Keutamaan Memuliakan Tamu

Tamu dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat terhormat. Maka itu, umat diperintahkan untuk memuliakan tamu, sehingga menjadi tuntunan dan akhlak mulia. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang terkait dengan amalan ini.

Salah satunya hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA. Dalam hadis tersebut, Rasulullah menyandingkan dua amalan utama dalam Islam, yakni berbuat baik kepada tetangga, serta memuliakan tamu.

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (Mutafaq’alaih)

Imam al-Qadhi Iyadh dalam memaknai hadis di atas, menerangkan, ketika umat berupaya menjalankan syariat Islam, maka wajib baginya untuk memuliakan tetangga dan tamunya, serta berbuat baik kepada keduanya.

Di sisi lain, ada pula hadis itu juga mengaitkan memuliakan tamu dengan kesempurnaan keimanan, kepada Allah dan hari akhir. Ini adalah upaya menuju keimanan yang paripurna, mengingat beriman kepada Allah dan hari akhir, merupakan bagian dari enam rukun iman yang wajib diyakini oleh segenap umat.

Alquran pun memberikan teladan dalam kisah Nabi Ibrahim AS. Suatu hari, Nabi Ibrahim menerima dua tamu yang tidak dikenalnya. Tamu-tamu itu adalah malaikat yang diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar akan kelahiran Ishaq, anak Nabi Ibrahim dari Siti Hajar.

Pada surat az Dzariyaat [51] ayat 24-17, dipaparkan bagaimana Nabi Ibrahim memuliakan tamu-tamunya. Beliau segera membalas salam dari para tamu itu, mempersilahkan mereka masuk ke rumah dan menyuguhkan makanan dengan daging anak sapi yang gemuk.

Demikian halnya Rasulullah SAW selalu memuliakan tamunya, baik dari kalangan sahabat maupun rakyat biasa. Nabi pun tidak sungkan menerima tamu dari kalangan non-Muslim sekalipun.

Berdasar hadis dari Imam Muslim dari Abu Hurairah, suatu ketika Rasulullah menjamu seorang tamu yang kafir. Untuk menjamunya, Rasulullah meminta diperahkan susu kambing, dan lantas diminum oleh si tamu. Hal itu berlangsung hingga tujuh kali. Dan saat pagi ia sudah masuk Islam.

Islam tak sekadar menganjurkan umat memuliakan tamu, tapi juga memerinci hal-hal yang perlu dilakukan tuan rumah. Antara lain menyambutnya dengan wajah menyenangkan, mempersilakan duduk, menyuguhkan makan dan minum, serta memenuhi hak tamunya. Pun saat si tamu pulang, tuan rumah hendaknya mengantarkannya sampai ke pintu, dan tidak dianjurkan menutup pintu sebelum tamu itu pergi.

Lebih jauh, dalam menjamu tamu, mengemuka beberapa pendapat di kalangan ulama. Pertama, yang menyatakan hukumnya sunah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat jumhur (kebanyakan) ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i. Sementara ulama seperti Imam Ahmad dan lainnya, berpendapat hukumnya wajib. Adapun dalilnya adalah hadis dari Abu Syuraih al Adawi.

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya yaitu jaizah-nya. Para shahabat bartanya apa yang dimaksud dengan jaizah itu? Rasulullah menjawab, ”Jaizah itu adalah menjamu satu hari satu malam (dengan jamuan yang lebih istimewa dibanding hari yang setelahnya).” (HR Bukhari dan Muslim).

Menahan Lapar Untuk Memuliakan Tamu

RASULULLAH sedang berkumpul bersama para sahabat saat ada seorang yang kelaparan datang berkunjung. Rasulullah pun bertanya kepada istrinya, apakah ada makanan yang bisa mereka hidangkan untuk tamu tersebut. Karena sedang tidak memiliki persediaan makanan, beliau menawarkan kepada para sahabat apakah ada yang bersedia menjamu sang tamu. Kemudian, salah satu sahabat dari kalangan Anshor berdiri sambil menjawab bahwa ia bersedia. Setelah itu, orang Anshor tersebut pun pergi menuju rumahnya bersama sang tamu.

“Beristirahatlah dulu, saudara. Aku akan meminta istriku menyiapkan makanan,” ucap sang Anshor mempersilakan tamu tersebut.

“Terima kasih. Semoga Allah swt. membalas semua kebaikanmu dan memuliakanmu.”

Di belakang, sang Anshor berkata pada istrinya. “Aku membawa tamu Rasulullah. Aku sungguh ingin menjamunya dengan baik. Apa kau menyimpan makanan?”

Istrinya menjawab, “Demi Allah kita tidak mempunyai banyak makanan. Mungkin hanya cukup untuk makan anak-anak.”

“Kalau begitu, tidurkan dulu anak-anak. Setelah itu, sementara kau memasak, aku akan mengajaknya berbincang. Aku minta tolong agar nanti kau memadamkan lampu saat menghidangkan makanan tersebut. Dengan demikian ia tidak akan tahu bahwa kita tidak punya makanan lagi.”

“Tapi bukankah kita harus menghormati tamu dengan menemaninya makan?” Tanya sang istri.

“Benar. Aku akan berpura-pura mengunyah makanan. Ia tidak akan tahu karena ruangan gelap. Katakana juga bahwa kau nanti akan pergi memperbaiki lampu.”

Istrinya mengangguk mengerti. Dan pada malam itu, demi sang tamu, keluarga Anshor tersebut pun menahan lapar. Kejadian yang mulia ini lalu diabadikan oleh Allah swt melalui firmannya berikut:

“Dan orang-orang (Anshor) yang telah menempati Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al Hasyr: 9)

Rasulullah pun menyampaikan penghargaan Allah swt atas apa yang dilakukannya. Sang Anshor pun sangat bahagia, karena apa yang ia lakukan telah mendapat ridha dari Alla swt. [An Nisaa Gettar]

 

INILAH MOZAIK

Dan Tuhan Pun Tersenyum

“…Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9)

KETIKA menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, bersumber dari Abu Hurairah. Suatu ketika datang seorang laki-laki menemui Rasulullah saw seraya berkata, “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar.” Kemudian beliau mengutus seseorang untuk meminta sesuatu kepada salah seorang istri beliau. Namun dia juga tidak mempunyai apapun kecuali air minum. Kemudian utusan itu disuruh menemui istri beliau yang lain, namun jawabannya sama, begitu juga ketika menemui semua istri beliau. Maka beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di tempat itu, “Barangsiapa malam ini berkenan menjamu tamu, niscaya Allah akan merahmatinya.” Sejurus kemudian seseorang dari Anshar berdiri seraya berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Kemudian orang Anshar itu pulang menemui istrinya dan bertanya, “Apakah engkau mempunyai makanan?” “Tidak ada, kecuali makanan untuk anak-anak,” jawab istrinya. “Hiburlah mereka dengan sesuatu. Jika mereka minta makanan malam, bujuklah agar mereka tidur. Jika tamu kita sudah datang, matikan lampu dan tunjukkan bahwa seolah-olah kita ikut makan.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika tamu kita hendak makan, matikan lampu.” Ketika tamunya sedang makan, orang Anshar dan istrinya hanya duduk saja, sehingga malam itu mereka berdua harus menahan lapar. Pada keesokan harinya mereka berdua bertemu Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, “Allah pun merasa takjub–atau tersenyum–karena perbuatan kalian berdua terhadap tamu itu. Kemudian turunlah ayat ini.

Dari riwayat hadis di atas, terlihat jelas betapa Allah sangat mengagumi serta mencintai hamba-Nya yang dengan penuh keikhlasan jiwa dan ketulusan hati mau berbagi dengan orang lain, meskipun dirinya sendiri juga dalam kondisi membutuhkan.

Lebih khusus lagi, dari kisah di atas tampak jelas betapa memuliakan tamu adalah perbuatan yang sangat terpuji. Rasulullah saw pernah menegaskan, “…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Al-Bukhari)

Berbagi, memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan, adalah tanda keimanan seseorang. Sikap ini juga menunjukkan bahwa pelakunya adalah seseorang yang mampu mengikis sifat bakhil dalam dirinya. Dia mampu melawan egonya. Dia berhasil menundukkan nafsunya yang cenderung menuntutnya untuk selalu merasa memilikinya. Dia sadar betul bahwa apa yang ada pada dirinya hanyalah titipan Allah semata.

Seseorang yang mengenali dirinya, maka dia akan mengenali Tuhannya. Demikian diungkapkan dalam sebuah hadis qudsi. Orang yang mampu menundukkan egonya adalah orang yang mengenali dirinya. Orang yang dapat mengalahkan nafsunya adalah orang yang memahami pribadinya. Dan orang-orang seperti inilah yang akan dapat mengenai Tuhannya. Dan, Tuhan pun akan tersenyum bangga melihat orang-orang yang seperti ini. [Didi Junaedi]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2298666/dan-tuhan-pun-tersenyum#sthash.e4pefnwc.dpuf