Menyambut Ramadan, Bulan Penuh Kebaikan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila telah masuk Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka Jahanam dikunci, dan setan-setan dirantai.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadan, suatu bulan yang penuh dengan berkah. Allah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa di bulan itu. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Pada bulan itu, setan-setan yang bandel pun dibelenggu. Pada bulan itu, Allah memiliki suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang dari kebaikan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i. Hadis dinyatakan jayyid oleh Syekh Al-Albani dalam Al-Misykat.)

Satu dua hari menjelang Ramadan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi orang yang sedang menjalani puasa tertentu, maka silahkan dia melakukan puasa pada saat itu.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelum Ramadan dengan alasan untuk kehati-hatian. Dibolehkan puasa pada hari-hari itu hanya bagi orang yang punya kebiasaan puasa sunah (misal, senin-kamis atau puasa Daud) kemudian bertepatan dengan hari itu atau bagi orang yang punya utang puasa Ramadan atau punya nazar puasa. (lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 166)

Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa larangan dalam hadis ini secara lahiriah mengandung makna pengharaman. Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh. Salah satu hikmah larangan ini adalah larangan sikap tanaththu’/berlebih-lebihan dalam beragama dan larangan dari melampaui batas-batas ketentuan yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Adapun bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadan atau puasa nazar, maka pada saat itu berpuasa bukan lagi keringanan baginya, akan tetapi menjadi sebuah kewajiban. Oleh sebab itu, dia wajib untuk berpuasa, karena menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada meninggalkan sesuatu yang makruh. (lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:442, cet. Maktabah Al-Aidi)

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini mengandung bantahan bagi orang yang berpendapat bolehnya mendahulukan puasa sebelum ru’yah semacam kaum Rafidhah/Syi’ah. Selain itu, ia juga mengandung bantahan bagi orang yang membolehkan puasa sunah muthlaq (puasa sunah tanpa sebab tertentu) pada hari-hari tersebut. (lihat Fath Al-Bari, 4: 151, cet. Dar Al-Hadits)

Menentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilal

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya (hilal Syawal), maka berharirayalah. Apabila ia tertutup mendung atas kalian, maka kira-kirakanlah.” (Muttafaq ‘alaih)

Al-Maziri rahimahullah berkata, “Mayoritas fuqaha’/ahli fikih menafsirkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ‘maka kira-kirakanlah’ dengan maksud menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari sebagaimana ditafsirkan dalam hadis yang lain. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dimaknakan bahwa yang dimaksud adalah dengan menggunakan hisab/perhitungan para ahli perbintangan. Karena seandainya umat manusia dibebani dengan cara itu, niscaya akan menyulitkan bagi mereka. Sebab, tidak ada yang mengetahuinya, kecuali beberapa gelintir orang saja. Padahal, syariat itu diperkenalkan kepada umat manusia hanya melalui hal-hal yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang di antara mereka, wallahu a’lam.” (lihat Syarh Muslim, 4: 415)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (jumhur ulama) mengatakan, ‘Maksud sabda beliau ‘kira-kirakanlah’ artinya perhatikanlah pada awal bulan dan hitung bulan itu sempurna menjadi tiga puluh hari. Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain yang secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah sebagaimana keterangan dalam sabda beliau, “maka, sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari” atau riwayat lain yang serupa. Dan cara paling tepat dalam menafsirkan suatu hadis adalah dengan melihat kepada hadis pula.” (lihat Fath Al-Bari, 4: 142)

Apabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah ketika sudah melihatnya (hilal Ramadan) dan berharirayalah ketika sudah melihatnya (hilal Syawal). Apabila ia terhalang dari pandangan kalian karena asap/awan, sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (Muttafaq ‘alaih)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Berdasarkan hadis-hadis ini, jelaslah bahwasanya tidak boleh dilakukan puasa Ramadan sebelum tampaknya hilal. Apabila hilal belum terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Dan tidak boleh dilakukan puasa pada tanggal tiga puluhnya, sama saja apakah malamnya langit cerah ataupun mendung. Hal ini berdasarkan ucapan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu, ‘Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Bukhari juga menyebutkannya secara mu’allaq/tanpa sanad).” (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 17 cet. Dar Al-‘Aqidah)

Tidak boleh puasa pada hari yang diragukan

Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (yaitu, tanggal 30 Sya’ban saat malam harinya tertutup mendung, pent), maka dia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”)

Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh kebanyakan para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabiin sesudah mereka. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka membenci apabila seseorang berpuasa pada hari yang diragukan….” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 172)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya berpuasa pada hari yang diragukan, karena seorang sahabat tidak mungkin mengucapkan hal itu semata-mata berdasarkan hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, hadis ini dihukumi marfu’ (sebagaimana sabda nabi).” (lihat Fath Al-Bari, 4: 141)

Berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah hari di saat kalian bersama-sama puasa, sedangkan hari raya adalah di saat kalian berhari raya, dan Iduladha adalah hari tatkala kalian menyembelih kurban.” (HR. Tirmidzi disahihkan oleh Syekh Al-Albani)

Imam Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud hadis ini adalah bahwasanya puasa dan hari raya itu mengikuti jama’ah (pemerintah) dan kebanyakan orang.” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 174)

Dari Al-‘Aizar, dia menceritakan, “Aku datang kepada Ibrahim pada hari yang diragukan. Maka, dia berkata, ‘Barangkali kamu sedang puasa. Jangan puasa, kecuali bersama jama’ah (masyarakat dan pemerintah, pent).’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no.9585)

Dari Ja’far bin Sulaiman, dari Habib bin Asy-Syahid, bahwa Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh, aku berbuka sehari di bulan Ramadan dalam keadaan tidak sengaja lebih aku sukai daripada aku harus berpuasa pada hari yang diragukan pada bulan Sya’ban.” Ja’far mengatakan, Asma’ bin ‘Ubaid mengabarkan kepadaku. Dia berkata, “Kami datang kepada Muhammad bin Sirin pada hari yang diragukan. Kami pun berkata, ‘Apa yang harus kami lakukan?’ Maka, beliau berkata kepada pembantunya, ‘Pergilah, coba lihat apakah amir (penguasa) berpuasa atau tidak?’” Dia berkata, “Pada saat itu, yang menjadi amir adalah Adi bin Arthah. Kemudian dia kembali dan melapor, ‘Aku menjumpai beliau tidak berpuasa.’ Asma’ berkata, ‘Muhammad (Ibnu Sirin) meminta makanannya dihidangkan, lalu dia pun makan dan kami ikut makan bersamanya.’” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf)

Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/92332-menyambut-bulan-penuh-kebaikan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id