Serial Fikih Muamalah (Bag. 2): Keistimewaan Khusus Fikih Muamalah dalam Islam

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 1): Mengenal Perspektif Islam terhadap Fikih Muamalah

Pertama: Hukum asal transaksi adalah boleh, baik itu akadnya maupun syarat-syaratnya

Dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah terlarang dan haram sampai terdapat dalil dari Allah Ta’ala yang membolehkannya. Hal ini bertujuan agar jangan sampai ada seseorang yang membuat sebuah perkara baru (bid’ah) dalam perkara agama, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Berbeda halnya dalam masalah muamalah (transaksi), hukum asalnya adalah boleh dan tidak ada yang terlarang, kecuali jika memang ada larangannya dari dalil yang sahih dan jelas. Jika tidak ada dalil pelarangannya, maka boleh untuk dilakukan dan dipraktikkan. Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ * وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Jasiyah: 12-13)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَرَءَيْتُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَٰلًا قُلْ ءَآللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى ٱللَّهِ تَفْتَرُونَ

“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?’” (QS. Yunus: 59)

Ayat ini turun berkenaan dengan kaum musyrikin yang telah mengharamkan apa-apa yang Allah Ta’ala halalkan dari berbagai jenis makanan dan berbagai bentuk transaksi hanya karena hal-hal tersebut bertabrakan dengan adat serta kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.” (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Ibnu Majah no. 2353)

Hadis ini merupakan pondasi dalam perkara syarat-syarat, yang menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah diperbolehkan dan tidak ada yang dilarang, kecuali jika di dalamnya terdapat suatu hal yang menyelisihi syariat.

Dari sini dapat dipahami bahwa ucapan ‘Mana dalil yang membolehkan bentuk transaksi ini?’; atau ucapan ‘Mana dalil yang menunjukkan bolehnya persyaratan ini?’ merupakan sebuah ucapan yang tidak diperbolehkan. Justru yang seharusnya ditanyakan adalah ‘Mana dalil yang melarang transaksi ini?’ Keistimewaan ini membuka pintu terhadap banyaknya bentuk transaksi baru di zaman sekarang yang belum pernah disebutkan, baik di Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Barulah kemudian tugas seorang fakih meneliti bentuk transaksi yang baru tersebut, meminta pendapat kepada ahli ekonomi yang mumpuni, agar ia bisa mendeskripsikan dengan tepat bentuk transaksi yang sedang ia teliti tersebut. Karena menghukumi sesuatu itu bisa tercapai setelah adanya proses identifikasi dan deskripsi yang tepat dan benar.

Kedua: Transaksi (muamalah) dibangun atas dasar sebuah alasan dan kemaslahatan

Jika dalam perkara ibadah seringkali tidak dapat dinalar oleh akal dan tidak memiliki sebab (alasan) khusus, namun seorang muslim wajib untuk menaatinya (seperti jumlah rakaat salat, syariat mencium hajar aswad dan lain sebagainya). Berbeda halnya dalam perkara muamalah (transaksi), sebagian besarnya dapat dinalar dan tentunya memiliki sebab dan alasan yang mendasari bolehnya transaksi tersebut. Asy-Syatibi Rahimahullah mengatakan,

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي

“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada seorang mukallaf (yang dibebani kewajiban syariat) adalah penghambaan mutlak bukan menoleh kepada substansi, sementara dalam fikih muamalah prinsipnya adalah melihat isi dan substansi.” (Al-Muwafaqat, karya As-Syaatibi, 2: 300)

Di antara dalil yang menunjukkan perhatian muamalah terhadap sebuah sebab dan kemaslahatan adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu.” (QS. Al-Maidah: 91)

Oleh karenanya, Islam melarang segala macam transaksi yang mengandung perjudian, sebab hal tersebut akan menimbulkan permusuhan dan kebencian.

Konsekuensi ketergantungan hukum-hukum muamalah dengan kemaslahatan yang ingin dicapai mengharuskan perubahan hukum jika kemaslahatannya berubah, atau ketika muamalah (transaksi) tersebut sudah tidak sejalan dengan visi syariat. Al-‘Izz bin Abdi As-Salam dalam kitabnya Qawaid Al-Ahkam fii Mashaalih Al-Anaam menetapkan sebuah kaidah,

كُلُّ تَصَرُّفٍ تَقَاعَدَ عَنْ تَحْصِيلِ مَقْصُوده فَهُوَ بَاطِلٌ

“Setiap transaksi yang tidak bisa mencapai tujuannya, maka dianggap batal dan tidak sah.”

Di antara contohnya, dahulu kala para sahabat meminta kepada nabi untuk menentukan harga barang dagangan mereka ketika terjadi lonjakan harga, namun Nabi menolak permintaan mereka dan bersabda,

إنَّ اللَّهَ هوَ المسعِّرُ القابضُ الباسطُ الرَّازقُ ، وإنِّي لأرجو أن ألقَى اللَّهَ وليسَ أحدٌ منكُم يطالبُني بمَظلمةٍ في دمٍ ولا مالٍ

“Sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Sungguh aku berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun di antara kalian menuntutku karena sebuah kezaliman (yang aku lakukan) dalam perkara nyawa dan harta kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3451 dan Tirmidzi no. 1314)

Namun, di zaman tabi’in kita dapati sebagian dari ahli fikih ada yang berpendapat akan bolehnya ‘penentuan harga dari pemerintah’ setelah melihat kemaslahatan dan tujuan yang baik dari perbuatan tersebut.

Ketiga: Mayoritas hukum muamalah dibangun atas dasar suatu kebiasaan dan adat

Di antara contohnya:

Pertama: Penulisan harga sebuah barang atau biaya sebuah barang sewaan merupakan pengganti ucapan (akad) yang seharusnya keluar dari penjual dan pembeli. Jika memang kebiasaan di sebuah daerah seperti itu, maka kedua belah pihak sah transaksinya tanpa mengucapkan, ‘Aku menjual’ dan ‘Aku membeli’.

Kedua: Banyaknya jenis transaksi yang diperbolehkan karena melihat adanya kebiasaan dan sebuah adat. Seperti jual beli dengan pembayaran di depan (payment in advance) dan juga jual beli dengan sistem pemesanan pembuatan barang khusus sesuai kriteria pemesan (istishnaa’).

Ketiga: Kriteria cacat pada suatu barang dagangan yang menjadikan batalnya sebuah akad jual beli takarannya menyesuaikan adat yang ada.

Keempat: Muamalah (transaksi) dalam Islam menggabungkan antara prinsip ibadah dan prinsip pelaksanaan hukum

Semua jenis transaksi yang kita lakukan (jika sesuai dengan aturan syariat), maka itu bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala. Mengapa? Karena berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip pemanfaatan harta termasuk salah satu tuntutan keimanan dan ketauhidan kita kepada Allah, di mana kita hanya menjadikan ajaran Allah dan Rasul-Nya sebagai patokan dan landasan hukum atas semua hal yang dilakukan.

Sebaliknya, tidak berhukum dengan hukum yang telah Allah Ta’ala turunkan atau bahkan bertentangan dengannya, maka jelas ini merupakan pintu kerusakan, kezaliman, dan kefasikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Ma’idah: 45)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Ma’idah: 47)

Adapun maksud dari ‘prinsip pelaksanaan hukum’ adalah ketika seorang muslim dihadapkan pada situasi di mana ia harus menolak dan tidak menyetujui sebuah akad karena mengandung kebatilan, maka ia tidak perlu menunggu keputusan otoritas pengadilan untuk membatalkan transaksi tersebut. Yang harus ia lakukan adalah bergegas membatalkan akad karena kesadaran dirinya. Sikap dan prinsip ‘pelaksanaan hukum’ inilah yang mencerminkan perasaan selalu diawasi oleh Allah Ta’ala (muraqabah).

Kelima: Muamalah Islam lebih mengedepankan kepentingan orang banyak

Layaknya bahasan-bahasan fikih Islam yang lain, muamalah bertujuan demi kemaslahatan individu dan komunitas orang banyak secara bersamaan, imbang antara keduanya tanpa saling bertabrakan antara satu kemaslahatan dengan yang lainnya. Muamalah tidak hanya bertujuan untuk membangun masyarakat (kelompok) yang baik. Lebih dari itu, muamalah memiliki tujuan untuk membahagiakan seorang individu maupun kelompok, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ

“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.” (QS. An-Nisa: 134)

Berbeda halnya dengan hukum dan undang-undang ekonomi masa kini, entah lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak dan menjatuhkan hak-hak individu serta mengesampingkannya, ataupun sebaliknya. Ada undang-undang yang memberikan kebebasan penuh bagi individu, demi meraih manfaat yang tinggi bagi dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan kemanfaatannya untuk orang banyak.

Di dalam syariat Islam, saat tidak memungkinkan untuk menggabungkan antara kepentingan individu dan kepentingan orang banyak, maka yang lebih didahulukan adalah kepentingan orang banyak. Para ulama telah menyusun beberapa kaidah terkait hal tersebut, di antaranya,

يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام

“Bahaya yang bersifat khusus dan individual ditanggung (diambil dan dihadapi) untuk menolak bahaya yang bersifat umum dan meluas.” (Al-Asybah wa An-Nadhaa’ir karya Ibnu Nujaim, hal. 87)

تصرف الإنسان في خالص حقه إنما يصح إذا لم يتضرر به غيره

“Pemanfaatan seseorang atas hak individunya dipandang sah manakala tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.” (Al-Qawaid Al-Kulliyah karya Muhammad Syubair, hal. 181)

إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما

Jika dihadapkan pada dua mafsadat, maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil  mafsadat yang lebih ringan. (Al-Asybah wa An-Nadhaa’ir karya Imam As-Suyuti, hal. 87)

Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75752-serial-fikih-muamalah-bag-2.html

Serial Fikih Muamalah (Bag. 1): Mengenal Perspektif Islam terhadap Fikih Muamalah

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup dan memenuhi kebutuhannya ketika sendirian. Manusia membutuhkan sebuah lingkungan dan komunitas agar bisa saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, seorang manusia, khususnya yang beragama Islam, sangatlah butuh untuk mempelajari hal-hal mendasar, aturan-aturan, dan hal-hal yang berkaitan dengan interaksi dan transaksi. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ   ۖ وَ إِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” (QS. Al-Isra’: 7)

Keteledoran dan ketidakperhatian seseorang terhadap ilmu interaksi dan transaksi menyebabkan terjadinya perdebatan, perpecahan, dan permusuhan di antara masyarakat. Jika saja seorang muslim bisa berinteraksi dengan baik terhadap saudaranya, tentu saja ia akan hidup dalam rasa aman, tenteram, dan penuh ketenangan, jauh dari rasa permusuhan dan perpecahan.

Sayangnya, interaksi dan transaksi antara seseorang dengan yang lainnya di masa kini telah dipenuhi dengan kecurangan, kedustaan, dan pengkhianatan. Sehingga pada akhirnya komunitas masyarakat yang ada dipenuhi dengan kerusakan, akhlak yang buruk, dan rusaknya daerah yang ditempati.

Tidak diragukan lagi, solusi dan jalan keluar satu-satunya akan permasalahan ini adalah dengan mengikuti hukum-hukum yang bersumber dari Islam, berpegang pada akhlak yang baik, dan kembali mempelajari konsep-konsep dasar berinteraksi dan bertransaksi (muamalah) yang sesuai dengan syariat ini.

Apakah fikih muamalah itu?

Sebelum menjelaskan makna ‘fikih muamalah’ secara keseluruhan, tentu sebelumnya akan lebih baik bila memahami terlebih dahulu satu-persatu kata yang tersusun pada ‘fikih muamalah’.

Yang pertama: kata ‘fikih’ (الفقه). Fikih secara bahasa artinya adalah pemahaman, keilmuan, dan kecerdasan. Sehingga fikih tidak terbatas pada pengetahuan perihal hukum-hukum syar’i saja. Akan tetapi, masuk di dalamnya pengungkapan alasan sebuah hukum, sumber-sumbernya, dan tujuan-tujuannya. Semua itu akan membantu seorang mujtahid dalam menyimpulkan sebuah hukum fikih dari konteks dalil-dalil syar’i yang ada. Ilmu fikih berpengaruh besar terhadap kualitas seorang muslim dalam mempraktekkan hukum-hukum tersebut. Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan,

فمن فقه أسباب هذه الأمور التي أمر ونهي، بماذا أمر ونهي، ورأى زين ما أمر وبهاءه وشين ما ما نهي تعاظم ذلك عنده وكبر في صدره شأنه، فكان أشد تسارعا فيما أمر، وأشد هربا وامتناعا مما نهي…

“Barang siapa yang memahami alasan dari hal-hal yang diperintahkan dan dilarang, serta menyadari keindahan dan keagungan sebuah perintah dan menyadari keburukan apa-apa yang dilarang, maka akan menjadi besar rasa hormat dan pengagungannya kepada kedua hal tersebut, sehingga ia akan semakin bersemangat dan bergegas di dalam menjalankan perintah dan semakin berlari menjauh menghindari apa-apa yang dilarang.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1: 79).

Sedangkan definisi “fikih” menurut istilah adalah, “Pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’i yang diperoleh dan digali dari dalil-dalinya yang terperinci.”

Yang kedua: katamuamalah’ (المعاملات). Secara bahasa maknanya adalah: berinteraksi, berkumpul, berteman, dan bergaul dengan seseorang. ‘Muamalah’ seringkali digunakan untuk ‘Tindakan jual beli dan yang semisalnya’.

Secara istilah, ‘muamalah’ memiliki beberapa makna, namun yang terbaik adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Syubair dalam kitabnya Al-Muamalah Al-Maaliyah Al-Muashirah yaitu,

“Hukum-hukum syar’i yang mengatur tingkah laku dan tindakan manusia dalam perkara jual beli.”

“Fikih muamalah” secara keseluruhan memiliki makna,

“Pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan pertukaran harta benda, yang mana pengetahuan tersebut juga menggali tujuan hukum tersebut, sebab-sebabnya dan sumber-sumbernya, serta mengaitkan hukum-hukum tersebut dengan tujuan utama syariat Islam, sehingga mampu mengintegrasikan hukum-hukum yang ada dengan kejadian-kejadian dan kasus terkini.”

Perspektif Islam terhadap fikih muamalah

Jika ditelisik lebih lanjut, agama Islam memiliki perspektif khusus terhadap fikih muamalah. Perspektif tersebut menguatkan identitas dan kemandirian fikih Islam serta menegaskan bahwa fikih Islam itu berlaku sepanjang zaman dan di semua tempat. Di antara perspektif Islam terhadap fikih muamalah adalah:

Pertama: Islam tidak menciptakan bentuk-bentuk transaksi baru di dalam masyarakat.

Saat Islam pertama kali datang di tengah bangsa Arab, mereka telah terlebih dahulu mengenal berbagai bentuk transaksi, baik itu bersifat jual beli, kerjasama, ataupun saling membantu. Mereka telah mengenal jual beli uang di muka, utang piutang, gadai, sewa menyewa, jaminan, atau bahkan kongsi (partnership).

Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh As-Saaib bin Abi As-Saaib Al-Makhzumi radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari pembukaan kota Mekah,

كنتَ شَريكي فنعم الشَّريكُ ، كنتَ لا تُداري ، ولا تُماري

“Dahulu kala, Engkau adalah mitraku (di masa jahiliyyah), dan Engkau merupakan sebaik-baik mitra, Engkau tidak pernah mengatur dan tidak pula mendebat.” (HR. Abu Dawud no. 4836)

Hadis di atas menujukkan bahwa bangsa Arab sebelum Islam datang sudah mengenal sistem kerja partnership (mitra usaha).

Lihat juga bagaimana sistem mempekerjakan orang yang dilakukan oleh Khadijah radhiyallahu anha, istri nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Hisyam rahimahullah menceritakan,

وكانت خديجة بنت خويلد امرأة تاجرة ذات شرف ومال . اتستأجر الرجال في مالها وتضاربهم إياه ، بشيء تجعله لهم

“Khadijah bintu Khuwailid adalah seorang pedagang wanita yang terpandang lagi banyak harta. Dia mempekerjakan pria-pria untuk menjualkan barang dagangannya dan kemudian memberikan sebagian keuntungannya untuk mereka.”

Sikap Islam terhadap berbagai bentuk transaksi adalah sikap yang kritis, reformis, dan memudahkan. Jika di dalamnya terdapat kemaslahatan, maka akan disetujui dan diperbolehkan. Namun jika di dalamnya terdapat sebuah bahaya atau hal-hal yang mengarah pada bahaya ataupun bertentangan dengan prinsip takwa, maka akan diharamkan dan dilarang.

Kedua: Dalam hal transaksi, Islam datang dengan kaidah dan aturan yang ringkas dan menyeluruh. Tidak terlalu mendalami perkara yang mendetail.

Di antara beberapa kaidah tersebut adalah:

Kaidah Pertama: Asas keridaan dan kerelaan diri.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.(QS. An-Nisa’: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidak halal mengambil harta seorang muslim, kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. Ahmad no. 20695)

Kaidah Kedua: Asas memenuhi akad (janji).

Allah Ta’ala berfirman,

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَوۡفُوۡا بِالۡعُقُوۡدِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji (yang telah diikrarkan).” (QS. Al-Ma’idah: 1)

Akad (janji) bersifat umum, mencakup akad jual beli, sewa menyewa, kerjasama, wakaf, dan lain sebagainya.

Kaidah Ketiga: Larangan dari jual beli yang tidak pasti dan tidak jelas statusnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أنَّ النَّبِي صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli gharar (tidak jelas statusnya).” (HR. Muslim)

Baik itu yang tidak jelas statusnya dalam bentuk akadnya, seperti menjual satu barang dengan dua akad yang berbeda, ataupun yang tidak jelas barang dagangannya, seperti menjual barang yang tidak diketahui bentuknya dan yang semisalnya.

Dan berbagai kaidah-kaidah umum lainnya. Jika seorang mujtahid dan seorang faqih perhatian terhadap kaidah-kaidah tersebut, akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berijtihad dan mampu mengurai kasus-kasus baru yang belum ada penjelasannya baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Ketiga: Islam mengaitkan muamalah dengan keyakinan (akidah) dan moral.

Kaitannya dengan akidah adalah semua harta benda yang ada di tangan manusia semuanya adalah milik Allah Ta’ala. Manusia hanya diberikan amanah untuk mengelolanya saja. Karena Allah Ta’ala-lah yang menciptakan segala sesuatu, baik yang ada di langit maupun di bumi. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dialah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Kedudukan manusia terhadap harta hanyalah sebatas wakil saja, bukan pemilik. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap harta harus sesuai dengan kelayakan tindakan seorang wakil yang diberikan amanah, tidak boleh semena-mena dan bijak di dalam mengelolanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِۗ

“Dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah).” (QS. Al-Hadid: 7)

Kaitannya dengan moral adalah fikih muamalah tidak bisa dipisahkan dari moral, baik dari segi wasilah maupun tujuannya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Kaidah syariat yang tidak boleh diacuhkan dan dihilangkan: bahwasannya tujuan dan keyakinan merupakan acuan di dalam perilaku (jual beli) dan kebiasaan, sebagaimana ia juga menjadi acuan di dalam perkara ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Keyakinan, niat dan akidah seseorang lah yang akan menjadikan sesuatu itu halal ataupun haram, sah ataupun tidak, menjadi sebuah ketaatan ataupun kemaksiatan.”

Di dalam memanfaatkan harta, seorang muslim dituntut untuk memperlakukan yang lainnya sebagaimana ia ingin diperlakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Keempat: Islam selalu mengiringi dan mengikat muamalah (transaksi) dengan tujuan-tujuan syariat.

Yaitu, merealisasikan kemaslahatan dan mencegah keburukan bagi seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Di sisi realisasi kemaslahatan, Islam sangat menganjurkan pengikutnya untuk mencari rezeki, memudahkan, dan memperbolehkan berbagai macam transaksi yang menunjang tercapainya rezeki yang halal.

Dari sisi pencegahan, salah satu contohnya adalah Islam melarang penyalahgunaan harta. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala,

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10)

Sebagaimana Islam juga mewajibkan jaminan (ganti rugi) bagi mereka yang merusak dan menghilangkan harta orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ

“Tangan bertanggungjawab terhadap apa yang ia ambil sampai ia mengembalikannya.” (HR. Ahmad di dalam musnadnya no. 19753 dan Abu Dawud no. 3143)

Wallahu a’lam bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/75624-serial-fikih-muamalah-bag-1.html