Apakah Vaksinasi Covid 19 Membatalkan Puasa?

Dalam hitungan hari, bulan suci Ramadhan akan kembali hadir. Sebagai seorang yang muslim, puasa merupakan suatu kewajiban bagi individu. Di sisi lain, di Bulan Rajab dan Sakban jamak kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan puasa sunat, atau sekadar membayar hutang puasa Ramadah lalu. Sementara itu pemerintah Indonesia, lagi menggulirkan program vaksinasi nasional. Nah, ada kekhawatiran kaum muslimin bahwa vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa.

Nah bagaimana hukum fiqih memandang persoalan ini.  Apakah vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa?

Menurut Mufti Agung dan Kepala Departemen Urusan Islam dan Kegiatan Amal Dubai, Uni Emirat Arab, vaksinasi Covid 19 tidak membatalkan puasa. Pasalnya, kata Syaikh Dr. Ahmed bin Abdul Aziz Al-Haddad, ketika seseorang di vaksinasi, jarum suntik tersebut masuk melalui organ tertutup manusia. Hal itu tak membatalkan puasa.

Pun efek samping  yang timbul setelah setelah vaksinasi, tak juga membatalkan puasa. Pelbagai efek samping vaksinasi  antara lain; pusing,  mual, muntah yang tak disengaja, juga tak membatalakan puasa.  Namun, bila efek samping tersebut memberatkan si pasien, maka ia dibolehkan syariat untuk berbuka. Sebagai keringan hukum bagi yang divaksinasi.

Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, mengatakan boleh hukumnya seorang divaksinasi Covid 19 pada saat ia berpuasa. Vaksinasi Covid 19 tak membatalkan puasa. Pasalnya pemberian vaksin melalui cara Intramuskuler yaitu injeksi ke dalam otot tubuh.

Mufti Kerajaan Arab Saudi itu mengatakan:

لأنه ليس مفطر لكونه لا يعد طعامًا ولا شرابًا، كما أنه يعطى عن طريق العضل

Artinya: Vaksin tidak membatalkan puasa, karena keadaannya  bukan tergolong kepada makanan dan minuman, dan vaksin itu diberikan secara intramuskuler (suntik ke otot).

Lembaga Fatwa Al Azhar pun mengeluarkan fatwa yang sama—vaksinanasi Cpvi 19 tak membatalkan puasa—, pasalnya metode vaksinasi dilakukan dengan menyuntikkan jarum ke otot atau pembuluh darah atau bagian lainnya yang bukan merupakan bagian luar anggota tubuh manusia.

Lembaga Fatwa Al-Azhar menulis:

اللقاحات والتطعيمات بهذا الشكل ليست أكلا ولا شربا ولا هي في معناهما, لأنه دخل بدنه عن طريق الجلد، والجلد ليس منفذا للجوف

Artinya: vaksin dan vaksinasi dengan cara demikian bukan tergolon makan dan minum, dan tak juga dengan perngertian keduanya, karena vaksinasi adalah memasukkan jarum ke tubuh melalui kulit , dan kulit tak masuk ke dalam rongga (baca: anggota luar) tubuh.

Ulama kontemporer, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah, Jilid I, halaman 463-464, mengatakan bahwa suntik tak membatalkan puasa. Pasalnya, ia bukanlah perkara yang memberikan zat makanan terhadap tubuh manusia. Justru, suntik itu membuang zat-zat kotor yang ada dalam tubuh manusia.

Ada pun obat  dari cairan suntik, seandainya sampai masuk dan menjalar ke lambung untuk mengobati luka atau membunuh virus yang mematikan  atau cairan itu sampai ke otak, itu tidak sama dengan makanan. Itu semua berbeda dengan makanan yang sampai ke lambung atau otak manusia. Demikian itu bukan tergolong makanan yang dapat membatalkan puasa.

Sayyid sabiq menjelaskan terkait suntik:

كذلك الحقنة , لاتغذي، بل تستفرغ ما في البدن, والدواء الذي يصل إلى المعدة، في مداواة الجائفة, والمأمومة لا يشبه ما يصل إليها من غذائه

Artinya: suntikan juga demikian. Ia bukanlah perkara yang memberikan zat makanan kepada tubuh, bahkan sebaliknya, ia membuang pelbagai zat yang tak bermanfaat dalam tubuh. Obat yang sampai masuk ke dalam lambung untuk mengobati luka yang sampai ke perut dalam atau ke selaput otak, itu semua tak sama dengan makanan.

Pada sisi lain, Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Al Kaff, dalam kitab  at- Taqriratu as sadidatu fil masaili al mufidah, halaman 452 mengatakan boleh menggunakan jarum suntik pada saat melaksanakan puasa. Demikian itu apabila jarum suntik tersebut dilaksanakan pada lubang anggota tubuh yang tertutup. Oleh karena itu, vaksinasi Covid 19 tak membatalkan puasa.

Syekh Hasan Al- Kaff menulis:

حكم الابرة تجوز للضرورة, انها لا تبطل مطلقا لانها وصلت الى الجوف من غير منفذ مفتوح. واذا كان في العضل -وهي العروق غير المجوفة -: فلا تبطل

Artinya: Hukum menggunakan jarum (baca: suntik) pada saat puasa boleh disebabkan darurat. Sesungguhnya suntik itu tak membetalkan puasa secara mutlak. Pasalnya suntik itu dilakukan kepada rongga tubuh (saluran) yang tidak terbuka. Dan apabila suntik itu dilakukan pada otot (maskuler) artinya; pada pembuluh darah, yang bukan bagian anggota rongga terbuka tubuh, maka tidak membatalkan puasa.

Demikianlah penjelasan hukum terkait apakah vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa?

BINCANGSYARIAH.COM

Apakah Maksiat Membatalkan Puasa?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang asalnya mubah tidaklah sempurna sampai seseorang meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa yang melakukan yang haram disertai mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah, maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu beralih mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang yang bermaksiat tetap dianggap sah dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ puasanya menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus (seperti makan, minum dan jima’) dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Menjauhi berbagai hal yang dapat membatalkan puasa, hukumnya wajib. Sedangkan menjauhi hal-hal selain itu yang tergolong maksiat termasuk penyempurna puasa.”
Mulla ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.”

Diketik ulang dari buku Panduan Ramadhan 2010 karya Muhammad Abduh Tuasikal, hal 54-55.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11150-apakah-maksiat-membatalkan-puasa.html