Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 12): Carilah Teman yang Mendukungmu Belajar Agama

Teman seperjuangan dalam mencari ilmu

Bagi manusia sebagai makhluk sosial, berteman adalah kebutuhan primer. Tentu saja, seorang pelajar agama, butuh mencari teman seperjuangan. Teman yang bisa menyemangati, menginspirasi, dan membantunya dalam perjuangan mencari ilmu.

Saat Anda wahai penuntut ilmu, telah mendapatkan teman yang baik yang sama-sama berjuang mencari ilmu, maka itu adalah rizki yang sangat berharga. Tanda bahwa kesuksesan Anda dalam menuntut ilmu, akan semakin dekat.

Syaikh Shalih Al-‘Ushaimi hafidzahullah mengatakan,

ولا يحسن بمقاصد العلا إلا انتخاب صحبة صالحة تعينه فإن للخليل في خليله أثرا

“Cita-cita mulia tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mencari teman yang baik, yang dapat membantunya. Karena teman itu memiliki pengaruh.” (Khulashah Ta’dhim Al-‘Ilmi, hal. 35)

Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Maka perhatikanlah, dengan siapa kalian berteman.”

Raghib Al-Ashfahani rahimahullah mengatakan,

ليس إعداء الجليس لجليسه بمقاله وفعاله فقط, بل بالنظر إليه

“Pengaruh buruk teman bukan sekedar dengan ucapan atau perbuatannya, namun cukup dengan melihatnya.” (Khulashah Ta’dhim Al-‘Ilmi, hal. 35)

Ibnu Mani’ rahimahullah di dalam kitab Irsyad At-Thullab menulis nasihat khusus untuk penuntut ilmu,

ويحذر كل الحذر من مخالطة السفهاء وأهل المجون والوقاحة وسيئي السمعة والأغبياء والبلداء, فإن مخالطتهم سبب الحرمان وشقاوة الإنسان

“Hindari berteman dengan orang-orang kurang akal, banyak melawak, tidak sopan, buruk perangai, dungu, dan keras kepala. Berteman dengan mereka hanya akan menyebabkan kita gagal.” (Khulashah Ta’dhim Al-‘Ilmi, hal. 36)

Apa tujuan berteman?

Ada tiga macam niat orang dalam berteman, sebagaimana dipaparkan Syaikh Shalih Al-‘Ushaimi hafidzahullah dalam Khulashah Ta’dhim Al-‘Ilmi:

Pertama, karena kemuliaannya.

Kedua, karena kepentingan (manfaat) duniawi.

Ketiga, karena senang dan nyaman.

Pilihlah niat yang pertama sebagai alasan dalam berteman. Yaitu bertemanlah karena kemuliaan orang yang kita jadikan teman, bukan karena kepentingan duniawi atau sekedar kesenangan atau kenyamanan. Kemuliaaan di sini bukan kemuliaan materi, tapi kemulian iman dan akhlaknya.

***

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Begini Kegigihan Ulama Terdahulu Mencari Ilmu

Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam (kini Suriah). Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi.

Periwayat 1.540 hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya.

Kisah yang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam Bukhari itu menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya.

Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, ada kalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka.

Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya Shafahat min Shabr Al-Ulama, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama.

Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf (zaman dulu) sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan kesungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini.

 

sumber: Republika Online