Memuliakan Istri

Imam Ahmad pernah berkata, “Aku hidup bersama istriku, Ummu Abdillah, selama empat puluh tahun tidak pernah saya berbeda pendapat dengannya meskipun hanya dalam satu kata.” Ungkapan tersebut menunjukkan betapa sebagai suami, Imam Ahmad tidak pernah meremehkan istrinya, sekalipun dirinya adalah seorang ulama yang sangat kaya akan ilmu, karya dan pengaruh. Imam Ahmad sangat memuliakan sang istri.

Demikian pula khalifah kedua umat Islam, Umar bin Khattab, ia tak membalas “omelan” sang istri dengan suara tinggi, apalagi memainkan tangan untuk membidas kemarahan sang istri agar berhenti dan diam. Umar seperti yang diherankan oleh orang yang hendak mengadukan istrinya, hanya diam, mendengarkan sang istri yang marah-marah.

Kisah tersebut menunjukkan kesempurnaan akhlak insan beriman yang di antaranya termanifestasi dalam kehidupan rumah tangga, memuliakan istri. Mengapa suami mesti memuliakan istri?

Pertama, karena Nabi meneladankannya. Kedua, jasa istri sangat luar biasa. Perhatikanlah bagaimana rumah rapi, makanan dan minuman yang tersedia, anak-anak yang dimandikan, dididik, diantar, dan dijemput sekolah. Istri yang melakukan semua itu. Aid al-Qarni berkata dalam bukunya Beginilah Waktu Mengajari Kita, berpura-puralah tidak mengetahui kesalahan istri dan sebaliknya muliakanlah istri karena jerih payah dan pengorbanannya setia dan menjaga rumah tangga.

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR Tirmidzi).

Sangat pantas kemudian Sayyidina Umar RA berkata kepada pria yang hendak mengadukan sikap istrinya. “Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku.

Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, dan menyusui anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya,” jawab Umar. “Di samping itu,” sambung Umar, “Hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram — sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatann istriku.”

Argumen tersebut memberikan makna mendalam bahwa mendengarkan kemarahan istri bukan sebuah kelemahan. Justru itulah kekuatan sejati seorang suami. Sebab, dengan seperti itu, keutuhan rumah tangga tetap terjaga, cinta kasih tetap terawat dan tentu saja kehidupan keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah perlahan-lahan dapat diwujudkan.

Selain itu, sikap tersebut akan mencegah terjadinya perang mulut, adu argumentasi atau pun debat yang merugikan, yang jika tidak hati-hati justru terdengar anak-anak dan akan berdampak negatif terhadap perkembangan psikologi anak-anak kita sendiri, sehingga terganggulah ketenteraman keluarga.

Oleh karena itu, memuliakan istri di antaranya dengan bersikap lemah lembut termasuk perkara istimewa yang mesti diupayakan oleh setiap suami. Sadarlah bahwa setiap manusia pernah bersalah, termasuk istri di rumah, maka lapangkanlah dada, sabar, dan didiklah ia dengan kasih sayang disertai doa agar Allah jadikan ia istri yang salehah.

 

Oleh: Imam Nawawi

REPUBLIKA