yang mana saja yang Anda cenderung untuk memakainya. Toh, semua pendapat itu sama-sama didasari dengan dalil-dalil yang shahih, plus juga merupakan hasil ijtihad para fuqaha dan mujtahidin yang memang ahli dibidangnya serta memiliki otoritas yang tepat.

Sehingga pilihan manapun yang Anda pilih, sudah dijamin tidak akan menjadi dosa atau celaka. Namun terkadang, tetap saja pihak penanya suka penasaran, lalu menyampaikan pertanyaan lagi, “Kalau Ustadz sendiri pilih yang mana?”.

Biasanya kalau sudah sampai disini saya suka menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

INILAH MOZAIK