Jangan Berlebihan Mencintai Pasangan

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

SAUDARAKU. Rasulullah saw menyebut istri beliau, Aisyah RA, dengan sebutan Humaira. Karena warna kulit Aisyah memang agak kemerah-merahan, atau mungkin tepatnya berkulit putih.

Kita sering kali suka berlebihan. Misalkan ada suami yang memuji istrinya: “Duhai rembulan.” Si suami tidak tahu jika istrinya baru membaca tentang bentuk permukaan bulan. Sehingga istri tersinggung dan membalas: “Suamiku, engkaulah jantung hati. Rempelo persisnya.” Maksud memuji malah jadi bertengkar.

Jadi, meskipun sudah menikah tetap tidak boleh berlebihan dalam memuji pasangan. Apalagi menunjukkan kemesraan kepada setiap orang. Karena biasanya cenderung akting. Sedangkan sakinah datang dari Allah bagi orang yang hatinya bersih. Bukan dari rayuan, pujian, maupun penampilan dan kosmetik.

Kita harus berhati-hati, jangan sampai suami atau istri begitu mendominasi di hati. Seperti bisa membuat serba takut, cemburu dan gelisah, yang justru menjauhkan bahagia. Misalkan istri selalu ingin sms: “Bapak di kantor di sebelah mana?” Suami menjawab: “Di kursi paling depan.” Istri SMSlagi: “Yang di samping bapak siapa?” “Supir,” kata suaminya yang berkantor di dalam angkot. “Saya dengar ada suara akhwat?” si istri masih curiga. “Jelas bu, itu penumpang mau ke pasar.”

Tidak ada bahagianya kalau begitu. Kita memiliki pasangan bukan untuk mencuri hati. Hati ini untuk Allah. Kalau hati kita bisa penuh dengan Allah, maka Allah akan menempatkan makhluk di hati kita dengan pas. Cinta kepada Allah artinya mencintai sesuatu dengan kadar yang disukai Allah. Sehingga pasangan atau siapa dan apa pun selain-Nya, tidak boleh mengalahkan Allah di hati kita.

Bukan sebaliknya. Jarang ingat kepada Allah dikarenakan pasangan. Seperti bacaan al-Quran terpotong gara-gara ada telpon atau SMSdari suami. Sempurnakan dulu membaca al-Quran, baru dibalas. Kecuali darurat. Atau, ada suami yang ditanya: “Mengapa tadi tidak ke masjid?” “Karena tadi istri saya sedang ngambek.”

Saudaraku. Memangnya pasangan kita itu siapa? Pasangan hidup kita hanya manusia yang tidak punya apa-apa. Bukan yang memberi rezeki, bukan yang menyelamatkan, bukan pula yang mendatangkan kebahagiaan. Tetapi Allah yang memiliki semuanya.

Pasangan tidak boleh mendominasi hati, karena hanya akan membuat hidup menjadi tegang. “Katakanlah (Muhammad), Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. li Imrn [3]: 31)

Untuk para suami, jangan terlalu cinta terhadap istri. Cintailah istri dengan kadar yang pas, yang dibenarkan oleh syari. Sehingga siang dan malam tidak memikirkannya, dan tidak terbawa ke dalam salat dan zikir. Jangan sampai membuat istri menjadi sesuatu yang merusak hubungan kita dengan Allah.

Begitu juga dengan para istri. Tetaplah ingat kalau suami hanyalah manusia, dan bukan segala-galanya. Jika mencintainya melampaui kadar, pasti tidak bahagia. Penuhilah hati dengan mengingat Allah. Misalkan saat teringat suami yang sedang dalam perjalanan mencari nafkah di kejauhan, segeralah ingat Allah dan serahkan segala urusan kita kepada-Nya.

Berbuatlah dengan selalu menghadirkan Allah. Sebagaimana saya pernah membaca sebuah tulisan tentang seseorang yang suaminya tuna netra. Si istri tetap menjaga penampilan dan berdandan di rumahnya. walaupun suaminya tidak bisa melihat. Ketika ada yang bertanya: “Mengapa kamu tetap berdandan, padahal suamimu tidak melihat?” Maka si istri pun menjawab: “Allah pasti melihat. Mudah-mudahan Allah senang kepada saya, dan Allah yang akan menjelaskan kepada suami saya.”

Pun halnya dalam rezeki. Pernah ada seorang ibu bercerita bahwa suaminya mulai menderita suatu penyakit menahun sejak umurnya yang mendekati 40 tahun, sehingga menghabiskan banyak biaya untuk berobat. Lalu, setelah tujuh tahun sakit, dalam usia yang ke-45, suami pun wafat. Padahal mereka memiliki delapan anak. Sekarang ibu tersebut sudah mencapai usia keemasan, 71 tahun, dan mempunyai lebih dari 20 orang cucu. Hampir 30 tahun ditinggal mati suami, rezekinya tetap beres.

Maka tidak salah, ketika ada seorang suami meninggal, istrinya bersedih tapi tetap tenang. Para tetangganya yang berbela sungkawa menyampaikan: “Kami tidak tega melihat nasib ibu. Pekerjaan ibu gajinya kecil, sedangkan anak ibu banyak.” Si istri menanggapi: “Suami saya bukan pemberi rezeki. Tapi sama-sama pemakan rezeki seperti saya. Takdirnya sampai tadi malam kami bisa bersama. Allah Pencipta dan Pemiliknya sudah membawanya pulang. Saya dan anak-anak juga ciptaan Allah. Dia-lah Penjamin kami. Setelah suami tiada, Allah pasti akan selalu ada.”

Jadi, saudaraku. Pasangan kita hanya manusia, jangan berlebihan. Jangan terlalu cinta atau menganggapnya segala-galanya. Jangan mengejar cinta pasangan, tapi carilah cinta Allah. Jika tidak, waktu dan ibadah bisa terkuras oleh pasangan hidup, yang membuat kita diliputi gelisah dan ketidaknyamanan. Gapailah sakinah dan bahagia dengan cinta yang penuh kepada Allah SWT. “Ada pun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah [2]: 165)