Larangan Mencela Pemerintah

Larangan Mencela Pemerintah

بســـمے اللّه الرّحمنـ الرّحـيـمـے
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Kaum Muslimin,
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjaga kita semuanya.

Mencela penguasa di dalam Islām merupakan pelanggaran syariat, dan ini adalah termasuk sesuatu yang dilarang didalam agama kita dan bahkan ini adalah termasuk penghinaan terhadap penguasa sebagaimana yang datang di dalam sebuah hadīts, bahwasanya Rasūlullāh Shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang menghina sultan Allāh (menghina seorang sultan/ menghina seorang penguasa/ menghina seorang pemimpin) di bumi, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menghinakan orang tersebut. “

(Hadīts Shahīh riwayat Tirmidzi nomor 2224)

⇒ Menunjukan kepada kita tentang diharāmkannya dan dilarangnya seseorang mencela penguasa.

Kemudian mencela penguasa adalah termasuk benih fitnah dan ini adalah awal dari sebuah kerusakan dan awal terjadinya sesuatu yang lebih besar dari itu yang dinamakan dengan pemberontakan terhadap penguasa.

Dan kita tahu, bahwasanya pemberontakan adalah sebab dari kerusakan, baik kerusakan dunia maupun kerusakan agama seseorang. Dan tidaklah terbunuh khalifah yang ketiga yaitu ‘Utsmān bin Affan Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu kecuali sebabnya karena awalnya ada sebagian kaum Muslimin yang mencela dan juga menghinakan beliau Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.

Mencela seorang penguasa bukan jalan yang benar, untuk mengatasi dan memperbaiki sebuah keadaan, Islām telah mengajarkan umatnya bagaimana mereka memperbaiki keadaan,

→ Memperbaiki keadaan penguasa
→ Memperbaiki keadaan rakyat

Apabila seseorang melihat kesalahan dari seorang penguasa atau pemerintah maka hendaklah dia terlebih dahulu husnudzan, terlebih dahulu dia berbaik sangka kepada pemerintah tersebut.

Kemudian apabila dia ingin menasehati, maka hendaklah dia menasehati dengan baik dan bukan dengan cara yang kasar, demikian pula diusahakan supaya nasehat tersebut adalah nasehat yang rahasia, yang tidak mengetahui kecuali dia dan penguasa tersebut.

Demikian pula diantara adab seorang rakyat, di dalam memperbaiki keadaan penguasa hendaklah dia berdo’a kepada Allāh, berdo’a kepada Allāh dengan do’a yang ikhlās.

√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memperbaiki penguasa dia.
√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah kepadanya.
√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan ketaqwaan kepadanya.

⇒ Demikianlah seorang Muslim, berdo’a kepada Allāh supaya Allāh memperbaiki penguasa.

Demikian pula memohon kepada Allāh supaya Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan penguasa tersebut adalah:

√ Penguasa yang lemah lembut terhadap rakyatnya.
√ Menegakan agama Allāh Azza wa jal.

⇒ Bukanlah sikap seorang Muslim yang baik mendo’akan kejelekan kepada seorang penguasa, mendo’akan kejelekan dengan melaknat dia atau mendo’akan supaya dia mendapatkan kehancuran didunia dan juga diakhirat. Tidak!

Inilah yang membedakan antara seorang ahlulsunnah waljama’ah dengan yang lain, mereka senantiasa menjaga ucapan mereka dari mencela penguasa, mencela pemerintah. Karena keumuman firman Allāh Azza wa jal, ketika Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan tentang persaudaraan diantara orang-orang yang berimān.

Selama penguasa (pemerintah) tersebut adalah seorang Muslim maka mereka adalah saudara kita, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

(QS Al Hujurāt: 10)

Dan diantara hak seorang Muslim atas Muslim yang lain dilarang kita saling menghinakan, dilarang kita saling mencela satu dengan yang lain.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ

“Wahai orang-orang yang berimān, janganlah sebagian kaum menghina sebagian yang lain, mungkin mereka lebih baik daripada mereka”.

(QS Hujurāt: 11)

Seorang Muslim harām atas Muslim yang lain, apanya?

√ Hartanya
√ Darahnya
√ Kehormatannya

Tidak boleh seorang muslim mencela kehormatan muslim yang lain, dan telah datang dari sebagian shahābat Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu (sebagian salaf) seperti Anas bin Mālik Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu dan juga yang lain, beliau mengatakan:

كَانَ اْلأَكَابِرُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَنَا عَنْ سَبِّ اْلأُمَرَاءِ

“Dahulu para pembesar shahābat nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang kami untuk mencela para penguasa.”

(Hadīts Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam At-tamhid)

Ini menunjukan bagaimana sikap para shahābat Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhum yang mereka adalah panutan kaum Muslimin, bahwasanya mereka melarang kita semua untuk mencela para ‘umara mencela para penguasa kita.

Demikian pula telah datang dari Abdullāh Ibnu Mubārak rahimahullāh bahwasanya beliau mengatakan:

مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلعُلَمَاءِ ذَهَبَتْ آخِرَتُهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِالسُّلْطَانِ ذَهَبَتْ دُنْيَاهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلإِخْوَانِ ذَهَبَتْ مُرُوْءَتُهُ

“Barangsiapa yang mencela (menghinakan) para ulamā maka akan hilang akhiratnya dan barangsiapa yang mencela para ‘umara (para penguasa) maka akan hilang dunianya dan barangsiapa yang mencela dan merendahkan saudaranya maka akan hilang kehormatannya.”

(Siyar A’lam an-Nubala XVII/251)

Semoga apa yang kita sampaikan ini bermanfaat, Wabillāhi taufīq wal hidayah.

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________

BimbinganIslam.com
Ustadz ‘Abdullāh Roy, Lc. MA
Materi Tematik | Larangan Mencela Pemerintah
⬇️ Download audio: bit.ly/BiAS-Tmk-AR-LaranganMencela

BIMBINGAN ISLAM

Mencela dan Menjelek-jelekkan Penguasa (Pemerintah)

Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan

Pertanyaan:

Apa pendapat Engkau tentang sebagian pemuda yang membicarakan pemerintah di majelis-majelis mereka di negeri ini dengan celaan dan makian (hujatan) kepada pemerintah?

Jawaban:

Pembicaraan semacam itu sudah diketahui kalau merupakan kebatilan. Mereka itu bisa jadi memang menginginkan keburukan, atau mereka terpengaruh orang lain, yaitu para penceramah yang menyesatkan yang menginginkan tercabutnya nikmat keamanan yang kita rasakan (di negeri ini).

Kita, segala puji milik Allah Ta’ala, memiliki kepercayaan kepada pemerintah kita. Kita pun yakin dengan manhaj yang kita tempuh ini. Akan tetapi, bukanlah artinya bahwa kita sudah sempurna, tidak memiliki kekurangan dan kesalahan. Bahkan (yang benar) kita masih memiliki kekurangan. Akan tetapi, kita selalu berusaha menempuh jalan untuk memperbaiki dan mengoreksi kesalahan-kesalahan tersebut, insyaa Allah, dengan metode syar’i.

Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, didapati orang yang mencuri, berzina, juga didapati orang yang meminum khamr. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegakkan hukuman hadd kepada mereka.

Kita sekarang ini, segala puji bagi Allah Ta’ala, pun menegakkan hukuman hadd bagi orang yang jelas dan terbukti berhak mendapatkan hukuman hadd. Kita tegakkan hukuman qishas kepada para pelaku pembunuhan. Hal ini, segala puji bagi Allah Ta’ala, adalah kebaikan, meskipun masih terdapat kekurangan. Kekurangan itu pasti akan selalu ada, karena hal itu adalah bagian dari tabiat manusia.

Kita berharap kepada Allah Ta’ala untuk memperbaiki kondisi kita, memberikan pertolongan kepada kita, membimbing langkah-langkah kita, dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan kita dengan ampunannya.

Adapun menjadikan kesalahan dan ketergelinciran penguasa sebagai jalan untuk mencela penguasa, atau untuk membeicarakan (keburukan) mereka, atau agar rakyat menjadi benci dengan penguasa, maka hal ini bukanlah jalan salaf ahlus sunnah wal jama’ah. [1]

Ahlus sunnah wal jama’ah itu memiliki semangat untuk menaati pemerintah, agar rakyat (masyarakat) mencintai penguasa mereka, agar terwujud persatuan (di bawah penguasa yang sah). Inilah yang diinginkan oleh manhaj salaf.

Membicarakan (keburukan) penguasa itu termasuk dalam ghibah dan namimah (adu domba)dan kedua perkara tersebut termasuk perkara haram terbesar setelah kemusyrikan. Lebih-lebih jika ghibah tersebut ditujukan kepada ulama dan pemerintah, maka itu lebih-lebih lagi. Hal ini karena dampak buruk yang akan ditimbulkannya, berupa tercerai-berainya persatuan, buruk sangka (su’uzhan) kepada penguasa, dan juga menimbulkan rasa putus asa di tengah-tengah masyarakat. [2]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id