Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag 10): Adzan dan Iqamah

Azan merupakan pemberitahuan akan datangnya waktu salat dengan lafaz khusus yang ditetapkan syariat [1]. Sedangkan ikamah merupakan pemberitahuan tentang pelaksanaan salat wajib dengan lafaz khusus yang ditetapkan syariat [2]. Azan dan Ikamah adalah fardhu kifayah bagi laki-laki, yaitu untuk salat wajib lima waktu dan juga salat Jumat sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal” (QS. al-Maidah: 58).

Dalam Ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. al-Jumuah: 9).

Demikian juga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Jika telah tiba waktu salat, hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan untuk kalian/dan hendaklah orang yang paling tua di antara kalian yang menjadi imam”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Di dalam sunah yang mutawatir disebutkan bahwa azan dan ikamah itu telah dikumandangkan pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Demikian juga menurut ijma’ dan pengamalan umat yang mutawatir dari generasi ke generasi berikutnya” [3].

Keutamaan azan

Azan dan muazin masing-masing memiliki keutamaan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushshilat: 33).

Terdapat 7 (tujuh) keutamaan azan dan muazin, yaitu:

1. Muazin memiliki leher yang lebih panjang di hari kiamat [4].
2. Azan dapat mengusir syaitan [5].
3. Pahala yang besar yang terkandung dalam seruan azan [6].
4. Azan akan menjadi saksi bagi seseorang yang mendengarkannya pada hari kiamat [7].
5. Ampunan dan pahala bagiMuazin sebagaimana pahala orang yang mengerjakan salat dengan seruan Azan tersebut [8].
6. Nabi mendoakan ampunan bagi muazin [9].
7. Dosa muazin dapat diampuni danazannya dapat menjadi penyebab masuk surga [10].

Tata cara azan dan ikamah

Azan yang dikumandangkan Bilal Radhiallahu’anhu di hadapan Nabi Shallallahualaihi wasallam terdiri dari 15 (lima belas) kalimat. Sedangkan ikamah terdiri dari 10 (sepuluh) kalimat. Sebagaimana hadis Anas Radhiallahu’anhu, Beliau bercerita, “Bilal diperintahkan untuk menggenapkan azan dan mengganjilkan ikamah, kecuali ikamah (qad qaamatish shalaah)” [11].

Adapun lafaz azan adalah sebagai berikut,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ . حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ . حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ .اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Sedangkan lafaz ikamah adalah sebagai berikut,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ. حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ. قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ. اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Azan dan ikamah tersebut berlaku untuk semua salat fardhu [12]. Adapun untuk salat Subuh ditambah lafaz dengan kalimat: الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ setelah lafaz حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ.

Adab muazin

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa azan merupakan pemberitahuan akan datangnya waktu salat. Maka azan juga merupakan bagian dari ibadah dimana seorang muazin bisa memperoleh pahala yang berlipat ganda sebab ibadah azan yang dilakukan. Namun, untuk menggapai pahala tersebut seorang muazin juga dianjurkan untuk memperhatikan adab-adab sebagaimana yang dicontohkan oleh para shalafusshalih khususnya para sahabat radhiallahuanhum. Oleh karenanya, penting bagi seorang muazin untuk memerhatikan adab-adab azan, sebagai berikut:

1. Seorang muazin hendaklah dalam keadaan suci dari hadats [13].
2. Hendaklah mengumandangkan lafaz azan secara pelan dan lafaz ikamah secara cepat serta masing-masing dilakukan secara terputus-putus dengan cara berhenti pada penggalan setiap kalimat [14].
3. Hendaklah dilakukan dari tempat yang tinggi, dengan posisi berdiri serta menghadap kiblat (15) sambil meletakkan jari-jemarinya di kedua telinganya [16].
4. Hendaklah menjulurkan leher kemudian menoleh ke kanan untuk mengajak manusia mengerjakan salat (ketika lafaz ‘hayya ‘alashalah) dan menoleh ke kiri untuk meraih keberuntungan (ketika lafaz ‘hayya ‘alafalah) [17].
5. Mengumandangkan azan di awal waktu salat [18].
6. Termasuk disunahkan agar seorang muazin memiliki suara yang nyaring [19] dan merdu [20].
7. Seorang muazin hendaklah merupakan orang yang dapat dipercaya [21].
8. Hendaklah seorang muazin meniatkan azannya ikhlas memurnikan tujuannya untuk mencari keridaan Allah Ta’ala [22].

Menjawab muazin

hayya ‘alashalah” idan “hayya ‘alalfalah”. Terhadap dua kalimat azan tersebut disunahkan untuk menjawab dengan kalimat, “laa Haula wa laa quwwata illa billah” [23]. Berikut rincian jawaban setiap lafaz muazin,

1. Ketika mendengar kalimat tasyahud,

“أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ”

hendaklah disambut dengan kalimat [24]:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ رَضِيْتُ بِااللّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلًا وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا.

2. Berselawat atas Nabi setelah selesai menjawab muazin, kemudian membaca [25]:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ

3. Berdoa sesuai hajat yang ingin diminta disela waktu antara azan dan ikamah [26].

Keluar masjid setelah azan dikumandangkan

Tidak diperbolehkan bagi orang yang wajib menunaikan salat untuk keluar masjid setelah azan dikumandangkan kecuali dengan udzur syar’i atau niat untuk kembali. Sebagaimana ucapan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu kepada orang yang keluar masjid setelah azan dikumandangkan, “Orang ini benar-benar telah mendurhakai Abul Qasim (Rasulullah) Shallallahualaihi wasallam” [26].

Terhadap hadis di atas, at-Tirmidzi mengungkapkan, “Berdasarkan praktik tersebut, menurut para ulama dari kalangan sahabat nabi shallallahualaihi wasallam dan orang-orang setelahnya tidak diperbolehkan bagi seorang pun keluar masjid setelah azan, kecuali karena suatu alasan atau karena kepentingan wudu atau suatu yang harus dilakukannya” [27].

Jarak waktu antara azan dan ikamah

Jeda antara waktu azan dan ikamah dimaksudkan agar orang yang mungkin sedang melakukan berbagai aktivitas seperti makan, minum, buang hajat atau dalam keadaan berhadats; diberikan kesempatan untuk bersiap-siap. Agar orang tersebut juga tidak ketinggalan salat berjamaah sepenuhnya atau sebagiannya sebab tidak adanya jeda waktu antara azan dan ikamah. Terlebih orang tersebut berada di tempat yang jauh dari masjid. Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahualaihi wasallam mengisyaratkan adanya salat antara azan dan ikamah sebagai pedoman jeda waktu. Sebagaimana sabdanya,

“Antara tiap dua azan dan ikamah) ada salat. Antara tiap dua azan dan ikamah) ada salat”.

Kemudian pada yang ketiga kalinya beilau bersabda:

“Bagi yang menghendaki” (Muttafaqun ‘alaihi)

Senada dengan hal tersebut, al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz Rahimahullah pernah mengatakan, “Tidak boleh menyegerakan ikamah hingga imam memerintahkan. Jarak itu sekitar seperempat jam atau sepertiga jam atau yang mendekatinya. Jika imam terlambat dalam waktu yang cukup lama diperbolehkan yang lainnya untuk maju menjadi imam salat” [28].

Azan dan ikamah merupakan bagian dari rangkaian salat yang juga wajib diketahui dan difahami oleh setiap muslim. Keutaman-keutaman, tata cara, adab-adab, anjuran menjawab dan berbagai perkara lainnya yang berkaitan dengan azan dan ikamah sebagaimana dijelaskan di atas adalah hal yang penting untuk dikuasai. Sehingga dengannya bekal ilmu untuk mendapatkan kesempurnaan ibadah salat dapat semakin bertambah dan celah untuk mendapatkan pahala semakin terbuka, insyaa Allah. Wallahu a’lam.

Catat Kaki:

1. Lihat Kitab al-Mughni karya Ibnu qudamah (II/53)
2. Lihat Kitab ar-Raudhatul Murbi’ karya Ibnu al-Qasim (I/428)
3. Lihat Kitab Syarhul ‘Umdah karya Ibnu taimiyyah (II/96)
4. Lihat Kitab ash-Shalaah Bab “Fadhul Adzaani wa Hurubisy Syaithani ‘Inda Simaa’ihi karya Muslim no. 387.
5. Lihat Kitab al-Adzaan Bab “Fadhlut Ta’dziin” karya Muslim no. 608.
6. Lihat Kitab al-Adzaan Bab “al-Istihaamu fil Adzaan” karya Bukhari no. 615.
7. Ibid Bab “Raf’i as-sauti bi an-Nida’” no. 609
8. Lihat Kitab al-Adzaan Bab “Raf’i as-sauti bi an-Nida’” karya an-Nasa’i (II/13)
9. Lihat Kitab as-Shalah Bab “Maa Yajibu alalMuazin min Ta’ahudil Waqti” karya Abu Dawud (I/143) no. 517
10. Ibid Bab “Maa Jaa-a Annal Imaama Dhaaminun walMuazin Mu’tamanun” (I/402) no. 207
11. Lihat Kitab al-Adzaan Bab “al-Adzaanii Matsnaa-Matsnaa’” karya al-Bukhari no. 605
12. Lihat Kitab Shahih karya Ibnu Khuzaimah (I/200) no. 385.
13. Lihat Kitab al-Inshaaf fii Ma’rifatir Raajih inal Khilaaf karya al-Mawardi (III/75)
14. Ibid (III/72)
15. Lihat Kitab as-Shalah Bab “al-Adzaani fauqal Manaarah” karya Abu Dawud no. 519.
16. Lihat Kitab al-Musnad karya Ahmad (IV/308).
17. Lihat Kitab as-Shalah Bab “al-Muadzin yastadiiru fi Adzaanihi” karya Abu Dawud no. 520.
18. Lihat Kitab al-Adzaan Bab “as-Sunnah fi al-Adzaan” karya Ibnu Majah no 713.
19. Lihat Kitab as-Shalah Bab “Kaifal Adzaan” karya Abu Dawud no. 499.
20. Lihat Kitab Subulussalam karya ahs-Shan’ani (II/70).
21. al-Qashah : 26
22. Lihat Kitab as-Shalah Bab “Akhzil Ajri ‘ala Ta’dzin”” karya Abu Dawud no. 531.
23. Lihat Kitab as-Shalah Bab “Istihbabil Qaul Mitsla QaulilMuazin Liman Sami’ahu” karya Muslim no. 385.
24. Lihat Kitab as-Shalah Bab “Istihbabil Qaul Mitsla QaulilMuazin” karya Muslim no. 385.
25. Lihat Kitab al-Adzaan Bab “Istihbabil Qaul Mitsla QaulilMuazin” karya Muslim no. 385.
26. Lihat Kitab Musnad karya Ahmad (III/225)
27. Lihat Sunan at-Tirmidzi hadis no.204.
28. Lihat Kitab Shalatul Mu’min karya Syaikh Said bin Ali bin Wah al-Qahthani halaman 206.

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/68305-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-10-adzan-dan-iqamah.html

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 7): Memahami tentang Haid, Nifas dan Istihadah

Berilmu sebelum beramal merupakan kaidah yang semestinya menjadi pedoman bagi ummat islam dalam menjalankan pelbagai syariat yang telah ditetapkan Allah Ta’ala. Tidak terkecuali ibadah yang sangat agung seperti halnya salat. Oleh karenanya, pelbagai hukum yang berkaitan dengan salat adalah hal yang wajib untuk diketahui, termasuk di antaranya adalah haid, nifas dan istihadah yang senantiasa dialami oleh setiap wanita.

Haid

Haid dan hikmahnya

Darah yang secara alami keluar dari rahim seorang wanita yang sudah balig dalam waktu tertentu merupakan definisi haid [1]. Allah Ta’ala menciptakan darah dan menetapkannya bagi kaum wanita sebagai makanan bagi janinnya melalui tali pusar sehingga wanita hamil tidak mengalami haid. Apabila seorang wanita melahirkan, maka sisa-sisa makanan janin tersebut akan keluar dalam bentuk darah nifas. Kemudian Allah Ta’ala mengubah sebagian darah wanita tersebut menjadi susu yang dikonsumsi oleh bayinya. Setelah melahirkan dan menyusui, aktivitas darah itu akan kembali lagi seperti semula yang keluar setiap bulannya baik dalam waktu enam atau tujuh hari sesuai dengan ketetapan Allah Ta’ala [2].

Warna darah haid

Terdapat empat warna darah haid yang perlu difahami oleh wanita muslimah, yaitu: hitam, merah, kekuning-kuningan dan keruh [3]. Sebagaimana hadis Fatimah binti Abi Hubaisyi Radhiallahu’anha, “Bahwasanya dia pernah mengalami istihadah, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Jika darah haid, sesungguhnya ia berwarna hitam yang sudah dikenal. Oleh Karena itu, tinggalkanlah salat. Jika berwarna lain, berwudulah, karena sesungguhnya ia hanya (semacam) keringat.’” [4].

Warna kekuning-kuningan dan keruh tidak termasuk dalam kategori haid, terkecuali pada saat berlangsungnya masa haid. Namun apabila masa haid telah berakhir, hal tersebut tidak lagi termasuk darah haid meski keluar berulang kali [5].

al-Allamah Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah kemudian menguatkan pendapat bahwa warna kekuning-kuningan dan warna keruh setelah bersuci tidak termasuk dalam kategori darah haid sama sekali, tapi cairan tersebut sama seperti air kencing yang dapat membatalkan wudu dengan syarat keluarnya tidak pada saat berlangsungnya masa haid.

Baca Juga: Fatwa Ulama: Berhenti Nifas Sebelum 40 Hari

Masa haid dan lamanya

Usia seorang yang mengalami haid

Para ulama Rahimahumullah berbeda pendapat tentang batas usia serta waktu mulai dan berhentinya haid bagi seorang wanita. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah condong kepada pendapat ad-Darimi Rahimahullah yang mengungkapkan bahwa seberapa pun didapatkan ukuran darah itu, bagaimanapun keadaannya dan berapa pun usia wanita yang mengalaminya tetap dikategorikan sebagai haid [6]. Dengan kata lain, kapan pun seorang wanita melihat darah yang umumnya dikenali sebagai darah haid, maka itu adalah haid [7].

Masa berlangsungnya haid

Sebagaimana pendapat tentang usia, berkaitan dengan batasan minimal dan maksimal haid juga terdapat perbedaan pendapat dari para ulama Rahimahumullah. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menguatkan pendapat bahwa tidak ada batasan masa haid dan masa suci antara dua waktu haid. Beliau menegaskan bahwa setiap darah yang merupakan kebiasaan sebagai darah haid maka itu adalah haid. Namun apabila darah tersebut keluar secara terus-menerus, yang demikian itu bukanlah haid [8].

Hal-hal terlarang karena haid

Hal-hal yang dilarang karena sedang haid, diantaranya:

1. salat [9], dengan catatan bahwa tidak perlu mengqada salat setelah bersuci dari haid, kecuali puasa [10];

2. puasa [11];

3. tawaf di Baitullah [12];

4. menyentuh mushaf Al-Quran [13];

5. duduk dan berdiam di masjid [14];

6. berhubungan badan [15];

7. talak [16];

8. menjalani ‘iddah dengan hitungan bulan [17].

Hal-hal yang dibolehkan saat haid

Hal-hal yang dibolehkan saat haid, diantaranya:

1. pergaulan suami-istri kecuali berhubungan badan [18];

2. mendatangi tempat pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha serta mendengarkan khutbah, kalimat-kalimat yang baik dan seruan kaum muslimin [19];

3. melaksanakan amal ibadah seperti zikir, doa, dan haji, serta umroh (kecuali tawaf di Baitullah) [20].

Nifas

Darah yang keluar dari rahim yang disebabkan oleh kelahiran, baik yang keluar bersama bayi baik satu, dua, atau tiga hari sebelum atau setelahnya sampai batas waktu tertentu merupakan definisi dari nifas [21]. Batas minimum nifas adalah tidak terbatas, sedangkan batas maksimumnya adalah empat puluh hari [22].

Pada dasarnya, nifas merupakan darah haid itu sendiri yang sebelumnya tertahan karena kehamilan sehingga hukumnya adalah sama dengan hukum haid kecuali dalam beberapa keadaan, diantaranya:

1. ‘Iddah; nifas tidak dapat dijadikan sebagai hitungan ‘iddah, sedangkan haid bisa.

2. Masa al-i’laa (sumpah). Bisa dipergunakan hitungan masa haid, tetapi tidak masa nifas.

3. Balig; seseorang bisa dinilai balig dengan haid, namun tidak dengan nifas sebab usia balig lebih dulu datang sebelum nifas [23].

Istihadah

Mengalirnya darah secara terus menerus di luar waktu haid yang disebabkan oleh sakit dan gangguan dari (sejenis) keringat mulut yang terdapat di bagian bawah rahim yang biasa disebut “al-‘adzil” [24].

Perbedaan darah haid dan istihadah

Tiga perbedaan umum antara darah istihadah dan darah haid, yaitu:

1. Darah haid adalah hitam dan kental dan memiliki bau anyir. Adapun darah istihadah adalah merah yang tidak memiliki bau.

2. Darah haid keluar dari dalam rahim. Adapun darah istihadah keluar dari bagian bawah rahim berupa keringat.

3. Darah haid adalah darah alami yang keluar pada waktu-waktu tertentu. Adapun darah istihadah merupakan darah penyakit yang tidak terikat pada waktu tertentu [25].

Keadaan wanita istihadah

Terdapat tiga keadaan wanita yang mengalami istihadah, diantaranya:

1. Masa haidnya diketahui sebelum dia mengalami istihadah. Dalam keadaan demikian, masa yang diketahui itu termasuk sebagai waktu haid dan berlaku baginya hukum haid. Adapun darah yang keluar setelah itu merupakan istihadah [26].

2. Wanita yang istihadah tidak mempunyai waktu haid yang rutin sebelum istihadah itu datang, akan tetapi ia bisa membedakan antara darah haid dengan darah istihadah (27).

3. Wanita yang tidak memiliki waktu-waktu haid yang pasti serta tidak dapat membedakan antara darah haid dan darah istihadah. Maka hendaklah ia menghitung hari haidhnya seperti hari haid pada umumnya wanita (6-7 hari) yang dimulai dari pertama kali dia mengetahui keluarnya darah, dan selebihnya dihitung sebagai istihadah (28).

Ketentuan hukum bagi wanita istihadah

Hukum taklifi bagi seorang wanita istihadah sama dengan wanita yang suci sebagaimana umumnya seperti salat, puasa, i’tikaf, menyentuh musfah dan sebagainya, kecuali dalam beberapa hal berikut:

1. Tidak diwajibkan baginya mandi besar [29].

2. Wajib berwudu ketika ingin salat dengan mencuci bekas darah dari rahimnya dan menahannya dengan kain (pembalut) [30].

Kesimpulan

Pengetahuan dan ilmu tentang perkara haid, nifas dan istihadah merupakan fardu ‘ain bagi setiap hamba Allah Ta’ala khususnya kaum wanita muslimah sebagai wujud dari upaya dalam menggapai kesempurnaan ibadah salat. Maka kepada setiap wanita muslimah hendaklah mengetahui perihal ini. Begitu pula kepada kaum pria muslim agar dapat membimbing istri, anak, dan keluargnya kepada kemurnian dan kesempurnaan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Wallahu’alam.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66515-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-7.html

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 5): Mengusap Khuff, Penutup Kepala, Perban dan Bagian yang Terluka

  1. Hukum Mengusap Khuff

Mengusap khuff (sepatu) dilakukan dengan cara tertentu, di bagian tertentu dan di waktu tertentu sebagai ganti dari membasuh kedua kaki pada saat berwudhu [1]. Mengusap khuf disyariatkan dalam al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana firman Allah Ta’ala

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْ

“… Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. al-Maidah : 6)

Banyak sekali hadits-hadits shahih yang membahas tentang mengusap khuf [2] sehingga ‘Ali bin Abi Thalib sempat berkata :

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian

atas khufnya.” (HR. Abu Daud, no. 162)

Mengusap khuff merupakan bentuk keringanan (rukhsoh) yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. Alangkah baiknya apabila keringanan tersebut kita ambil sebagai wujud syukur kepada Allah Ta’ala sebab Rasulullah shallallahualaihi wasallam pernah bersabda :

اِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ اَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ اَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sesungguhnya Allah suka jika keringanan dari-Nya dilakukan sebagaimana Dia tidak suka kemaksiatan kepada-Nya dilakukan” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan al-Khatib)

  1. Syarat Mengusap Khuff

Terdapat tujuh hal yang menjadi syarat dibolehkannya mengusap Khuf sebagai ganti membasuh kedua kaki saat berwudhu [3] :

  1. Suci dari hadats. [4]
  2. Mengusap Khuff berlaku untuk bersuci dari hadats kecil saja. [5]
  3. Jangka waktu; bermukim (1 hari 1 malam) dan musafir (3 hari 3 malam). [6]
  4. Khuff suci dari najis. [7]
  5. Khuff harus menutupi bagian yang dibasuh. [8]
  1. Khuff harus yang halal untuk dikenakan (bukan hasil curian/berbahan sutera). [9]
  2. Tidak melepas khuf sebelum berakhir jangka waktunya. [10]
  1. Hal-hal yang membatalkan Mengusap Khuff

Tiga hal yang dapat membatalkan sahnya mengusap khuf [11], yaitu :

  1. Berhadats besar yang mengharuskan mandi [12]
  2. Melepas khuff, batallah wudhunya [13]
  3. Masa berlaku mengusap Khuff telah berakhir [14]
  1. Cara Mengusap Khuff, Kaos Kaki, dan Penutup Kepala

Mengusap kedua khuff dilakukan dengan mengusap bagian atasnya dengan meletakkan tangan kanan di atas khuff sebelah kanan dan tangan kiri di atas khuff sebelah kiri. Kemudian mengusap bagian atas keduanya dengan sekali usapan [15].

Adapun cara mengusap kaos kaki sama persis seperti mengusap kedua khuff [16]. Sedangkan mengusap bagian atas sorban dan penutup kepala wanita (kerudung) dilakukan dengan mengusap bagian ubun-ubun dan menyempurnakannya dengan mengusap bagian atas sorban dan kerudung [17].

  1. Mengusap Perban

Syaikh al-‘Allamah bin Bazz rahimahullah mengungkapkan bahwa mengusap bagian atas perban adalah disyari’atkan karena mengusap kedua khuff pada hakikatnya adalah rukhsoh dari Allah yang semestinya kita manfaatkan sehingga mengusap bagian atas perban menjadi hal yang lebih utama. Begitu pula sebab kedaruratannya tidak ada batasan waktu yang ditetapkan dalam masalah mengusap perban tersebut [18].

Perlu kita ketahui pula bahwa antara mengusap perban dan mengusap khuff terdapat perbedaan yang mesti difahami [19], yaitu :

  1. Boleh mengusap bagian atas perban saja, apabila berbahaya jika membukanya. Sedangkan khuff kebalikannya.
  2. Diharuskan memperluas usapan bagi perban. Sedangkan khuff boleh diusap sebagian saja.
  3. Pengusapan perban tidak dengan batasan waktu. Sedangkan mengusap khuff dengan waktu tertentu.
  4. Diperbolehkan mengusap perban pada saat hadits kecil dan besar. Sedangkan khuff hanya pada hadats kecil saja.
  5. Tidak disyaratkan bersuci sebelum menutup perban. Adapun khuff kebalikannya.
  6. Perban tidak dikhususkan pada anggota badan tertentu,

sedangkan khuff khusus untuk kaki saja.

  1. Mengusap Bagian yang Terluka

Apabila terdapat luka pada tubuh yang menjadi bagian yang harus dibersihkan dengan berwudhu, maka perlu difahami ketentuan syariat yang memandu tatacara bersuci dengan kondisi tersebut [20], yaitu :

  1. Apabila bagian yang luka tidak berbahaya jika dibasuh, maka bagian tersebut mesti dibasuh.
  2. Apabila bagian terluka berbahaya jika dibasuh, namun tidak berbahaya apabila diusap, maka bagian luka tersebut wajib diusap.
  3. Apabila bagian yang luka berbahaya dibasuh dan diusap, maka diperbolehkan baginya bertayammum atau hendaklah ia perban bagian yang luka tersebut kemudian mengusap perbannya.
  4. Apabila bagian yang luka tertutup oleh perban, gips atau pelekat maka cukup baginya mengusap bagian yang tertutup itu dan tidak perlu dibasuh dengan air.

Catatan Kaki:

[1] Lihat Kitab Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, 2/266.

[2] Lihat Kitab asy-Syarhul Mumti ‘alaa Zaadil Mustaqni’ (I/183), dan Kitab Fathul-Baari (I/306)

[3] Lihat Kitab “Sholatul Mu’min” (71/621)

[4] Lihat Kitab “al-Wudhu” Bab “Idza Adkhala Rijlaihi wa Huma

Thaahiraini” no. 206.

[5] Lihat Kitab Fataawa al-Mashu ‘alal Khuffain Karya Ibnu ‘Utsaimin hlm 8.

[6] Lihat Kitab “al-Mughniy” (I/369) Karya Ibnu Qudamah.

[7] Lihat Kitab Fataawaa al-Islamiyyah (I/235)

[8] Lihat Kitab Syarhul Umdah fii Fiqh Karya Ibnu Taimiyah hlm 250.

[9] Lihat Kitab Syarhul Mumti’ (I/189)

[10] Lihat Kitab “al-Mughniy” (I/367) Karya Ibnu Qudamah.

[11] Lihat Kitab “Sholatul Mu’min” (74/621)

[12] Lihat Kitab “al-Kabir” no. 7351 Karya at-Thabrani

[13] Lihat Kitab “al-Mughniy” (I/367) Karya Ibnu Qudamah.

[14] Lihat Kitab at-Thaharah hlm 257 karya Ibnu Taimiyyah.

[15] Lihat Kitab “al-Mughniy” (I/377) Karya Ibnu Qudamah.

[16] Lihat Kitab “at-Thaharah” Bab “al-Mashu ‘alal Jaurabaini” no. 159 Karya Abu Dawud.

[17] Lihat Kitab “Bulughul Maraam”, hadits 145-147.

[18] Ibid

[19] Lihat Kitab “Sholatul Mu’min” (77/621)

[20] Lihat Kitab “Fataawaa alal Khuffain” karya Ibnu ‘Utsaimin, hlm 25.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/61442-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-5-mengusap-khuff-penutup-kepala-perban-dan-bagian-yang-terluka.html

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 4): Seputar Wudhu dan Tayammum

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 3): Najis dan Cara Menyucikannya.

Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan tentang macam-macam najis dan bagaimana cara menyucikan dari najis tersebut. Selanjutnya pada artikel ini kami akan membahas seputar wudhu dan tayamum.

Pembahasan tentang wudhu akan membahas tentang hal yang mewajibkan seseorang untuk berwudu, hal yang dianjurkan seseorang untuk berwudu.

Sedangkan untuk tayamum akan membahas terakit hukum tayamum, syarat sah tayamum, tata cara tayamum, hal yang membatalkan tayamum, cara bersuci jika tidak ada air dan debu, mendapati air setelah tayamum dan salat.

Simak penjelasan berikut ini.

Wudu

Wudu merupakan rukun salat yang apabila tidak dilakukan maka ibadah salat sama sekali tidak sah. Wudu memiliki keutamaan yang sangat banyak, seperti: tanda kemuliaan di hari kiamat [1], mendapatkan ampunan [2], jaminan surga [3], pembersihan dosa [4], dan meninggikan derajat [5].

Hal yang mewajiban berwudu

Terdapat tiga jenis ibadah yang dapat mewajibkan seseorang berwudu, yaitu: salat, tawaf, dan menyentuh mushaf Al-Quran.

Pertama: salat

Wudu sebelum melaksanakan salat baik fardu maupun sunah merupakan kewajiban yang bersifat mutlak, sebagiamana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. al-Maidah: 6).

Kedua: tawaf di Baitullah

Sebelum melaksanakan tawaf di Baitullah ada kewajiban mutlak yang harus ditunaikan yakni berwudu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Aisyah Radhiallahu’anha,

“Kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh orang yang mengerjakan ibadah haji kecuali bertawaf di Baitullah hingga kamu bersuci” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tawaf di Baitullah disebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salat sehingga berwudu pun menjadi syarat sebelum berthawaf. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tawaf di Baitullah adalah salat …” (HR. an-Nasai dan at-Trmidzi).

Ketiga: menyentuh mushaf

Al-Quran merupakan mushaf yang berisi kalamullah yang patut untuk mendapatkan penghormatan tertinggi dari seorang hamba-Nya. Oleh karenanya, sebelum menyentuhnya untuk melantunkan kalamullah tersebut wajib bagi seorang muslim untuk berwudu terlebih dahulu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak ada yang boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci (bersuci terlebih dahulu -pen.)” (HR. Malik, ad-Daraquthni dan al-Hakim, dari hadis ‘Amr bin Hazm dan Hakim bin Hizam serta Ibnu Umar Radhiallahu’anhum).

Hal disunahkan untuk berwudu

Syaikh As-Sa’di merangkum sepuluh keadaan yang karenanya disunahkan seseorang untuk berwudu [6] diantaranya,

a. Sebelum berzikir dan berdoa kepada Allah [7].
b. Wudu pada saat akan tidur [8].
c. Wudu setiap kali berhadas [9].
d. Wudu setiap kali salat [10].
e. Wudu setelah menunaikan fardhu kifayah (mengusung mayit) [11].
f. Wudu setelah muntah [12].
g. Wudu setelah mengonsumsi makanan yang tersentuh api [13].
h. Wudu bagi orang yang junub apabila hendak makan [14].
i. Wudu apabila hendak mengulangi hubungan badan [15].
j. Wudu bagi orang yang junub apabila hendak tidur sebelum mandi [16].

Tayamum

Tayamum merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala yang dilakukan dengan menggunakan debu bersih untuk mengusap wajah dan tangan dengan niat menghilangkan hadas bagi yang tidak mendaptkan air atau tidak bisa menggunakannya [17]. Tayamum disyariatkan apabila ada sebab seperti adanya halangan menggunakan air, baik dikarenakan ketiadaan air atau adanya bahaya apabila menggunakannya.

Hukum tayamum

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. al- Maidah: 6).

Selain dalil Al-Quran, dalil-dalil sahih dari As-Sunnah pun banyak yang menjelaskan tentang syariat tayamum sebagai ganti dari berwudu dengan air sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Syarat sah tayamum

a. Apabila tidak menemui air [18].
b. Tayamum pada bagian yang tidak terkena air [19].
c. Kemungkinan bahaya apabila menggunakan air [20].
d. Adanya halangan syar’i untuk mendapatkan air [21].

Tata cara tayamum

a. Berniat di dalam hati [22].
b. Membaca “bismillah” [23].
c. Menepukkan kedua telapak tangan ke debu yaang suci dengan sekali tepukan kemudian mengusapkan kedua telapak tangan tersebut ke wajah [24].
d. Mengusap kedua tangan dari ujung jari hingga pergelangan tangan [25].

Hal yang membatalkan tayamum

a. Semua sebab yang membatalkan wudu [26].
b. Adanya (ditemukannya) air untuk wudu [27].

Bersuci jika tidak ada air dan debu

Kita diwajibkan untuk bersuci dengan air. Bilamana ada sebab yang menghalangi kita menggunakan air -sebagaimana dijelaskan sebelumnya – maka boleh bertayammum dengan tanah yang suci. Namun demikian, apabila tidak mampu melakukan tayammum baik karena tidak adanya debu yang suci atau adanya sebab yang membahayakan jika kita menyentuh debu tersebut atau adanya halangan yang syar’i [28], maka gugurlah kwajiban taharah dan kita boleh mengerjakan salat dalam keadaan yang kita alami [29][30][31][32].

Menemukan air setelah bertayamum dan salat

Tidak perlu mengulangi salat apabila kita telah bertayamum dan telah melaksanakan salat meskipun masih ada waktu salat tersebut. Sebab seorang yang tidak mengulangi wudu dan salat sejatinya telah mengamalkan sunah sesuai dengan kamampuan. Namun, disisi lain tidak ada salahnya bagi orang yang mengulangi wudu kemudian salat sebab ia mendapakan pahala salatnya yang pertama (dengan tayamum) dan salatnya yang kedua (dengan wudu). Namun yang dimaksudkan disini adalah adanya upaya untuk menepati sunah [33].

Saudaraku, selaku umat muslim yang menginginkan pahala yang banyak dari Allah dengan melakukan ibadah yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu pengetahuan tentang wudu dan tayamum secara paripurna mesti kita kejar untuk mendapatkannya. Sebab dengan mengetahui celah-celah pahala yang bisa kita peroleh dari setiap ibadah wajib dan sunah maka insyaallah adalah anugerah yang sangat berharga yang tidak semua muslim bisa mendapatkannya, wallahu’a’lam bi as-shawab.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya serta mengikuti jejak petunjuk Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Bersambung]

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id