Ramadhan: Momentum Swa-Hisab Harta

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188)

Ayat di atas adalah satu dalil naqly diharamkannya hidup dari harta yang diperoleh dengan cara bathil. Salah satu arti bathil dari segi bahasa adalah dzulm (kedzaliman).

Assa’di di dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat tersebut menyebutkan bahwa ada dua cara memperoleh harta: dengan cara yang bathil (buruk, tidak sah) dan dengan cara yang haq (benar).

Sedang tafsir dari kata bathil menurut kitab tafsir Jalalain adalah haram menurut syari’at. Lebih lanjut disebutkan di dalam kitab itu contoh cara bathil memperoleh harta, yaitu mencuri, mengintimidasi, dan lain-lain.

Di dalam kitab At-Tafsir Al-Muyassar disebutkan cara-cara bathil memperoleh harta, yaitu mengucapkan sumpah palsu demi memperoleh harta, mencuri, ghasab (merampas, menjambret, mengambil tanpa izin), risywah (suap, korupsi), dan riba. Selain itu juga mengajukan klaim, keterangan, kesaksian atau bukti palsu di depan hakim dengan tujuan agar bisa memanfaatkan harta yang bukan hak miliknya atau menjadikannya sebagai hak miliknya.

Ayat ke-188 dari surat al-Baqarah tersebut didahului oleh satu ayat yang mengatur beberapa ketentuan tentang puasa bulan Ramadhan.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)

Di dalam kedua ayat tersebut ada satu kata dasar yang sama yakni kata akala (makan, menghabiskan, mengonsumsi). Pada ayat ke-187, dalam bentuk perintah, yakni kuluu (makanlah kamu sekalian) yang berarti kalian boleh makan di malam hari hingga terbit fajar. Sedang pada ayat ke-188, dalam bentuk larangan, yakni laa ta’kuluu yang berarti janganlah kalian mengonsumsi harta haram.

Dari penggabungan kedua ayat yang berdekatan tersebut tersirat sebuah pesan yang sangat penting bahwa bulan suci Ramadhan adalah momentum untuk melakukan swa-hisab (swa-perhitungan) harta yang telah diperoleh. Jika ada sebagian harta yang didapat dari cara yang bathil, maka mendesak untuk menjadikan Ramadhan sebagai training sekaligus starting point untuk berhenti melakukan cara-cara yang bathil dalam memperoleh harta.

Waktu sahur adalah waktu yang barokah. Makanan dan minuman sahur juga barokah. Sementara itu, orang yang makan sahur mendapatkan ucapan sholawat dari Allah dan Malaikat-Nya.

Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُحُوْرِ بَرَكَةً

“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. al-Bukhari, 1923 dan Muslim, 1095)

السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَمَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ

“Sahur, makanannya adalah berkah. Maka, janganlah kalian tinggalkan, walaupun hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya, Allah dan Malaikat-Nya ber-shalawat kepada orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad)

Sangat tidaklah pantas jika menu yang disediakan pada waktu sahur berasal dari harta yang didapat dengan cara bathil. Patutlah bagi yang mereka yang mengonsumsi menu sahur dari harta yang diperoleh dengan cara-cara bathil merasa berdosa dan merasa malu pada Allah dan dirinya sendiri.

Ramadhan merupakan bulan Tarbiyah (pendidikan) dan Ikhtibar (ujian) untuk menempa diri menjadi pribadi yang bertaqwa (QS. 2:183). Menurut ayat ke-133 dan 135 dari Surah Ali Imron, salah satu karakteristik orang-orang bertaqwa adalah jika tergelincir mengerjakan perbuatan faakhishah (buruk) yakni dosa besar serta perbuatan mendzolimi diri sendiri maka mereka (bersegera) menyesal, bertaubat, ingat kepada Allah , dan memohon ampun kepada Allah .

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. “ (QS: Ali Imron [3]: 133)

Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri , mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imron [3]: 135).

Dalam sebuah hadits muttafakun ‘alaih disebutkan bahwa mengsonsumsi harta riba dan harta anak yatim.termasuk dosa besar.

Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

“Jauhilah olehmu tujuh hal yang membinasakan, mereka bertanya: wahai Rasulullah, apa saja itu? Beliau menjawab: “yaitu menyekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari barisan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita Mu’minah yang suci yang alpa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam kitabnya “Al-Kabaair”, Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa dari tujuh puluh enam dosa besar ada sebagian dosa besar yang berkaitan harta, yakni mengonsumsi harta riba, menggunakan harta anak yatim yang diambil secara dzolim, dzolim dalam mengambil harta orang lain dengan cara bathil, mengurangi timbangan, mencuri, merampok, berjudi, dan menerima suap. Serta curang dalam membagi dan menerima harta ghonimah, harta dari Baitul MaaI dan zakat.

Semoga kita keluar dari bulan Tarbiyah dan Ikhtibar ini sebagai lulusan yang hidup hanya dari harta yang didapatkan dengan cara-cara yang haq, yakni halal. Semoga kelak setelah menjalani proses pengadilan di Yaumul Hisab (Hari Perhitungan) kita keluar darinya berhak sebagai Ahlul Jannah (penduduk surga). Aamin. Wallahu a’lam.*

Oleh: Abdullah al-Mustofa, Penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Kediri Jatim

HIDAYATULLAH

Ramadhan, Momentum Menjaga Keluarga dari Jilatan Api Neraka

Aktivis perempuan Netty Heryawan mengatakan tidak ada institusi yang mampu menghadirkan kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa kecuali dimulai dari institusi kecil yaitu keluarga. Karena Alquran sudah menyatakan itu beratu-ratus tahun yang lalu.

“Sudah sangat jelas bahwa Allah SWT memerintahkan untuk selalu menjaga keluarga kita dari jilatan api neraka.” Istri dari gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan juga menambahkan bahwa momentum bulan suci Ramadhan menjadi sala satu ruang bagi kita untuk membangun keluarga yang memiliki imunitas dan anti bodi.