Membedakan antara Fakir, Miskin, dan Gharim

Pada asalnya, tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dalam hal kebutuhan (sama-sama masih membutuhkan) dan mereka berhak menerima zakat. Namun, perbedaannya terletak pada siapa yang lebih membutuhkan karena beratnya dan besaran kebutuhannya.

Namun, jika digali lebih dalam, maka ada perbedaan antara fakir dan miskin. Orang fakir adalah orang yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak meminta-minta kepada manusia. Sedangkan orang miskin adalah orang yang membutuhkan, memiliki beberapa harta benda, tetapi tidak mencukupinya dan dia meminta-minta kepada manusia. Oleh karenanya, penyebutan orang fakir didahulukan dari semua golongan yang berhak menerima zakat. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.[1]

Karena mereka (fakir) lebih membutuhkan dibandingkan orang lain dan keadaannya yang paling buruk. Mereka mungkin mempunyai hambatan yang menghalangi mereka untuk mencari nafkah, atau mereka mungkin tidak dapat mencari nafkah karena alasan-alasan tertentu. Sehingga orang yang tidak mengenal mereka menganggap bahwa mereka cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاء الَّذِينَ أُحصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.[2]

Adapun orang miskin sebagaimana yang disebutkan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun, orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain.[3]

Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih berhak menerima zakat adalah orang yang tidak meminta kepada manusia, yang tidak menampakkan kebutuhannya (kemiskinannya), dan tidak mendapati sesuatu yang dapat mencukupi dirinya. Adapun orang miskin adalah orang yang masih mendapati sesuatu untuk mencukupinya dengan meminta-minta kepada manusia dan menampakkan kemiskinannya. Hal ini diperkuat dengan firman Allah Ta’ala,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي البَحْرِ

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.[4]

Allah Ta’ala menamakan mereka dengan orang-orang miskin, padahal mereka memiliki kapal dan bekerja di dalamnya.

Adapun Gharim adalah orang yang memiliki utang dan berat untuk membayar dan melunasinya. Bisa jadi statusnya masih sebagai orang kaya dan bisa jadi pula statusnya tergolong fakir atau miskin. Maka, zakat boleh diberikan kepada orang fakir, miskin, gharim, dan yang selainnya dari golongan yang berhak menerima zakat selama dengan zakat tersebut tidak membantu mereka di dalam kemaksiatan.

Oleh karenanya, orang-orang yang ingin membayar atau menyalurkan zakat lebih mengutamakan dan mendahulukan mereka (golongan penerima zakat) yang dikenal baik agamanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ولا ينبغي أَنْ يُعْطِيَ الزكاةَ لِمَن لا يستعين بها على طاعة الله؛ فإنَّ الله تعالى فَرَضَها معونةً على طاعته لِمَنْ يحتاجُ إليها مِن المؤمنين كالفقراء والغارمين، أو لمن يُعاوِنُ المؤمنين؛ فمَنْ لا يصلِّي مِن أهل الحاجات لا يُعطى شيئًا حتى يتوبَ ويلتزمَ أداءَ الصلاةِ في وقتها.

Dan tidak boleh memberikan zakat kepada seseorang yang tidak menggunakannya untuk menaati Allah. Karena Allah Ta’ala telah menitipkannya sebagai pertolongan ketaatan kepada-Nya bagi orang-orang mukmin yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin dan orang-orang yang berutang, atau bagi orang-orang yang menolong orang-orang mukmin. Barangsiapa yang tidak salat di antara orang-orang yang membutuhkan, maka ia tidak diberi apa-apa sampai ia bertobat dan menunaikan salat tepat waktu.[5]

***

Penulis: Junaidi, S.H., M.H.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

https://ferkous.com/home/?q=fatwa-726

Catatan kaki:

[1] QS. At-Taubah: 60.

[2] QS. Al-Baqarah: 273.

[3] HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039.

[4] QS. Al-Kahfi: 79.

[5] Ikhtiyarat Ibni Taimiyah oleh Al-Ba’li, hal 103.

Sumber: https://muslim.or.id/93084-membedakan-antara-fakir-miskin-dan-gharim.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Tambah Miskin, Tambah Zuhud?

“Tambah miskin, tambah zuhud.” Apakah tagline ini benar?

Kalau Anda katakan, “iya”, berarti  apakah Anda juga mengatakan sekaliber Nabi Sulaiman dan Dawud Alaihimus salaam yang memiliki kerajaan yang begitu luasnya, merupakan orang yang tidak zuhud?

Lalu apa juga yang akan Anda katakan untuk sahabat sekelas ‘Abdurahman bin ‘Auf, yang jika hartanya dikumpulkan dapat menyentuh angka ribuan triliun? Belum lagi bagaimana dengan Abu Bakar yang dikenal pebisnis tersukses sejak dari era jahiliah? Atau ‘Utsman bin ‘Affan yang banyak “ngebayarin” kebutuhan perkembangan Islam di waktu itu yang mirip dengan Abu Bakar? ‘Abdullah bin Mubarak seorang tabiin yang terkenal, bukankah ia juga banyak hartanya, dan mampu menghajikan satu kampung dengan uangnya?

Lagi pula, tidak terdapat hadis yang mengatakan hal itu; kalau mau jadi zuhud harus miskin dulu.

Karena zuhud itu memang amalan hati, bukan penilaian atas dasar fisik saja.

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya mengenai seseorang yang memiliki uang 1000 dinar. Apakah ia bisa disebut sebagai orang yang zuhud? Jawab beliau, “Iya, bisa saja. Asalkan ia tidaklah terlalu berbangga dengan bertambahnya harta dan tidaklah terlalu bersedih dengan harta yang berkurang” (Madarij As-Salikin, 2: 11, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3: 138).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

الزُّهْدُ تَرْكُ مَالاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ وَالوَرَعُ : تَرْكُ مَا تَخَافُ ضَرَرَهُ فِي الآخِرَةِ

“Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat [1]. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat.”

Ibnul Qayyim rahimahullah lantas berkata, “Itulah pengertian zuhud dan wara’ yang paling bagus dan paling lengkap” (Madarij As-Salikin, 2: 10, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3: 138).

Jika sampai ada yang masih bersikeras mengatakan orang zuhud harus miskin, maka ia dapat masuk kategori zuhud yang kelewat batas, karena telah berani mengharamkan apa yang Allah Ta’ala halalkan. Menjadi kaya dalam Islam tidak dilarang. Halal-halal saja. Jadi, mengapa mengharamkannya karena alasan zuhud?

Hasan Al Basri rahimahullah mengatakan,

ليس الزهد في الدنيا بتحريم الحلال ولا إضاعة المال

“Bukanlah zuhud itu dengan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan” (Madarijus Salikin, 2: 15).

Selama kekayaan yang dimiliki bermanfaat dan tidak menjadikannya terlena dengan dunia, seperti para orang zuhud di atas, maka tentu hal ini terpuji dan termasuk zuhud.

Begitu juga yang miskin. Bukan berarti mereka zuhud. Karena zuhud juga keadaan pilihan. Bukan keadaan yang memang tidak memiliki pilihan. Apalagi orang miskin banyak yang berharap kepada manusia dan meminta-minta, yang mana hal tersebut sama sekali bukan zuhud. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersbada,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».

“Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idiy, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu’” (HR. Ibnu Majah no. 4102. Syekh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).

Maka kemiskinan bukan tanda pasti zuhud. Sebagaimana kekayaan juga bukan berarti tidak zuhud.

Jakarta, 16 Agustus 2021

***

Penulis: Muhammad Halid Syarie, Lc.

Catatan Kaki:

[1] Penjelasan “meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat” dapat dilihat pada artikel Rumaysho Meninggalkan Hal yang Tidak Bermanfaat.

Sumber: https://muslim.or.id/70355-tambah-miskin-tambah-zuhud.html

Siapakah Orang yang Termasuk Fakir Miskin?

Pembahasan mengenai golongan orang yang termasuk fakir atau miskin ini terkait dengan banyak hal. Diantaranya masalah zakat, fidyah, dan kafarah. Lalu siapa saja yang tergolong orang miskin atau fakir?

Definisi miskin telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,

ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

“Orang miskin bukan hanya yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain” (HR. Bukhari no. 1479, Muslim no.1039).

Yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamdalam hadis di atas adalah orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain,

إنَّما المِسْكِينُ الذي يَتَعَفَّفُ، واقْرَؤُوا إنْ شِئْتُمْ يَعْنِي قَوْلَهُ: {لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إلْحَافًا}

“Sesungguhnya orang miskin adalah yang menjaga kehormatannya. Bacalah firman Allah ta’ala: [mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan memaksa] (QS. Al-Baqarah: 273)” (HR. Bukhari no. 4539).

Dalam riwayat lain,

ولَكنَّ المسْكينَ المتعفِّفُ وفي زيادةٍ ليسَ لَهُ ما يستغني بِهِ الَّذي لا يسألُ ولا يُعلمُ بحاجتِهِ فيتصدَّقَ عليْهِ

Orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan) adalah yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak meminta-minta, tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya” (HR. Abu Daud no. 1632, didha’ifkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Daud).

Namun ‘ala kulli haal, dari hadis ini, para ulama menyimpulkan kaidah umum tentang patokan miskin, yaitu orang yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Disebutkan dalam Mu’jam Al-Wasith,

المِسْكِينُ : من ليس عنده ما يكفي عياله، أَو الفقير

“Miskin adalah orang yang tidak mendapati penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Disebut juga dengan fakir”.

Dalam Mu’jam Musthalahat Fiqhiyyah juga disebutkan,

الذي لا يجد قوته، وقيل: هو الذي لا يملك قوت يومه والفقير من لا يملك قوت سنته، لكن على كل حال حكمهما واحد

“Orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagian ulama mengatakan: orang yang tidak dapat memenuhui kebutuhan pokoknya untuk sehari. Sedangkan fakir adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya untuk setahun. Namun ‘ala kulli haal, fakir dan miskin dianggap sama dalam hukum”.

Contohnya, orang yang kebutuhan pokoknya sehari adalah 100 ribu rupiah, namun penghasilannya hanya 75 ribu rupiah. Maka orang ini tergolong miskin.

Dan cara mengetahui apakah seseorang itu termasuk miskin atau tidak boleh dengan dua cara:

  1. Diketahui secara pasti bahwa penghasilan orang tersebut kurang dari kebutuhannya
  2. Berdasarkan ghalabatuz zhan (sangkaan kuat) bahwa penghasilan orang tersebut kurang dari kebutuhannya

Al-‘Allamah Al-Buhuti rahimahullah menjelaskan,

ولا يجوز دفع الزكاة إلا لمن يعلم أنه من أهلها و يظنه من أهلها؛ لأنه لا يبرأ بالدفع إلى من ليس من أهلها، فاحتاج إلى العلم به لتحصل البراءة، والظن يقوم مقام العلم؛ لتعذر أو عسر الوصول إليه

“Dan tidak boleh memberikan zakat kecuali kepada orang yang diketahui pasti bahwa ia termasuk yang berhak menerimanya, atau disangka kuat ia termasuk yang berhak menerimanya. Maka di sini dibutuhkan pengetahuan yang pasti sehingga muzakki bisa dikatakan lepas dari tanggungan zakat. Atau sangkaan kuat yang kadarnya selevel dengan ilmu, jika memang ada uzur dan kesulitan untuk memastikan” (Kasyful Qina’, 2/339).

Perbedaan antara fakir dan miskin

Ulama khilaf tentang perbedaan antara fakir dan miskin, dan manakah yang lebih membutuhkan antara keduanya?

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,

أن المراد بالفقير: المحتاج المتعفف الذي لا يسأل، والمسكين: المحتاج المتذلل الذي يسأل

“Yang dimaksud fakir adalah orang yang membutuhkan dan ia menjaga kehormatannya dengan tidak minta-minta. Sedangkan miskin adalah orang yang membutuhkan yang menghinakan dirinya dengan minta-minta” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/308).

Berbeda lagi dengan Al-Khathabi rahimahullah, beliau menjelaskan Abu Hurairah di atas, dengan mengatakan,

في الحديث دليل على أن المسكين – في الظاهر عندهم والمتعارف لديهم- هو السائل الطواف

“Hadis ini menunjukkan bahwa miskin adalah orang yang suka berkeliling minta-minta (berdasarkan apa yang dipahami oleh para salaf)” (Ma’alimus Sunan, 2/232).

Dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar (hal. 144) disebutkan: “fakir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhan pokok dirinya dan kebutuhan pokok keluarganya, berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Ia tidak mendapati apa-apa. Atau ia mendapat kurang dari 50% kebutuhan pokoknya. Maka orang seperti ini hendaknya diberi zakat untuk mencukupi kebutuhannya selama 1 tahun penuh.

Miskin adalah orang yang mendapati penghasilan yang mencukupi 50% kebutuhan pokoknya atau lebih (namun tidak sampai genap 100%). Seperti orang yang penghasilannya 100 riyal, namun ia butuh 200 riyal. Maka orang seperti ini juga hendaknya diberi zakat untuk mencukupi kebutuhannya selama 1 tahun penuh”.

Ringkasnya, khilaf ulama dalam masalah ini menjadi 3 pendapat:

Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa fakir itu lebih parah dan membutuhkan daripada miskin.

Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa miskin itu lebih parah dan membutuhkan daripada fakir.

Pendapat ketiga, yang menyatakan bahwa fakir dan miskin itu sama.

Yang rajih, fakir dan miskin itu jika disebutkan bersendirian maka ia sama, namun ia jika disebutkan bergandengan maka fakir lebih parah dan lebih membutuhkan daripada miskin.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, “Perbedaan antara fakir dan miskin, jika keduanya disebutkan bersamaan, maka fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Karena kata ‘fakir’ diambil dari kata al-faqr yang artinya: tidak ada apa-apa. Orang Arab biasa berkata: hadza ardhun faqrun, maksudnya: ini tanah yang kosong tidak ada tumbuhan … adapun jika disebutkan bersendirian maka maknanya sama ” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 3/206).

Baik fakir maupun miskin, keduanya sama-sama berhak diberi zakat, fidyah dan juga kafarah. Karena mereka berdua sama secara hukum. Syekh Abdul Aziz bin Baz, mengatakan,

المسكين هو الفقير الذي لا يجد كمال الكفاية، والفقير أشد حاجة منه، وكلاهما من أصناف أهل الزكاة

“Miskin adalah orang fakir yang penghasilannya tidak sampai kadar mencukupi. Dan fakir itu lebih butuh daripada miskin. Namun keduanya termasuk golongan penerima zakat” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 14/265).

Orang yang punya aset harta apakah disebut miskin?

Jika ada orang yang mengaku miskin, namun ia memiliki rumah, atau memiliki smart phone, atau memiliki mobil, dan semisalnya, apakah ia tetap dianggap miskin dan boleh menerima zakat dan fidyah?

Allah ta’ala menyebutkan perkataan Nabi Khidhir ‘alaihissalam,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (QS. Al-Kahf: 79).

Dalam ayat ini disebutkan orang-orang miskin mereka memiliki perahu. Padahal kita tahu perahu adalah kendaraan yang harganya tidak murah. Namun mereka gunakan perahu ini untuk mencari penghasilan. Maka tetap mengubah status mereka sebagai orang miskin.

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan,

وجملة ذلك أنه إذا ملك مالا تتم به كفايته من غير الأثمان، فان كان مما لا تجب فيه الزكاة كالعقار ونحوه لم يكن ذلك مانعا من أخذها. نص عليه أحمد فقال في رواية محمد بن الحكم: إذا كان له عقار يستغله أو ضيعة تساوي عشرة آلاف أو أقل أو أكثر لا تقيمه يأخذ من الزكاة، وهذا قول الثوري والنخعي والشافعي وأصحاب الرأي

“Kesimpulannya, jika ia memiliki harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan bukan berupa uang, jika harta tersebut termasuk harta yang tidak wajib dizakati, seperti al ‘aqar (aset pasif) atau semisalnya, maka ini tidak menghalangi dia untuk menerima zakat. Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ahmad. Dalam riwayat dari Muhammad bin Al-Hakam, Imam Ahmad berkata: “Jika ‘aqar itu terus ia manfaatkan atau ia memiliki tanah yang disewakan seharga 10.000 riyal atau kurang dari itu atau lebih dari itu maka ia boleh menerima zakat”. Ini juga pendapat Ats-Tsauri, An-Nakha’i, Asy-Syafi’i dan Ash-habur Ra’yi (Hanafiyah)” (Asy-Syarhul Kabir, 2/687).

Dari penjelasan beliau, bisa kita simpulkan beberapa poin:

  1. Jika orang miskin memiliki aset, dan aset tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, dan penghasilannya tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, maka ia tetap dikatakan orang miskin dan boleh menerima zakat. Seperti orang yang memiliki rumah dan tanah, namun rumah dan tanah tersebut ia gunakan untuk tempat tinggalnya. Maka ia boleh menerima zakat.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz juga pernah ditanya, “Apakah boleh saya memberi zakat mal kepada seorang yang sudah menikah, ia memiliki anak perempuan yang masih kecil, dan ia memiliki mobil taksi. Mobil taksi tersebut ia gunakan untuk mencari penghidupan rata-rata sebesar 700 junaih. Dan terkadang di bulan yang lain ia tidak gunakan mobil tersebut karena ia juga bekerja sebagai pegawai pemerintah dengan gaji 150 junaih”.

إذا كنت تعلمين أنه فقير، وأنه عرض له حاجة وفقر فلا بأس، وإلا فالذي عنده أسباب تقوم بحاله لا يعطى الزكاة

“Jika anda tahu pasti dia adalah orang yang fakir, dan ia memang orang yang membutuhkan, maka tidak mengapa memberi zakat kepadanya. Jika tidak demikian, dan orang tersebut punya sebab-sebab lain untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia tidak diberi zakat” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 15/326).

  1. Jika orang miskin memiliki aset yang sifatnya sekunder atau tersier, bukan untuk kebutuhan primernya, maka ia tidak dikatakan miskin dan tidak boleh menerima zakat. Seperti orang yang memiliki mobil namun bukan untuk mencari penghasilan, orang yang memiliki rumah lain selain rumah tinggalnya, orang yang memiliki tanah selain yang ia tinggali, dan semisalnya.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz ditanya tentang orang yang punya banyak hutang, namun ia baru membeli rumah baru, apakah ia boleh diberi zakat sebagai gharim (orang yang berhutang)? Beliau menjawab,

إذا كان اشترى البيت الجديد للتجارة أو لمزيد الدنيا وعنده بيت يكفيه فلا يستحق الزكاة، بل يبيع بيته الجديد ويوفي ما عليه من الدين، أو يلتمس ذلك من جهات أخرى؛ لأنه ليس فقيراً

“Jika orang tersebut membeli rumah yang baru untuk usaha atau untuk menambah perbendaharaan dunia dia, sedangkan ia sudah memiliki rumah lain yang mencukupinya (untuk tempat tinggal), maka ia tidak berhak menerima zakat. Bahkan seharusnya ia menjual rumah barunya tersebut dan melunasi hutangnya. Atau mencari uang dengan cara lainnya. Karena ia bukan orang fakir” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 15/330).

  1. Jika orang miskin memiliki aset yang wajib dizakati, seperti emas dan perak, barang dagangan yang nilainya besar, dan semisalnya, maka ia tidak dikatakan miskin dan tidak boleh menerima zakat.

Maka jelaslah bahwa orang mengaku miskin namun ia memiliki aset harta tidak bisa dipukul rata statusnya. Ada yang tetap berhak menerima zakat dan ada yang tidak berhak menerima zakat.

Jika yang diberi zakat ternyata orang yang berkecukupan

Ketika seseorang sudah membayarkan zakatnya kepada orang yang berhak menerimanya, setelah berupaya memastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang layak menerima zakat, kemudian jika setelah itu baru diketahui ternyata si penerima zakat tersebut adalah orang berada dan bukan orang miskin. Bagaimana status zakatnya?

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

وذهب بعض أهل العلم : إلى أنه إذا دفعها إلى من يظن أنه أهل بعد التحري ، فبان أنه غير أهل فإنها تجزئه ؛ حتى في غير مسألة الغني ؛ أي: عموما ؛ لأنه اتقى الله ما استطاع لقوله تعالى: ( لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ) البقرة/ 286 ، والعبرة في العبادات بما في ظن المكلف بخلاف المعاملات فالعبرة بما في نفس الأمر، ويصعب أن نقول له : إن زكاتك لم تقبل مع أنه اجتهد، والمجتهد إن أخطأ فله أجر، وإن أصاب فله أجران

وهذا القول أقرب إلى الصواب أنه إذا دفع إلى من يظنه أهلا مع الاجتهاد والتحري فتبين أنه غير أهل فزكاته مجزئة

“Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya, setelah berupaya untuk memastikan ia berhak. Kemudian jika setelah dibayarkan, baru diketahui fakta bahwa ia orang yang tidak berhak menerima zakat, maka zakatnya tetap sah. Dan kaidah ini berlaku juga untuk masalah-masalah lain, secara umum. Karena orang yang membayar zakat tadi telah berusaha bertakwa kepada Allah semaksimal kemampuannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya) : “Bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. Al-Baqarah: 286). Dan yang dianggap dalam ibadah adalah keadaan yang diketahui oleh mukallaf. Berbeda dengan urusan muamalah, yang dianggap adalah fakta senyatanya. Sehingga sulit untuk mengatakan “zakat anda tidak sah”. Padahal ia telah berijtihad. Dan orang yang berijtihad itu jika keliru maka dapat satu pahala, dan jika benar ia dapat dua pahala.

Ini adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Yaitu bahwa jika seseorang menyerahkan zakat kepada orang yang ia sangka berhak menerimanya, setelah berupaya untuk memastikan, kemudian ternyata si penerima tidak layak, maka zakatnya tetap sah” (Syarhul Mumthi‘, 6/264).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65814-siapakah-orang-yang-termasuk-fakir-miskin.html

10 Sebab Senantiasa Merasa Miskin Dan Kurang Harta

Ketahuilah bahwa semua rezeki itu dari Allah Ta’ala. Terkadang Allah luaskan rezeki kepada seseorang, terkadang Allah sempitkan. Tugas kita adalah menerima semua putusan Allah dengan sabar, syukur dan qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang Allah karuniakan. Inilah kunci kebahagiaan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قد أفلحَ من أسلمَ ، ورُزِقَ كفافًا ، وقنَّعَه اللهُ بما آتاهُ

“Sungguh beruntung orang yang sudah berislam, lalu Allah beri rezeki yang secukupnya, dan Allah jadikan hatinya qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang dikaruniakan kepadanya” (HR. Muslim no. 1054).

Namun kebanyakan kita terkalahkan oleh hawa nafsu sehingga merasa tidak pernah cukup. Demikianlah umumnya manusia, betapapun banyak yang Allah berikan, terasa tidak pernah cukup. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ

“Andai bani Adam memiliki dua lembah yang penuh dengan harta, maka dia akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi perut bani Adam kecuali tanah (yaitu kematian)” (HR. Bukhari no.6436 dan Muslim no.1048).

Terkadang, betapapun banyak yang Allah berikan, masih saja seseorang merasa miskin dan kurang. Sehingga hidupnya tidak pernah bahagian karena terkungkung oleh perasaannya yang senantiasa merasa kurang.

Maka, mari kita kenali sebab-sebab seseorang senantiasa merasa miskin dan merasa kurang, semoga kita bisa merenungkan dan mengambil faedah darinya.

Seseorang akan terus merasa miskin dan kurang ketika:

1. Karena tujuan hidup dan ambisi terbesarnya masih mencari dunia, bukan akhirat

Orang yang ambisi terbesarnya adalah dunia, Allah jadikan kefakiran di depan matanya, ia merasa miskin terus. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

Barangsiapa ambisi terbesarnya adalah dunia, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran di depan matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali sesuai apa yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang ambisi terbesarnya adalah akhirat, Allah akan memudahkan urusannya, Allah jadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam ia tidak menyangkanya” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no. 950).

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

محب الدنيا لا ينفك من ثلاث : هم لازم و تعب دائم و حسرة لا تنقضي

“pecinta dunia tidak lepas dari 3 hal: kegalauan yang terus-menerus, keletihan yang terus-menerus, dan kekecewaan yang tiada berakhir” (Ighatsatul Lahafan, 1/37).

2. Karena jahil terhadap ilmu agama

Ilmu membuat pemiliknya jauh dari cinta dunia, dan sadar bahwa akhirat adalah tujuan. Allah Ta’ala mengisahkan tentang Qarun:

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ

Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar“” (QS. Al Qashash: 79-80).

Orang yang berilmu akan paham kekayaan hakiki bukanlah kaya harta benda, namun kekayaan hakiki adalah kaya hati. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Bukanlah kekayaan itu adalah banyaknya harta benda, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati” (HR. Muslim no.6446, Muslim no. 1051).

3. Karena mengikuti bisikan setan dengan melakukan maksiat dan berbuat bid’ah

Karena setanlah yang menakut-nakuti dengan kefakiran lalu menyuruh manusia berbuat maksiat, bid’ah dan kesyirikan demi untuk mencari dunia. Allah Ta’ala berfirman:

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui” (QS. Al Baqarah: 268).

Orang yang terbawa oleh bisikan setan ini akan terus merasa kurang dan kurang, sehingga akhirnya ia menjalani jalan-jalan yang haram untuk mendapatkan harta.

4. Karena banyak bergaul dengan orang kaya, kurang bergaul dengan orang miskin

Orang yang banyak bergaul dengan orang-orang kaya, yang memiliki harta lebih banyak darinya, ia akan menganggap remeh nikmat Allah yang ia dapatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang berada di bawah kamu, dan jangan lihat orang yang berada di atas kamu, karena dengan begitu kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kamu” (HR. Bukhari – Muslim).

Banyak bergaul dengan orang-orang yang miskin dan lemah akan melembutkan hati dan menjauhkan jiwa dari cinta dunia. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata

أنَّ رجلا شكا إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ قسوةَ قلبِه فقال له إنْ أردتَ تَليينَ قلبِكَ فأطعمِ المسكينَ وامسحْ رأسَ اليتيمِ

“Ada seorang yang mengeluhkan kerasnya hatinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda kepada orang tersebut: “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, berilah makanan pada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim” (HR. Ahmad, 2/ 263, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 854).

5. Kurang mensyukuri nikmat-nikmat yang kecil

Jika hal-hal kecil tidak disyukuri, maka nikmat-nikmat yang besar tidak akan disyukuri dan terus merasa kurang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَن لا يشكرُ القَليلَ لا يَشكرُ الكثيرَ

“Orang yang tidak mensyukuri yang sedikit, ia tidak akan bersyukur pada nikmat yang banyak” (HR. Ahmad no. 18449, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.3014).

6. Hati yang sakit dan mati

Sehingga tidak memiliki tawakkal, husnuzhan billah, qana’ah, syukur, dan ibadah-ibadah hati lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar:

أَفَتَرى قِلَّةَ المالِ هو الفقرَ ؟ . قلتُ : نعم يا رسولَ اللهِ ! قال : إنما الغنى غنى القلبِ ، و الفقرُ فقرُ القلبِ

“Apakah kalian menyangka kefakiran itu adalah kekurangan harta?”. Abu Dzar menjawab: “iya wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kekayaan hakiki itulah kekayaan hati, dan kefakiran itu adalah kefakiran hati” (HR. Ibnu Hibban no.685, Al Hakim no. 7929, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 827).

Hati yang sehat akan merasakan ketenangan dan manisnya iman, tidak ada perasaan susah karena kurangnya harta. Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4).

7. Kurang ibadah

Karena Allah menjanjikan orang yang banyak beribadah akan diberikan rasa lapang di dada dan akan dicegah dari kefakiran. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يقولُ يا ابنَ آدمَ : تَفَرَّغْ لعبادَتِي أملأْ صدركَ غِنًى وأسُدُّ فقرَكَ ، وإِنْ لَّا تفعلْ ملأتُ يديْكَ شُغْلًا ، ولم أسُدَّ فقْرَكَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Wahai manusia! Habiskan waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kecukupan dan akan Aku tutup kefaqiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefaqiranmu’” (HR. At Tirmidzi no. 2466, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Maka perbanyaklah ibadah dan ikhlaslah dalam beribadah, niscaya Allah akan berikan kecukupan.

8. Penghasilan atau pekerjaannya haram

Karena harta yang haram tidak ada keberkahan di dalamnya, semua yang didapatkan akan terasa kurang dan sedikit kebaikannya. Contohnya harta riba, Allah Ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

“Allah menghancurkan harta riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al Baqarah [2]: 276).

Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يَدْخُلُ الجنةَ لحمٌ نبت من السُّحْتِ، وكلُّ لحمِ نبت من السُّحتِ ؛ كانتِ النارُ أوْلَى به

“Tidak masuk surga, daging yang tumbuh dari harta haram. Setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka api neraka lebih layak baginya” (HR. Ahmad no.15284, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah[6/214]).

9. Tidak mau bekerja dan malas

Ketika seseorang tidak mau berusaha dan malas mencari rezeki bagaimana mungkin ia lepas dari kefakiran? Maka bagi laki-laki, tidak boleh malas dan enggan bekerja. Umar radhiyallahu ‘anhu:

يا معشر القراء (أي العباد) ارفعوا رؤوسكم، ما أوضح الطريق، فاستبقوا الخيرات، ولا تكونوا كلاً على المسلمين

“Wahai para pembaca Qur’an (yaitu ahli ibadah), angkatlah kepada kalian (baca: bekerjalah!), sehingga teranglah jalan. Lalu berlombalah dalam kebaikan. Dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).

Para lelaki kaum Muslimin tidak boleh malas bekerja, karena mereka bertanggung-jawab memenuhi nafkah keluarganya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو

تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah. Namun setiap Mukmin itu baik. Semangatlah pada perkara yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam perkara tersebut), dan jangan malas. JIka engkau tertimpa musibah, maka jangan ucapkan: andaikan saya melalukan ini dan itu. Namun ucapkan: “qadarullah wa maa-syaa-a fa’ala (ini takdir Allah, apa yang Allah inginkan itu pasti terjadi)”. Karena ucapkan “andaikan…” itu akan membuka pintu setan” (HR. Muslim no. 2664).

10. Jarang berdoa

Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan banyak doa-doa agar terhindar dari kefakiran. Diantaranya:

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran… ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur… tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau” (HR. Abu Daud no.5092, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam beliau biasa berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

(Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, keterjagaan, dan kekayaan)” (HR. Muslim no. 2721, At Tirmidzi no. 3489, Ibnu Majah no. 3105, Ibnu Hibban no. 900 dan yang lainnya).

Dan doa-doa lainnya yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah.

Maka pembaca yang budiman, mari kita kenali dan renungkan poin-poin di atas, dan kita tumpas segera sehingga kita terbebas dari perasaan selalu miskin dan selalu kurang.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

**

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim. Or.Id

Kiat Rasulullah Agar Muslim Terhindar Kemiskinan

DALAM banyak hadis, Rasulullah saw menyebut kiat agar Muslimin terhindar dari kemiskinan.

Rasulullah bersabda: Bila kalian masuk rumah hendaknya mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Bila rumah itu kosong, hendaknya mengucapkan dan membaca surat Al Ikhlas, karena itu mencegah kemiskinan.

2. Mengulang kalimat azan bersama muazin. Ada seorang sahabat mengadukan kemiskinan yang dialaminya, kemudian Rasulullah bersabda: Tirukanlah kalimat-kalimat azan ketika muazin mengucapkannya.

3. Membasuh muka denga air mawar. Rasulullah bersabda: Siapa hendak keluar untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian ia membasuh mukanya dengan air mawar, maka hajatnya akan dipenuhi dan ia tidak akan ditimpa kemiskinan.

4. Mencuci dua tangan sebelum dan sesudah makan. Rasulullah bersabda: Mencuci tangan sebelum makan mencegah kemiskinan dan mencuci sesudahnya mencegah kesumpekan.

5. Menyisir jenggot setelah berwudhu. Rasulullah bersabda: Menyisir jenggot setelah berwudhu mencegah kemiskinan.

6. Berperilaku hemat. Rasulullah bersabda: Aku menjamin bahwa orang yang hemat tak akan jatuh miskin.

7. Memakan makanan yang tercecer. Rasulullah bersabda: Siapa memungut makanan yang tercecer , lalu memakannya, maka kemiskinan akan menjauh darinya dan anak-anaknya hingga tujuh turunan.

8. Memakai cincin firuz dan akik. Rasulullah bersabda: Orang yang memakai cincin firus tidak akan jatuh miskin. Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda, bahwa cincin akik mencegah kemiskinan dan kemunafikan.

9. Membaca seratus kali setiap hari. Rasulullah Saw bersabda: Sesiapa membaca seratus kali setiap hari, maka ia akan mendapat kekayaan, menolak kemiskinan, menutup pintu neraka dan membuka pintu surga.

10. Membaca surat Al Bayyinah. Rasulullah Saw bersabda: Siapa membaca surat Al Bayyinah, tak akan dimasuki keraguan dalam agamanya dan tak akan diuji Allah dengan kemiskinan.

11. Menyisir rambut. Rasulullah bersabda: Menyisir rambut mencegah kemiskinan dan menghilangkan penyakit.

12. Membaca surat Al Waqiah setiap malam. Rasulullah bersabda: Siapa membaca surat Al Waqiah setiap malam, tidak akan jatuh miskin selamanya.

13. Menyapu rumah. Rasulullah bersabda: Menyapu rumah menghilangkan kemiskinan.

14. Menyalakan lampu sebelum gelap. Rasulullah bersabda: Menyalakan lampu sebelum matahari tenggelam mencegah kemiskinan.

15. Selalu menjaga wudhu. Rasulullah bersabda: Wudhu sebelum dan sesudah makan mencegah kemiskinan dan menambah rezeki.[]

Sumber: Buku Mutiara Tersembunyi Warisan Nabi

INILAH MOZAIK

Ingin Terhindar dari Kemiskinan dan Dilimpahi Keberkahan? Lakukan Amalan Ini

SIAPA yang mau menjadi fakir, pasti tidak ada? Setiap orang ingin jauh dari kefakiran dan berharap hidupnya dilimpahi keberkahan dari Allah SWT. Namun, bagaimana caranya?

Menurut Syekh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki dalam kitabnya Madza fi Sya’ban, amalan ini mampu menjauhkan dari kefakiran dan bahkan mendatangkan keberkahan. Amalan tersebut adalah membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. (Allahummu shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad).

Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Samurah bin Jundub yang dinukilkan Abu Na’im al-Ashfahani mengisahkan, suatu ketika seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan bertanya mengenai amalan apa yang paling disukai Allah.

“Perkataan jujur dan menyampaikan amanat,” jawab Rasul.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Shalat malam dan puasa ketika musim panas,” jawab Rasul.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Banyak berzikir dan membaca shalawat untukku karena ini akan menghindarkan kefakiran darinya,” ungkap Rasulullah.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Jika seseorang dari kalian menjadi imam, hendaknya mempersingkat bacaan, karena bisa jadi (makmum) ada yang sudah tua, sakit, dan lemah,” pesan Rasul.

Dalam riwayat lainnya dari Sahal bin Sa’ad mengisahkan, suatu ketika datang seorang sahabat menghadap Rasulullah. Ia mengadukan kesempitan ekonomi dan kemiskinan yang menderanya.

Rasulullah berpesan kepadanya, ”Jika memasuki rumahmu, ucapkanlah salam ada atau tidak ada orang di dalam, kemudian bacalah shalawat lalu baca surah al-Ikhlas sekali.”

Sahabat tersebut lantas mempraktikkan amalan yang diberikan Rasulullah tersebut. Beberapa waktu kemudian, sang sahabat diberikan harta melimpah, bahkan ia akhirnya mampu berbagi dengan tetangga-tetangganya. []

Sumber: Republika.

ISLAMPOS


Tips Agar Terhindar dari Kemiskinan

DALAM banyak hadis, Rasulullah saw menyebut kiat agar Muslimin terhindar dari kemiskinan.

Rasulullah bersabda: “Bila kalian masuk rumah hendaknya mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Bila rumah itu kosong, hendaknya mengucapkan dan membaca surat Al Ikhlas, karena itu mencegah kemiskinan.”

Mengulang kalimat azan bersama muazin. Ada seorang sahabat mengadukan kemiskinan yang dialaminya, kemudian Rasulullah bersabda: “Tirukanlah kalimat-kalimat azan ketika muazin mengucapkannya.”

Membasuh muka denga air mawar.Rasulullah bersabda: “Sesiapa hendak keluar untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian ia membasuh mukanya dengan air mawar, maka hajatnya akan dipenuhi dan ia tidak akan ditimpa kemiskinan.”

Mencuci dua tangan sebelum dan sesudah makan.Rasulullah bersabda: “Mencuci tangan sebelum makan mencegah kemiskinan dan mencuci sesudahnya mencegah kesumpekan.”

Menyisir jenggot setelah berwudhu.Rasulullah bersabda: “Menyisir jenggot setelah berwudhu mencegah kemiskinan.”

Berperilaku hemat.Rasulullah bersabda: “Aku menjamin bahwa orang yang hemat tak akan jatuh miskin.”

Memakan makanan yang tercecer.Rasulullah bersabda: “Sesiapa memungut makanan yang tercecer , lalu memakannya, maka kemiskinan akan menjauh darinya dan anak-anaknya hingga tujuh turunan.”

Memaki cincin firuz dan akik. Rasulullah bersabda: “Orang yang memakai cincin firus tidak akan jatuh miskin. “Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda, bahwa cincin akik mencegah kemiskinan dan kemunafikan.

9. Membaca seratus kali setiap hari.Rasulullah Saw bersabda: “Sesiapa membaca seratus kali setiap hari, maka ia akan mendapat kekayaan, menolak kemiskinan, menutup pintu neraka dan membuka pintu surga.”

10. Membaca surat Al Bayyinah.Rasulullah Saw bersabda: “Siapa membaca surat Al Bayyinah, tak akan dimasuki keraguan dalam agamanya dan tak akan diuji Allah dengan kemiskinan.”

11. Menyisir rambut.Rasulullah bersabda: “Menyisir rambut mencegah kemiskinan dan menghilangkan penyakit.”

12. Membaca surat Al Waqiah setiap malam.Rasulullah bersabda: “Sesiapa membaca surat Al Waqiah setiap malam, tidak akan jatuh miskin selamanya.”

13. Menyapu rumah. Rasulullah bersabda: “Menyapu rumah menghilangkan kemiskinan.”

14. Menyalakan lampu sebelum gelap.Rasulullah bersabda: “Menyalakan lampu sebelum matahari tenggelam mencegah kemiskinan.”

15. Selalu menjaga wudhu. Rasulullah bersabda: “Wudhu sebelum dan sesudah makan mencegah kemiskinan dan menambah rezeki.”[ ]

Sumber: Buku Mutiara Tersembunyi Warisan Nabi

INILAH MOZAIK

Mau Jadi Orang Kaya atau Miskin?

Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa?

Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.

Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi semata?

Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya yang tidak pernah tenang.

Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?

Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::

Dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)”[1].

Inilah jawaban dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan wahyu Allah  Pencipta alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati.

Maha benar Allah ‘Azza wa Jalla yang berfirman:

{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).

Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[2].

Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”[3].

Apa yang dijelaskan dalam hadits ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena kebutuhannya tidak pernah tercukupi.

Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram). Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena (sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak (terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup) dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”[4].

Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.

Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan menjadikan rezki yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan baginya bisa bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.

Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya semakin menderita dan sengsara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”[5].

Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[6].

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Read more https://pengusahamuslim.com/6853-mau-jadi-orang-kaya-atau-miskin.html

Kemiskinan Bukan dari Allah Tapi Diri Sendiri

BILA berkenan, isilah titik-titik di bawah ini. Mohon dijawab dengan jujur, sesuai dengan apa yang tersirat dan berkelebat cepat di dalam hati kita masing-masing.

1. Allah menciptakan TERTAWA dan …
2. Allah itu MEMATIKAN dan …
3. Allah menciptakan LAKI-LAKI dan …
4. Allah memberikan KEKAYAAN dan ……
Barangkali, mayoritas kita akan memberikan jawaban seperti ini:
1. MENANGIS
2. MENGHIDUPKAN
3. PEREMPUAN
4. KEMISKINAN

Marilah kita mencocokkan jawaban kita itu dengan apa yang telah Allah firmankan dalam rangkaian firman Allah SWT di Surat An-Najm (53), ayat: 43-45, dan 48. Semua pertanyaan di atas terjawab sebagai berikut:
“dan Dia-lah yang menjadikan orang TERTAWA dan MENANGIS.” (QS. 53:43).

“dan Dia-lah yang MEMATIKAN dan MENGHIDUPKAN.” (QS. 53:44).

“dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan LAKI-LAKI dan PEREMPUAN. ” (QS. 53:45).

“dan Dia-lah yang memberikan KEKAYAAN dan KECUKUPAN.” (QS. 53:48).
Ternyata jawaban kita umumnya hanya BENAR untuk pertanyaan no satu sampai 3. Jawaban kita untuk no 4 umumnya keliru, tak sesuai dengan firman Allah tersebut.

Jawaban Allah Ta’ala dalam Alquran sebagai antonym kekayaan bukanlah KEMISKINAN, tetapi KECUKUPAN.
Karena sesungguhnya Allah Ta’ala hanya menciptakan dan memberi KEKAYAAN serta KECUKUPAN kepada hamba-Nya. Bukan kemiskinan.
Bukankah ternyata yang menciptakan KEMISKINAN adalah diri kita sendiri? Hal ini bisa terjadi karena ketidakadilan ekonomi, atau mungkin kemalasan, bisa juga karena kemiskinan itu kita bentuk di dalam pola pikir kita sendiri dengan senantiasa berkeluh kesah dan membanding-bandingkan.

Jarang sekali orang menyadari bahwa mungkin saja mereka yang di dunia ini bermegah-megah, ujub dan takabur dengan kekayaannya, di akhirat nanti menjadi makhluk yang paling menyesali mengapa ia di dunia tidak amanah dalam menyikapi kekayaannya. Mengapa ia tak sadar, bahwa apa yang diterimanya itu tak lebih sekadar ujian? Mengapa matanya tak pernah terbuka bahwa sejatinya yang ia miliki adalah hibah, sadaqah, pemberian bantuan, atau apapun harta yang ia alirkan buat orang lain? Selebihnya hanya belenggu. Belenggu di dunia, rantai yang mengikatnya di akhirat.

Itulah hakikatnya, mengapa orang-orang yg senantiasa bersyukur; walaupun hidup pas-pasan ia akan tetap tersenyum dan merasa cukup, bukan merasa miskin.
Jadi, marilah kita bangun rasa keberlimpahan dan kecukupan didalam hati dan pikiran kita, agar kita menjadi hamba-Nya yang selalu BERSYUKUR. []

Sumber: medsos, dengan penambahan seperlunya.

Sumber :bersamadakwah