Enam Prinsip Mendidik Anak (selesai)

Sambungan artikel PERTAMA

 

Kedua, waktu makan

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abu Salamah Ra ia berkata: Aku masih anak-anak ketika berada dalam pengawasan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Tanganku bergerak kesana kemari di atas nampan makanan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Hai anak kecil….sejak itu begitulah cara makanku.

Anak-anak ketika menghadapi makanan terkadang kita jumpai melakukan hal-hal yang tidak pantas.

Seperti berebut makanan, duduk dengan kaki diangkat dan sebagainya. Saat itulah pentingnya orang tua mendampingi dan mengarahkan anak untuk berbuat santun dan sopan.

Ketiga, waktu anak sakit

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas ibn Malik Ra berkata: Seorang anak Yahudi pernah dijenguk oleh Rasulullah.

Nabi duduk di dekat kepalanya dan bersabda kepadanya: Masuk Islamlah kamu. Anak itu melihat ke arah bapaknya yang saat itu juga berada di sana. Si bapak berkata: Turutilah Abul Qasim. Maka, dia pun masuk Islam.

Dikatakan, meski sudah lama berinteraksi dengan anak dan keluarga Yahudi itu, tapi Nabi justru mengajaknya masuk Islam ketika sang anak sedang sakit dan dijenguk oleh Nabi.

Keempat: Bersikap adil terhadap semua anak

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir Ra. Bahwa bapaknya membawanya menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan berkata: Sesungguhnya aku memberikan seorang budakku kepada anakku ini.

Rasulullah bertanya: Apakah seluruh anakmu engkau beri pemberian yang sama dengannya? Dia menjawab: tidak. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Jangan engkau persaksikan aku dalam kejahatan.

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa memberikan sesuatu ataupun bersikap haruslah adil terhadap semua anak. Karena jika tidak maka orang tua telah berbuat kejahatan.

Disimpulkan bahwa tidak menyamaratakan pemberian (tidak adil) kepada anak-anak hukumnya haram. Karena membedakan pemberian dapat menimbulkan permusuhan, kebencian dan kedengkian di antara mereka.

Agar jiwa mereka tidak terkotori dengan sifat dengki hendaknya orang tua menegakkan keadilan seadil-adilnya. Karena yang biasa terjadi orang tua lebih membela sang adik dan menyalahkan kakak atau sebaliknya.

Subhanallah, inilah solusi yang terang benderang buat para orang tua.

Kelima: Memberikan Hak Anak

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad Ra, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam diberi minuman. Nabipun minum dan diapit oleh seorang anak kecil di samping kanan sedang di samping kiri Nabi tampak berjejer beberapa orang dewasa.

Nabi menoleh kepada anak itu, apakah engkau mengizinkanku untuk memberi minum kepada mereka terlebih dahulu?

Anak kecil itu menjawab: tidak, aku tidak akan memberikan bagianku darimu kepada seorang pun. Maka, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam meletakkan cawan itu di tangannya.

Kisah ini mengajarkan penghormatan hak kepada anak kecil, dan bukan justru mengorbankannya untuk kepentingan orang dewasa.

Sebab menunaikan hak anak mengajarkan mereka untuk menerima kebenaran dan menumbuhkan karakter positif tentang memberi dan menerima.

Misalnya saja, ada orang lain ingin meminjam barang milik sang anak, serta merta orang tua biasanya memberikannya tanpa meminta izin lebih dahulu kepada anak, sang pemilik mainan tersebut.

Jika anak protes, tak sedikit si anak malah mendapat teguran keras dan memaksa dia untuk merelakan barangnya dipinjam.

Kira-kira kalau dewasa kelak bagaimana sang anak bisa menghormati hak orang lain?

Keenam: Membantu anak berbakti dan ta’at.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mendoakan orang tua yang memberikan peluang atau mendukung anak-anak untuk berbakti dan ta’at agar mendapatkan rahmat dan ridha Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Raulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Semoga Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya berbakti kepadanya.

Juga, diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Bantulah anak-anak kalian untuk berbakti. Barang siapa yang menghendaki, dia dapat mengeluarkan sifat durhaka dari anaknya.

Cara sederhana membantu anak untuk berbakti adalah tidak membebani mereka dengan sesuatu yang sulit.

Mengarahkan untuk mengerjakan kebaikan sesuai dengan porsi umur dan kemampuannya. Tentunya dengan bertambahnya umur dan fisik, beban anak juga akan bertambah.

Hal fatal yang sering terjadi ketika orang tua tidak melatih anak untuk menyelesaikan beban mereka secara bertahap. Akhirnya banyak anak yang tidak dewasa sesuai dengan usianya.*/Maftuhaibu lima orang anak di Balikpapan

 

HIDAYATULLAH

Enam Prinsip Mendidik Anak

KEMAJUAN teknologi yang menjadi fasililitas dan gaya hidup masyarakat modern, ternyata tidak selamanya memudahkan.

Terbukti tidak sedikit para orang tua yang justru merasa tidak berhasil mendidik anak-anaknya di zaman teknologi yang kian pesat ini.

Parahnya, ada sebagian orang tua yang menyerah dan pasrah. Urusan pendidikan pokoknya serahkan saja ke pihak sekolah.

Berdalih kesibukan kerja dan mengejar karir, tugas orang tua akhirnya beralih menjadi ATM berjalan dan pelunas biaya yang dibutuhkan. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan pendidikan anaknya.

Acapkali disoal masalah pendidikan, maka orang tua demikian itu langsung menyahuti dengan menyodorkan deretan nama-nama sekolah elit dan bergengsi.

Seolah mereka bertanya, mau sekolah yang paling mahal di mana?

Bagi mereka, pendidikan itu dihitung dari gedung dan fasilitas fisik yang ditawarkan sekolah atau kampus tersebut. Semuanya serba diukur dengan materi dan kebendaan.

Padahal budaya ilmu yang diwariskan para ulama dahulu adalah dengan melihat kepada siapa anak tersebut menimba ilmu dan adab.

Inilah prinsip utama dalam mendidik anak. Ia lebih daripada sekadar mengukur pendidikan dengan bangunan fisik semata.

Tolak ukur keberhasilan sebuah pendidikan adalah ketika mendapati seorang anak dari jenjang satu ke jenjang berikutnya mengalami perubahan kedewasaan.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, seperti dikutip oleh Muhammad Nur Abdul Hafidzh Suwaid dalam bukunya Manhaj at-Tarbiyah an-Nabawiyah li ath-Thifl berpesan kepada orang tua dan para pendidik,  barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anak-anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar.

Disebutkan, kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orang tua yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama dan sunnah-sunnahnya.

Namun keadaan tersebut (meninggalkan anak) berbeda ketika meninggalkan atau menyerahkan kepada orang lain atau pihak lain untuk dididik dan dibina.

Seperti menitipkan anak kepada ulama atau kepada lembaga pendidikan yang teruji integritasnya dalam mendidik.

Karena kemampuan orang tua dalam mendidik sangat terbatas dalam keilmuan atau karena khawatir terkontaminasi oleh lingkungan.

Hal ini berbeda jika orang tua tersebut menyerahkan urusan pendidikan ke guru atau pihak sekolah karena ingin berlepas dari tanggung jawab mendidik anak.

Sebab idealnya orang tualah sebagai orang pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan dan perilaku anak-anak yang dilahirkan dari rahim ibu mereka.

Betapa banyak orang tua yang meninggalkan anak sejak Subuh buta hingga malam pekat untuk memenuhi kebutuhan anak tetapi sejatinya telah menelantarkannya.

Di antara persoalan pokok pendidikan adalah mengarahkan fitrah dan potensi anak menuju satu tujuan kepada kebaikan (a good man).

Inilah silang sengkarut tersebut. Bagaimana orang tua bisa mengarahkan fitrah seorang anak ketika sepanjang hari tidak punya waktu membersamai anak-anaknya?

Bagaimana orang tua dapat menunjukkan teladan kebaikan kepada sang anak jika ada batas dan sekat antara anak dan orang tua?

Indikasi ini belum terbaca ketika anak masih berumur balita bahkan sampai 8 tahun. Tetapi tanda kekeliruan itu mulai tampak ketika anak beranjak baligh.

Dalam ajaran Islam, obat penawar atas kegalauan dari pendidikan tersebut sudah dihadiahkan sejak awal oleh sang panutan terbaik, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw).

Dan seorang Muslim hendaknya tidak terjebak dengan metode-metode Barat yang terkesan menarik dan hebat namun asalnya justru bobrok dan menyesatkan.

Sebaliknya dia harus senantiasa mempelajari metode Nabi dalam mendidik anak, sebab segala petunjuk urusan kehidupan itu sudah ada dalam al-Quran dan sunnah-sunnah Nabi.

Beberapa tawaran solutif yang pernah diajarkan Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallamdalam perbaikan pendidikan khususnya perilaku sosial kepada anak-anak sebagai berikut;

Pertama: Menjadi Teladan

Cara yang paling efektif menularkan adab kepada anak adalah melalui pendidikan keteladanan.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata: Aku menginap di rumah bibiku Maimunah. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam biasa bangun kemudian berwudhu dengan wudhu yang ringan dari kendi yang digantung. Setelah itu, ia shalat. Akupun berwudhu sama seperti wudhu Nabi.

Kedua: Mencari waktu tepat dalam memberi pengarahan

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sangat memperhatikan waktu dan tempat untuk membangun pola pikir anak dan menumbuhkan akhlak yang baik.

Pertama, dalam perjalanan. Diceritakan oleh Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh At-tirmidzi, aku di belakang Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pada suatu hari lalu Nabi bersabda: Hai anak kecil. Aku menjawab: Labbaik Ya Rasulallah. Nabi bersabda: Jagalah agama Allah niscaya Dia menjagamu.

Aecara psikologis, seorang anak dalam perjalanan biasanya siap menerima nasihat dan pengarahan karena dalam kondisi gembira didukung oleh suasana alam terbuka yang nyaman. >>>  (BERSAMBUNG)

 

HIDAYATULAH

Cara Rasulullah dalam Mendidik Anak Nakal

MENDIDIK anak ternyata tidak mudah, namun tirulah yang dilakukan Rasulullah ini. Memahami bakat dalam mendidik anak dan mengembangkan kreatifitasnya adalah hal yang sangat penting dan patut dimiliki oleh sorang ayah. Sebab bakat dan potensi anak tak akan berkembang dengan baik jika tidak dilatih dan dikembangkan. Itulah mengapa Rasulullah memerintahkan kepada orang tua agar buah hati diajari dan dibekali sesuatu hal yang berkaitan dengan potensinya.

Dua kisah ini adalah potret bagaimana Rasulullah menjaring potensi/mendidik anak menjadi kreatif dan berbakat:

Sahabat Zaid Bin Tsabit, bukanlah keluarga Rasulullah secara langsung. Ia adalah anak dari sahabat nabi. Rasulullah melihat Zaid begitu cakap dalam hal ilmu faraid (yakni ilmu tentang hal Waris) maka rasulullah mengajarinya tentang ilmu faraid melalui pedoman Alquran secara intens. Hingga suatu hari beliau bersabda diantara kaum muslimin:

“Orang yang paling paham tentang ilmu faraid di antara kalian adalah Zaid Bin Tsabit.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An NasaI, dan Ibnu Majah)

Hal yang sama pun dilakukan Rasulullah kepada Khalid Bin Walid. Ia adalah sahabat yang gagah dan berani, serta pandai di medan perang. Maka Rasulullah menghadiahinya sebuah pedang seraya berkata: “Khalid Bin Walid adalah salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah yang menumpas orang-orang musyrik.” (HR Ahmad)

Dan benar saat dewasa Khalid adalah sosok panglima Muslim yang tak penah gentar dalam perjuangan menyelamatkan agama Allah. Melihat dua kisah diatas, betapa Rasululah sangat memberikan contoh bagaimana membaca potensi anak dan melakukan hal yang tepat untuk memahami, mendukung, serta memotivasi bakat yang dimiliki sehingga mendatangkan kebaikan. Inilah pelajaran yang perlu diteladani orang tua.

Bagaimana jika anak mulai bebal dan tidak mengindahkan perintah (Bandel)? Kisah ketiga akan menjawabnya:

Kisah ini diilhami oleh seorang sahabat yakni Anas Bin Malik yang telah menjadi pelayan Rasululah kala berusia anak-anak, 10 tahun di dalam riwayat disebutkan. Pada suatu hari Rasulullah memerintahkan Anas untuk pergi ke suatu tempat karena keperluan. Karena perintah itu bukan berasal dari Rasulullah secara langsung maka Anas yang sedang asik bermain tidak mau pergi dan kembali bermain bersama temannya.

Kala itu Anas bukan bermaksud tidak patuh, ia hanya ingin yang mengatakan perintah tersebut adalah Rasulullah. Wajar sajalah kala itu usianya adalah anak-anak yang masih menginginkan dunianya bersama kawan-kawannya. Tak lama kemudian Rasulullah menemui Anas yang tengah bermain dan menarik telinga anas (menjewer) dengan senyum dan nada gurauan kemudian bersabda:

“Hai Anas! Apakah kamu sudah pergi ke tempat yang aku perintahkan?

Anas pun menjawab, “Insya Allah saya akan berangkat wahai Rasulullah!” lalu saya segera berangkat melaksanakan perintah Rasulullah (HR Muslim dan abu Dawud)

Sahabat, lihatlah bagaimana Rasulullah berlaku tegas dalam mendidik anak-anak, kita harus bisa membedakan mana tegas dan mana marah. Tidak serta merta Rasulullah membentak Anas bahkan memukul atas kebandelannya, Beliau mencoba menanyakan terlebih dahulu disertai dengan senyuman pula dan gurauan. Maka inilah yang disebut keteladanan dan kebijaksanaan.

Nah itu tadi kisah yang menyajikan bagaimana Rasulullah mendidik anak dan memotivasi potensi anak dan mengajari kedisiplinan, semoga sebagai orang tua kita senantiasa bersabar dan dikaruniai kekuatan untuk menjaga amanah-Nya. Amin. [ihram.asia]

 

INILAH MOZAIK

Saran Ibnu Qayyim dalam Mendidik Anak

Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu Qayyim berbagi tip praktis dalam mengurus dan mendidik anak. Menurut dia, tiap perlakuan yang diberikan oleh orang tua baik secara fisik maupun nonfisik bisa memberikan dampak bagi pertumbuhan si buah hati.

Ibnu Qayyim menyarankan beberapa langkah dasar yang mesti ditempuh secara periodik dalam mendidik anak.

Di antaranya sebagai berikut:

  1. Hendaknya menahan diri tidak membawa anak keluar rumah ataupun bepergian jauh sebelum lewat usia tiga bulan atau lebih. Selain untuk lebih mendekatkan bayi dengan si ibu, kondisi fisik si bayi masih rentan karena masih terlalu lemah.
  2. Pemberian asupan nutrisi bagi si bayi mesti dilakukan secara berjenjang sesuai dengan usianya. Nutrisi pertama yang baik diberikan adalah air susu ibu (ASI), lalu biskuit yang diseduh dengan air hangat, kemudian bisa berikan pula susu murni. Apabila kondisi telah memungkinkan, bisa diberikan menu masakan atau kuah. Hindari pemberian daging secara utuh karena pencernaannya belum sempurna. Daging bisa dikonsumsi setelah pencernaannya membaik.
  3. Mendekati usia si bayi hendak berbicara, tapi masih mengalami kesulitan, bisa dioleskan madu dengan sedikit garam di lidah mereka. Baik madu maupun garam, mempunyai zat yang bisa membantu memperlancar bicara.
  4. Tradisikan menalqin dan memperkenalkan kalimat tauhid atau syahadat sejak dini. Dengan memperkenalkan kalimat tauhid sejak awal, Allah senantiasa mendengar perkataan dan menjaga mereka. Dengan demikian, kelak ketika dewasa anak akan terbiasa dekat dan mengingat Allah. Inilah mengapa Bani Israel memberikan nama Imanuel bagi buah hati mereka. Imanuel berarti Tuhan bersama kami. Dan, dalam Islam, nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.
  5. Jangan mencegah balita berhenti menangis atau berteriak termasuk mencegahnya minum asi tatkala lapar. Menangis bagi bayi mempunyai manfaat yang baik, terutama untuk membugarkan raga, melebarkan dadanya, menjaga suhu badannya yang natural, serta menghindarai penumpukan dahak.
  6. Jangan anggap remeh balita yang enggan belajar berjalan. Karena itu, latihlah selalu sekalipun, misalnya, badannya belum bisa berdiri tegak karena hanya bisa duduk. Biasakanlah melatihnya perlahan.
  7. Hindarkan balita dari suara-suara berisik dan keras yang mengagetkan. Begitu pula pemandangan dan gerakan-gerakan negatif yang mengganggu pikiran. Faktor kebisingan dan suara gaduh yang buruk tersebut bisa jadi berakibat pada ketidakseimbangan akal. Jika menemukan kondisi gaduh seperti ini, segerakan menyusui dan menenangkannya.
  8. Perhatikan perkembangan perilaku anak. Perkembangan anak dipengaruhi oleh perlakuan orang tua kepada anak. Pola seperti apakah yang diterapkan dalam mendidik mereka? Kehangatan, sikap pemarah, kasar, atau terburu-buru kah? Kesemuanya bergantung pada pola didikan yang digunakan oleh pendidiknya.

    Karena itu, tak sedikit anak yang gagal karena pola pendidikan keliru yang mereka terima. Termasuk pula hindarkan anak dari perkara tidak bermanfaat dan batil.

    Jika tidak, anak akan terbiasa menikmatinya hingga dewasa kelak.

 

REPUBLIKA

Inilah yang Paling Utama Membentuk Pribadi Anak

SERASA terkoyak sembilu hati ini, membaca berita seorang anak yang gusar pada ibundanya karena menganggap sang bunda yang sudah renta terlalu lama membelikan nasi uduk untuk sarapan si anak. Kegusaran yang mendorong sang anak tega memukul kepala sang bunda dengan gagang cangkul hingga sang bunda yang naas ini menghembuskan napas terakhirnya di tangan anak semata wayangnya.

Sebelum kejadian menyedihkan itu berlangsung, sang bunda renta yang sedang sibuk mencuci baju kotor sudah berusaha tergopoh berlari membelikan nasi uduk untuk sang anak yang baru bangun kesiangan, merasa lapar, dan dengan kasar memerintahkan ibundanya untuk segera menyiapkan sarapan. Bukannya, merasa malu dan segera mengambil alih kerepotan ibundanya. Satu contoh dari sekian kasus yang relatif sama yang cukup banyak kita baca atau dengar. Duh, ada apa dengan kalian nak?

Sebagai seorang ibu, tercenung aku membaca headline berita, “Kenakalan Remaja Sudah Tak Wajar Dan Mulai Bergeser Ke Arah Kriminal”. Atau membaca opini yang berisi kekurangyakinan atas efektifitas pemberlakuan kurikulum pendidikan.

Muncul pertanyaan pada diri sendiri, sebagai seorang ibu, siapakah yang paling dominan membentuk kepribadian anak-anak kita? Pemerintah? Lingkungan? Masyarakat? Guru-guru atau sekolah? Pembantu? Atau..berat dan lirih aku menyebutkannya, orang tua? Ibu? Kita? Saya?

Apakah kita masih ingat untuk terus menanamkan nilai-nilai mulia ini pada anak-anak kita? “Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya . Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al-Israa : 23-24)

Bagaimana dengan konsep, prioritas keutamaan manusia di hadapan anak-anaknya, “ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu”? Sesuai hadits berikut,

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan berkata, Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Nabi shalallaahu alaihi wasallam menjawab, Ibumu! Dan orang tersebut kembali bertanya, Kemudian siapa lagi? Nabi shalallaahu alaihi wasallam menjawab, Ibumu! Orang tersebut bertanya kembali, Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab, Ibumu. Orang tersebut bertanya kembali, Kemudian siapa lagi, Nabi shalallahu alaihi wasallam menjawab, Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari dan Muslim)

Atau apa yang terjadi dengan mengajarkan keyakinan bahwa doa restu orang tua adalah sesuatu yang begitu sakral untuk memotivasi dan mendorong kesuksesan seorang anak?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tiga do’a yang tidak tertolak yaitu do’a orang tua, do’a orang yang berpuasa dan do’a seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro)

Dalam pembicaraan sehari-hari, ada istilah ibukota, untuk menggambarkan kota yang utama di suatu wilayah atau negeri, tempat berpusat semua aktifitas-aktifitas penting. Ada juga ibu jari, untuk menyebut jari yang paling besar dan menonjol di telapak tangan kita. Pada sebuah computer, motherboard adalah bagian tempat pusat pemrosesan. Ada juga ibu pertiwi, ada sel induk, ada pasar induk dan seterusnya. Tentu saja, maksud tulisan ini bukan untuk membahas istilah-istilah, tapi lebih untuk mengangkat bahwa sadar ataupun tidak sadar, ketika kita ingin menyebut satu bagian dalam suatu sistem, adalah bagian yang terpenting atau sebagai pusat pengorganisasian bagian-bagian lain, maka tak ayal, kata ibu, mother atau induk akan digunakan.

Masihkah anak-anak kita menganggap bahwa kita adalah bagian terpenting di rumah-rumah kita? Ketika, wujud dan keberadaan kita hampir-hampir tidak nampak di mata anak-anak kita, dengan berbagai alasan. Mengejar karir, eksistensi diri, atau bahkan kegiatan-kegiatan menghabiskan waktu untuk keasyikan dan kesenangan diri kita semata. Bagaimana dengan anak-anak? Cukup kita sediakan buat mereka pembantu-pembantu yang dengan sigap melayani kebutuhan mereka. Pendidikan mereka? Cukup kita sekolahkan mereka pada sekolah-sekolah yang kita anggap baik seharian penuh, ditambah dengan kursus-kursus tambahan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.

Sebagian ibu sekarang ketika ditanya, “Sekarang kerja dimana?”, meresponnya dengan berat, atau bahkan berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Malu!

Apalagi jika yang menanyakan itu, seorang ibu yang “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Apalagi jika yang ditanya adalah ibu lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude tapi telah “menyia-nyiakan kepandaiannya” dengan menjadi ibu rumah tangga.

Wahai ibu, posisi dan peran kita begitu mulia. Realitanya sekarang menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Bagaimana mungkin pekerjaan menanamkan budi pekerti yang baik di dada-dada anak-anak kita bisa dikalahkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bergengsi? Atau kepuasan eksistensi diri kita?

Tapi, bisa saja banyak ibu-ibu penuh waktu mereka di rumah, namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anak-anak mereka, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. “Full” di rumah tapi tidak peduli dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan dan uang jajan saja.

Bukan masalah bekerja atau tidak bekerja, atau masalah keluar atau tidak keluar rumah, tapi yang utama adalah kesadaran kita bahwa mendidik anak-anak kita bukanlah hanya bertujuan menginginkan serta mengarahkan anak-anak kita bahwa kesuksesan mereka adalah keberhasilan akademis dan karir mereka, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar sekian pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di tempat-tempat rekreasi. Bukan hanya itu!

Wahai ibu. Di usia tua kita, dalam kondisi makin lemah, apakah anak-anak kita akan teringat keutamaan kita kalau kita tidak optimal mendidik anak-anak kita?

Apakah justru mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu selalu kita bangga-banggakan melebihi kebanggaan atas keberhasilan mereka belajar menata perilaku dan akhlak mereka? Atau mungkin mereka sedang asyik dengan istri dan anak-anak mereka?

Sedangkan kita? Sosok renta yang membebani mereka, tidak berguna, dan mengganggu kesenangan mereka? Hangat terasa air mataku mengalir, tak sanggup membayangkannya. [Ustadzah Dra.Indra Asih]

 

MOZAIK

Inilah Cara Mendidik Anak Sesuai Anjuran Nabi

Salah siapa jika Anak tumbuh nakal, mental buruk? semoga orang tua tidak salah mendidik anak, mulai dari rahim sampai usia 18 tahun.

Seperti dilansir Keluargacinta.com dari buku Athfalul Muslimin Kaifa Rabbahum Nabi al Amin karya Jamal Abdurrahman, ada beberapa tahap mendidik anak pada masa tersebut seperti dianjurkan Rasulullah SAW.

Berikut ini, tahap mendidik tersebut:

Tahap 1, Sebelum Anak Lahir Sampai Usia 3 Tahun.

  1. Mendoakan calon bayi
  2. Mendoakan dan memberikan perhatian saat anak dalam kandungan
  3. Mendoakan saat bayi hendak lahir
  4. Menyambut bayi dengan azan
  5. Men-tahniq bayi
  6. Mengajarkan atau memperdengarkan zikir dan doa kepada bayi
  7. Mengeluarkan zakat (fitrah) sejak ia lahir
  8. Menyayanginya
  9. Memberinya nama yang baik pada usia 7 hari
  10. Melaksanakan aqiqah pada usia 7 hari
  11. Mencukur rambutnya dan bersedekah setara dengan berat rambut pada usia 7 hari
  12. Bercanda dengan bayi
  13. Menyebut anak dalam gelar orang tua
  14. Meng-khitan
  15. Menggendong bayi
  16. Menanamkan tauhid sejak dini
  17. Memperhatikan penampilan dan gaya rambutnya
  18. Mengajarkan cara berpakaian
  19. Selalu menghadirkan wajah ceria kepadanya
  20. Menciumnya dengan penuh kasih sayang
  21. Bercanda dan bermain dengan anak-anak
  22. Memberi hadiah
  23. Mengusap kepalanya sebagai bentuk kasih sayang
  24. Mengajarkan dan meneladankan kejujuran pada anak.

Tahap II: Usia 4-10 Tahun

  1. Membiasakan panggilan kasih sayang dengan nada lembut
  2. Menemaninya bermain dan belajar
  3. Mengajaknya berjalan sambil belajar
  4. Memberikan kesempatan yang cukup untuk bermain
  5. Menghargai permainannya
  6. Menanamkan akhlak mulia
  7. Mendoakannya
  8. Mengajaknya berkomunikasi secara intensif dan minta pendapatnya
  9. Mengajarkan amanah dan menjaga rahasia
  10. Membiasakan makan bersama
  11. Mengajarkan adab makan
  12. Mengajarkan persaudaraan dan kerja sama
  13. Melerai ketika anak-anak bertengkar
  14. Melatih kecerdasannya dengan lomba dan cara lainnya
  15. Memberikan hadiah kepada anak yang berhasil melakukan sesuatu atau berprestasi
  16. Menjaga anak dengan zikir dan mengajarinya berzikir
  17. Mengajarkan azan dan shalat
  18. Mengajarkannya berani karena benar
  19. Jika anak mampu, boleh ditunjuk sebagai imam.

Tahap III, Anak Usia 10-14 tahun

  1. Membiasakan salam
  2. Memberikan makanan dan pakaian yang layak
  3. Membiasakan anak tidur cepat (tidak larut malam)
  4. Memisahkan tempat tidurnya dari orang tua dan saudara yang berbeda jenis kelamin
  5. Mengajari adab tidur
  6. Membiasakan anak menjaga pandangan
  7. Membiasakan anak menutup aurat
  8. Mengajarkan anak tidak menyerupai lawan jenis
  9. Menyayangi, bukan memanjakan
  10. Merawat dan mendoakan ‘ekstra’ saat anak sakit
  11. Meluruskan kesalahan anak dengan bijak
  12. Jika anak melanggar, berikan hukuman mendidik bukan menghukum fisik
  13. Mengajari anak dengan praktek dan keteladanan
  14. Mengajarkan pengobatan alami tingkat dasar
  15. Membangun komunikasi intensif dalam forum keluarga
  16. Mengajarkan dan membiasakan adab masuk rumah
  17. Mengajarkan adab bertamu
  18. Mengajarkan dan membiasakan adab masuk kamar orang tua
  19. Membiasakan anak menghadiri undangan dan bersilaturahim
  20. Mengajarkan anak berbuat baik kepada tetangga
  21. Menjaga anak dari pergaulan buruk
  22. Mengajarkan dan membiasakan adab berbicara
  23. Mengajarkan anak menghormati ulama
  24. Membiasakan anak mengasihi teman
  25. Mengajarkan anak hidup sederhana
  26. Mengajarkan anak berjuang dalam kehidupan, menghadapi ujian dan kesulitan

 

Tahap IV, Anak usia 15-18 tahun

  1. Memotivasi anak memanfaatkan dan mengoptimalkan waktu pagi
  2. Memastikan anak mengisi waktu luang dengan hal-hal positif
  3. Menguatkan kecintaan kepada Rasulullah dan Al Qur’an
  4. Mengarahkan anak menjadi teladan dalam pergaulan
  5. Mengajarkan kemandirian dan menjauhi kemalasan
  6. Lebih memperhatikan kualitas pendidikan, ilmu dan Al Qur’an
  7. Mengajari anak bahasa asing
  8. Mengenali pola pikir anak
  9. Memberikan nasehat pada momen yang tepat
  10. Mengajaknya rekreasi bersama
  11. Mengajari anak memikul amanah dan tanggungjawab
  12. Memberinya tugas penting
  13. Memupuk militansi dan semangat berjuang
  14. Menumbuhkan semangat berkompetisi
  15. Menanamkan motivasi untuk berhaji
  16. Memahamkan dan memotivasi untuk menikah jika telah memiliki ba’ah

 

Selamat meneledani.

 

TRIBUN NEWS

 

Baca juga:

90 Persen Kesalahan Mendidik Anak karena Komunikasi

Motivasi Anak-Anakmu untuk Mencintai Kebaikan

Setelah seseorang menjalani kehidupan rumah tangga dimulai dari proses lamaran (khitbah) dan akan nikah, maka salah satu impian utama adalah lahirnya anak-anak yang shalih dan shalihah.

Kehadiran buah hati di tengah-tengah keluarga merupakan penyejuk mata dan penawar duka bagi kedua orang tuanya.

Begitu pentingnya keberadaan anak yang shalih, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dinyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

 

“Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Barangkali ada yang bertanya, bagaimana agar anak Anda menjadi shalih? Caranya adalah motivasi anak-anakmu untuk mencintai perbuatan-perbuatan baik dan keshalihan.

Hal ini tidak akan terwujud dari sela-sela pembicaraan dan nasihat saja tetapi dibutuhkan pada perbuatan langsung sejak kecil sampai ia menjadi seorang pemuda.

Segala puji bagi Allah, ini adalah perkara fitrah pada setiap manusia. Demikian juga di sebagian negeri-negeri Islam, hal ini merupakan adat istidat yang dibiasakan.

Perkara yang paling diharapkan dari anak-anak adalah tumbuh dalam kebiasaan mengerjakan shalat pada waktunya.

Sungguh, sangat perlu bagi seorang bapak menuntun anak-anaknya ke masjid dan membuat mereka ikut serta dalam shalat. Ibu juga mengajak anak-anak putri untuk menegakkan shalat bersamanya di rumah.

Begitu juga, kewajiban-kewajiban lain bisa dianalogikan dengannya, seperti meletakkan uang di tangan-tangan mereka supaya mereka meletakannya di kotak-kotak derma.

Hal ini dilakukan supaya menumbuhkan rasa cinta dalam hati anak-anak Anda untuk bersedekah, menunaikan zakat, membantu orang lain, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Sudah sepatutnya, para orang tua memotivasi anaknya melakukan hal-hal ini pada usia dini. Tidaklah diragukan, perbuatan-perbuatan baik tersebut akan berpengaruh pada anak-anak dan orang tua.

Oleh karena itu, motivasilah mereka untuk mencintai perbuatan baik di sela-sela keikutsertaan di setiap kegiatan-kegiatan yang menghubungkan antara mereka dengan orang-orang muslim yang ditemui.

Hal tersebut sama saja, apakah kegiatan itu ada di dalam negeri atau atau luar negeri.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Anakmu Beranjak 7 Tahun? Belajarlah Tega Padanya

ILUSTRASI ‘cerita’ berikut akan menguatkan semangat kita untuk mengikis habis yang menjadi penghambat/ujian dalam menjaga fitrah keimanannya. Tulisan ini dinukil dan diselia dari “Salat” Hafizh M. Noor Esa.

“Aa, Abang, Kaka. Masuk kamar!” suara Ayah tegas dengan nada dan volume cukup tinggi namun bermimik wajah lembut. Ada apa gerangan? Ayah hampir tidak pernah sekeras ini saat berbicara. Kami bertiga masuk ke kamar, menuruti perintah Ayah dengan kepala tertunduk. Peluh masih membasahi sekujur punggung, kami baru pulang bermain bola di kampung sebelah saat adzan Isya telah berkumandang. Memang kami terlalu larut bermain.

Kamar itu sebenarnya sebuah garasi yang disulap menjadi tempat tidur bersama dan ruang serbaguna dengan penerangan lampu seadanya. Aa bersila diantara aku dan Kaka yang juga ikut bersila. Kami sering disebut Tiga Serangkai oleh tetangga karena selalu bertiga kemana-mana. Ayah pun bersila di hadapan kami. Wajahnya mempertontonkan kekecewaan yang semakin membuat kami ciut.

“Kenapa pulang selarut ini?” Ayah mulai menginterogasi kami. Aa sebagai kakak lelaki pertama memposisikan diri sebagai juru bicara dan mulai berkilah panjang tentang alasan kenapa pulang larut malam. Mulai dari sendal Kaka yang hilang sebelah karena dijahili anak kampung sebelah hingga diajak main Playstation setelah main bola oleh Dodi, tetangga sekaligus teman karib kami bertiga.

“Sudah shalat maghrib?” Sebuah pertanyaan yang mencekat. Aa diam membeku. Apalagi aku, Apalagi Kaka yang paling muda. Kami betul-betul lupa waktu saat itu. Hanya menundukkan kepala yang bisa kami lakukan. Mungkin karena ini wajah ayah begitu kecewa. “Bu, tolong matikan lampu”, suara Ayah lembut kepada Ibu. Ibu yang semenjak awal ternyata mendengarkan di balik pintu kemudian masuk dan mematikan lampu lalu duduk di samping Ayah. Kamar seketika gelap gulita.

“Apa yang bisa kamu lihat sekarang?” Hening. “Semua gelap. Lihat sekeliling kamu, hanya ada hitam. Tapi ulurkan tanganmu ke kanan dan ke kiri. Kamu akan merasakan genggaman tangan saudaramu dan Ayah Ibu.” Kami saling menggenggam. “Tapi tidak lagi saat nanti di alam kubur. Karena kamu akan sendirian dalam kegelapan. Tidak ada saudaramu. Tidak ada Ayah Ibu. Hanya sendiri. Sendiri dalam kegelapan dan kesunyian.”

Aku tercekat. Semua terdiam. Genggaman tangan di kanan kiriku mengerat. Lalu terdengar suara korek api kayu dinyalakan, sesaat tergambar wajah Ayah, Ibu, Aa, dan Kaka akibat kilatan cahaya api pada korek yang dinyalakan Ayah. Semua berwajah sendu. Korek itu membakar sebuah benda yang menghasilkan bara berbau menyengat. Bau obat nyamuk. “Siapa yang berani menyentuh bara ini?” Suara Ayah masih mendominasi. Semua diam. Masih diam.

“Ini hanya bara. Bukan api neraka yang panasnya jutaan kali lipat api dunia. Maka masihkah kita berani meninggalkan shalat? Shalat yang akan menyelamatkan kita dari gelapnya alam kubur dan api neraka.”Terdengar suara isak tangis perempuan. Itu Ibu. Genggaman kami semua semakin menguat. “Tolong Ayah. Tolong Ibu. Ayah Ibu akan terbakar api neraka jika membiarkan kamu lalai dalam shalat. Aa, usiamu 14 tahun, paling dewasa di antara semua lelaki. Abang, 12 tahun. Kaka, 10 tahun. Bahkan Rasul memerintahkan untuk memukul jika meninggalkan shalat di usia 10 tahun. Apa Ayah perlu memukul kamu?”

Suara isak tangis mulai terdengar dari hidung kami bertiga. Takut. Itu yang kurasakan. Kami semua saling mendekat. Mendekap, bukan lagi menggenggam. “Berjanjilah untuk tidak lagi meninggalkan shalat. Apapun keadaannya. Sekarang kita shalat Isya berjamaah. Dan kamu bertiga mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2364610/anakmu-beranjak-7-tahun-belajarlah-tega-padanya#sthash.2We2dA5C.dpuf

Dukungan Sederhana Berdampak Luar Biasa

SAYA yakin, bahwa anda pernah menyaksikan bersama mengenai seorang anak dari keluarga yang sangat mengenaskan dalam ekonomi tapi mampu mencapai puncak kesuksesan karir dan merubah kehidupan keluarganya.

Jauh sebelum anak tersebut mencapai puncak kesuksesannya, di waktu kecil si anak memiliki cita-cita setinggi langit yang secara logika akan mustahil dicapai saat si anak menyampaikan cita-citanya kepada orang lain. Saya pun yakin 100% bahwa akan selalu ada orang jahil yang senang menjatuhkan mental seseorang, yang kemudian berkata kepada anak tersebut “kamu itu sedang berkhayal, dan tidak mungkin mimpi kamu jadi kenyataan, segeralah bangun dari mimpi”. Tentunya statement ini sangat sakit mengiris dada.

Secara psikologis (walau saya bukan sarjana jurusan psikologi tapi saya pun pernah merasakannya), setiap manusia sangat membutuhkan sebuah dukungan moral dan sikap untuk menjaga stabilitas emosinya dalam perjuangan mencapai cita-cita. Saya rasa, anda pun berpendapat sama. Maka coba saya lanjutkan cerita anak ini.

Setelah si anak merasa dijatuhkan mentalnya, seorang anak biasanya pulang ke rumah dan mengadukan apa yang dialaminya kepada kedua orangtuanya. Betapa sakitnya hati mendengar kalimat yang menjatuhkan semangatnya tersebut. Dan sang orangtua pun sangatlah sadar terhadap kondisi real yang ada saat ini berbanding khayalan sang anak mengenai masa depan.

 

Biasanya akan ada 4 sikap yang hadir ketika seorang anak curhat kepada orangtuanya:

Pertama: orangtua akan membuat anak tetap termotivasi dengan mengatakan “Kami yakin, kamu pasti bisa mencapai apa yang kamu citakan dan kami akan mendukung sekuat tenaga untuk merealisasikan cita-cita kamu.” Maka Demi Allah, sang anak dipastikan akan kembali tumbuh motivasinya. Di kala dunia sudah tidak ada yang mempercayainya atau bahkan menjatuhkannya, namun masih ada orang-orang yang memberikan dukungan agar ia tetap pada citanya. Mereka adalah orangtua.

Kedua: orangtua yang biasa-biasa saja yang tidak mematahkan dan tidak mendukung, biasanya “Ya sudah, berusaha saja sekuat tenaga, barangkali akan ada mukjizat Nya yang membuat kamu sukses sesuai harapan”

Ketiga: orangtua yang malah menjatuhkan semangat anak, dengan menganggap ya sudah gak akan tercapai apa yang diinginkan, lebih baik saat ini fokus kepada apa yang ada sekarang.

Keempat: ini yang tersadis, kamu tuh mimpi aja, jangan ngomong melulu karena bikin pusing. Jangan ceritakan ke orang lain karena bikin malu. Hadeuh.

Saya hanya ingin menyampaikan karena kita adalah seorang anak dan juga seorang orang tua yang memiliki anak. Bagaimana kiranya, ketika dunia sudah tidak lagi mempercayai upayanya hingga menjatuhkannya dan kita datang kepada orangtua untuk mendapat sekedar dukungan penguat mental, namun malah dijatuhkan. Tragis sekali. Maka saya berpendapat “jangan salahkan anak ketika dia lemah mental dalam mencapai keinginan dan cita-citanya, karena boleh jadi, mungkin Andalah penyebab utamanya”.

Saya berikan permisalan seorang anak nelayan miskin yang menjadi juara sekolah tanpa les private, kursus dan pelajaran tambahan karena memang tidak ada uang untuk membayar, tapi anak nelayan tersebut mampu mengalahkan seorang anak pengusaha atau pejabat yang didukung dengan segala fasilitas mulai pelajaran tambahan, bimbingan belajar atau les private, dan kursus dengan biaya fantastis.

Kira-kira apa rahasia anak luar biasa ini? Ya. Jawabannya adalah mental kuat yang dimiliki anak ini, yang membuat anak ini mampu menangkap pelajaran dengan cepat dari sang guru atau dosen, disertai pemahaman yang cepat ketika ia belajar mandiri. Maka, kira-kira mental itu ia dapatkan darimana? Ya. Mental itu ia dapatkan dari dukungan penuh ayah bunda yang melebihi nominal harta yang dimiliki, ketahuilah harta tidak pernah mampu membeli suplemen mental.

Bagaimana cara orangtuanya membentuk mental anak? Ya. Orangtuanya hanya memberikan support penuh terhadap apa yang diperjuangkan oleh sang anak. Orangtua sampai menggadaikan atau bahkan menjual perhiasan satu-satunya yang dimiliki hanya untuk mendukung sang anak yang akan berangkat menuju pertandingan. Kiranya apa yang akan terjadi? Ya. Sang anak akan berjuang hingga titik darah penghabisan dalam pertandingan untuk menang, sehingga support dari orangtuanya tidak sia-sia.

Maka ketika kita menginginkan sang anak memiliki mental juara, hanya beberapa hal yang harus kita lakukan. “Dengarkan, percayai anak, dan support penuh”

Maka kita akan melihat lompatan luar biasa yang mungkin mustahil terjadi, namun bisa terjadi. Dan pada faktanya seorang anak miskin dari kampung telah mampu melanglang buana studi antar negara dan mendapatkan gelar Profesor di dunia akadamik yang belum tentu didapatkan oleh seorang anak kaya dari kota megapolitan.

Anak kita adalah bagaimana cara kita memperlakukannya. Biarkan mereka berproses dan kita pun berproses. Kita tidak pernah tau mengenai apa yang akan terjadi 10-20 tahun ke depan. Boleh jadi, anak yang sangat kita cintai atau kita sebagai anak yang dicintai orangtua kita, akan berubah menjadi pribadi luar biasa yang berkontribusi besar terhadap dunia. Jangan patahkan semangatnya sebagaimana kita tidak suka dipatahkan semangat kita, percayai sang anak dan biarkan waktu yang menjawab sebesar apa upayanya dan seperti apa rencana Allah ta’ala terhadap masa depan kita dan anak kita.

Wallahu a’lam. [Maulana Ishak, S.Pi, Alumni MSP IPB angkatan 43, Relationship Management Rumah Zakat, Ex. Staff Khusus Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2354153/dukungan-sederhana-berdampak-luar-biasa#sthash.k1w9BVAN.dpuf

Untuk Mendidik Seorang Anak, Butuh Orang Sekampung

Kehidupan tanpa kematian, kesenangan tanpa penderitaan, kekayaan tanpa kemiskinan, kesempurnaan tanpa cacat, kebahagiaan tanpa kesedihan, kehormatan tanpa kerendahan, dan pengetahuan tanpa kealfaan.

Itulah tujuh elemen surga yang akan abadi dan tidak akan pernah hilang. Karena surga sangat bernilai, tentu tak akan mudah untuk mendapatkannya. Diperlukan kesungguhan, kesabaran, kesyukuran, dan ilmu sebagai bekal.

Hal tersebut dikemukakan oleh Ida S Widayanti, praktisi pendidikan dan parenting dalam acara Seminar Parenting bertema “Anak dari Surga Menuju Surga” di Gedung Remaja Kuring, Tangerang, Banten, Sabtu (26/11/2016) lalu.

“Persoalan, kesulitan, dan sekian masalah dalam mendidik anak adalah tantangan sekaligus investasi orangtua untuk meraih surga,” ujar Ida, penulis tetap rubrik Jendela Keluarga di Majalah Suara Hidayatullah.

“Karena surga tempat asal anak-anak kita, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah membekali anak-anak kita dengan potensi untuk meraihnya, berupa kejujuran, ketulusan, kelembutan, kesucian, sifat pemaaf, serta fitrah kesucian,” kata penulis buku-buku parenting ini.

Tantangan Teknologi Informasi

Menurut konsultan di beberapa sekolah ini, untuk meraih surga jelas banyak tantangannya, di antaranya teknologi informasi.

Banyak orang tua yang membolehkan atau membiarkan anak-anaknya bermain gadget, game online, internet, dan nonton televisi tanpa pendampingan. Sehingga anak menjadi kecanduan perangkat berlayar tersebut.

“Padahal, anak tersebut masih usia dini dan belum memahami atau mengerti apa yang ditontonnya. Lebih banyak dampak negatifnya daripada sisi positifnya,” katanya.

Oleh karena itu, kata Ida, rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar harus mendukung perkembangan anak ke arah positif. Dengan kata lain, butuh orang sekampung untuk mendidik satu orang anak.

Di sinilah peran orangtua sangat diperlukan, baik ayah maupun ibu.Terutama ayah.

Sebab, kata Ida, yang merujuk salah satu penelitian, ada 17 dialog tematik di dalam al-Qur`an pada 9 surat: 14 dialog antara ayah dengan anaknya, 2 dialog antara ibu dan anaknya, dan 1 dialog antara orangtua tanpa nama.

“Jadi, yang banyak berdialog atau berkomunikasi dengan anak itu justru ayah. Karena itu, sesibuk apapun ayah harus meluangkan waktunya berkomunikasi dengan anak.

Jangan menyerahkan tanggung jawab mendidik anak itu semuanya kepada ibunya (istri), apalagi kepada emba-nya (asisten). Anak butuh perhatian, bimbingan, dan kasih sayang,” ujar Ida.

Harus Optimistis

Meski banyak ujian dan tantangan dalam mendidik buah hati, kata Ida, orangtua harus tetap optimistis dan berprasangka baik kepada Allah Taala.

Kemudian Ida memberi beberapa tips mendidik anak. Di antaranya; ridha Allah (masuk surga) menjadi cita-cita tertinggi, mendidik anak bukan pekerjaan sampingan, jadikan al-Qur`an sebagai pedoman, ikhlas, dan sungguh-sungguh.

“Yang tak kalah penting setelah kita berikhtiar adalah banyak berdoa kepada Sang Pemilik Kehidupan, Allah Subhanahu wa Taala, dengan khusyuk dan penuh harap (roja), ” pungkas Ida, dengan mengutip al-Qur`an Surat Al-Mukmin ayat 60, yang artinya, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”

Acara Seminar Parenting yang dihadiri 300 peserta itu diselenggarakan oleh Sekolah Al-Amanah, Tangerang.*

 

 

sumber: Hidayatullah