Kontroversi Menggerakkan Telunjuk Saat Tahyat

MASALAH menggerakkan jari telunjuk saat tahiyat di dalam salat adalah masalah khilafiyah yang termasuk paling klasik. Kami katakan klasik, karena sejak zaman dahulu, para ulama sudah berbeda pendapat. Perbedaan pendapat di antara mereka tidak kunjung selesai sampai ribuan tahun lamanya, bahkan sampai hari ini.

Masalahnya bukan karena para ulama itu hobi berbeda pendapat, juga bukan karena yang satu lebih sahih dan yang lain kurang sahih. Juga bukan karena yang satu lebih mendekat kepada sunah dan yang lain kurang dekat. Masalahnya sangat jauh dan tidak ada kaitannya dengan semua itu.

Titik masalahnya hanya kembali kepada cara memahami naskah hadis, di mana ada dalil yang sahih yang disepakati bersama tentang kesahihannya, namun dipahami dengan cara yang berbeda oleh masing-masing ulama.

Sayangnya, teks hadis itu sendiri memang sangat dimungkinkan untuk dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Alias tidak secara spesifik menyebutkannya dengan detil dan rinci.

Yang disebutkan hanyalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggerakkan jarinya, tetapi apakah dengan teknis terus-terusan dari awal tahiyat hingga selesai, ataukah hanya pada saat mengucapkan ‘illallah’ saja, tidak ada dalil yang secara tegas menyebutkan hal-hal itu.

Dari Wail bin Hujr berkata tentang sifat salat Rasulullah, “Kemudian beliau menggenggam dua jarinya dan membentuk lingkaran, kemudian mengangkat tangannya. Aku melihat beliau menggerakkan jarinya itu dan berdoa”. (HR Ahmad, An-Nasai, Abu Daud dan lainnya dengan sanad yang sahih)

Dari Abdullah bin Umar ra berkata, “Rasulullah bila duduk dalam salat meletakkan kedua tangannya pada lututnya, mengangkat jari kanannya (telunjuk) dan berdoa”. (HR Muslim)

Dengan adanya kedua dalil ini, para ulama sepakat bahwa menggerakkan jari di dalam salat saat tasyahhud adalah sunah. Para ulama yang mengatakan hal itu antara lain adalah Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad bin Hanbal serta satu pendapat di dalam mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.

Tinggal yang jadi titik perbedaan adalah cara mengambil pengertian dari kata ‘menggerakkan’.

1. Sebagian ulama seperti kalangan mazhab As-Syafi’i mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menggerakan hanyalah sekali saja, yaitu pada kata ‘illallah’. Setelah gerakan sekali itu, jari itu tetap dijulurkan dan tidak dilipat lagi. Demikian sampai usai salat.

2. Sebagian lainnya malah sebaliknya. Seperti kalangan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa gerakan menjulurkan jari itu dilakukan saat mengucapkan kalimat nafi (Laa illaha), begitu masuk ke kalimat isbat (illallaah) maka jari itu dilipat kembali. Jadi menjulurkan jari adalah isyarat dari nafi dan melipatnya kembali adalah isyarat kalimat itsbat.

3. Sebagian lainnya mengerakkan jarinya hanya pada setiap menyebut lafadz Allah di dalam tasyahud. Seperti yang menjadi pendapat kalangan mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal.

4. Dan sebagian lainnya mengatakan bahwa tidak ada ketentuannya, sehingga dilakukan gerakan jari itu sepanjang membaca tasyahud. Yang terakhir itu juga merupakan pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Salat Nabi halaman 140). Sehingga beliau cenderung mengambil pendapat bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz tasyahud.

Akan tetapi, sekali lagi kami katakan itu adalah ijtihad karena tidak adanya dalil yang secara tegas menyebutkan hal itu. Sehingga antara satu ulama dengan ulama lainnya sangat mungkin berbeda pandangan. Selama dalil yang sangat teknis tidak atau belum secara spesifik menegaskannya, maka pintu ijtihad lengkap dengan perbedaannya masih sangat terbuka luas.

Dan tidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang lain, selama masih di dalam wilayah ijtihad. Pendeknya, yang mana saja yang ingin kita ikuti dari ijtihad itu, semua boleh hukumnya. Dan semuanya sesuai dengan sunnah nabi Muhammad.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

INILAH MOZAIK