Don Trammell Terpesona dengan Ritual Puasa dan Shalat

“Perjalananku menuju Islam cukup berbelit. Namun, pada akhirnya, itu membawaku pada penantian kasih sayang Allah,” ujar Don Trammell, memulai kisahnya menuju hidayah.

Perjalanan Don hingga memeluk Islam membutuhkan waktu yang tak singkat. Prosesnya cukup panjang dengan awal mula ketika ia bertugas di Kairo, Mesir. Di sana, Don mendapat banyak teman Muslim yang membantunya hingga akhirnya melabuhkan hatinya pada Islam.

Namun, sebenarnya, kontak Jon dengan Islam kali pertama telah terjadi sebelum ia pindah ke Negeri Piramida. Saat itu, Don tengah bekerja di Finlandia, sekitar 1999. Ketika bekerja di sebuah perusahaan software di sana, ia bertemu dengan seorang wanita Mesir. Keduanya berkenalan lewat chat dan memiliki keperluan diskusi membahas mengenai teknologi nirkabel.

Selama membahas teknologi nirkabel, Don banyak menyela diskusi mengenai agama. Ia bertanya banyak hal mengenai agama yang dianut wanita Mesir itu, Islam.

“Sepanjang percakapan kami, aku bertanya lebih banyak tentang Islam dan mengapa ia percaya dengan apa yang dia yakini. Dia sangat sabar dan sangat baik menjelaskan Islam kepada saya,” ujar Don, dikutip OnIslam.

Sejak kecil, Don tumbuh besar dengan pendidikan agama yang minim. Ia beragama, namun tak mendalami keimanannya pada Tuhan. Namun, sang ibu mendidiknya dengan sangat baik serta mengajarkannya hal-hal luhur. Keingintahuan Don pada Islam dalam rangka pencarian Tuhan di hatinya. Ia mencari makna sejati kehidupan yang sebenarnya.

“Aku percaya pada Tuhan, tapi aku tak meyakini Dia sebagai pencipta dan pengatur takdir saya. Aku merasa di tanganku sendirilah putusan nasib. Dengan kata lain, bisa dikatakan aku hidup dengan membuat aturanku sendiri,” tuturnya.

Perjalanan menuju hidayah kemudian dimulai. Don menjalin kerja sama bisnis dengan orang-orang Mesir. Ia pun kemudian segera pindah ke Kairo. Don menginjak pertama kali Negeri Kinanah bertepatan saat Muslimin menjalankan puasa Ramadhan. Ia pun begitu tertarik dengan ritual ibadah Ramadhan Muslimin.

Don bahkan sempat ikut menahan lapar dan haus pada siang hari dalam rangka menghormati. Namun, saat Ramadhan usai, Don mencari informasi mengenai ibadah puasa. Sebetulnya, ia sangat tertarik dan antusias pada ibadah puasa Muslimin.

Tak hanya ibadah puasa, Don juga terpesona dengan shalat. Ia kagum dengan Muslimin yang meluangkan waktunya untuk ibadah lima kali sehari. Awalnya, saat rekan kerjanya selalu izin shalat, ia merasa jengkel. Namun, ketika mengetahui tentang ibadah itu, Don justru merasa kagum dan sangat menghormati.

“Aku kagum dan hormat pada mereka. Aku pun iri melihatnya dan ingin memiliki perasaan betapa pentingnya Tuhan dalam hidup. Perlahan-lahan, aku pun bertanya tentang Islam dan bagaimana rasanya menjadi seorang Muslim,” kata Don.

Selama bekerja di Kairo, Don pun sembari mencari tahu mengenai Islam. Kepada rekan-rekan Muslimin, Don pun tak malu-malu bertanya. Ia pun mendapat banyak penjelasan mengenai Islam dari mereka. Salah seorang rekan kerjanya yang banyak membantunya, yakni Noah. Don bahkan dibekali olehnya sekoper buku-buku Islam saat akan meninggalkan Kairo.

Don meninggalkan Kairo, namun keingintahuannya pada Islam belum penuh terjawab. Pada 2001, ia kembali ke Kairo. Namun, perjalanannya ke Kairo kali ini hanya beberapa hari. Ia pun tak cukup banyak waktu untuk menghilangkan dahaganya mengenai Islam. Saat itu, ia telah merasa jatuh hati pada Islam.

“Satu hal penting yang aku sadari, yakni aku telah jatuh cinta. Aku merasa bahwa hatiku telah menemukan sebuah rumah,” ujar Don tersedu.

Setelah enam bulan terakhir dari Mesir, ia pun kembali lagi ke sana. Namun, saat itu ia bukan untuk bekerja. Pasalnya, perusahaan tempatnya bekerja telah gulung tikar. Pada malam musim panas, perasaan Don meluap-luap. Ia merasa hatinya begitu terbuka. Ia pun menghubungi Noah hingga kemudian bertolak ke Mesir untuk menenangkan diri.

Don kemudian mendapat pekerjaan kembali di perusahaan telekomunikasi. Ia menjadi konsultan untuk perusahaan Mesir. Ia pun dapat berlama-lama lagi tinggal di Mesir. Kali ini, Don benar-benar berharap dapat menemukan segala keingintahuannya tentang Islam.

Ia berharap perjalanan ke Mesir kali ini menjadi perjalanan terakhirnya menuju hidayah. Di Mesir, ia pun makin serius mempelajari Islam. Ia mempelajari Alquran dan mengenal siapa Nabi Muhammad. Don bahkan pernah ikut shalat jamaah dan merasakan ketenangan yang sangat.

Belum usai perjalanan Don menemukan hidayah, insiden bom 9/11 terjadi. Don bahkan belum sempat bersyahadat. Isu Islam sebagai agama terorisme telah mencuat begitu hebat akibat insiden tersebut. Namun, Don telah jatuh hati pada Islam, ia pun mencari penjelasan yang benar mengenai isu tersebut.

Hanya, isu itu secara tak langsung menghambatnya menjadi seorang Muslim. Pasalnya, keluarganya menentang keras keinginan Don karena lebih percaya isu terorisme yang mendunia. Namun, Don tak pantang arang. Tekadnya telah bulat. Tak lama, ia pun memutuskan untuk berislam.

“Pada 2 Oktober 2001, seorang teman menjemputku untuk pergi ke Al-Azhar yang terkenal. Di sana, aku menyatakan  tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Air mataku tertumpah. Wallahu akbar,” pungkas Don.

Perjuangan Theresa Corbin Memeluk Islam

Dia merasakan bagaimana orang-orang non-Islam berperilaku kasar terhadapnya.

Theresia Corbin, wanita berusia 24 tahun ini memeluk Islam pada November 2011 lalu. Tepatnya, dua bulan setelah peristiwa 9 November 2001 (911). Menurut dia, Islam adalah agama yang damai.

Meski banyak orang menilai Islam sebagai agama teror, radikal, dan berbagai stigma buruk lainnya, wanita paruh baya ini tetap menilai Islam sebagai agama yang menyejukkan dan menenangkan hati.

Sejak memeluk Islam, dia memutuskan untuk berjilbab. Meski banyak wanita terbiasa menunjukkan lekuk tubuh, Corbin memilih hal berbeda. Dia mengenakan jilbab dan menutup tubuhnya demi menjaga kehormatan dan menjalankan keyakinan.

Setelah peristiwa 9 November, banyak media yang memberitakan Muslim sebagai orang yang kasar dan tidak toleran. Ada peningkatan 1.700 persen kejahatan kebencian terhadap Muslim Amerika antara 2000 hingga 2001.

Corbin merasakan bagaimana orang- orang non-Islam berperilaku kasar, intoleran terhadapnya. Seorang pekerja pos pun pernah bertanya, apakah di dalam paket miliknya terdapat bom? Di lain waktu, seorang pria di dalam truk juga melemparkan telur ke arahnya. Dia bertanya- tanya, apakah ia menjadi sasaran karena pakaian Islamnya?

Menjadi Muslim setelah 911 merupakan tantangan. Ini adalah cobaan tersulit yang dialaminya. Wanita asal Baton Rouge, Lousiana, ini pada mulanya menganut Katolik, kemudian dia menjadi agnostik.Setelah itu, dia mempelajari Islam selama empat tahun. Dia meminta pendapat sejumlah orang dan juga membaca buku-buku tentang Islam.

Perjalanannya mengenal Islam dimulai ketika dia berusia 15 tahun. Dia memulai pencarian tentang Islam dengan mempertanyakan keyakinannya. Tetapi, jawaban yang diterimanya tak pernah memuaskan meski jawaban itu bersumber dari guru dan pendeta

Mengambil Risiko

Selama bertahun-tahun, Corbin mempertanyakan agama, manusia, dan alam semesta. “Setelah saya mempelajari kebenaran, retorika, sejarah dan dogma, saya menemukan satu hal aneh yang disebut dengan Islam,” jelas dia sebagaimana diberitakan cnn.com.

Baginya, Islam bukanlah budaya atau mewakili kawasan tertentu. Corbin menyadari bahwa Islam adalah agama dunia yang mengajarkan toleransi, keadilan, kehormatan, kesabaran, kesopanan, dan keseimbangan.

Senang rasanya menemukan Islam sebagai sumber keyakinan karena mengajarkan penganutnya untuk menghormati semua nabi. “Mereka mengajarkan umat manusia untuk menyembah Allah dan membimbing umatnya menuju kemuliaan hidup,” ungkap dia.

Corbin tertarik dengan Islam setelah mendengar hadis Nabi bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim, baik laki-laki atau perempuan. Dia juga terkejut karena ilmu sains ditemukan oleh ilmuwan Muslim al-Khawarizmi, al-Jabar, Ibnu Firnas yang mengembangkan mekanisme penerbangan dan al-Zahrawi yang merupakan bapak bedah modern.

Sejarah peradaban dan kejayaan Islam semakin meyakinkan dirinya bahwa Islam adalah agama yang mengarahkan penganutnya menuju kebenaran. Dasarnya bukan semata-mata dogma, melainkan juga akal yang merupakan sumber kecerdasan manusia.

Setelah peristiwa 9 November, Corbin berpikir untuk menunda memeluk Islam. Ada kekhawatiran karena masyarakat Barat ketika itu berpandangan sangat buruk tentang Islam. Risalah Ilahi itu selalu disematkan dengan berbagai stigma buruk hanya karena pelaku pengeboman gedung WTC yang disebut-sebut Muslim.

Peristiwa itu bagi dirinya menimbulkan trauma kengerian. Tapi, dia berusaha untuk tetap membela Muslim dan agama mereka. Karena ulah sekelompok orang, citra Islam dan Muslim menjadi buruk. Selama berjuang untuk membela Islam, dia berusaha untuk mengatasi rasa takutnya. Saat itu, juga dia semakin yakin untuk bergabung bersama Muslim dengan meyakini agama ini dan memeluknya.

Mulanya, keluarga belum menerima langkah besar yang dijalani Corbin. Tetapi, mereka tidak terkejut karena mengetahui wanita itu telah lama mempelajari risalah Muhammad SAW. Meski demikian, mereka khawatir akan keselamatan Corbin setelah memeluk Islam. Alhamdulillah, teman- temannya memberikan dukungan, menerima diri Corbin apa adanya. Bahkan, banyak dari mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang Islam.

Berjilbab

Kini, Corbin mengenakan jilbab dan dia bangga telah menggunakannya. Jilbab bagi Corbin bukan untuk mengekangnya atau sebagai alat penindasan. Sebelum memeluk Islam, dia sering mendengar bahwa Muslimah di wilayah Timur Tengah mengenakan pakaian tertutup karena pak saan dan rasa memiliki suami mereka.

Namun, ketika dia bertanya dan mendapat jawaban yang sesungguhnya, Corbin justru mengetahui kebenarannya. Jawaban itu membuatnya kagum. Jilbab yang mereka kenakan adalah semata-mata karena Allah SWT. Fungsinya untuk diakui sebagai wanita yang harus dihormati dan tidak dilecehkan, sehingga dapat melindungi diri sendiri dari tatapan laki-laki.

Setiap Muslim diajarkan untuk berpakaian sederhana sebagai simbol bahwa tubuh wanita tidak dimaksudkan untuk konsumsi massa atau kritik. Corbin masih tetap ragu dengan penjelasan rekan Muslimahnya karena wanita di Islam dianggap kelas dua.

Tapi, lambat laun, dia memahami, kehidupan Barat selama ini memperlakukan wanita seperti properti, sedangkan Islam mengajarkan bahwa pria dan wanita setara di mata Tuhan.

Islam mengatur bahwa wajib hukumnya untuk menikahi wanita yang ingin hidup bersama. Bahkan, perempuan mendapatkan kesempatan untuk mewarisi properti, menjalankan bisnis, dan berpartisipasi dalam pemerintahan. Aturan ini telah berlaku untuk wanita sejak 1250 tahun lalu, jauh sebelum Barat mengangkat isu feminisme.

Menikah

Setelah memeluk Islam, Corbin mencoba mengenal pria yang kelak men jadi pendamping hidupnya. Baginya ini adalah cara yang santun, karena pasangan pria- wanita tak terjebak dalam perzinaan.

Sebagai Muslim baru, dia menemukan cara yang terbaik untuk mencari cinta dan teman hidup selamanya.Dia memutuskan memiliki hubungan yang serius dengan bertaaruf. Dia mulai mencari dan mengikuti wawancara, bertanya tentang pasangan hidup dan keluarganya.

“Saya memutuskan ingin menikah dengan mualaf lainnya, seseorang yang telah berada dekat dengannya dan ingin pergi ke mana saya ingin pergi. Terima kasih kepada orang tua, teman-teman, saya menemukan suami saya sekarang, orang yang masuk Islam di Mobile Alabama, dua jam dari rumah saya di New Orleans. Hingga 12 tahun kemudian, kita hidup bahagia,” jelas dia.

Tidak setiap Muslim menemukan pasangan dengan cara ini. Tetapi, dia bersyukur, ternyata bisa menuju mahligai pernikahan tanpa harus berpacaran. Sejak menjadi Muslim, dia tidak pernah harus melepaskan kepribadian, identitas, atau budaya Amerika.

Pada Agustus 2012, Corbin pindah ke New Orleans. Dia merasa aman untuk sementara waktu. Namun, sekarang, dengan liputan berita terus menerus dari kelompok yang tidak Islami yang dikenal sebagai ISIS, dia kembali mengalami perlakuan diskriminatif.

“Ini membuat saya marah karena ada beberapa yang menyebut diri mereka Muslim dan menyalahgunakan Islam demi keuntungan politik. Ini membebani saya karena mengetahui bahwa jutaan warga hanya melihat gambar-gambar yang tidak jelas dan menganggap itu sebagai cerminan Islam,” jelas dia.

Banyak orang membenci hanya karena Islam yang dianutnya. Sepanjang perjalanan mengenal Islam, dia semakin mengetahui bahwa umat Islam datang dalam berbagai bentuk, ukuran, sikap, etnis, budaya, dan kebangsaan. “Yang utama, saya memiliki keyakinan bahwa rekan-rekan Amerika saya dapat mengatasi ketakutan dan kebencian,” ujar dia.

REPUBLIKA

Lisa Vogl-Hamid: Bersyahadat Putusan Terbaikku

Lisa Vogl-Hamid adalah seorang fotografer pernikahan dan fashion internasional memilih menjadi seorang Muslimah. Sehari-hari dia tampil di publik dengan jilbab sebagai penutup aurat.

Proses Lisa memeluk Islam menjadi bagian sangat penting dalam hidupnya. Ketika melihat ke belakang perjalanannya itu, dia seolah-olah merasa selalu ditakdirkan untuk menjadi seorang Muslim. Ujian yang dihadapi selama menjadi mualaf tak berarti dibandingkan dengan barokah yang datang kepadanya karena Islam.

Masyarakat sekitar dan kolega menerima Lisa seutuhnya sebagai seorang Muslim yang taat dan dinamis.Meski sudah bersyahadat, Lisa tidak membatasi diri dalam pergaulan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Masa muda penuh dengan tantangan. Pada saat berusia 19 tahun, Lisa pindah ke Maroko selama tiga bulan untuk tinggal dengan keluarga Maroko. Di sana dia mengenal dan mempelajari beragam budaya.Ketika itu dia menyadari kehidupan Barat bukan satu-satunya, bukan yang unggul.

Lisa menyadari hidup harus saling bersinergi dan mengapresiasi, sehingga sama-sama menuju kemajuan.

“Sejujurnya, saya tidak kembali dengan kebutuhan akan Islam karena perjalanan itu lebih merupakan pengalaman budaya. Saya kembali dengan penghargaan atas kehidupan yang Tuhan berikan kepada keluarga. Hal-hal sederhana seperti mandi menjadi kemewahan saat saya tinggal di rumah tanpa air panas dan tidak ada toilet saat di Maroko,” jelas dia.

Setelah perjalanan itu, Lisa kembali untuk menyelesaikan sekolahnya tapi dia memutuskan untuk pindah ke sekolah swasta khusus wanita. Dia mengambil jurusan cultural studies and marketing. Lulus dari perguruan tinggi harus dilalui dengan menyelesaikan tugas khusus. Lisa wajib menulis tentang wanita di media dan eksploitasi mereka di masyarakat barat.

Melihat kembali pilihannya, dia tidak pernah menyadari bahwa secara tidak sadar perjalanan ke Maroko telah memberinya perspektif berbeda tentang wanita.Dia lebih ingin mengeksplorasi jilbab dan hak perempuan dalam Islam. Isu inilah yang membuatnya tertarik belajar Islam secara mendalam yang pada akhirnya membuat dirinya yakin untuk bersyahadat.

Lulus kuliah

Setelah lulus kuliah, dia langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan.Tetapi tak lama dia baru menyadari jika pekerjaan itu tidak cocok untuknya. Setelah memutuskan berhenti bekerja Lisa kemudian memilih untuk melanjutkan pendidikan di sekolah fotografi.

Beberapa bulan menempuh pendidikan khusus, dia diberi tugas untuk membuat gambar dokumenter dua menit mengenai topik apa pun yang diinginkan. Dia memutuskan untuk memilih jilbab sebagai topiknya.

“Saya tidak pernah benar-benar bertanya mengapa wanita memakainya, yang mengejutkan mengingat saya memakainya sendiri selama tiga bulan sementara di Maroko. Saya hanya melihatnya sebagai lebih dari pakaian budaya bukan aturan agama,”jelas dia.

Tapi perlu banyak diketahui, banyak cara masyarakat Barat mengeksploitasi wanita melalui media.Namun, banyak pihak kini menyadari, jilbab di dalam Islam terbukti melindungi wanita dan meningkatkan harga diri.

Mempelajari Islam

Setelah selesai membuat dokumenter, Lisa menjadi sangat tertarik dengan Islam. Dia kemudian belajar agama itu selama beberapa bulan. Semakin mendalami Islam semakin dia meyakini agama ini adalah yang dicarinya selama ini. Dia kemudin mengucapkan syahadat pada 29 Juli 2011.

“Itu adalah keputusan terbaik yang pernah saya buat. Setelah pengalaman saya, melihat ke belakang, semakin menyadari bahwa jika tidak mengejar mimpi untuk menjadi seorang fotografer, mungkin saya tidak memiliki alasan untuk belajar Islam,” ujar dia.

Lisa pun menyarankan agar jika suatu saat memiliki keinginan, maka hanya tinggal dikerjakan. Manusia tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada masa mendatang. Dalam kisahnya, Lisa terinspirasi untuk melakukan perjalanan dan mempelajari fotografi sehingga membawanya kepada Islam.

Lisa juga terinspirasi dengan perkataan ibu Teresa yang sangat berarti baginya, “Perdamaian dimulai dengan senyuman.

Kutipan itu mengingatkan dia pada sesuatu yang selalu dikatakan ibunya. Lisa mengenang kisahnya sewaktu kecil bahwa ketika saudara perempuan dan dirinya bertengkar, ibunya mengatakan bagaimana bisa mengeluh tentang perang jika diri sendiri berbaku hantam di rumah.Setiap kali mulai pertengkaran kata- kata ibunya selalu terkenang sehingga mereka dengan cepat berbaikan.

Tim Chambers: Islam Menjawab Semuanya

“Mengapa aku berada di dunia ini? Dua pertanyaan besar itu telah membuat Tim Chambers, pria kelahiran Woking, Surrey, Inggris, gundah gulana. Ia pun melakukan pencarian spiritual untuk menemukan jawabannya.

“Aku pernah meyakini agama Buddha, Hindu, Sosialisme, juga Kristen untuk kedua kalinya,” ujar pria berambut gondrong itu seperti dikutip laman OnIslam.net. Namun, Tim tak berhasil menemukan Tuhan.

Ia pun mendalami Tai Chi dan berbagai seni bela diri, meditasi, serta vegetarianisme. Harapannya, ia bisa menemukan jawaban atas pertanyaan spiritual yang bercokol dalam hatinya itu. “Tak satupun mampu memberi saya jawaban, tuturnya.

Hingga suatu hari, ia berkenalan dengan Islam. Dan, dua jawaban penting yang terus dicarinya itu akhirnya berhasil ditemukannya dalam Islam. Sejak itulah, ia menjadi seorang Muslim. Bahkan, kini, ia menjadi seorang dai.

Namanya berganti menjadi Yusuf Chambers. Ia selalu tampil di berbagai event Muslim internasional dan secara rutin mengisi program beberapa media Islam, seperti Peace TV dan Islam Channel. Dakwahnya juga menjangkau Meksiko, India, dan Kuwait.

Lalu, bagaimana Yusuf bisa menemukan Islam?

Sebelum masyhur sebagai seorang dai, tak banyak orang yang tahu jejak hidupnya.

Ia mengaku berasal dari sebuah masa lalu yang gelap. Yusuf tak melupakan bagaimana hari-harinya sebelum ia berislam, 15 belas tahun silam.

Mengerikan, tuturnya saat mengenang kehidupannya pada masa lalu yang dihabiskan bersama teman-temannya dengan mabuk-mabukan dan hal-hal negatif lainnya. “Saya tidak perlu menjelaskan apa yang hampir selalu kami lakukan pada masa itu,” katanya.

Ketika menginjak usia yang ke-20, hidupnya mulai berubah. Ia mulai menekuni sesuatu yang bernuansa spiritual. Saat itu, aku mulai mempertanyakan banyak hal dalam kehidupan ini, termasuk keberadaan Tuhan.

Tak jarang, ia menghabiskan waktunya tanpa berbicara dengan siapa pun, memperhatikan sekelilingnya. Ia lalu menyimpulkan bahwa semuanya bukan sesuatu yang penting. Tim juga sering memandang keluar jendela berlama-lama dan berusaha menemukan kebenaran dari langit.

“Di satu titik, aku kagum dengan semua yang kulihat dari jendela,”ucapnya.

Keindahan bulan dan bintang telah membuatnya berdecak kagum. Betapa hebatnya alam semesta berdampingan dengan bintang terdekat yang berjarak empat tahun cahaya darinya.

“Aku sangat ketakutan karena tidak pernah tahu mengapa semua hal-hal menakjubkan itu ada di sekitarku,” katanya.

Tim lalu berusaha mencarinya lewat sains dan mempelajari astronomi. Semua itu tidak menjawab pertanyaannya dan justru membawanya pada kebingungan. Pencariannya itu justru menyimpulkan bahwa sains hanya melekatkan label pada segala sesuatu yang tampak nyata dan sama sekali tidak memberikan penjelasan di baliknya.

Menurutnya, sains tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, Mengapa kita ada di dunia ini? Ke mana kita akan pergi setelah mati nanti?” Itu adalah pertanyaan dasar yang harus kita tanyakan pada diri sendiri dan pada orang lain di sekitar kita.”

Suatu waktu, ia mendatangi gereja dan bertanya kepada pendeta yang saat itu dianggapnya sebagai manusia utusan Tuhan. Siapa sebenarnya Tuhan itu dan mengapa aku berada di dunia saat itu? tanyanya kepada pendeta itu.

Pendeta malah balik bertanya, Apakah kamu pernah mempelajari teologi agama (Kristen)? “Ya, teologi Kristen hanya berisi hal-hal dogmatis yang tidak masuk akal, jawab Tim.

“Kalau begitu, aku tidak tahu harus menjelaskan apa pun. Aku tidak dapat membantumu, tutur pendeta itu.

“Kau lihat gereja di seberang sana? Aku adalah orang yang membuka dan menutupnya, menjaga orang-orang saat mereka datang dan pergi meninggalkan gereja. Itulah pekerjaanku,” pendeta itu menjelaskan.

Tim menyadari bahwa siapapun dan dimanapun seseorang berada, termasuk di dalam gereja sekalipun, tidak akan ada yang mampu mengubahnya jika Allah tidak memberikan petunjuk.

Meski begitu, ia tak patah arang. Tim terus melakukan pencarian. Hingga suatu waktu, ia mengagumi seorang gadis Muslim asal Malaysia. Tim berupaya mendekatinya karena beranggapan gadis itu akan membantunya secara spiritual dan emosional.

“Saat itu, saya tidak terfokus pada hal- hal tentang Muslim karena menurut saya, itu bukanlah hal yang penting. Saya hanya mendekatinya, sementara ia justru sebaliknya, berusaha menjauh dari saya,” kenangnya.

Suatu hari, di bulan Ramadhan, gadis itu marah karena ucapan Tim dinilai menghina agamanya. Saya hanya merespons perkataannya yang melarang saya datang menemuinya sepanjang bulan Ramadhan.

Tim kemudian mendatangi komunitas Islam di kampusnya dan meminta mereka membantunya mengenal Islam dan mendekati gadis Malaysia yang disukainya itu. Tim justru mendapat anjuran untuk tidak berusaha memacari gadis itu.

“Saya menganggap saran itu tidak adil karena saya mencintainya, tapi kemudian, mereka menjelaskan pada saya bahwa gadis Muslim itu tidak berpacaran dan itu adalah hal yang seharusnya, tutur Yusuf.

Teman-teman Tim dari komunitas Islam itu kemudian memberinya beberapa buku tentang Islam untuk dipelajarinya. Ia lalu meluangkan banyak waktunya untuk membaca banyak buku Islam dan mulai mengerti mengapa gadis itu menjauhinya.

Hingga suatu hari, Tim kembali mendatanginya dan menawarkan diri untuk menikahinya. “Saya pikir itu akan menyelesaikan persoalan tentang perbedaan kami, tapi saya ditolak,” kenang dia.

Tim terus membaca banyak buku Islam hingga akhirnya ia memutuskan untuk ikut menjalankan puasa Ramadhan. Sesekali ia bergabung dengan umat Islam di masjid dan mengikuti shalat berjamaah.

“Saya tidak tahu apa yang mereka lafalkan dan hanya berusaha mengikuti gerakan mereka, katanya.

Yusuf mengingat dengan baik, ia berada di London waktu itu dan masih berada di lingkungan yang sama dengan teman- teman lamanya. Saat mereka pergi untuk berpesta dan sejenisnya, Tim memilih tetap tinggal di rumah, melahap buku-buku Islam, dan sesekali pergi ke kamar mandi untuk melakukan wudhu serta ghusl(mandi atau membersihkan diri dari kotoran).

“Meski saya tidak benar-benar mengerti apa ghusl itu,” ungkapnya.

Dari semua yang dibacanya, Tim benar- benar terfokus pada fakta bahwa Islam harus menjadi jalan hidupnya sehingga pagi pada keesokan harinya, masih di bulan Ramadhan, ia mendatangi sebuah masjid untuk mengikrarkan keislamannya.

Setelah mengucapkan syahadat, sekitar 300?400-an jamaah pria memeluk saya secara bergantian, mengucapkan salam dan ucapan selamat pada saya, ujar salah satu pendiri Islamic Education and Research Academy (IERA) itu.

Tim Chambers lalu berganti nama menjadi Yusuf Chambers, menemukan kehidupan yang baru sejak itu. Ia mengaku depresi yang telah lama dirasakannya lenyap, pun ketergantungannya pada alkohol. Yusuf mengatakan, ia telah menemukan kebenaran akhir yang telah lama dicarinya setelah menjadikan Islam sebagai keyakinannya.

“Saya berubah, dari tidak memahami apa pun menjadi seseorang dengan keyakinan yang tinggi tentang alasan keberadaannya di dunia, hanya dalam dua pekan. Itu karena hidayah Allah,” kata dia.

Yusuf yakin, tidak ada yang bisa menolongnya keluar dari keadaan membingungkan itu, kecuali hidayah Allah. “Dan saya sangat bersyukur atas hidayah-Nya itu,” kenangnya.

Lantunan Alquran Buat Sang Gangster Menangis

Sved Mann lahir di Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur). Di Jerman Timur, Sved tumbuh dalam lingkungan yang skeptis soal agama.

“Biasanya aku tersenyum sinis saat melihat atau bertemu mereka yang memeluk keyakinan tertentu, termasuk Muslim,” katanya.

Saat berusia 12 tahun, Tembok Berlin runtuh. Ia pun bertemu situasi yang sama sekali berbeda. Wilayah itu lebih banyak dihuni kaum imigran yang inferior. “Kami menjadi sampah masyarakat. Kami (Sved dan kaum imigran) adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukiman terisolasi,” ujarnya.

Sved perlahan mencontoh perilaku sosial di lingkungan barunya itu. Ia segera memiliki referensi baru tentang bagaimana hidup di dunia barunya dari para imigran yang menjadi kawannya. “Aku banyak melakukan hal buruk, seperti mencuri dan kejahatan lainnya,” kenangnya.

Suatu hari ia bertemu seorang imigran asal Turki, adik seorang imam masjid lokal yang kemudian menjadi kawan dekatnya. Kedekatan itu me mung kinkan sang teman mengenalkan agamanya, Islam, pada Sved si apatis.

Suatu hari, kawan Sved mengatakan kepada kakaknya bahwa ia ingin membawa Sved pada Islam. Sang imam tak menanggapinya dengan serius dan hanya berkata, “Dia (Sved)? Tidak mungkin.” Tetapi, ia tetap pada pendiriannya dan menga takan kepada kakaknya bahwa ia akan segera bertemu kembali dengan Sved yang ber agama Islam.

Imam masjid itu lalu bepergian selama tiga bulan. Dan, saat kembali, ia dikejutkan oleh sapaan Sved terhadapnya. “Ia berkata, ‘Assalamualaikum’. Rasanya sulit mempercayai itu saat itu hingga aku pun bertanya kepadanya, ‘Apa yang terjadi kepadamu?’” kata sang imam.

Lantunan Alquran saat Subuh

Sved menemukan keyakinannya setelah berdiskusi panjang dengan kawan dekatnya itu suatu malam. Setelah membicarakan banyak hal ten tang Islam, kata Sved, ia segera memiliki keinginan untuk pergi ke masjid bersama sang teman.

Ia menambahkan, keterpanggilannya untuk memilih Islam turut di pengaruhi oleh pengalamannya pada suatu Subuh, di mana ia mendengar seorang anak membaca Alquran. “Tiba-tiba aku menangis, tak tahu mengapa. Aku tak mengerti bahasa Arab, tidak memahami apa yang dibacanya. Tapi, seolah hatiku secara jelas memahami nya,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.

Ia menambahkan, peristiwa itu terasa begitu jaib baginya. “Itu pengalaman yang luar biasa. Aku adalah seorang gangster dan tiba-tiba bisa menangis.”

Ketika sebuah proyek independen pembuatan film dokumenter tentang agama dan budaya di Jerman menemuinya dan bertanya tentang perpindahan agamanya, Sved menjawab, “Aku tidak akan mengatakan bahwa aku berpindah agama. Mereka hanya menjelaskan banyak hal tentang Islam padaku dan aku mencoba memahaminya.” Ia melanjutkan, “Tidak ada perpindahan agama dalam Islam. Allah juga berkata dalam Alquran, ‘Tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqa rah:256)’,” jawabnya ringan.

Ia menuturkan, sebelum mengamal kan ajaran Islam, dia telah melaku kan pencarian, tetapi tak meluangkan cukup waktu untuk itu. “Tapi, aku selalu percaya Tuhan. Dan, aku senang akhirnya menemukan Islam.” Sved tampak tak ingin memusing kan alasan di balik pilihannya pada Islam. “Aku lebih suka mendes kripsikan keislaman ku de ngan ‘seseorang telah menge nal kanku pada Islam dan aku menuju agama itu’,” katanya.

“Karena, pada akhir nya semuanya adalah Islam,” tandas Sved berusaha menekankan jawabannya pada makna kata ‘Islam’, yakni berserah diri.

Tak Pernah Tinggalkan Shalat

Sved mengikrarkan syahadat 11 tahun lalu dan mengganti nama depannya menjadi Sayed. Sejak itu, ia banyak membaca untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Dari sang imam yang pernah meragukannya, Sayed belajar membaca Alquran. Ia juga mempelajari bahasa Arab untuk dapat memahami Kitabullah tersebut.

Bagi Sayed, Islam adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. “Mengapa aku mau melakukannya? Karena, dengan itu nanti aku akan bertemu dengan Penciptaku dan surga-Nya agar aku berhak atas itu. Itulah Islam menurutku saat ini,” ujarnya saat ditanya tentang esensi Islam.

Karena itu, sejak bersyahadat, Sayed tak mau meninggalkan shalat lima waktu dengan alasan apa pun. Shalat baginya adalah keluar dan mengistirahatkan diri sejenak dari dunia dan seluruh isinya.

“Kita membersihkan diri dan menghadap Sang Pencipta.”

Ia menambahkan, shalat tak menjadi masalah bagi segala aktivitasnya. “Tak ada alasan untuk meninggalkannya. Setiap orang pasti bisa menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri, dan mendirikan shalat,” tambahnya.

Kini, selain merasakan ketenangan dan keteraturan hidup, Sayed mengaku, ia menemukan hal berharga lainnya dalam Islam. “Ketika kamu menjadi seorang Muslim, kamu mungkin kehilangan teman, tetapi kamu mendapatkan saudara,” ujarnya.

Setelah berislam, Sayed merasa menemukan keluarga baru dan saat itu juga menjadi anggotanya. “Itu sesuatu yang tidak bisa kuperoleh dari gereja-gereja di Jerman.”

Vince Focarelli Kepala Geng Motor Australia yang Bersyahadat

Pria kelahiran Italia ini awalnya menolak menceritakan kisah pribadinya, terutama terkait perubahan mendasar dalam kehidupan spiritualnya. Akan tetapi, pendiriannya tersebut akhirnya berubah juga setelah Adelaide, media Australia memublikasikan perjalanannya tersentuh hidayah Islam.

Masa lalu Focarelli tergolong kelam. Dia pernah bergabung dengan geng motor paling terkenal di Australia Selatan, yakni Comanchero. Pria yang kini usianya menginjak 43 tahun itu pernah menduduki sebagai pemimpin tertinggi Comanchero. Kehidupannya berubah 100 persen selama dia mendekam di penjara.

Focarelli menuturkan perjalanan kelam hidupnya selama menjadi ketua geng motor. Banyak masalah yang meng hampi rinya. Beberapa kali dia harus menghadapi per cobaan pembunuhan. Dan dia tetap bertahan meski telah ditembak enam kali. Insiden tersebut terjadi pada 2012, ketika itu ramai diberitakan media Australia. Dalam insiden penembakan anggota geng motor, dia selamat, tapi anak tirinya Giovanni harus meregang nyawa dalam insiden yang sama.

Tak hanya harus menghadapi jurang ke matian berkali-kali, dia juga meng hadapi berbagai masalah. Dia pernah menghabiskan 14 bulan di penjara karena kepemilikan senjata api tak berizin dan kepemi likan narkoba. Focarelli dibebaskan dari penjara secara bersyarat Apri 2013 lalu. Januari 2017, Focarelli mengisahkan, dia harus dideportasi dan berakhir di lembaga pemasyarakatan karena tindakan kriminal di masa lalunya. Khawatir dia akan dideportasi dari Australia, dia memilih meninggalkan Australia.

Dia meninggalkan Australia dan kembali ke Italia Maret 2017, namun tak lama. Dia kembali ke Italia, terakhir kali dia berada di negara itu ketika berusia 12 tahun. Setelah itu dia pindah ke Malaysia dan memutuskan memulai hidup baru. Kini dia menetap di Malaysia.

Di Kuala Lumpur, Focarelli men jalani kehidupan yang baru. Dia sangat ingin menjadikan tempat ini rumah keduanya setelah meninggalkan kehidupannya yang suram di masa lalu.

“Jika saya bertahan dan me nunggu mereka, ada kemungkinan saya bisa dibawa ke pusat pena han an. Setelah aku tenang, istri dan anak perempuanku akan ikut, katanya Tak lama setelah tiba di Malaysia, dia pun memboyong ibunya pindah bersamanya. Ibunya ketika itu sedang menderita kanker stadium akhir. Agustus 2017 ibunya datang, tetapi istri dan anak perempuan tirinya masih berada di Australia.

Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan melihatnya lagi, tetapi Allah memberi saya berkat ini. Sekarang giliranku merawatnya.  Focarelli juga berbagi tentang kehidupannya di Malaysia, dan bagaimana dia menikmati kebebasan yang dia miliki serta pengalaman yang dia terima. Saya tidak pernah mengalami budaya yang seindah ini. Saya merasa bebas dan saya tidur nyenyak di malam hari.

Ibunya membangunkan Focarelli beberapa kali setiap malam. Namun, dia merasa bebas karena dapat menemaninya. Sedangkan ayah Focarelli meninggal hanya beberapa hari sebelum dia dibebaskan bersyarat pada 2013.

“Adelaide adalah rumah saya dan hati saya masih di sana. Saya merindukannya. Saya kehilangan dua orang. Saya kehi langan istri dan anak tiri saya. Ketika mereka di sini, saya akan lengkap,” kata Focarelli, seperti dilansir the Advertiser. Setelah tinggal di Malaysia dia ingin membuka kem bali restoran lamanya yang pernah dikelolanya di Australia yaitu La’Fig Cucin.

Pendakwah

Hidup baru bagi Focarelli tak hanya tinggal di lingkungan yang berbeda. Pemilik nama Islam Imran Abdul Salam ini be nar-benar meninggalkan kehidupan lamanya. Kini lelaki sangar tersebut berubah menjadi seorang pendakwah. Dia berbagi kisah religinya kekhalayak tentang nikmatnya menjadi Muslim. Dia berkeliling dari satu pertemuan ke pertemuan lain dari satu masjid ke masjid lain.

Dia berharap dari kisah hidupnya, jamaah yang mendengarnya dapat meme tik pelajaran darinya. Dia bercerita kisah hidupnya yang menjadi gengster kemudian benar-benar memeluk Islam. Sejak menjadi mualaf, banyak undangan yang dia terima. Dia pun bertemu dengan seorang mufti. Mufti di Malaysia menyambutnya dengan tangan terbuka.

Kisah perjalanan Focarelli mengenal Islam banyak diminati anak-anak dan remaja. Salah satu warganet, Zulkifli misalnya, dia menulis komentarnya di media sosial tentang Focarelli sebagai berikut: “Mendengar bagaimana dia (Focarelli) me nerima bimbingan untuk memeluk Islam sudah cukup mengingatkan kita akan ke hebatan Allah. Memang benar bahwa bim bingan itu milik Allah SWT sendiri,” ujar dia.

Kendati Focarelli benar-benar telah meninggalkan kehidupan lamanya, sepak terjangnya masih cukup ditakuti dan dibenci, terutama bagi warga Adelaide. Padahal, kini dia merupakan orang yang berbeda.

Sebagai bentuk pengabdiannya kepada masyarakat, Focarelli aktif di bidang sosial. Dia memberikan ceramah motivasi dan inspiratif tentang perjalanannya menemukan Islam. Selain itu, juga terlibat di lembaga kemanusiaan. Dia banyak bekerja untuk mendistribusikan makanan bagi pengungsi Yaman.

Sebelumnya dia memiliki usaha restoran Italia halal La Fig Cucina di Adelaide. Dia berharap restoran ini tetap ada dan berkembang hingga seluruh dunia. Tak hanya mengembangkan bisnis restoran ini, dia juga memberikan sebagian keuntungannya untuk kaum dhuafa. Setiap pekan, dia bersedekah untuk gelandangan dan komunitas Muslim lokal di Adelaide. Perbuatan baiknya ini, menjadi alasan banyak orang memeluk Islam dan teman-temannya yang Muslim bertambah lebih taat.

Selain berkeliling untuk berdakwah kini dia didaulat sebagai brand ambassador dan direktur dari mata uang kripto yang sesuai syariah, Bayan Token. Menurut dia, keberadaan mata uang kripto ini memiliki manfaat positif. Bagi Abdul Salam, upayanya tersebut bagian dari perbuatan baik. “Saya percaya ketika anda berbuat baik, maka kebaikan akan kembali kepada Anda,” ujar dia.

Allah telah memutuskan bahwa perbuatan baik harus dilakukan dengan niat baik. Menurut Abdul Salam, mata uang kripto ini dibuat sesuai dengan syariah Islam. Tujuannya pun untuk mendanai proyek yang bermanfaat bagi jutaan orang sesuai dengan ajaran Islam. Dia berharap manfaat uang kripto ini dapat dirasakan terlebih dahulu oleh masyarakat Asia Tenggara.

Berdasarkan situs Bayan Token, hasil penjualannya dipastikan untuk mendanai beberapa proyek sehingga nilai token ini akan sangat menguntungkan. Bayan Token bukan hanya token utilitas tetapi juga mendukung proyek nyata yang menguntungkan dan mendukung kehidupan sekitar. Proyek sosial ini di antaranya adalah mendukung pengembangan 100 hingga seribu gerai halal di Malaysia, Singapura, Brunei, dan Indonesia.

Dengan mata uang ini Abdul Salam yakin biaya hidup jutaan Muslim yang tinggal di seluruh Asia Tenggara akan menurun. Proyek lainnya adalah, mengembangkan produksi ekstrak daun Basella alba alami. Bahan alami ini diklaim menurunkan tingkat kolesterol pada manusia dan kebanyakan hewan tanpa kerusakan otot, hati, rhabdomyolysis, dan gagal ginjal akut disebabkan perawatan sintetis.

 

REPUBLIKA

Awalnya Bogdan Kopanski Penasaran dengan Suara Azan

Kopanski muda tiba-tiba tergerak untuk mendatangi masjid tempat suara azan tersebut.

Sejak masih belia, Bogdan Kopanski tidak pernah puas dengan kehidupan spiritualnya. Ajaran Katolik yang ia peroleh semasa kecil ternyata tidak mampu menjawab kegundahan jiwanya yang tengah mencari-cari kebenaran tentang Tuhan.

Kopanski lahir di Polandia pada 1948. Keluarganya memiliki latar belakang etnik Silesia. Tumbuh sebagai anak yang cerdas, Kopanski kecil cukup kritis mencerna pelajaran agama yang ia dapatkan dari gereja. Ia tidak mau menerima doktrin-doktrin gereja begitu saja tanpa merenungkannya kembali dengan menggunakan akal sehat yang ia punya.

“Ketika masih berumur 12 tahun, saya akhirnya menolak konsep iman Kristiani karena ajaran tersebut tidak masuk akal bagi saya,” tutur Kopanski membuka kisah perjalanan rohaninya.

Tidak hanya dalam urusan agama, Kopanski juga menunjukkan sikap kritisnya dalam merespons situasi politik di negaranya. Saat menjalani pendidikan akademi militer di Katowice, ia aktif menentang rezim komunis Polandia. Sebagai hasilnya, ia pun dikeluarkan dari sekolah ketentaraan itu pada 1968 dan kemudian dijadikan sebagai tahanan politik oleh penguasa setempat.

Sekeluarnya dari penjara, Kopanski melanjutkan pendidikannya pada program sejarah di Universitas Silesia, Katowice. Setelah lulus, ia lalu bekerja sebagai dosen dan peneliti di perguruan tinggi tersebut. Di samping mengajar, Kopanski juga meneruskan studinya ke jenjang pascasarjana (S-2).

Selama berkutat di dunia kampus itulah ia mulai berkenalan dengan Islam. “Saya merasa tertarik untuk mendalami sejarah peradaban Muslim di Eropa. Ini menjadi titik awal saya mempelajari Islam dan Alquran,” ujarnya.

Penasaran

Beberapa waktu berikutnya, rasa penasaran Kopanski terhadap Islam kian besar. Ia pun lantas berusaha mencari lebih banyak lagi literatur tentang  agama samawi tersebut guna memuaskan rasa dahaga intelektualnya.

Pada 1974, Kopanski mendapat kesempatan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Turki. Kebetulan ketika itu ia tengah merampungkan tesis S2-nya tentang kebijakan Sulaiman al-Qanuni (Sultan Turki Ottoman yang hidup antara 1494-1566) terhadap Polandia. Oleh karenanya, kesempatan berkunjung ke Turki itu betul-betul ia manfaatkan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitiannya tersebut.

Selama berada di Turki, Kopanski memperoleh banyak pengalaman baru. Salah satu kenangan yang paling berkesan baginya sampai saat ini adalah ketika ia mendengar lantunan indah suara azan dari sebuah masjid tua di Istanbul. “Lafaz-lafaz azan yang menggema itu terasa sangat menyentuh jiwa. Sampai-sampai, bulu romaku berdiri saat mendengarkannya,” ungkapnya.

Seakan-akan ada kekuatan gaib yang menuntunnya, Kopanski muda tiba-tiba tergerak untuk mendatangi masjid tempat suara azan tersebut berasal. Sesampainya di masjid itu, ia bertemu seorang pria Turki yang sudah berusia lanjut. Lelaki itu pun tersenyum begitu mengetahui Kopanski merasa terpanggil oleh suara azan.

Setelah keduanya bercakap-cakap untuk beberapa saat lamanya, pria tua itu lantas mengajarkan Kopanski tata cara berwudhu. Ada pengalaman sangat spiritual yang dirasakan Kopanski tatkala anggota tubuhnya dibasahi oleh air wudhu. Tanpa disadari, air matanya pun jatuh bercucuran karena terharu. Pada waktu itulah Kopanski mengucapkan kalimat Syahadat dan resmi menjadi Muslim.

Setelah kalimat suci tersebut terlontar dari bibirnya, untuk pertama kalinya Kopanski merasakan pikirannya begitu tenang dan santai. Dia juga merasakan nikmat dan cinta Allah memenuhi seluruh relung hatinya kala itu. “Selanjutnya, saya melaksanakan shalat Maghrib berjamaah di masjid tersebut. Itu adalah shalat pertama yang saya lakukan sepanjang hidup saya,” kenangnya.

Karier akademis

Sejak menjadi Muslim, Kopanski menambahkan ‘Ataullah’ pada nama depannya-yang secara harfiah berarti ‘karunia Allah’. Ia lalu menikahi perempuan asal Palestina bernama Mariam binti Abdurrahman. Dari perempuan itu, Kopanski dikaruniai tiga orang anak, yakni Khalid, Tareq, dan Summaya.

Pada 1975, Kopanski meraih gelar masternya di bidang sejarah dari Universitas Silesia. Lima tahun berikutnya, ia berhasil pula menyandang gelar doktor (PhD) di bidang humaniora dari perguruan tinggi yang sama. Pada dekade 1980-an, ia melanjutkan karier akademisnya di berbagai universitas dan lembaga penelitian Islam di AS, Suriah, India, Pakistan, Bosnia, dan Afrika Selatan.

Pada 1995, ia dinobatkan sebagai guru besar sejarah di International Islamic University Malaysia. Sampai saat ini, ia masih aktif mengajar di perguruan tinggi milik Negeri Jiran tersebut. Sebagian hasil kajian dan penelitiannya lebih banyak membahas soal sejarah umat Islam di Eropa Tengah dan Eropa Timur.

REPUBLIKA

Siapakah Wali Nikah untuk Wanita Mualaf?

TERKAIT perwalian wanita muallaf sementara keluarganya masih kafir, ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini,

Pertama, Ulama sepakat bahwa yang boleh menjadi wali harus memiliki kesamaan agama. Wali seorang muslimah, harus seorang muslim. Sementara non muslim tidak bisa menjadi wali bagi muslim, meskipun itu ayahnya sendiri.

Allah berfirman, “Mukmin lelaki dan mukmin wanita, satu sama lain menjadi wali.” (QS. at-Taubah: 71)
Allah juga berfirman, “Allah tidak akan memberikan celah bagi orang kafir untuk menguasai orang yang beriman.” (QS. an-Nisa: 141).

Kedua, Orang yang berhak jadi wali bagi wanita urutannya adalah ayahnya, kakek dari ayah, anaknya, cucu lelaki dari anak lelaki, saudara lelaki kandung, saudara lelaki sebapak, keponakan lelaki dari saudara lelaki sekandung atau sebapak, lalu paman. Sehingga dia mengikuti urutan kedekatan sesuai urutan yang mendapat asabah dalam pembagian warisan.

Karena itu, jika ada wali yang muslim bagi wanita mullaf di antara urutan di atas, maka dia yang paling berhak jadi wali. Misalnya, seorang wanita muallaf, semua keluarga ayahnya kafir, tapi dia punya saudara lelaki kandung yang muslim, maka saudara lelakinya yang menjadi wali baginya. Ketiga, jika tidak ada satupun anggota keluarga yang berhak jadi wali karena beda agama, maka hak perwalian dialihkan ke pemerintah muslim.

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali. Dan sultan (pemerintah) merupakan wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad 26235, Ibn Majah 1880 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Bagaimana jika wanita mullaf ini tinggal di negeri kafir? Wanita muallaf yang tinggal di negeri kafir, semua keluarganya tidak ada yang muslim, siapa yang bisa menjadi wali pernikahannya?

Siapapun muslim tidak dihalangi untuk melakukan pernikahan, hanya karena latar belakang posisi dan lingkungannya. Islam memberikan kemudahan baginya. Wanita ini tetap bisa menikah, dan yang menjadi walinya adalah tokoh muslim yang terpercaya di daerahnya, seperti imam masjid di negerinya.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Untuk wanita yang tidak memiliki wali (di keluarganya) dan tidak pula pemerintah yang muslim, ada salah satu riwayat dari Imam Ahmad, yang menunjukkan bahwa dia dinikahkan dengan lelaki adil (terpercaya), atas izin si wanita itu.” (al-Mughni, 7/18).

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Kesan Mark Shaffer Pertama Kali Melihat Kabah

Mark Shaffer memutuskan menjadi Muslim sekitar delapan tahun lalu atau tepatnya pada 17 Oktober 2009. Ia berikrar syahadat saat berada di Arab Saudi.

Ketika itu, Mark sedang menghabiskan waktu liburan di negara petro dolar itu selama 10 hari dengan mengunjungi beberapa kota, seperti Riyadh, Abha, dan Jeddah. Selama kunjungan ini, ia tertarik dengan Islam dan mempelajarinya.

Mark adalah seorang jutawan terkenal sekaligus seorang pengacara di Los Angeles. Spesialisasi kasus yang ia tangani adalah seputar kasus di hukum perdata. Ia merupakan pemilik firma hukum The Shaffer Law Firm. Kasus besar terakhir yang ia tangani adalah kasus penyanyi pop terkenal Amerika, Michael Jackson, sepekan sebelum ia meninggal.

Perkenalan Mark tidak terlepas dari sentuhan pemandu wisata yang menemaninya selama di Arab Saudi. Dhawi Ben Nashir namanya. Menurut Nashir, sejak menginjakkan kaki pertama kali di Arab Saudi dan tinggal di Riyadh selama dua hari, Mark sudah mulai mengajukan pertanyaan soal Islam dan shalat. Dari hari ke hari selama perjalanan wisata, ketertarikan Mark kepada Islam semakin besar, ter utama saat ia mengunjungi padang gurun pasir.

Saat berada di gurun gersang itu, Mark kagum melihat tiga pemuda Saudi yang melaksanakan shalat di atas bentangan padang pasir yang sangat luas. Baginya, hal tersebut merupakan pemandangan yang begitu fantastis.

Setelah dua hari di Al-Ula, Mark dan rombongan mengunjungi Al-Juf. Saat tiba di Al-Juf, Mark mulai berburu buku-buku Islam. Ia meminta Nashir memberikan beberapa buku Islam yang ia butuhkan.

Dengan penuh semangat, Mark membaca semua buku yang diberikan kepadanya. Keesokan paginya, Mark meminta kepada Nashir mengajarinya melakukan gerakan shalat. Nashir mengajari Mark bagaimana berdoa dan mengambil wudhu. Kemudian, ia mengikuti gerakan shalat Nashir.

Setelah shalat, Mark merasakan kedamaian dalam jiwanya. Kamis sore, Mark dan rombongan meninggalkan Al-Ula untuk mengunjungi Jeddah. Dalam perjalanan menuju Jeddah, Mark semakin tampak serius membaca buku-buku Islam.

Saat tiba di Jeddah, Mark mengunjungi kota tua Jeddah. Karena perjalanan bertepatan dengan hari Jumat, Nashir pemandu wisata Mark mohon izin melaksanakan shalat Jumat. Mark meminta Nashir kembali mengajaknya melaksanakan ibadah shalat. Mark ingin tahu bagaimana shalat Jumat dilaksanakan.

Kekaguman Mark kepada Islam semakin besar saat ia ikut serta dalam pelaksanaan shalat Jumat, yang diadakan di masjid dekat hotel ia menginap. Mark begitu kagum dengan banyaknya jamaah yang hadir hingga keluar masjid.

Ditambah lagi setelah shalat selesai dilaksanakan, masing-masing orang saling berjabat tangan dan berpelukan dengan wajah ramah. Baginya ini adalah hal yang begitu indah.

Selesai melaksanakan shalat Jumat, Mark kembali ke hotel. Tiba-tiba ia mengatakan kepada Nashir bahwa ia ingin menjadi seorang Muslim. Tanpa ragu, Nashir mengarahkan Mark. Ia meminta Mark bersuci terlebih dahulu sebelum membimbingnya mengucapkan ikrar syahadat. Akhirnya, Mark resmi menjadi Muslim.

Deklarasi

Mark memutuskan mendeklarasikan keislamannya kepada media Arab Saudi, yakni kepada surat kabar Al-Riyadh. Dalam keterangannya kepada media, Mark mengaku tidak bisa mengungkapkan perasaannya.

Ia merasa seperti dilahirkan kembali dan memulai kehidupan baru. Saya sangat senang. Kebahagiaan ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, terutama ketika saya mengunjungi Masjid al-Haram dan Ka’bah, katanya.

Sebelum menjadi Muslim, ia mengaku sudah memiliki informasi tentang Islam, tapi sangat terbatas. Ketika mengunjungi Arab Saudi dan menyaksikan langsung Muslimin di sana, ia merasa memiliki dorongan yang kuat untuk tahu lebih banyak tentang Islam.

Informasi yang benar terkait Islam yang ia terima, membuatnya yakin bahwa risalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ini adalah agama yang benar.

Mark mengatakan, tidak akan pernah puas dan terhenti mendalami Islam. Ia justru semakin termotivasi belajar agama. Ia sadar masih terlalu banyak yang mesti ia pelajari tentang risalah yang damai ini.

Mark meninggalkan Arab Saudi pada Ahad pagi, 18 Oktober 2009 setelah menyelesaikan perjalanan wisatanya. Sebelum meninggalkan Jeddah, saat mengisi formulir keimigrasian, dengan bangga Mark mencantumkan Islam sebagai agamanya.

Kesan Pertama Kunjungi Ka’bah

Setelah memeluk Islam, Mark mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Masjid al- Haram di Makkah dan shalat di sana sebelum meninggalkan Arab Saudi.

Untuk memenuhi keinginan Mark, Nashir mengajaknya pergi ke kantor Dakwah dan Irsyad di kawasan Al- Hamro’, Jeddah, untuk mendapatkan bukti formal bahwa Mark telah memeluk Islam.

Bukti ini diperlukan agar Mark dapat diizinkan memasuki Kota Makkah dan Masjid al-Haram. Mark akhirnya memperoleh sertifikat sementara sebagai bukti ia seorang Muslim.

Dalam kunjungannya ke Masjid al- Haram, Mark ditemani Ustaz Muhammad Turkistani karena Nashir harus mengantar rombongan lainnya kembali ke bandara. Sesampainya di Masjid al-Haram, Mark tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya.

Kebahagiaannya semakin bertambah saat memasuki masjid dan menyaksikan secara langsung Ka’bah. Ustaz Muhammad Turkistani yang mendampingi Mark mengaku tidak bisa mengungkapkan apa yang ia saksikan dengan kata-kata.

Setelah melakukan tawaf di sekitar Ka’bah, Mark melaksanakan shalat sunah dan pergi keluar dari Masjid al- Haram. Sejujurnya, ia merasa enggan meninggalkan Masjid al-Haram. Ia berharap suatu saat dapat kembali melaksanakan shalat di Masjid al- Haram.

TERBARU: Aplikasi Cek Porsi Haji, kini dilengkapi Infomasi Akomodasi Haji di Tanah Suci! Silakan Download dan instal bagi Calon Jamaah Haji yang belum menginstalnya di smartphone Android!

Berawal Dari Iseng Puasa Bulan Ramadhan, Akhirnya Bersyahadat

Seorang Non Muslim Dari saudi Arabia, Ayesha Siddiqa, 29 tahun memandang Ramadan memiliki pesona tersendiri. Bulan Ramadan telah mengubah hidupnya.

Dia mengenal islam dan menjadi mualaf setelah belajar berpuasa Ramadan.

Kisah hidup Ayesha bermula ketika Ramadan 2013. Ayesha yang berpindah dari India ke Uni Emirat Arab (UEA) ingin merasakan puasa Ramadan.

Ini karena Ayeesha melihat beberapa kawannya menjalankan ibadah puasa. Dia lalu mencoba rasanya puasa bersama dengan beberapa temannya.

”Ramadan sangat spesial bagi saya karena ini adalah hal pertama yang menarik saya mempelajari Islam. Saya tinggal di sini bersama teman-teman saya dan saat Ramadan tiba, saya melihat mereka sahur, puasa sepanjang hari, berdoa, dan berbuka bersama di waktu senja. Saya tertarik dan kemudian memutuskan untuk berpuasa dengan mereka,” kata Ayesha, di laman Khaleej Times, (13/06/2017) kemarin
Sejak perkenalan di bulan Ramadan 2013 cinta Ayesha kepada Islam mulai tumbuh. Dia menyebut perkenalan itu sebagai titik balik.

” Cinta untuk Islam berakar di hati saya selama bulan suci ini empat tahun yang lalu. Meskipun saya memulai berpuasa bukan sebagai pemeluk Islam. Kini merupakan Ramadan ketiga saya sebagai seorang Muslim, Alhamdulillah,” pungkasnya.(jk/gr)

 

ERA MUSLIM