Manusia Sangat Bakhil karena Cinta Pada Harta

DALAM Alquran Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya manusia sangat bakhil karena kecintaannya terhadap hartanya.” (QS. Al-Aadiyaat: 8)

Ayat ini berbicara tentang sebuah kenyataan tentang tabiat manusia secara umum terkait dengan hartanya. Yaitu bahwa manusia sangat cinta terhadap hartanya. Ada pula yang menafsirkan bahwa kecintaannya terhadap harta, mendorong manusia untuk bersifat bakhil, enggan mengeluarkannya di jalan Allah.

Yang menarik dari ayat tersebut adalah bahwa Allah menyebutkan harta dengan ungkapan yang secara harfiah artinya kebaikan. Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud kebaikan dalam ayat di atas adalah harta. Begitu pula kata yang sama untuk makna yang sama terdapat dalam Surat Al-Baqarah: 180.

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan bahwa harta disebut dengan istilah kebaikan berdasarkan urf (kebiasaan), maksudnya sudah dikenal di tengah bangsa Arab bahwa yang dimaksud adalah harta, juga karena dengan harta akan dapat dilakukan berbagai kebaikan jika dikeluarkan di jalan Allah. (Tafsir Muyassar, Al-Jazairi)

Dari sini setidaknya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya harta secara langsung bukanlah sumber keburukan, meskipun kenyataannya banyak manusia yang tergelincir karenanya. Maka, enggan mencari harta dengan alasan agar tidak tergelincir bukanlah jawaban yang tepat, bahkan bisa jadi itu menjadi sebab ketergelinciran dari pintu yang lain. Karena, banyak juga keburukan yang terjadi akibat kekurangan harta.

Namun yang harus diluruskan adalah sikap kita terhadap harta, bahwa dia bukanlah tujuan dan sumber kebahagiaan itu sendiri, tapi sarana untuk mendapakan kemuliaan dalam kehidupan dan merelisasikan kebaikan untuk meraih kebahagiaan.

Dengan paradigma seperti ini seseorang akan semangat berusaha meraih harta dan menyalurkannya dengan cara yang halal. Bahkan dalam surat Al-Araf ayat 32, Allah mengisyarat kan bahwa tujuan Dia menciptakan harta (perhiasan dunia) pada hakikatnya adalah untuk orang beriman.

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”

Maka, cinta harta atau mengejar harta tidak dapat secara mutlak dikatakan buruk. Sebab, selain cinta harta memang dasarnya adalah fitrah, diapun dapat menjadi pintu kebaikan yang banyak selama digunakan dengan benar. Imam Bukhari meriwayat kan dalam Al-Adabul Mufrad-nya, dari Amr bin Ash, dia berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku untuk menemuinya dengan membawa perlengkapan pakaian dan senjata. Maka aku datang menghadap beliau saat beliau sedang berwudu, lalu dia memandangiku dari atas hingga bawah. kemudian berkata, “Wahai Amr, aku ingin mengutusmu dalam sebuah pasukan, semoga Allah memberimu ghanimah dan aku ingin engkau mendapatkan harta yang baik.”

Maka aku berkata, “Sungguh, aku masuk Islam bukan karena ingin harta. Tapi aku masuk Islam karena Islam dan agar aku dapat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Amr, sebaik-baik harta, adalah milik orang yang saleh.”

Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini setidaknya memberikan dua pesan kepada kita;
1. Semangat membina diri agar menjadi orang saleh dan
2. Semangat berusaha agar menjadi orang kaya

Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar dan zuhud, suatu hari menjamu makan orang-orang miskin, lalu setelah itu dia berkata, “Kalau bukan kalian dan orang-orang seperti kalian, saya tidak akan berdagang.” Selain sebagai ulama, beliau memang terkenal sebagai pedagang besar… (Siyar Alam An-Nubala)

Wallahu A’lam. [Ustaz Abdullah Haidir Lc.]

 

INILAH MOZAIK

Orang Miskin Ini Menolak Harta, Takut Sombong

SAAT Rasulullah Saw menjalankan masa kenabiannya di Madinah, beliau sering menyelenggarakan majelis ilmu dan mengisinya secara langsung. Majelis tersebut berlangsung setiap hari Kamis, dan para sahabat kerap menghadirinya.

Kaum muslimin yang ingin mendapat siraman rohani langsung dari Rasulullah selalu bersegera agar bisa menempati tempat terbaik. Mereka ingin semua yang disampaikan Rasulullah bisa menjadi pengantar untuk memperoleh rida Allah Swt. Di majelis tersebut, tidak ada yang namanya membeda-bedakan. Siapa yang lebih cepat datang, maka dia akan memperoleh tempat terbaik.

Suatu hari, saat majelis tersebut tengah berlangsung datanglah seseorang, yang kemudian melihat ke sana kemari. Ternyata ia sedang mencari tempat di mana ia bisa menyelipkan dirinya. Ia pun menemukan satu-satunya tempat kosong, yaitu di sebelah seorang miskin yang pakaiannya sangat lusuh dan bahkan sobek.

Lelaki tersebut tampak ragu untuk duduk di sana. Tapi karena tidak ada tempat lain, ia pun memaksakan diri untuk menempatinya. Sambil mendengarkan ceramah Rasulullah Saw, lelaki tersebut terlihat menyelamatkan bajunya agar tidak menempel pada seorang fakir di sebelahnya. Ia memang mengenakan pakaian yang bagus dan wangi.

Mendapat hal tersebut, Rasulullah Saw menanyai si lelaki berpakaian bagus. “Mengapa kau terus menarik kain bajumu? Apakah engkau khawatir pakaianmu kotor terkena pakaian saudaramu yang fakir?”

Lelaki tersebut tersentak mendengar teguran Rasulullah. Ia menyadari sikapnya yang keliru karena tampak merendahkan orang lain. Ia pun menyesal. “Ya Rasulullah, aku bertobat kepada Allah atas kesalahanku. Sebagai penebus dosa, aku akan memberikan separuh hartaku kepada saudara yang di sampingku ini.”

“Apakah kamu bersedia menerima hibahnya,” kata Rasulullah bertanya kepada sang fakir. Seseorang tersebut menjawab dengan tegas. “Tidak. Akut tidak mau hartanya.”

“Mengapa kau tidak mau menerima separuh hartanya.” Rasulullah kembali bertanya.

Sang fakir menjawab. “Aku takut menjadi sombong karena harta. Seperti orang ini.”

“Dan janganlah kamu memalingkan kamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18) [An Nisaa Gettar]

 

INILAH MOZAIK

Kaya Harus Bersyukur, Miskin Bersabarlah

KEUTAMAAN orang kaya yang bersyukur, yaitu seseorang yang membelanjakan sesuatu yang lebih dari kebutuhannya dalam kebaikan. Adapun orang fakir yang bersabar adalah orang yang tidak mengeluhkan kefakirannya.

Sebagian besar ulama menyatakan bahwa orang kaya yang bersyukur lebih utama dari orang fakir yang bersabar, itulah pendapat yang dipilih oleh Al-‘Asqalaniy dan As-Suyuthi. Para ahli tasawuf berpendapat bahwa sesungguhnya orang fakir yang bersabar adalah lebih utama.

Perbedaan pendapat tentang keutamaan orang kaya yang bersyukur atas orang fakir yang bersabar adalah, bagi orang yang selalu memperbaiki keadaannya dengan kekayaan maupun kefakiran.

Yaitu, jika ia dalam keadaan kaya maka ia menunaikan seluruh tugas orang yang kaya, dengan membelanjakan harta, berbuat kebaikan, menyantuni, menunaikan hak harta, serta bersyukur kepada Allah Yang Maharaja dan Maha Pembalas.

Dan ketika dalam keadaan fakir maka ia menunaikan seluruh tugas orang fakir, seperti rida, sabar dan qana’ah.

Adapun seseorang yang baik keadaannya ketika kaya saja, yaitu menunaikan hak Allah Ta’ala dalam keadaan kaya dan tidak menunaikan hak-Nya dalam keadaan fakir maka kaya adalah lebih utama baginya menurut kesepakatan ulama.

Dan orang yang baik keadaannya ketika fakir saja, yaitu menunaikan hak Allah Ta’ala dalam keadaan fakir dan tidak menunaikan hak-Nya dalam keadaan kaya maka fakir adalah lebih utama baginya secara sepakat.

INILAH MOZAIK

Kapan Terputusnya Predikat Anak Yatim?

SECARA bahasa, yatim berasal dari bahasa Arab. Dari fiil madli “yatama” mudlori “yaitamu” dan mashdar ” yatmu” yang berarti sedih atau bermakna sendiri dan segala sesuatu yang di tinggal oleh sesuatu yang serupa dengannya.

Adapun menurut istilah syara yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh. Batas seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa, berdasarkan sebuah hadis yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan seorang disebut yatim, Ibnu Abbas menjawab:

“Dan kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus predikat yatim itu, sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa.”

Jadi penentuan seorang anak disebut yatim atau tidak, bukan berdasarkan usia melainkan apakah sudah baligh atau belum.

Jika sang anak yatim memiliki ayah tiri,

“Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”. (HR Muslim)

Dalam hal ini yang termasuk kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya, hal ini bisa juga ayah tiri. Wallahu alam. []

INILAH MOZAIK

Kita tidak Miskin

Pakaiannya lusuh. Tidak ada senyum. Mendung kefakiran menggelayut kuat di wajahnya. Kaki menyaruk gontai. Dengan sedih, ia pun bertanya di majelis seorang ahli hikmah.”Mengapa aku seperti ini; menjadi orang yang sangat miskin dan selalu mengalami kesulitan hidup?”

Sang Guru Bijak pun menjawab, “Karena engkau tidak pernah berusaha untuk memberi pada orang lain.” “Bagaimana aku memberi, wahai Tuan Guru, sementara tidak ada sesuatu pun yang bisa aku beri?” jawab si miskin.

Dengan senyum mendamaikan, sang ahli hikmah ini menuturkan nasihatnya, “Sebenarnya engkau masih punya banyak untuk engkau beri pada orang lain.”

“Apakah itu, wahai Tuan Guru?”

“Pertama, dengan lisan yang engkau punya, engkau bisa berikan senyuman dan pujian. Kedua, dengan mata yang engkau punya, engkau bisa memberikan tatapan yang lembut penuh rahmat. Ketiga, dengan telinga yang engkau punya, engkau bisa memberikan perhatian untuk mendengar keluhan orang-orang di sekitarmu.”

“Berikutnya, keempat, dengan wajah yang engkau punya, engkau bisa memberikan keramahan dan kesantunan yang bersahabat. Dan kelima, dengan tangan yang engkau punya, engkau bisa memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan.”

“Jadi,” lanjut sang Guru Bijak, “sesungguhnya engkau bukanlah miskin, hanya saja tidak pernah mau memberi pada orang lain. Itulah yang menyebabkan orang lain juga tidak pernah mau memberikan apa pun pada dirimu.”

“Engkau akan terus seperti ini jika engkau tidak mau memberi dan berbagi pada orang lain. Pulanglah dan berbagilah pada orang lain dari apa yang masih engkau punya agar orang lain juga mau berbagi denganmu,” ujar sang Guru.

Ikhwatal iman, memberi tidak ditentukan oleh seberapa besar atau kecil, tetapi berdasarkan kebutuhan. Ada yang butuh didengarkan. Ada yang butuh dikuatkan. Ada yang butuh diperhatikan. Ada yang butuh disemangati. Ada yang butuh diberi pengharapan.

Karena itu, selalu lakukanlah yang terbaik. May yazra’yahshud, apa yang kita tanam sekarang akan kita ketam pada kemudian hari.

Ketika kita menanam padi, mungkin rumput ikut tumbuh.Namun, ketika kita menanam rumput, tidak mungkin padi ikut tumbuh. Jadi, saat kita melakukan kebaikan, mungkin hal buruk akan ikut mengiringi. Namun, ketika kita melakukan keburukan, tidak akan mungkin muncul kebaikan.

Mari tetaplah berbuat baik sekecil apa pun bentuk kebaikan itu. Meski yang kita bisa sekedar doa, menyungging senyum, dan menyapa ringan penuh sopan dan santun.Wallahu A’lam.

OLEH USTAZ MUHAMMAD ARIFIN ILHAM

REPUBLIKA

 


Alhamdulillah, aplikasi cek porsi haji sudah aktif kembali. Cek informasi akomodasi haji tahun ini. Install dari HP Android Anda. Klik di sini! 

Kaya Bukan Ukuran Mulia, Miskin Bukan Kehinaan

JIKA kita disuruh memilih dua pilihan; kaya atau miskin, tentu kita akan memilih menjadi kaya daripada orang miskin. Hal ini sangatlah wajar dan masuk akal. Bahkan mungkin tidak ada orang yang mau dirinya jadi orang miskin.

Dengan kekayaan (uang) melimpah, kita bisa memperoleh segala yang kita butuhkan dan menikmati fasilitas yang barangkali orang lain tak mampu menikmatinya. Inilah jawaban praktis yang umumnya dilontarkan oleh mayoritas orang. Namun begitu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan ke-Mahatahuan akan hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik oleh hamba-hamba-Nya, ternyata kaya dan miskin mutlak harus ada. Apa jadinya jika dunia ini hanya dipenuhi oleh orang kaya saja, atau sebaliknya. Jelas roda kehidupan tidak akan berputar dengan baik.

Kaya dan miskin adalah ketetapan dari Allah yang harus disikapi dengan bijak, menurut kacamata Islam. Ketahuilah bahwasanya kemiskinan dan kekayaan hanyalah ujian. Kaya atau miskin bukan urusan mulia atau hina. Kekayaan bisa berarti siksaan, sedangkan kemiskinan bisa jadi karunia.

Keduanya tak lebih dari ujian; mana yang mulia atau mana yang hina tergantung bagaimana masing-masing di antara kita menyikapi ujian tersebut.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Rabbku menghinaku.’ Sekali-kali tidak (demikian).” (QS. Al-Fajr: 15-17)

Ayat di atas menerangkan bahwasanya Allah Ta’ala menguji hamba-Nya dengan memberikan kenikmatan dan melimpahkan rezeki atasnya. Allah juga menguji manusia dengan sempitnya rezeki. Keduanya adalah ujian dan cobaan.

Kemudian Allah menyanggah atas anggapan orang bahwa terbukanya pintu rezeki dan melimpahnya harta adalah bukti Allah memuliakannya, dan sempitnya rezeki pertanda Allah menghinanya. Allah menyanggah anggapan itu, “Sekali-kali tidak demikian!”

Yakinlah, anggapan orang-orang itu tidaklah benar. Terkadang Allah menyiksa dengan nikmat-Nya dan memberikan nikmat dengan cobaan-Nya.

Oleh karena itu, anggapan orang yang mengatakan apabila seseorang diberi kekayaan harta yang melimpah pasti hal itu pertanda Allah memberikan kebaikan kepada dirinya adalah tidak benar. Sebab, kekayaan itu sendiri merupakan bentuk ujian dari Allah. Lulus atau tidaknya seseorang akan terlihat sejauh mana ia mempergunakan hartanya di jalan Allah. Berapa banyak orang yang celaka karena diuji dengan kekayaan!

Harta tak selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi pemiliknya. Pikiran tegang memburunya, memeras keringat ketika mendapatkannya, dan kekhawatiran akan lenyapnya harta dalam genggamannya menghantui pikiran. Ujung dari siksa itu berupa penyesalan mendalam saat perpisahan antara dirinya dengan hartanya benar-benar terjadi; mungkin lenyap oleh bencana, atau lantaran ajal yang memisahkan ia dengan hartanya. Pintu yang terakhir ini hanya tinggal menunggu waktu, tak satu pun manusia yang mampu mengelak darinya.

Kalaupun mereka mampu merasakan manisnya hasil jerih payah yang diupayakannya, toh tak akan bertahan lama. Karena muara harta dari tangan pemburu dunia dan lalai dari agamanya, tak akan jauh dari kesenangan berbau maksiat. Dan pasti, kesenangan itu akan berbuntut penderitaan di dunia, kesengsaraan di akhirat, kecuali siapa saja yang mau bertaubat.

Semua alasan di atas menjadikan kita tidak kesulitan memahami maksud firman Allah Ta’ala:

Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.“ (QS. At-Taubah: 55)

Ya, harta yang Allah tumpahkan atas mereka itu adalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Hidup Susah Tak Lupa Bersedekah, penulis: Abu Ahmad Abdul Fattah)

 

HIDAYATULAH