Dahsyat! Inilah Balasan Jika Terbiasa Memberi

MANUSIA dilahirkan dalam kondisi tak memiliki apa-apa. Sehelai kain pun ia tak punya. Sehingga semua yang nantinya dia miliki, berupa harta dan lainnya adalah milik Allah semata.

Seperti Firman-Nya: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dikaruniakan-Nya kepadamu.”(An-Nur 33)

Seluruh harta yang ada pada mereka hanyalah titipan dari Allah. Sesuai dengan Firman-Nya:

“Dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah Menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah).” (Al-Hadid 7)

Setelah Allah meyakinkan bahwa harta itu milik-Nya dan dititipkan kepada manusia, Allah memintanya untuk membagikan harta titipan itu kepada orang lain. Itupun, Allah tidak meminta untuk membagikan semua harta yang ia miliki, hanya sebagian saja yang perlu untuk dibagikan kepada orang lain. Allah swt berfirman:

“Dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami Berikan kepada mereka” (Al-Baqarah 3)

Namun anehnya, Allah menggunakan cara yang begitu indah untuk menggugah hati manusia dalam ber-infaq. Kita tau bahwa semua harta itu milik Allah, namun Allah memakai kata “hutangi-lah aku” ketika meminta manusia untuk membagikan hartanya. Seakan-akan harta itu milik manusia.

“Berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (Al-Muzammil 20)

Allah meminta hutang sementara semua yang ada pada kita adalah milik-Nya. Seorang yang masih memiliki perasaan pasti tergugah untuk berbagi kepada selainnya. Karena manusia mungkin akan ragu bahwa yang ia berikan kepada orang lain akan kembali. Namun jika ada seorang yang berhutang, maka ada kemungkinan untuk kembali lagi. Dan kali ini yang berhutang adalah Allah swt. Siapa yang lebih tepat janjinya daripada Allah?

Bahkan dalam ayat lain, Allah menyebutkan bahwa siapa yang mau menghutangi Allah dengan membagikan hartanya kepada orang lain akan diganti dengan tambahan yang lebih dari Allah.

“Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak.”(Al-Baqarah 245)

Lalu, berapa banyak Allah akan melipat gandakan gantinya? Didalam Alquran disebutkan bahwa ganti yang Allah berikan atas mereka yang mau berinfaq adalah 10 x lipat paling sedikitnya.

Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.” (Al-Anam 160)

Bahkan didalam surat Al-Baqarah, Allah swt bukan hanya melipat gandakan 10x, namun sampai 700x lipat setiap seorang menginfakkan hartanya dijalan Allah.

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.” (Al-Baqarah 261)

Dan lihatlah janji Allah bagi mereka yang mengeluarkan hartanya dijalan Allah:

“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan Menggantinya”(Saba 39)

Sekarang, ketika Allah telah berjanji untuk mengganti semua harta yang kita berikan, ketika Allah berjanji untuk melipatgandakan, ketika Dia meminta hutang padahal semua itu milik-Nya semata, adakah yang masih ragu untuk berbagi?

Imam Jafar Shodiq pernah bertanya: “Jika yang mengganti adalah Allah, lantas mengapa masih kikir?”

Sebenarnya, keuntungan yang akan kita dapatkan dari berinfak bukan hanya penggantian yang berlipat dari Allah. Lebih dari itu, menurut Alquran seorang yang berinfak sebenarnya dia memberi kepada dirinya sendiri.

Bukankah Allah berfirman: “Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri.”(Al-Baqarah 272)

Hanya orang yang tidak waras yang masih kikir terhadap dirinya. Dia begitu pelit bahkan untuk kebaikan dirinya sendiri. Allah pun dengan tegas menyebutkan dalam Firman-Nya bahwa siapa yang kikir sebenarnya dia kikir untuk dirinya sendiri.

“Dan barangsiapa kikir maka sesungguhnya dia kikir terhadap dirinya sendiri.”(Muhammad 38)

Ringkasnya, saat kita memiliki uang 100 ribu kemudian kita infakkan 50 ribu, tersisa berapa uang yang kita miliki? Logika dunia pasti mengatakan hanya tersisa 50 ribu. Namun logika Al-Quran, uang itu kini menjadi 550 ribu yang tersimpan dalam tabungan dihadapan Allah swt. Karena paling sedikitnya akan Allah ganti 10x lipat.

Akhirnya, apabila kita benar-benar mencintai harta kita maka titipkanlah harta itu kepada Allah. Jika tidak, maka ketika wafat akan menjadi milik ahli waris. Jika kita belikan makanan akan habis dan tersisa seperti yang keluar dari perut.

Rasulullah pun berpesan bahwa harta yang menjadi sebenar-benarnya milik kita adalah yang telah kita infakkan sementara yang masih ada di tangan kita tidak bisa menjamin akan menjadi milik kita nanti.

Suatu hari, beliau menyembelih kambing dan menyuruh istrinya Aisyah untuk membagi-bagikan daging itu. Setelah beberapa saat, Rasul bertanya tentang daging tersebut. Istri beliau menjawab bahwa semuanya sudah dibagikan kecuali sedikit yang ia sisakan untuk Rasulullah saw. Rasulullah pun menjawab bahwa yang telah dibagikan itulah yang sebenarnya milik kami sementara yang sisa sedikit itu bukan milik kami.

Sekecil apapun harta yang kita infakkan akan menjadi kekal sementara sebanyak apapun harta yang kita timbun akan segera terpisah dari kita.[khazanahalquran]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2356316/dahsyat-inilah-balasan-jika-terbiasa-memberi#sthash.aZxhttza.dpuf

Memberi Pangkal Kebahagiaan dan Kemudahan

Hidup tak selamanya lapang. Terkadang, seseorang kurang beruntung dalam menjalani hidup yang tak berkecukupan. Di sisi lain, ada pula mereka yang berkecukupan dan bergelimang harta. Islam mengajarkan agar mereka yang mempunyai harta mengulurkan tangan dan memberi pertolongan kepada mereka yang kekurangan.

Syekh Muhammad Thoriq Muhammad Shalih dalam bukunya Ensiklopedi Amalan Muslim mengatakan sudah semestinya seorang Muslim memberikan bantuan kepada saudara seiman yang membutuhkan. Ia mengutip hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.

Menurut Rasulullah, seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya dan ia tak menzalimi saudaranya itu. Siapa saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah SWT akan menutupi kebutuhannya. Seorang Muslim yang mengeluarkan Muslim lainnya dari musibah, Allah akan menyelamatkannya dari musibah pada hari kiamat.”

Shaleh Ahmad Asy-Syaami mengatakan, mereka yang bersedia memberikan bantuan dan berbuat kepada sesamanya merupakan orang yang mempunyai kelapangan dada, kebaikan hati, dan jiwa yang lembut. Ia menyebut dalam bukunya, Beradab dan Berakhlak Mulia, orang yang suka menolong dan memberi itu adalah dermawan.

Mereka yang enggan berbuat demikian adalah orang-orang kikir. Nabi Muhammad memberikan perumpaan antara mereka yang dermawan dan kikir melalui hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Beliau menggambarkan orang dermawan dan kikir seperti dua orang yang mengenakan baju tameng dari besi.

Setiap bersedekah, baju  yang dipakai si dermawan itu melebar dan meluas sampai-sampai dia mampu menyeret baju yang dipakainya sehingga jejak telapak kakinya terhapus, sedangkan si kikir, setiap akan bersedekah, hatinya akan terasa berat. Baju tameng besi yang dikenakannya seolah semakin menyempit, membuatnya sesak.

 

sumber: Republika Online

Mulia dengan Memberi

Cendekiawan Muslim, Didin Hafiduddin, mengatakan betapa pentingnya Muslim menjadi sosok yang selalu memberi dalam kondisi sesulit apa pun. Hal ini bermakna bahwa si Muslim itu selalu berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk menjadi orang yang bersedekah atau orang yang berinfak.

Rasulullah, kata dia, menyatakan bahwa tangan di atas (pemberi) itu jauh lebih baik dibandingkan dengan tangan di bawah (penerima). Dengan tekad ini, akan mendorong Muslim untuk menghindarkan diri dari sikap meminta dan menggantungkan diri pada orang lain. Ia selalu berusaha mengatasi ketiadaan dan ingin senantiasa memberi.

Terkait dengan hal ini, Rasulullah mengungkapkan semulia-mulianya orang mukmin adalah yang paling rajin bangun malamnya untuk beribadah. Dan, mukmin yang paling gagah adalah dia yang tidak mengandalkan hidupnya pada belas kasihan dari orang-orang lain yang ada di sekitarnya.

Berusaha memberi kepada orang lain, jelas Didin, merupakan pangkal utama kebahagiaan dan kemudahan. Sebaliknya, mereka yang terus-menerus bersandar pada orang lain, maka akan menuju pada sebuah kehinaan. Biasanya, hal ini disebabkan hilangnya rasa percaya diri dalam menghadapi hidup.

Adapun orang yang suka memberi dan bertakwa dan meyakini adanya pahala yang baik, akan Kami siapkan baginya kehidupan yang mudah,” demikian Surah al-Lail atau surah ke-92 ayat 5-7 yang dikutip oleh Didin dalam tulisannya Tangan di Atas” pada buku kumpulan tulisan berjudul Sederhana Itu Indah.

Maka itu, ia menyarankan meski dalam kondisi perekonomian yang berat, tetapi Muslim diharapkan tetap bersikukuh mempertahankan identitasnya sebagai sosok pemberi. Ringan tangan membantu orang-orang yang membutuhkan. Ia meyakinkan pula bahwa Allah SWT pasti akan memberi kelapangan rezeki.

Membantu kerabat

Selain itu, jika ada kerabat yang berada dalam kesulitan dan kemiskinan, saudara-saudaranya dituntut untuk memberikan bantuan berupa nafkah bagi mereka. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, para ahli fikih mengemukakan ada dua syarat pokok atas wajibnya nafkah terhadap karib kerabat.

Pertama, orang yang miskin itu memang berhak mendapatkan nafkah dari kerabatnya. Bila dia berkecukupan dan memiliki harta serta usaha, tak ada kewajiban untuk memberinya nafkah. Sebab, nafkah yang diberikan itu diwajibkan sebagai bentuk bantuan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya, sedangkan syarat kedua, si pemberi tentunya adalah orang yang memiliki kelebihan.

Artinya, ia telah mampu mencukupi kebutuhannya sendiri dan keluarganya. Karena nafkah kepada kerabat bersifat sumbangan, nafkah yang diberikan itu adalah kelebihan dari nafkah pokok baik untuk istri maupun anak-anaknya.

Mulailah dari dirimu kemudian kepada mereka yang berada dalam tanggung jawabmu,” demikian pernyataan Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.

 

sumber:RepublikaOnline