4 Jenis Manusia yang Mengingat Mati, Manakah Kita?

PARA ulama berkata, manusia itu terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Orang yang tenggelam dalam kenikmatan dunia dan tak pernah mengingat maut, karena maut dapat menyebabkan orang meninggalkan kesenangan dan kelezatan. Kalaupun mengingat maut, ia hanya mengingatnya dengan terpaksa.

2. Orang yang kembali kepada Allah Ta’ala hanya dalam tahap permulaan. Ia takut kepada Allah ketika mengingat mati, dan ia juga tetap dalam tobat. Ia takut mati bukan karena meninggalkan dunia dan kelezatannya, tetapi karena belum sempurna tobatnya. Ia tidak ingin mati terlebih dahulu agar dapat memperbaiki amalannya.

Maka, orang semacam ini kebenciannya terhadap mati dapat dimaafkan. Ia tidak termasuk di dalam golongan manusia sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Barangsiapa benci berjumpa dengan Allah, maka Allah benci berjumpa dengannya.”

Sebenarnya, orang ini tidak benci berjumpa dengan Allah, tetapi ia takut terhadap hal yang harus dihadapi sesudahnya. Orang ini seperti gadis yang bersiap-siap untuk menjumpai kekasihnya, agar kekasihnya itu senang kepadanya. Orang ini hanya sibuk dengan apa yang mesti dipersiapkan, bukan sibuk dengan yang lain. Kalau tidak, maka keadannya sama dengan orang yang pertama, yakni tenggelam dalam kesenangan dunia.

3. Seorang arif yang telah sempurna tobatnya. Orang ini menyukai mati, bahkan menginginkan kematian, karena bagi seorang kekasih tidak ada waktu yang lebih indah selain berjumpa dengan orang yang dikasihinya. Dan kematian baginya merupakan saat perjumpaan yang dirindukannya. Orang yang sedang dimabuk rindu tentu tidak akan pernah melupakan waktu kencannya.

Mereka itu ingin segera mati, karena disitu akan terbukti mana yang setia dan mana yang durhaka, serta apa yang akan didapatkannya. Dalam suatu riwayat disebutkan, ketika maut datang hendak menjemput Hudzaifah, ia berkata, “Kekasih datang pada saat kemiskinan, tidak akan beruntung orang yang menyesal. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dari fitnah.”

4. Orang yang berada pada tingkatan yang tertinggi. Orang ini dalam keadaan rela, yakni segala seuatu yang dimilikinya dipersembahkan untuk Allah saja. Ia tidak mempunyai keinginan untuk mati ataupun hidup. Inilah puncak kerinduan, maqam rida dan pasrah.

Setiap saat orang ini selalu mengingat mati. Bahkan, bagi orang yang sibuk dalam keduniaan hendaknya mengingat mati, karena dengan mengingat mati akan menyebabkan seseorang mampu meninggalkan kelezatan dunia dan menjauhinya. [40 Hari Menuju Kematian]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2314449/4-jenis-manusia-yang-mengingat-mati-manakah-kita#sthash.otG2K72F.dpuf

Mengingat Mati dan Konsekuensinya

Oleh: Ading Ibnu Alhari

INGATLAH suatu saat engkau akan sampai kepada kematian. Dunia yang indah ini akan ditinggalkan. Keluarga yang selalu dirindui akan tak akan pernah dijumpai lagi. Dan engkau akan di masukan ke liang lahat. Dan mendatangi suatu alam yang sangat berbeda dengan alam sekarang ini.

Betapa pun berjayanya engkau di dunia, jika kematian telah tiba, sirnalah semua kebanggaan yang selama ini ada dalam genggaman dirimu. Sebab itu, jangalah berpanjang angan-anga terhadap kehidupan dunia. Sebab akhir dari segalanya di dunia adalah kematian. Jangan remehkan tentang kematian yang akan menjemputmu. Bukan untuk ditakuti kematian itu, melainkan agar engkau sadar, bahwa ada sesuatu yang sangat jauh berarti dalam kehidupan ini dari pada sekedar mengejar mimpi-mimpi duniawi.

Mengingat kematian harus menjadi sebuah cambuk bagimu untuk mengejar mimpi-mimpi ukhrowi. Yaitu mimpi untuk mendapatkan kebaikan di negeri akhirat.

Bagi orang yang beriman kepada negeri akhirat, hendaknya mereka menjadikan perihal kematian ini sebagai suatu peringatan penting. Bukankah telah berkali-kali diingatkan bahwa akhirat itu ada. Dan bahwa di dalam sana yang ada hanya ada dua tempat. Yaitu surga dan neraka. Mengingat mati sama dengan mengingat akan kehidupan di akhirat kelak itu.

Apakah diri kita akan menjadi penghuni surga ataukah lebih memilih untuk tinggal neraka. Semua tergantung kepada kemauan dan kekuatan. Tidaklah kita akan sampai kepada kemauan yang kuat melainkan salah satunya dengan mengingat mati. Dan tidaklah kita akan memiliki kekuatan melainkan dengan pertolongan dari Allah. Maksud dan tujuan dari mengingat mati tiada lain ialah agar kita membangkitkan kemauan untuk menempuh jalan menuju surga dan memantapkan doa-doa kita kepada Allah agar Dia senantiasa menolong kitu untuk taat kepadaNya.

Tidaklah manusia akan mendapatkan kebaikan dan keselamatan hidup nanti di akhirat kelak melainkan dengan iman dan amal sholehnya. Tidaklah seseorang akan sampai kepada iman dan amal sholeh melainkan dengan ketaatan kepada Allah. Dan tidak ada satu hal pun yang akan sanggup mengantarkan seseorang kepada ketaatan kepada Allah melainkan rahmatNya. Maka hendaklah setiap diri mentafakuri tentang penciptaan dirinya dan keberadaannya di muka bumi yang sarat dan penuh dengan rahmat Allah.

Setiap orang pastilah dirahmati Allah kehidupannya dalam arti bahwa dia diberikan karunia, rezeki dan kebaikan dari sisi Allah. Hanya kemudian, ada manusia yang mengingkarinya, dan ada pula yang memahaminya. Yang mengingkari rahmat dan kebaikan dari Allah, tentu dia akan memilih suatu jalan kehidupan berupan penentangan terhadap perintah Allah untuk beribadah kepadaNya. Sedangkan mereka yang mengakui dan memahami besarnya rahmat Allah ia akan bersyukur kepadaNya.
Orang yang mengakui adanya rahmat Allah kepada dirinya akan segera menyambut seruan Allah untuk beriman.

Sedangkan orang yang tidak mengakui adanya rahmat Allah atas dirinya akan segera menjadi musuh dari dakwahNya. Sebab itu, pertama-tama hal yang harus kita syukuri dalam hidup ini ialah, dijadikannya diri kita sebagai muslim oleh Allah. Bayangkan kalau kita ditakdirkan Allah lahir di tengah orang tua yang kafir lalu kita menjadi kafir, menjadi orang yang membenci orang-orang yang beriman, tentulah betapa besar kerugian yang akan kita tanggung di akhirat kelak sebab kekafiran itu.

Kebahagiaan tertinggi kita hidup di dunia, sama sekali bukanlah karena kita ditakdirkan hidup kaya, lahir di tengah orang tua yang punya dunia atau jabatan. Sungguh semua itu menjadi kecil artainya bahkan menjadi biang kecekaan hidup, andaikata di dalam hati dan kehidupan orang tua kita tidak ada iman.

Sebab itu, dengan banyak mengingat mati, hendaklah menjadi semacam motivasi bagi kita untuk lebih mengaktualisasikan kehadiran kita di muka bumi ini sebagai muslim. Bangga sebagai muslim. Bukan bangga karena punya gelar baru. Bukan bangga karena naik pangkat atau naik gaji. Cobalah belajar memahami, ternyata setelah mati, yang kaya, yang miskin, yang terpelajar atau yang awam, sama-sama dimasukan ke liang lahat. Tidak ada perkara yang mereka bahwa dari urusan dunia ini ke dalam kubur.

 

Satu-satunya yang mereka bawa adalah perbuatan mereka. Perbuatan baik mereka bawa, perbuata buruk juga mereka bawa. Semakin sering kita mengingat mati, maka sudah seharunya kita semakin mempersedikit perbuatan buruk dan memperbanyak serta meningkatkan kualitas amal perbuat baik. Jangan pernah kita merasa bangga dengan urusan dunia. Tapi banggalah karena dirimu muslim.

Mengingat mati, harus menjadi ciri dan sekaligus kriteria kedudukan kita sebagai muslim. Janganlah mengira, bahwa orang-orang yang banyak dosa, fasik dan kafir kepada Allah, bahwa mereka itu banyak mengingat mati. Tidak. Mereka sama sekali tidak ingin mengingat mati. Bahkan sebenarnya mereka berharap kematian itu tidak akan menimpa diri mereka. Atau mereka merasa takut dengan kematian yang akan menjemput mereka.

Sehingga hidup mereka selalu dibayang-bayangi oleh kematian. Kematian menjadi perkara yang paling mereka takuti dalam hidup. Demikian adanya yang dapat kita sakasikan dalam kehidupan nyata orang-orang kafir dan banyak dosanya. Demikian pula yang diterangkan Allah dalam al-Quran yang mengetahui rahasia hati manusia. Sebab itu, jangalah meniru kebiasaan dan tingkah laku mereka yang kafir kepada Allah, agar mengingat mati itu tidak menjadikan dirimu takut dalam menghadapinya.

Jangan terpesona oleh gaya hidup orang-orang yang lalai kepada Allah dan kepada kehidupan setelah mati. Mereka memang seringkali membuat kita terpesona oleh penampilan mereka. Namun bukan berarti bahwa kita harus menjauhi dunia menyerahkan dunia kepada orang-orang kafir yang membuat mereka punya kekuatan untuk membantai umat Islam. Justru dengan banyak mengingat mati, kita harus menguasai dunia, harus kaya, harus terampil dalam mengelola pertanian, perniagaan, bangunan dan pabrik pakaian serta politik, agar kita bisa menyelamatkan lebih banyak muslim yang fakir dan tertindas di muka bumi.

Serta menjadi syarat kekuatan untuk melawan kezhaliman orang-orang yang fasik dan dengki yang membuat kerusakan di muka bumi. Mengingat mati, harus menjadikan dirimu menjadi konglomerat dan penguasa dunia. Bukan melempem dan lemah tiada berdaya. Demikian sifat orang-orang Islam di zaman Rasulullah. Hanya mereka tidak jatuh kepada kecintaan pada dunia.

Bagi mereka yang hidup dalam kesusahan, jangalah bersedih hati. Asal hidup tetap dalam ketaatan kepada Allah, maka masih ada harapan untuk hidup bahagia di akhirat kelak. Jangan terjebak dengan kata-kata, bahwa hidup miskin tak menjamin masuk surga. Itu hanyalah jebakan agar engkau meniru gaya hidup orang kaya, padahal jelas-jelas engkau bukan golongan mereka.

Hendaklah setiap diri menempuh jalannya masing-masing dari kehidupan dunia, dengan tetap taat kepada Allah sebagai standari inti dan mendasar. Sebagai suatu jaminan dan komitmen untuk mendapatkan pertolongan Allah nanti di hari akhirat kelak. Tidak mengapa miskin dan fakir, yang penting bahwa hidup ini dipersembahkan untuk Allah melalui ketaatan kepadaNya. Toh nilai seseorang itu adalah ketakwaannya. []

 

sumber:Islam Pos