Mendengar Azan Tengah Malam, Gadis Tionghoa Ini Masuk Islam

Siapa menduga, jika hidayah itu selalu datang kepada hamba pilihan. Seperti itulah yang terjadi kepada Yang Mei Siu alias Diana.

Gadis manis berdarah Tionghoa ini resmi menjadi mualaf 4 Juni lalu setelah mendengar suara azan tengah malam yang selalu terngiang di telinganya.

Padahal, gadis kelahiran Palembang, 26 Juli1996 ini sangat anti dan begitu benci dengan Islam.

Saat Sripo (grup tribunnews.com) menyusuri rumahnya di Jln RA Abusamah komplek Villa Sukajaya Indah KM 6,5 Palembang, dengan senyum sumringah Diana menyambut dan mempersilahkan masuk.

Rumah tersebut sangat khas sekali bernuansa Tiongkok, sebab sebuah altar rupang Dewi Kwam In terpajang.

Di sisi kiri terdapat beberapa foto leluhur keluarga Diana lengkap dengan garu dan perlengkapan sembahyang.

“Di rumah ini ada tiga agama, Kakek saya Budha, Paman saya Kristen dan saya sendiri baru memeluk Islam. Alhamdulillah semuanya menjunjung toleransi,” ungkapnya.

Diana yang awalnya memeluk Khatolik ini pun mengisahkan tentang perjalannan menemukan hidayah tepatnya saat mengenal mama angkat yang merupakan tetangganya tak jauh dari rumah. Karena kedekatan itulah, ia banyak belajar tentang Islam.

“Padahal saya ini dulu sangat anti dengan Islam. Selalu menganggap orang Muslim itu kejam, teroris, dan kalau ada tindak kejahatan pasti pelakunya orang Islam,” ujarnya.

Namun kebencian itu kikis setalah Irene Susanti Shaleh, sang mama angkat mengenalinya secara perlahan tentang Islam. Diana pun mulai tertarik belajar dan membandingkan Alquran dan Alkitab.

“Dari sanalah saya tahu, Islam itu memiliki tuhan yang satu, bukan tiga. Saat melakukan ibadah seperti sholat pun harus bersuci dahulu. Disanalah letak keindahannya menurut saya,” ujar mahasiswi Fakultas Bisnis dan Akutansi jurusan Ekonomi semester 2 universitas Khatolik Musi Charitas ini.

Dalam kurun waktu 3 bulan mempelajari Islam dan Alquran, Diana pun mulai ikut melakukan Shalat dan belajar Iqra. Dalam masa belajar itulah, ia pernah suatu hari tidur dan mendengar suara azdan.

“Waktu itu tepat pukul 00.00, saya heran, itu azdan apa. Sementara waktu shubuh belum. Saat saya tanya sama momy (panggilan ke mama angkat-red), katanya ia tak mendengar suara apapun,” ungkap wanita yang hobi memasak ini.

Suara Adzan tersebut membuatnya merinding, sekaligus penasaran. Keanehan lain datang lagi saat ia tertidur dan bermimpi.

Dalam mimpinya, ia didatangi seberkas cahaya, lantas suara berat seorang laki-laki berkata ‘nak, lakukanlah shalat Tahajjud’. Ia pun lantas kembali melaporkan kepada mama angkat.

“Momy bilang itulah hidayah, dan aku merupakan salah satu orang yang beruntung bisa mendapatkan hidayah tersebut,” jelasnya.

Awal Juni pun ia bersama teman satu kampusnya berinisiatif mendatangi masjid Muhammad Cheng Ho Jakabaring dan menanyakan bagaimana menjadi mualaf.

Petugas masjid lantas mengarahkannya untuk datang dan mengambil formulir di sekretariat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sumsel.

“Setelah mengisi formulir, saya disuruh datang pada hari Kamis tanggal 4 Juni kemarin selepas Ashar ke masjid Cheng Ho. Dan Alhamdulillah, saya langsung mengucapkan syahadat. Ibarat terlahir kembali, saya lega dan sangat bersyukur,” ungkapnya.

Kebahagiaannya tak cukup sampai disini. Istri ketua PITI juga memberikannya nama baru yakni Siti Fatimah.

 

Kabar masuknya Diana ke agama Islam pun langsung beredar ke kalangan kampus. Bahkan Pastur kampusnya pun sampai menghubunginya.

“Saya ditanya, apakah yakin masuk Islam? saya hanya menjawab iya dengan mantap. Dan Pastur berpesan, tetap saja harus lancar kuliah dan menerima keputusan saya,” ujarnya.

Dan tahun ini pun, Diana mulai menjalankan puasa untuk pertama kali. Bahkan dari awal sampai hari ini, Diana hanya batal sebanyak tiga kali. Ia pun mengaku meski hanya di sekitar komplek, ia sudah mulai mengenakan Jilbab.

“Alhamdulillah bertemu Ramadhan, dan bisa pakai jilbab. Ini merupakan pengalaman pertama dan sangat indah bagi saya,” ungkapnya.

 

sumber: AcehTribnNews

Belajar Islam dari Sosok Ayahnya, Vita pun Bersyahadat

Vita (28 tahun), perempuan asal DKI Jakarta mengambil keputusan besar yang bakal mengubah seluruh hidupnya ke depan. Ia memutuskan memeluk agama Islam sekitar 2006 silam. Langkah itu, dia tempuh setelah sebelumnya mempelajari Islam kepada sosok yang sangat dihormati yaitu ayahnya. Lelaki yang juga merupakan seorang mualaf sejak tahun 1990-an. Meski hingga saat ini, sang ibu dan adiknya bukan beragama Islam.

Sekitar 2003, ia mengaku berada pada kondisi terendah menyangkut keyakinan. Bahkan, ritual-ritual keagamaan yang dianutnya kala itu, tidak pernah dilaksanakan. Ketika itu pula, dirinya sudah mengetahui tentang ritual-ritual agama Islam, namun masih sebatas untuk bersenang-senang.

Hingga suatu waktu, sang ayah mengingatkannya agar beragama secara benar. Sejak itu, ia merasa terganggu dan gelisah dengan perkataan ayahnya.

“D isitu titik balik saya mencari tahu tentang Islam. Tahun 2003, saya mencari, belajar, memahami (Islam) dan syahadat pada tahun 2006 saat lulus SMA di Masjid Lautze, Jakarta,” ujarnya kepada Republika saat ditemui di acara Mualaf Center Baznas di Pesantren Daarut Tauhid, Ahad (29/1).

Ia menuturkan, perjalanan sebelum mengucapkan syahadat secara resmi, dirinya sudah melaksanakan shalat dan kepada ayahnya mengucapkan syahadat. Bimbingan ayahnya yang begitu detail tentang agama Islam membuat dirinya begitu spesial. Dari mulai belajar tata cara berwudhu, shalat dan lainnya.

Selama proses mengenal Islam dan mempelajarinya hingga akhirnya memutuskan berpindah keyakinan, perempuan yang sehari-hari bekerja di Wedding Organizer (WO) ini mengaku, mendapatkan tantangan yang berat. Selain itu, rintangan datang dari keluarga meski tidak dimusuhi atau diusir. Sang ibu pun mempertanyakan pilihannya.

Meski begitu, Vita mengaku, heran dengan sikap ibunya sebab tidak ada yang salah dengan Islam. Bahkan, dia berpikir, banyak yang tidak suka dengan Islam ketika memutuskan menjadi seorang mualaf. Apalagi, baginya sebagai seorang mualaf keturunan tantangan selalu ada baik dari keluarga maupun lingkungan kerja atau pertemanan.

Vita mengatakan, ujian yang paling berat dirasakan selama menjadi mualaf adalah ketika sosok yang menjadi panutan dalam belajar Islam, ayahnya, meninggal dunia. Baginya, momen saat itu menjadi ujuan yang sangat berat.

“Beberapa tahun terakhir sangat berat. Saat saya memutuskan menjadi mualaf, saya memang harus punya agama. Apalagi, bapak bilang agama yang diridhai itu Islam. Bapak memberi wejangan kalau kamu masuk Islam jadi mualaf jangan pernah keluar dari Islam. Hanya bapak yang mendukung saya,” ungkapnya.

Saat tengah berada dalam kondisi yang berat, ia mengaku, mendapat dukungan dari teman-teman di Masjid Lautze termasuk di Mualaf Center Baznas dan guru mengaji. Hal itu membuat semangat yang kadang naik turun bisa kembali normal.

Ia pun mengaku dengan keputusannya menjadi mualaf pun banyak nikmat dari Allah SWT yang diperolehnya semisal dari pekerjaan.  “Selama 14 tahun jalan (proses) naik turun. Kalau gak kuat-kuat ingin melambaikan tangan (menyerah). Namun selalu dikembalikan dengan dulu saat berproses sejak awal,” ungkapnya.

Baginya dengan memeluk agama Islam, ia mengaku senang karena kini memiliki agama. Kemudian lebih dari itu, ia merasa lebih tenang dan damai. Meski masih ada yang kadang suka mencibir dengan keputusannya.

Satu hal yang saat ini selalu menjadi keresahan bagi dirinya adalah menyangkut pasangan hidup. Diusia yang kini matang, ia ingin memiliki pasangan hidup seiman. Namun, saat ini belum ada. Satu sisi, ia bergembira, karena neneknya sebelum meninggal sudah memeluk agama Islam termasuk abang dan pamannya.

Kepala Mualaf Center Baznas, Hadi Handoko mengungkapkan, masih banyak terdapat mualaf yang mendapatkan diskriminasi dan kekerasan fisik dari lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pihaknya terus mengupayakan perlindungan dan pendampingan kepada para mualaf.

Selain itu, diperlukan koordinasi dan konsolidasi yang kuat antara lembaga yang berisikan para mualaf.  “Menjadi mualaf itu ada yang dikucilkan, bahkan diusir. Selain itu akses terhadap ekonomi, lingkungan sosial tidak diterima. Oleh karena itu diperlukan advokasi dan pendampingan,” ujarnya.

Dia  berharap, agar ekonomi bisa memainkan peran bagi para mualaf. Sebab mereka banyak dipersulit atau bahkan diberhentikan kerja karena status agamanya.

Dikatakan Hadi, saat ini, banyak orang yang memutuskan menjadi mualaf atau masuk Islam dikarenakan faktor pernikahan. Karena itu, tantangan ke depan bagi Mualaf Center Baznas adalah menyatukan lembaga mualaf untuk bekerja sama dan bersinergi.

Farid Septian. Senior Officer Advokasi dan Dakwah Baznas mengungkapkan, selama ini anggaran untuk program-program yang menyangkut mualaf masih sedikit. Padahal, keberadaan para mualaf sangat penting oleh karena itu harus lebih diperhatikan.

 

sumber:RepublikaOnline

Hong Jai, Mualaf Tionghoa yang Baru Belajar Kurban

Lebaran Haji yang selalu diperingati umat Islam sebentar lagi akan tiba. Sejak memutuskan berpindah keyakinan menjadi mualaf 1 tahun lalu, Ahmad Hong Jai pun tak menyiakan kesempatan untuk berkurban.

“Idul Adha pada tahun ini merupakan Lebaran Besar kali pertama bagi saya sehingga ingin lebih banyak tahu tentang makna Idul Adha dengan berpartisipasi membeli satu hewan kurban berupa kambing,” kata Ahmad Hong Jai di Masjid Muhammad Cheng Hoo Jember, Jumat.

Baginya melakukan kurban pada Idul Adha merupakan panggilan hati nuraninya untuk saling memberi kepada warga yang kurang mampu dan berharap bisa membersihkan dosa-dosa sebelum menjadi mualaf.

“Sebenarnya belum banyak makna yang saya ketahui tentang Idul Adha dan berkurban karena ini kali pertama saya berkurban sebagai Muslim. Namun, saya yakin banyak hikmah yang bisa diambil dalam momentum hari raya ini,” tutur pria kelahiran Jember tahun 1978.

Berbeda dengan umat Islam dan kaum Tionghoa lain yang keluarganya sudah menjadi mualaf, Hong Jai merupakan satu-satunya mualaf di rumahnya. Ini karena istri dan anaknya memeluk agama Kristen Katolik. Sementara orang tuanya pemeluk agama Kong Hu Cu.

“Alhamdulillah keluarga saya bisa menerima saya menjadi mualaf sehingga saya bisa aktif melakukan kegiatan di Masjid Muhammad Cheng Hoo Jember, seperti kegiatan Idul Adha nanti,” ujar warga keturunan etnis Tionghoa itu.

Hong Jai bersyukur bisa membeli hewan kurban dari hasil jerih payahnya dan perlahan-lahan belajar banyak tentang makna Idul Adha melalui kehidupan sehari-hari yang harus ikhlas. Kemudian selalu berbagi dengan orang yang kurang mampu.

Ibadah kurban memiliki hikmah dan mengajarkan umat Islam untuk menjaga fitrahnya tetap suci, menguji tingkat ketakwaan, memotivasi diri untuk memiliki harta dengan bekerja keras, dan berjiwa sosial untuk berbagi dengan sesama.

“Mudah-mudahan saya selalu mendapatkan hidayah dari Allah Swt. melalui momentum Iduladha dan saya bisa belajar banyak tentang makna hari raya tersebut,” ujarnya.

Sumber : Antara