Hudaibiyah Jadi Pilihan Miqat Jamaah Indonesia

Jamaah haji Indonesia mengisi waktu mereka di Makkah dengan melakukan umrah sunah. Mereka  memilih titik mula (miqat) berumrah dari Masjid Hudaibiyah. Alasannya, memilih miqat di kawasan tersebut untuk sekaligus menapaktilasi perjuangan Nabi Muhammad SAW beserta sahabatnya.

Meski begitu, jarak antara miqat Hudaibiyah dan Makkah sekitar 38 kilometer sebagaimana ditunjukkan aplikasi peta telepon seluler. Untuk menuju kawasan itu jamaah haji menggunakan bus yang disewa secara berombongan dan beberapa dikoordinasi oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).

Masjid Hudaibiyah itu terletak di pinggiran kota Mekkah yaitu di Jalan Jeddah Lama. Tengara masjid ini menjadi salah satu tujuan wisata rohani jamaah dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di dekat kawasan masjid tersebut terdapat juga Benteng Hudaibiyah yang juga menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah haji yang ingin dalam satu waktu melakukan wisata rohani.

Sebagai titik miqat umrah, Hudaibiyah sejatinya memiliki nilai historis yang tinggi bagi perjuangan Islam di masa Rasulullah Muhammad SAW. Di tempat inilah terjadi Perjanjian Hudaibiyah antara Muslimin dan musyrikin Quraisy untuk gencatan senjata selama 10 tahun.

Terdapat butir-butir perjanjian penting lainnya yang akhirnya menjadi titik tolak Muslimin untuk menaklukkan kota Makkah dari kekuasaan musyrikin karena terjadi pelanggaran perjanjian oleh Kafir Quraisy. Kaum musyrikin ditengarai melakukan penyerangan atas sekutu Muslimin di mana tindakan itu tidak boleh dilakukan selama Perjanjian Hudaibiyah berlaku.

Penaklukan yang dikenal sebagai Fatkhul Mekkah itu terjadi tanpa ada pertumpahan darah dan awal Muslimin bisa menguasai kota dengan Ka’bah dan Masjidil Haram itu. Setelah penaklukan, Muslimin bisa menghancurkan berhala-berhala jahiliyah di sekitar Ka’bah.

Kendati memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, Masjid Hudaibiyah cenderung kurang terawat jika dibanding miqat umrah lain seperti Masjid Ji’ronah dan Masjid Tan’im. Salah satu pengukurnya adalah karpet yang cenderung usang jika dibanding di Ji’ronah dan Tan’im. Selain itu, toilet dan tempat wudhu di Masjid Hudaibiyah relatif kurang bersih dan sesekali tercium aroma tidak sedap.

Tempat parkir di Hudaibiyah juga kurang luas yaitu bus peziarah hanya bisa berhenti di pinggiran jalan saja. Berbeda dengan di Ji’ronah yang memiliki parkir luas, toilet dan tempat wudhu lebih bersih dan tempat lebih nyaman untuk shalat.

REPUBLIKA

Resapi Makna Miqat, Jamaah Jangan Tinggi Hati

Miqat atau tempat berniat dan ber-ihram sebagai titik awal ibadah haji bukanlah sekadar penanda telah dimulainya ritual haji dan umrah. Ada makna mendalam yang dapat menjadi hikmah menuju kehidupan Muslim sejati.

Apabila melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat di Bir Ali atau Dzul Hulaifah yang terletak kira-kira 8 mil di sebelah selatan Madinah atau Miqat yang lain. Sementara bagi penduduk Makkah atau orang yang bermukim, bisa dari rumah atau tempat pemondokannya.

“Disinilah sang aktor (manusia) harus berganti pakaian. Mengapa demikian? Karena pakaian akan menutupi diri dan watak manusia,”terang khotib wukuf di Arafah KH Miftakhul Akhyar, Minggu (11/09/2016).

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa pakaian melambangkan pola, preferensi, status dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian melahirkan batas palsu yang menyebabkan perpecahan atau diskriminasi di antara umat manusia. Selanjutnya, perpecahan akan timbul konsep ‘aku’, bukan ‘kami/kita’.

“Aku digunakan dalam konteks-konteks seperti rasku, kelasku, kelompokku, kedudukanku, keluargaku, nilai-nilaiku, bukan sebagai manusia,” ujar Wakil Rais Aam PBNU tersebut.

Walhasil, terjadilah hubungan vertikal sesama manusia, ada yang menjadi tuan dan yang diperhamba, yang zalim dan yang madzlum (terzalimi), ada yang kaya dan miskin, yang berasal dari Barat dan yang berasal dari Timur.

“Umat manusia terpecah-pecah menjadi berbagai ras, bangsa, kelas, subkelas, kelompok, dan keluarga yang masing-masing di antaranya memiliki status, nilai, nama, dan kehormatannya sendiri. Tetapi apa gunanya semua itu dimiliki? Yang tidak lain hanya untuk menonjolkan ” diri sendiri yang tertutup oleh lapisan ‘bedak’ yang amat tebal itu,”urai Kiai Miftah.

Maka, keberadaan dan fungsi miqat, di matanya, sebagai tempat menanggalkan segala status dunia. Digantikan dengan selembar kain putih saja yang melekat di tubuh.

“Janganlah tinggi hati karena kalian semua di sini bukan untuk mengunjungi seorang manusia, tetapi hendaklah kalian semua (khususnya bangsa Indonesia) berendah hati karena kalian sedang mengunjungi Allah SWT. Hendaklah kalian semua menjadi manusia yang menyadari kefanaan yang menyadari eksistensi Allah SWT,” jelas Kiai Miftah.

Ia berharap, jamaah Indonesia meninggalkan semua pakaian dunia di miqat dan berganti peran sebagai Nabi Adam AS dan para Anbiya’ (nabi) dan Rasul bahkan para ulama, auliyah, dan manusia-manusia tangguh di sisi Alah selama wukuf, tawaf hingga sa’i nanti.

OKEZONE

 

Di Mana Saja Lokasi Miqat?

Suara pramugari Garuda Indonesia tujuan Jakarta-Jeddah yang terdengar melalui pengeras suara mengabarkan bahwa pesawat segera melintas di atas Yalamlam. Yalamlam berjarak sekitar 125 kilometer dari Kota Makkah, Arab Saudi, dan merupakan lokasi miqat bagi jamaah haji yang berasal dari Yaman maupun negara-negara di sebelah timur Makkah.

Sejumlah orang terlihat mengantre di toilet pesawat untuk memulai ihram. Sebagian lainnya sudah mengenakan ihram sejak dari tanah air. Namun, ada lebih banyak orang yang memilih melakukan miqat di Bandara Internasional
King Abdul Aziz Jeddah.

Bandara Jeddah memiliki terminal khusus untuk menerima jamaah haji dan umrah. Terminal ini dilengkapi berbagai fasilitas seperti kamar mandi dan mushala yang dapat digunakan oleh 80 ribu peziarah pada waktu bersamaan.
Bahkan pada musim haji, otoritas setempat sudah mengatur area untuk setiap negara pengirim jamaah haji di terminal ini.

Begitu pesawat mendarat di Bandara Internasional King Abdul Aziz, jamaah atau petugas akan diantarkan ke area yang memang diperuntukan bagi negara asal. Jamaah atau petugas asal Indonesia akan menuju Plasa Indonesia. Kesibukan di bandara ini pun tidak hanya sekadar mengantre bagasi atau mengangkut koper, namun juga orang-orang yang sedang mengambil miqat.

Miqat berarti batas. Orang yang melintasi miqat yang telah ditentukan maka wajib untuk mengenakan pakaian ihram dan berniat ihram. Hal ini berlaku tanpa terkecuali bagi setiap jamaah haji dan umrah yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Ada dua miqat. Pertama, miqat zamany atau batas berdasarkan waktu. Miqat zamany terkait dengan pelaksanaan ibadah haji. Miqat zamany terdiri atas tiga bulan, mulai dari Syawal hingga Dzulhijah. Kedua, miqat makany atau batas berdasarkan tempat.

Miqat berdasarkan tempat ini biasanya digunakan tidak hanya untuk berhaji, namun juga umrah. Selain Yalamlam, ada empat tempat miqat yang dikenal oleh jamaah asal Indonesia. Yaitu, Masjid Dzul Hulaifah atau Bir Ali yang menjadi miqat penduduk Madinah, Masjid Tan’im atau dikenal juga sebagai Masjid Aisyah, Ji’ranah, dan Masjid Al Hudaibiyah

 

 

sumber: Republika Online

Bir Ali, Lokasi Penduduk Madinah Bermiqat

Masjid Dzulhulaifah atau Bir Ali merupakan tempat miqat bagi penduduk Madinah atau jamaah yang hendak menunaikan ibadah haji atau umrah dan melewati Kota Madinah. Rasulullah SAW melakukan miqat dari Bir Ali. Jamaah haji asal Indonesia gelombang pertama akan melakukan miqat di Bir Ali.

Saya pun menyimpan keinginan untuk melakukan miqat dari Bir Ali. Niat itu tercapai ketika saya menyambangi Madinah pada pekan kedua Oktober. Ketika kembali ke Makkah, kami melakukan miqat di masjid yang sanggup menampung lima ribu jamaah ini.

Senyum langsung merekah di wajah saya ketika melihat bangunan berwarna cokelat muda yang memiliki menara setinggi 62 meter itu. Masjid yang dibangun sejak 87 hijriah ini terlihat kokoh, apik, luas, dan multifungsi. Masjid ini memiliki banyak fasilitas karena berfungsi sebagai stasiun singgah bagi para jamaah yang bepergian.

Kita bisa melihat parkir mobil yang luas dan perkebunan kurma di luar masjid. Ketika masuk ke dalam lingkungan masjid, ada juga pasar yang menjual kebutuhan jamaah haji. Masjid berbentuk persegi yang terbagi menjadi dua bagian. Di bagian tengah masjid, terdapat lapangan dengan tanaman yang tertata rapi.

Kebersihan masjid juga sangat terjaga. Selanjutnya, saya menuju tempat wudhu perempuan. Tempat wudhu di masjid ini sangat nyaman dan bersih. Ada petugas yang siap membantu, sebagian berasal dari Indonesia. Masjid juga dilengkapi dengan ruangan untuk mengganti pakaian dengan ihram.

Selesai berihram, saya dan teman-teman meninggalkan Masjid Bir Ali sembari bertalbiyah. Saya mengucapkan selamat tinggal Madinah dengan perasaan bahagia lantaran bisa mengunjungi dan melakukan miqat masjid yang menjadi miqat Rasulullah SAW.

 

Oleh: Ratna Puspita, Wartawan Republika