Elisabath Janiita Ruru Berjuang Temukan Kebenaran Islam

Tak pernah terbesit dibenaknya untuk menjadi seorang Muslimah. Sejak kecil, Elisabeth Janita Ruru menjalani kehidupan apa adanya: Mengikuti arahan dan bimbingan orang tua, menjalani pendidikan, dan bersosialisasi.

Keluarganya adalah penganut Nasrani yang taat. Mengunjungi gereja sudah menjadi rutinitas akhir pekan. Keluarga pasti berkumpul di saat hari raya keagamaan, seperti Natal. Dia memiliki album rohani dan menjadi pengurus gereja. “Saya kristen taat dan saya tahu sekali apa yang dipelajari di Kristen, Alkitab saya sudah paham sekali isinya. Sehingga semua orang heran ketika saya bisa masuk Islam,” kata dia.

Selain itu, Elizabeth dan keluarganya memiliki pengalaman yang buruk seputar Muslim. Dahulu, anggota keluarganya tewas di tangan seorang Muslim. Sejak itu ke bencian terhadap Muslim muncul.

“Opa saya dulu meninggal dibunuh orang yang kebetulan beragama Islam, memang silsilah keluarga tidak ada yang ingin memeluk Islam bahkan jika sampai ada yang memeluk Islam maka mereka akan dibuang, dihina, dan dijauhi,” ujar dia.

Islamfobia yang berkembang belakangan ini juga menjadi dasar baginya untuk memperkuat kebencian terhadap Islam. Kasus terorisme di berbagai belahan dunia semakin menyempitkan persepsinya tentang Islam serta penganutnya.

Mengenal Islam

Elisabeth pertama kali tertarik dengan Islam ketika melihat sahabatnya di media sosial Path. Dia merupakan sahabat lama SMA yang setelah lama tidak berjumpa ternyata banyak unggahannya yang positif. Terutama pesan-pesan yang Islami. Menurut ibu empat anak ini, teman itu sudah berubah luar biasa.

Dahulu, dia memiliki perilaku yang buruk. Namun, sekarang bisa menjadi lebih baik. Media sosial dia manfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan bermanfaat.

Bagaimana bisa dia berubah? Seperti apa ceritanya? Apa yang membuatnya menjadi insan yang lebih baik? Berbagai pertanyaan tersebut muncul di benaknya.

Setelah ditelusuri, ternyata teman sekolah nya ini berteman baik dengan Umi Pipik, istri almarhum Jeffri Bukhori. “Saya kemudian me-repath ulang unggahan teman saya dan berteman dengan Umik Pipik, Qadarullah pertemanan saya diterima tanpa bertanya saya Kristen atau apa, dia juga senang menjawab pertanyaan saya,” kata dia.

Suatu hari, teman SMA-nya Yosi bersama Umi Pipik dan lainnya mengadakan kegiatan amal. Elisabeth sangat senang dengan kegiatan amal tersebut. Dia mengajak teman-teman kantornya ketika itu untuk ikut serta.

Ketika kegiatan berlangsung, temannya tidak bisa hadir. Elisabeth terpaksa mengantar uang santunan. Sampai lokasi dia terkejut karena ternyata acara amal ini acara Muslim karena hampir semuanya berpakaian menutup aurat.

“Karena saya langsung dari kantor, jadi saya masih mengenakan pakaian kantor dengan rok pendek ketika itu, tetapi perhatian yang saya dapatkan dari mereka justru berbeda,” kata dia.

Elisa merasa minder, tetapi justru dia diperlakukan dengan baik. Mereka tidak melecehkan dengan pandangan mereka karena pakaiannya.

Malah dia diajak duduk, berfoto, dan berkenalan. “Dari situ lunturlah pemikiran saya tentang Islam itu jahat, ternyata tidak, Islam itu baik kok, mereka memperlakukan saya dengan baik, meski sebelumnya mereka tidak mengenal saya,” ujar dia.

Islam bukanlah yang selama ini dia pahami. Sejak itu dia memutuskan untuk mempelajari Islam. Dari acara tersebut, Elisa mulai mencari tahu mengenai Islam lebih banyak. Karena Yosi sangat sibuk, Elisa menghubungi temannya yang lain Dita.

Dita kemudian menjelaskan kepadanya tentang konsep Tuhan dalam Islam. Elisa masih mempertanyakan apakah konsep Tuhan dalam Kristen dan Islam sama.

Dita kemudian menegaskan bahwa Tuhan umat Islam adalah Allah SWT, tidak beranak dan diperanakkan. “Dari situlah saya mendapatkan pemahaman baru ten tang Islam,” tutur dia. Lalu dia semakin mendalami Islam dengan bertanya kepada Yosi yang membenarkan pernyataan Dita.

Bersyahadat

Sebelum memeluk Islam empat tahun lalu, Elisabeth merupakan orang tua tunggal selama 10 tahun. Dia memiliki dua orang anak. Setelah mengenal Islam, dia berkenalan dengan seorang pria yang kini menjadi suaminya, Rio Angga. Lelaki itu bekerja di sebuah klub malam terbesar di Jakarta. Saat itu masuk Ramadhan hari pertama, anehnya meski pria ini bekerja di klub malam dia tetap menjalankan puasa. Ah, mungkin hanya sehari dia berpuasa, setelah itu pasti akan makan dan minum pada siang hari. Begitu keyakinan Elisabeth.

Ternyata Rio berkata bahwa setelah 11 bulan dikasih keleluasaan untuk berbuat maksiat, harusnya satu bulan bisa dijalankan sebaik-baiknya sebagai hamba Allah. Dari situ, Elisa sema kin ingin mencari tahu Islam lebih dalam. Namun, dia tidak ingin belajar Islam dari pria ini karena memiliki hubungan dekat, khawatir tidak netral.

Maka, dia belajar Islam dari orang lain terutama sahabatnya Dita. Setelah Idul Fitri, Elisa menghubungi Dita untuk me minta penjelasan lebih dalam mengenai Allah dan Nabi Muhammad.

Pada malam itu Elisa memutuskan un tuk bersyahadat. Kemudian setelah mualaf, dia masih tinggal dengan dua anak nya yang masih Kristen. Kedua anak nya pun merasa kecewa, karena mereka yang ke gereja selalu bersama ternyata kini berbeda pandangan.

“Mereka berpikir maminya gila, saya dimusuhin, pintu dibanting di hadapan saya, mereka nangis, pasti mereka hancur karena saya masuk Islam.”

Elisa bersyukur ketika hijrah dia di dukung oleh seorang ustaz. Pendakwah itu mengajarkannya bahwa ajaran agama harus diwujudkan dalam akhlak. Lakukata yang berdasarkan agama akan meng hadirkan ketenangan dan kesejukan.

Meski berbeda agama dengan kedua anaknya. Elisa tetap memperlakukan ke duanya dengan baik. Dia tetap mengantarkan kedua anaknya sampai pintu gereja, kemudian pulang dan menjemput kembali.

Dari sana, mereka mempelajari Islam dari perlakuannya. Elisa tidak langsung mengajarkan shalat, memerintahkan membaca buku-buku Islam. Dia hanya memperlihatkan Islam dengan ilmu yang masih minim dengan perlakuan baik.

Suatu ketika, anak pertamanya Safira (16 tahun) yang lama menderita skoliosis masuk ICU dan harus dioperasi. Ketika itu dia bingung untuk menuntun anaknya berdoa karena agama yang berbeda.

Elisa berdoa dan berzikir, dia hanya mengatakan untuk berdoa masing-masing karena tidak sama. Namun, atas hidayah Allah, Safira mengatakan ingin berdoa yang sama dengan ibunya.

Disaksikan dokter dan suster, Safira mengucapkan dua kalimat syahadat. Berbeda dengan anaknya yang kedua, Hasiani (14), anaknya yang lahir prematur ini sangat dekat dengan ibunya, sehingga dia paling memusuhi Elisa saat memilih Islam.

Elisa pun tidak pernah menanyakannya. Karena khawatir dihina anaknya dan merasa saki hati dia tidak pernah memaksa anak keduanya memeluk Islam. Suatu hari dia bertanya kepada ayah nya, yang kini menjadi suami kedua Elisa alasan tidak pernah ditanya untuk memeluk Islam.

Padahal, Hasiani berharap ditanya. Setelah itu anak keduanya bersyahadat dan memeluk Islam atas permintaan sendiri. Ini merupakan tahun ketiga kedua anak nya memeluk Islam dan mereka bersyahadat ulang disaksikan Imam masjid di daerah rumahnya di Rempoa.

Dukungan Suami

Tidak lama setelah menjadi mualaf, Elisa dan Rio menikah. Awalnya setelah merasa gagal berumah tangga, dia tidak ingin menikah lagi. Namun, Islam memiliki sudut pandang lain. Dia melihat dengan berumah tangga maka dapat menjalani Islam lebih sempurna. Dia ingin memiliki keluarga yang utuh dan bisa ibadah bersama.

Namun, saat itu kondisinya suami bekerja di kelab malam sudah 14 tahun lamanya. Pernikahan kedua ini tak mudah dilalui. Dia tidak ingin menyerah dengan kondisi suami. Dia tidak memaksa suami berhenti bekerja atau berhenti minum minuman keras. Agar menjadi rem suami, Elisa selalu menemani suaminya bekerja, mengantar atau menjemputnya.

Bahkan ketika berjilbab dia masih kediskotek menemani suaminya. Pernah sempat berputus asa, akhirnya dia bercerita dengan Umi Pipik karena memiliki latar belakang sama.

Dia mendapat nasihat bahwa meminta kepada manusia, baik suami atau anak untuk berubah itu tidak mudah. Cukup minta kepada Allah dengan shalat. Elisa bersyukur Allah memberi jalan, beberapa hari sebelum Aksi Bela Islam 212, suaminya di PHK. Meski kelab malam lain menawari pekerjaan yang sama, dia menolaknya.

Suaminya memutuskan untuk hijrah. “Alhamdulillah, suami saya bisa meninggalkan dunia, dan dua anaknya dari suami saya masuk Islam,” ujar dia.

 

REPUBLIKA

Esther: Puasa Pengalaman Baruku

Esther anak pertama dari dua bersaudara. Adik laki-lakinya sudah bersyahadat lebih dulu pada 2006. “Orang tua awalnya tidak menerima hal itu. Akhirnya menerima walaupun dengan berat hati,” ungkapnya.

Pada tahun 2016 hidayah mendatangi Esther. Namun, ia menyembunyikan identitas barunya sebagai Muslim dengan pertimbangan orangtua. Kebetulan ia tinggal di kota yang berbeda. “Jadi saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai seorang Muslim, yakni shalat dan puasa tanpa orang tua harus mengetahuinya,” kata dia.

Diungkap Esther, ada satu momen dimana ia berpuasa namun harus pulang ke rumah orang tua. Yang bisa Esther lakukan saat itu adalah mencari alasan agar bisa keluar dari rumah.

“Saya baru kembali setelah berbuka puasa. Agar bisa Shalat dan saya tidak disuruh makan,” kata dia.

Esther sudah dua kali melalui Ramadhan. Saat puasa, ia menjalaninya dengan senang hati. Baginya berpuasa adalah pengalaman yang baru.”Yang menjadi kesedihan saya adalah saat Idul Fitri,ketika umat Islam lainya bersilaturahim dan berkumpul dengan keluarga lalu shalat Ied bersama. Saya justru sendirian. Shalat Id sendiri, di kos juga sendiri karena teman-teman mudik semua,” kata dia.

Namun baginya, hal tersebut hanya sedikit kesusahan yang dialaminya karena memutuskan menjadi Muslim. Lainya, ia merasa meraih kebahagiaan lebih banyak. “Saya sudah bisa belajar menahan emosi. Menahan lapar dan haus. Jadi tahu seperti apa mereka yang menahan haus dan lapar,” kata dia.

Pada Ramadhan tahun ini, orangtuanya sudah mengetahui bahwa Esther sudah menjadi Muslim. Walaupun belum bisa menerima sepenuhnya. “Harapan saya selalu, Allah akan melembutkan hati beliau sehingga bisa menerima Hidayah dari Nya,” doanya.

“Dan juga saya masih diberi kesempatan Allah bertemu bulan suci ini lagi, sehingga saya bisa bermunajat kepada Allah dengan lebih intens dan khusyuk hanya untuk mengharapkan keridhaan, ampunan dan hidayah-Nya agar tetap istiqomah dalam keimanan saya ini sekarang.”

Yang menambah kebahagiaan di bulan suci, Esther sudah bisa membaca Alquran walau belum lancar. Harapanya agar bisa menikmati khatam Alquran.  “Alhamdulillah saya juga berbahagia bisa berkumpul bersama-sama di MCI Jawa Timur, ini menambah semangat saya untuk terus belajar Islam dan banyak saudara-saudara yang saling menguatkan keimanan ini,” kata dia.

 

REPUBLIKA

Masuk Islam Via Online Mungkinkah?

MESKI secara syariah dan dalam pandangan hukum Islam, syarat masuk Islam itu sangat sederhana, namun begitu masuk wilayah hukum birokrasi, terkadang seringkali jadi hambatan juga.

Memang birokrasi di negeri ini terlanjur menjadi sebuah momok yang kurang menggembirakan. Misalnya untuk kasus yang paling sederhana, mengurus KTP, SIM dan seterusnya. Terkadang semua menjadi begitu lambat, bertele-tele, tidak praktis dan menyebalkan. Urusan administrasi yang sebenarnya sekadar pencatatan seolah menjadi pekerjaan yang sangat menyita waktu, tenaga, bahkan dana.

Maka banyak sekali orang mencari jalan pintas, kasih uang habis perkara. Karena orang butuh cepat dan berpacu dengan waktu.

Salah satu solusi dari semua keruwetan masalah birokrasi adalah dengan membangun sistem komputerisasi yang online. Beberapa pemda konon telah berhasil membangun e-goverment yang bukan berhenti pada situs profile, tetapi juga membantu menyelesaikan masalah perizinan dan birokrasi dalam format online. Selain cepat dan akurat, sistem birokrasi yang berbasis online ini juga mempu menangani pekerjaan dalam jumlah besar dengan resources yang murah.

Maka seandainya sistem online ini juga bisa diterapkan pada masalah aspek legal seseorang berpindah agama, di mana ada sebuah situs legal yang bisa diakses oleh masyarakat untuk membuat pernyataan pindah agama secara online, tentu akan sangat membantu sekali.

Dari aspek syariah, jelas sangat dimungkinkan, karena pernyataan masuk Islam tidak butuh keterlibatan pihak lain, bahkan tidak butuh saksi. Siapa pun yang ingin masuk Islam dan mendapatkan pengakuan secara legal, cukup mengakses situs tersebut.

Dan kita beri nama yang mudah diingat orang misalnya www.masukIslam.com atau www.tobemoslem.com atau apalah nama lainnya. Situs itu melayani permintaan pernyataan pindah agama dari yang bersangkutan dan dalam hitungan real time, maka surat resmi pernyataan masuk Islam bisa diprint-out, lengkap dengan pengesahan dari lembaga yang berwenang di negeri ini.

Bahkan situs ‘impian’ itu bisa dilengkapi dengan berbagai artikel menarik seputar pengenalan agama Islam. Termasuk petunjuk teknis tata cara berwudu, mandi janabah, tayammum, najis, haid, nifas, istihadhah, tata cara salat, puasa, zakat, haji dan seterusnya. Kalau perlu bukan hanya dalam bentuk teks tertulis, tetapi juga dilengkapi dengan beragam file yang bisa didownload, berupa ceramah (mp3), atau tutorial dalam bentuk (mpg) dan seterusnya.

Namun tentu saja untuk semua itu butuh biaya dan dana. Tapi jangan khawatir dulu, biaya itu bisa kita minta dari para pengelola zakat (badan amil zakat), karena 1/8 dari alokasi dana zakat memang diperuntukkan untuk para muallaf.

Bahkan sebenarnya begitu banyak orang Islam yang kelebihan duit, tetapi bingung uangnya mau diapakan. Sementara dia ingin beramal tetapi yang orang belum pernah kerjakan. Ini adalah sebuah ide yang silahkan difollow-up oleh siapapun. Inovasi di bidang teknologi untuk kepentingan dakwah adalah hal yang mutlak dan wajib dilakukan.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Mendengar Azan, Azizah Selalu Menangis

Saat azan berkumandang Claudia Azizah sedang duduk di dalam Masjid Universitas Is lam In ternasional di Malaysia. Air matanya mengalir membasahi pipi mengenang dirinya yang kini bisa bersujud kepada Allah lima waktu dalam sehari.

Rasa syukur tak pernah lepas dalam hatinya karena kebahagiaan menemukan keyakinan yang menenangkan hidup. Azizah pun mendoakan jamaah masjid agar selalu bisa melaksanakan shalat setiap azan berkumandang. “Kemudian, saya sujud kepada-Nya, pencipta saya, dia yang paling dekat dengan saya,” jelas dia.

Sepuluh tahun lalu, Allah telah menggerakkan hatinya untuk menerima Islam. Dia tidak tahu apa alasan Sang Pencipta me milihnya dan memberinya hidayah sehingga cahaya Islam masuk ke dalam hati. Padahal, dia berasal dari keluarga ateis di wi layah bekas Jerman Timur yang komunis. Sejak menjadi mualaf setiap hari dia berdoa agar tetap mengimani Islam.

Masa kecil

Sejak kecil Azizah memang tidak mengenal agama. Masyarakat di sekitar rumahnya tidak ada yang pernah menyebut kata Tuhan. Hidupnya terasa hampa, seperti anak yang kehilangan orang tua, berjalan seorang diri, gamang, dan penuh kegelisahan.

Ketika itu, Azizah dan keluarganya selalu merayakan natal, tetapi itu hanya tradisi. Rumahnya berhiaskan pohon natal, terang dengan nyala lilin dan lagu-lagu natal. Baginya, perayaan itu memang ber kesan karena penuh keramaian. Natal baginya adalah momentum untuk kumpul ke luar ga dan menghangatkan kebersamaan.

Kehidupan ateisnya berasal dari kedua orang tuanya yang didoktrin pada rezim komunis sosialis bekas Republik Demokratik Jerman. Bah kan, mereka dikirim ke Rusia untuk mempelajari bahasa dan komunisme selama lima tahun.

Kemudian, keduanya kembali ke Jerman dan bekerja di sebuah uni versitas. Mereka yakin tidak ada Tuhan di dunia ini karena agama adalah buat an manusia dan candu masyarakat, seperti yang ditulis Karl Marx.

Neneknya dari ibu adalah satu- satunya anggota keluarga yang masih memiliki keyakinan kepada Tuhan. Namun, dia tidak pernah mengungkapkannya secara terbuka. Azizah mengetahui itu karena neneknya sering mengatakan selalu berdoa untuk kebaikan anak cucunya.

Menurut Azizah, si nenek memiliki indra keenam yang sering dipercayai orang tua dahulu. Ketika tinggal bersa manya, Azizah selalu merasa nyaman dan bertemu dengannya meski dia bukan orang yang banyak bicara.

Mencari spiritualitas

Minimnya pendidikan agama di keluarga membuat hatinya merasa gelisah. Semakin bertambah usia, kegelisahan yang dimiliki makin berat dan berdampak pada kehidupan. “Saya men ca ri, terus mencari, menjerit, menangis ka rena kegelisahan yang terus dirasakan. Sa ya memberontak dan berperilaku buruk,” jelas dia.

Azizah kerap menghabiskan waktu dengan mengurung diri dalam kesendirian, berjalan tanpa alas kaki di bawah hujan es, berharap api dalam hatinya padam sambil menengadah ke langit. Selama masa terakhir mengenyam pendidikan di sekolah menengah, Azizah mulai bepergian dan menghabiskan satu tahun di AS kemudian melakukan perjalanan berkeliling negara tersebut. Dia menjadi pelancong backpackerke Asia Tenggara karena kegelisahan dan pencarian yang tak berujung.

Suatu malam dia berhenti sesaat dari perjalanannya di Laos. Kemudian, berbaring di atas tikar jerami dan mendongak ke langit yang gelap. Dia tidak pernah melihat begitu banyak bintang seperti saat itu. Ada banyak kelap-kelip di tengah kegelapan malam. Ada pula di antara banyak bintang yang bersinar terang, menunjukkan eksistensinya sebagai pembeda dari yang lain.

Ketika itu, Azizah merasakan bumi bergerak. “Aku sangat yakin, aku merasa jauh di dalam hatiku ada yang Mahatinggi, ada pencipta alam semesta. Saya merasa diawasi Sang Pencipta. Di tengah hutan Laos saya merasakan keberadaan Tuhan,”jelas dia.

Setelah menginap di hutan Laos, Azizah melanjutkan perjalanan ke Sungai Mekong, Laos Selatan. Dia kemudian duduk beristirahat di sebuah pondok bambu kecil dan melihat sungai yang begitu menakjubkan.

Baginya, ini sebuah garis kehidupan Asia Tenggara, induk sungai. Lebarnya lebih dari 20 kilometer dan memiliki kisah seluruh negeri. Azizah takjub dengan ciptaan Tuhan yang satu ini. Aliran deras sungai mengalir ke dalam hatinya kemudian mengguyur kegelisahan hatinya. Saat yang sama, dia merasakan ada pesan sang Pencipta yang disampaikan melalui hati. Dia makin yakin adanya keberadaan Tuhan.

Mencari Tuhan

Setelah kedua pengalamannya dalam perjalanan spiritual merasakan ciptaan Tuhan, Azizah mulai bersemangat untuk mencari Tuhan. Dia melanjutkan pengem- baraan spiritualnya ke Pagoda melalui ajaran Buddha di Thailand dan Kamboja.

Kemudian, dia menetap sementara untuk mempelajari ajaran Buddha di sebuah biara. Tak lama, Azizah kembali melakukan per- jalanan hingga ke Bali, dia mempelajari Hindu di pura Bali.

Azizah berusaha untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan meditasi di Yogyakarta. Lalu, dia bertemu dengan sekte Kristen yang berbeda-beda.

Namun, kegelisahan di hatinya makin panas dan tak menentu. Pada saat yang sama dia merasa lelah dan bosan bepergian. Dia merasa hidupnya tidak berarti dan tidak ada alasan untuk bekerja. “Entahlah, mengapa saya harus berjuang untuk apa pun. Saya merasa telah mencoba, menyelesaikan, dan melihat se- muanya, tetapi tidak ada yang memuaskan hati,” jelas dia.

Tahun 2008, dia mulai membaca terjemahan Alquran berbahasa Jerman. Ketika mem- baca Alquran, dia hanya memilih bagian ten tang isu-isu perempuan. Dari situ dia mulai mema hami pentingnya menutup aurat, menjadi ibu anak-anak yang sangat dimuliakan Allah.

Azizah makin mendalami ajaran Islam, yang dirasanya sangat memuliakan wanita. Ajaran seperti itu menurut dia, belum tentu ada dalam tradisi lain. Kemudian, suatu hari Allah sang Maha membolak-balikkan hati seketika memadamkan kegelisahan hatinya. Azizah duduk di atas sajadah dan menemukan keimanannya. Ketika itu, dia tidak tahu banyak tentang Islam, tidak tahu bagaimana cara shalat dan membaca Alquran.

Februari 2008, dia bersyahadat. Dua bulan setelah memeluk Islam dia kembali ke Indonesia. Ini karena masalah keuangan, mata uang Jerman di pasar valuta asing memburuk. Berbeda dengan Rupiah. “Saya mulai meminta bantuan dan pertolongan Allah SWT untuk me-nunjukkan cara untuk menyimpan tabungan dengan hemat,” jelas dia.

Allah telah menghilangkan kegelisahannya yang mengganggunya selama ini. Azizah akhir nya menemukan kehidupan baru. Kini Az- izah telah menikah dan memiliki dua anak. Dia bekerja sebagai penulis dan Asisten Profesor di Universitas Islam Internasional Malaysia.

Dia pindah ke Malaysia bersama keluarganya setelah menyelesaikan program dok- tornya di Jerman tentang Islam dan pendidikan Islam di Indonesia. Dia memper- oleh gelar sarjana dari Universitas Humboldt Berlin, Jerman dengan studi Asia dan Afrika dengan fokus Asia Tenggara.

Selain mengajar, dia secara teratur me nu lis untuk surat kabar Islam Jerman. Dia juga san- gat konsen terhadap spiritualitas dan seni Islam. Dia juga menerbitkan sebuah buku usaha mikro perempuan. Memang dia pernah tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Nama asli nya adalah Claudia Seise kemudian setelah mua laf namanya menjadi Claudia Azizah.

Oleh Ratna Ajeng Tejomukti

 

REPUBLIKA

Lelaki Ini Masuk Islam Karena Lihat Muslim Shalat di Stasiun Kereta

HIDAYAH Allah bisa datang tanpa terduga. Seseorang mengatakan hidayah Allah itu mahal, karena tidak semua bisa dapat. Tapi jika Allah sudah berkehandak, maka siapapun dan kapanpun hidayah datang, langsung bisa diterima.

Sama halnya dengan pemuda berkulit cokelat asal Trinidad ini. Ia begitu terpana melihat pemandangan di depannya. Namanya Dion, lelaki berusia 26 tahun itu, tak henti-henti mengarah ke sekelompok Muslim yang sedang shalat dengan khusyu’nya di tengah ramainya stasiun kereta di sebuah kota di Belgia. Dion seperti tersambar petir. “Saya tidak tahu, tiba-tiba karena melihat mereka shalat di stasiun hati saya bergetar,” ujarnya.

Seusai mereka shalat, Dion memberanikan diri bertanya, siapa mereka dan apa gerangan yang mereka baru lakukan? Setelah mendapatkan jawaban dari mereka, pemuda yang bekerja sebagai akuntan di Stamford, Connecticut, itu tidak pernah habis berpikir. Ada pikiran yang berkecamuk keras, antara percaya dengan perasaannya sendiri dan apa yang dia kenal selama ini tentang Islam

Tiga minggu sesudah kejadian itu, Dion bertemu saya di Islamic Forum for non Muslim New York yang saya asuh. Rambutnya panjang. Gaya berpakaiannya membuat saya hampir tidak percaya jika hatinya begitu lembut menerima hidayah Ilahi. Biasanya ketika menerima pendatang baru di kelas ini, saya mulai menjelaskan dasar-dasar Islam sesuai kebutuhan dan pengetahuan masing-masing peserta. Tapi hari itu, tanpa kusia-siakan kesempatan, saya jelaskan makna shalat dalam kehidupan manusia, khususnya dalam konteks manusia modern yang telah mengalami kekosongan spiritualitas.

Hampir satu jam saya jelaskan hal itu kepada Dion dan pendatang baru lainnya. Hampir tidak ada pertanyaan serius, kecuali beberapa yang mempertanyakan tentang jumlah shalat yang menurut mereka terlalu banyak. “Apa lima kali sehari tidak terlalu berat?” tanya seseorang. “Sama sekali tidak. Bagi seorang Muslim, shalat 5 waktu bahkan lebih dari itu adalah rahmat Allah,” jawabku. Biasanya saya membandingkan dengan makan, minum, istirahat untuk kebutuhan fisik.

Setelah kelas bubar, Dion ingin berbicara berdua. Biasanya saya tergesa-gesa karena harus mengisi pengajian di salah satu masjid lainnya. “Saya rasa Islam lah yang benar-benar saya butuhkan. Apa yang harus saya lakukan untuk menjadi Muslim?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

Saya diam sejenak, lalu saya bilang, “Saya bukannya mau menunda jika kamu benar-benar yakin bahwa ini jalan yang benar untuk kamu. Tapi coba pastikan, apakah keputusan ini datang dari dalam dirimu sendiri.”

Dengan bersemangat Dion kemudian menjawab, “Sejak dua minggu lalu, saya mencari-cari jalan untuk mengikuti agama ini. Beruntung saya kesini hari ini. Kasih tahu saya harus ngapain?” katanya lagi.

Alhamdulillah, siang itu juga Dion resmi menjadi Muslim setelah mengucapkan syahadat menjelang shalat Ashar. Diiringi gema “Allahu Akbar!” dia menerima ucapan selamat dari ratusan jama’ah yang shalat Ashar di Islamic Center of New York.

Saat itu Dion pernah mengikuti ceramah saya di Yale University dengan tema “Islam, Freedom and Democracy in Contemporary Indonesia”. Pada kesempatan itu saya perkenalkan dia kepada masyarakat Muslim yang ada di Connecticut, khususnya Stamford.

Sayang, belum ada tempat di daerahnya di mana dia bisa mendalami Islam lebih jauh. Hingga kini, dia masih bolak balik Stamford-New York yang memakan waktu sekitar 1 jam, untuk belajar Islam.

Semoga Dion dikuatkan dan selalu dijaga dalam lindunganNya! []

 

Sumber: pitidki

Oleh : M. Syamsi Ali, Imam Masjid Islamic Cultural Center New York

ERAMUSLIM

Setelah Aku Mendengar Azan di Rumah Sakit

Namaku Hendra Wija. Aku terlahir dari keluarga Nasrani. Aku memutuskan untuk menjadi mualaf kurang lebih setahun yang lalu.

Awal mula adalah ketika aku masuk rumah sakit karena sakit, lalu di rumah sakit itu kebetulan dekat dengan masjid. Setiap waktu aku mendengar suara azan dan lantunan ayat Al-Quran. Entah kenapa aku merasa tenang mendengar itu semua.

Setelah sembuh, hari Jumat aku langsung saja mengikuti sholat Jumat tanpa bimbingan siapa pun. Kemudian aku menunggu imam masjid selesai. Lalu membaca kalimat syahadat. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar Rasulullah. Jadilah aku muslim..

Setelah itu hari-hari dilalui sebagai muslim namun sholatku masih bolong-bolong anggap saja Islam KTP.

Lalu, suatu ketika lebih tepatnya 6 bulan yang lalu aku bertemu pegawai baru yang sangat taat ibadah. Darinya lah aku belajar lebih jauh mengenai agama islam. Alhamdulillah sekarang sholatku tidak bolong lagi (semoga bukan riya’)

Keinginan untuk menjadi lebih baik dan lebih baik terus aku lakukan walaupun masih sangat lambat dalam membaca Al-Qur’an setidaknya aku mau berusaha untuk bisa..

Ya Allah, terima kasih Engkau telah kirimkan malaikat baik ke hadapanku 6 bulan lalu dan kini dia sudah tidak ada di sini lagi. Aku selalu berharap Engkau selalu memberikan hidayah kepadaku agar aku selalu istiqomah berada dijalanMu..

Tidak apa Engkau ambil istriku. Engkau ambil hartaku, Engkau ambil saudaraku. Engkau ambil teman-temanku tapi Ya Allah jangan Engau ambil lagi keislamanku. Aku sudah tenang hidup begini semoga sampai mati terus begini. Buat saudaraku semua yang muslim laksanakan sholat di Masjid bukan di rumah apalagi lelaki, jika ada yang salah dari hidupmu perbaikilah dulu sholatmu.

 

BERSAMA DAKWAH

Hidup Peter Gould Hanya untuk Allah

Seusai Republika Penerbit meluncurkan 5 pilar, permainan edukasi Islam yang menyenangkan bersama desainernya Peter Gould, mualaf Peter Gould bercerita mengenai kisahnya bersyahadat. Ini bukan perjalanan mudah. Di dalamnya ada pergulatan batin yang mengantarkan pebisnis itu kepada tauhid.

Dia memiliki perusahaan branding dan desain internasional yang sukses. Karyanya berupa fotografi Islam kontemporer dipamerkan di seluruh dunia, termasuk Arab Saudi, Turki, Amerika Serikat, Inggris, Malaysia, dan Uni Emirat Arab. Ketekunannya dalam menghasilkan karya seni membuahkan penghargaan Islamic Economy Award pada Global Islamic Economy Summit di Dubai pada 2015.

Namun, di tengah segala kesuksesan yang dia miliki, Gould tak pernah lupa akan Sang Pencipta. Setidaknya lima kali dalam sehari dia selalu mengumandangkan takbir, bersujud kepada Allah, menunjukkan kepasrahannya kepada Ilahi Rabbi. Kehidupannya kini sangat bergantung dengan Allah.

Islam telah membawa kedamaian dan kesejahteraan tak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga keluarga yang menjadi tempatnya bersandar, mencurahkan kasih sayang, dalam kebersamaan. Hati menjadi tenang. Sikap dan etika yang dijalani dengan penuh keyakinan.

Mengenal Islam

Sebelum menjadi Muslim, Gould ingat, bahwa agama sama sekali tidak menarik perhatiannya. Australia yang menjadi tempatnya tumbuh menjadi dewasa jauh dari nuansa kehidupan islami. Agama bukan hal mendasar. Hidup baginya hanya menjalani rutinitas sehari-hari, bersosialisasi, bekerja, dan berkeluarga.

Namun, pandangan itu perlahan mulai berubah. Kepribadiannya yang angkuh, penuh percaya diri, tak peduli agama, berujung pada kehampaan batin, kesepian, kesunyian, kesendirian yang sangat menjenuhkan.

Tiba-tiba dia mulai tertarik dengan Risalah Ilahiyah yang dibawa Rasulullah SAW. Perasaan itu muncul ketika Gould menginjak tahun terakhir sekolah menengah atas. Di sebuah halte bus, dia bertemu dengan seorang Muslim. “Ketika itu saya berpikir, ini seseorang yang sangat cerdas, kenapa sihmereka percaya kepada Tuhan? Dan itu benar-benar membawa saya ke jalan penemuan personal,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (17/3).

Banyak pertanyaan mengenai Islam yang diajukannya. Temannya yang seorang Muslim enggan asal menjawab. Dia melakukan penelitian untuk menjawab semua pertanyaan. Gould menginginkan jawaban yang faktual dan analitis.

“Saya mulai membaca, saya mulai mempelajarinya, dan saya langsung mempraktikannya. Saya merasa semakin yakin bahwa ada kebenaran yang mendalam tentang Islam,” kata dia.

Beberapa tahun setelah lulus sekolah, Gould memutuskan masuk Islam pada suatu malam, tepatnya pada Ramadhan 2002. Kemantapan itu didasarkan pada kenyataan bahwa Islam benar-benar menarik perhatiannya. Di dalamnya ada ketenangan yang membuat batin nyaman. Hidup berjalan tanpa keraguan. Percaya diri dan ibadah berjalan beriringan.

Kedamaian adalah dambaan setiap insan, tak terkecuali Gould. Dia telah mencoba berpuasa selama Ramadhan. Awalnya terasa berat. Namun, lambat laun, tubuhnya mulai terbiasa. Batinnya semakin bersemangat untuk menahan diri. Hatinya semakin teguh untuk memasrahkan diri kepada Allah.

Pada suatu malam dia menyadari, batinnya sungguh berada dalam kedamaian. Itu adalah malam ke-27 Ramadan. Ketika itu, dia tidak menyadari pentingnya malam tersebut. Saya berdoa dan saya merasakan sesuatu yang sangat kuat sehingga membuatnya yakin untuk bersyahadat.

Ini adalah malam seribu bulan, malam Qadar. Ketika itu, malaikat turun membawa kebaikan seizin Allah. Mereka selalu mendoakan keselamatan kepada hamba yang ketika itu beribadah hingga fajar terbit.

Sejak itu, dia memhami arti kehidupan sebenarnya. Mulanya dia hanya tahu bahwa seseorang hidup dari sekumpulan sel dan atom yang membentuk tubuh sebagai fisik manusia. Padahal, jauh lebih dalam di diri ini, setiap orang memiliki hubungan dengan Sang Pencipta. Hubungan primordial ini sungguh kuat.

Allah sangat mencintai manusia, selalu membuka pintu tobat kepada siapa pun yang memohon ampunan dan menyesali dosa yang diperbuat. Manusia berusaha sekuat tenaga mewujudkan impian, kemudian berdoa kepada Sang Pencipta. Setelah itu, dia memasrahkan segalanya, bertawakkal menunggu kepastian Allah.

Setelah memeluk Islam, Gould sangat takjub dengan Alquran. Wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini bertahan lebih dari 1400 tahun dan dijamin keasliannya oleh Allah hingga akhir zaman. Bagi Gould, isi dan kandungan Alquran sangat cocok bagi semua kalangan: tua, muda, dan setiap orang yang berasal dari berbagai negara. Bahkan, Alquran mampu mengupas berbagai topik yang terjadi di masa lalu, saat ini, dan yang akan datang.

Setelah memeluk Islam, Gould pun baru memahami arti penting ibadah. Shalat, merupakan wujud syukur kepada Allah. Dia selalu mengajarkan anak-anaknya untuk mendirikan shalat lima waktu dalam sehari.

Ibadah yang unik, menurutnya, adalah puasa. Di saat orang terbiasa untuk selalu makan dan minum, Islam justru mewajibkan umatnya untuk menahan lapar dan haus selama bulan Ramadhan. Ternyata ada hikmah di dalamnya, yaitu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, mengistirahatkan dan menenangkan batin, menekan nafsu, sehingga diri hanya berpasrah kepada Sang Pencipta.

Gould mulai mempelajari Islam yang sederhana. Pertama adalah bersyukur dengan tidak meninggalkan shalat lima waktu. Bersyukur juga bisa dilakukan sederhana hanya dengan mengucapkan alhamdulillah setiap saat. Kedua, berpuasa selama tiga puluh hari lalu berzakat dan bersedekah kepada mereka yang membutuhkan.

Menghadapi keluarga

Gould mengakui, awal memeluk Islam adalah waktu-waktu yang sulit, terutama saat berhadapan dengan keluarga. Meskipun, dia sangat tahu bahwa kedua orang tuanya sangat bijak. Mereka berpikir, Gould memiliki kesalahan berpikir karena menganggap ikut-ikutan dengan orang Arab.

Kedua orang tuanya hanya tahu bahwa Islam adalah budaya Arab. Padahal, jelas Nabi Muhammad menyebarkan Islam untuk semua orang bahkan seluruh alam.

Allah sebaik-baikya perencana, orang tua menentangnya hanya karena mereka tidak tahu. Tetapi, saat ini mereka paham dan mengerti agama yang dijalaninya dan mendukungnya meski mereka belum mau menerima Islam sebagai agama. Mereka mengerti bahwa Islam adalah agama cinta kasih. Hubungan Gould dengan kedua orang tuanya pun semakin baik.

Istri adalah orang pertama yang mengenalkannya kepada Islam. Dia adalah pelajar Muslim yang ditemuinya di halte bus. Dia juga yang harus menghabiskan banyak waktu meneliti Islam setelah Gould mengajukan banyak pertanyaan.

Setelah enam bulan menjadi Muslim, Gould menikahinya. Kini usia pernikahannya telah menginjak 15 tahun dan telah memiliki tiga orang anak. Dia beruntung karena anak dan istrinya mendukung karier. Dari anaknyalah ide lima pilar tercipta.

Gould mengatakan, anak-anak Muslim membutuhkan permainan edukasi Islam yang menyenangkan dan tidak melulu bermain dengan televisi, video gim, media sosial. Anak-anak Muslim membutuhkan permainan yang dapat mengakrabkan keluarga dan menambah ilmu pengetahuan terutama tentang keislaman.

Setelah kreasi lima pilar ini, Goul berharap, dapat menciptakan berbagai teknologi dan kreativitas lain untuk mendukung perkembangan Islam. Bagi Gould, mempelajari Islam tidak melulu hanya dari buku, ceramah, ataupun khutbah. Melalui permainan dan hal-hal menyenangkan, Islam dapat dipelajari dan lebih mudah dipahami.

 

REPUBLIKA

Mahsita D Sari, Islam Menenangkan Jiwa

Tak seperti kebanyakan mualaf yang menghadapi banyak kendala ketika memilih Islam, Mahsita D Sari berjalan mulus.

Wanita kelahiran Jakarta, 16 November 1981, bersyukur mendapatkan kemudahan ketika menyatakan sebagai seorang Muslimah.

Alhamdulillah tak ada kendala yang berarti,” ungkap wanita yang bekerja di Manufacturing Engineer Section Leader di ResMed LTD, Sydney, Australia melalui surat elektrnoik kepada Republika.

Master Engineering Science dari University of New South Wales ini mengaku justru mamanya yang sangat berperan ia menjadi seorang Muslimah.

”Yang paling banyak mendukung dalam mempelajari Islam adalah mama. Kami belajar Islam di waktu yang sama dan secara tidak sadar kami saling memacu satu sama lain,” paparnya.

Sita, begitu ia akrab disapa, dibesarkan di sekolah Katolik mulai Taman Kanak-kanak hingga SMP. Demikian juga dengan kakak-kakak dan adik-adiknya, waktu itu ibunya seorang Kristiani.

Sewaktu kecil, Sita sering diajak orang tuanya ke panti asuhan Kristen. ”Kami dididik orang tua jika ingin pakaian baru, maka pakaian lama harus diberikan kepada panti asuhan. Istilahnya beli satu baju baru berarti memberi satu baju lama,” kenangnya.

Begitu akan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, Sita mengaku tergugah mencari tahu tentang Islam. Karena itu, ia berminat masuk SMA Negeri karena ada pelajaran agama Islam.

”Inilah awal dorongan untuk memeluk Islam. Waktu itu saya ada pilihan untuk melanjutkan ke sekolah Katolik atau di sekolah Negeri. Hati saya gundah gulana setiap kali saya ke SMA Katolik,” ungkapnya.

Akhirnya ia memutuskan masuk SMU Negeri walaupun diakuinya ada rasa takut karena harus belajar agama Islam. ”Agama yang tidak saya kenal walaupun di waktu kecil pernah belajar mengaji sebentar,” paparnya polos.

Rasanya saat itu, kata dia, pelajaran IPA tidak semenakutkan belajar agama Islam. ”Saya sempat stress karena waktu Penataran ada jadwal Shalat Zhuhur yang dilanjutkan dengan membaca Alqur’an sementara saya tidak bisa membaca Alqur’an.”

Jalan keluarnya, bersama sang mama, ia mencari Alqur’an dan terjemah. ”Alhamdulillah di sebuah toko buku Islam di Jakarta ada yang menjual Alqur’an dengan bahasa Arab dan latin. Hati agak tenang walau saya belum tahu bagaimana menavigasi isi Alqur’an,” ujarnya.

Sebagai upaya agar nilai pelajaran Agama tidak merah dan bisa naik kelas, Sita mulai belajar mengaji di rumah. Melalui besan dari kakaknya mama, keluarga Sita mendapatkan guru mengaji. ”Alhamdulillah, bersamaan dengan Sita belajar Islam di sekolah, kami sekeluarga juga mulai terbuka terhadap agama Islam,” jelasnya.

Awal belajar Islam di SMA penuh suka duka. Pertama kali ulangan agama stressnya luar biasa. Tulisan Arab ia hafalkan, belajar semalam suntuk dan besoknya curi-curi belajar di kelas sedangkan teman-teman dari Al Azhar tenang-tenang saja.

Waktu menerima hasil ulangan lebih was-was lagi dan kecewa berat karena guru Agama memberinya nilai huruf terbalik sementara teman-teman kebanyakan paling tidak mendapat huruf yang masih ada artinya dibanding terbalik… Beberapa bulan baru saya tahu kalau V terbalik itu adalah angka delapan dalam bahasa Arab.

Tidak lama kemudian sang mama memberitahu Sita dan keluarga akan pergi umrah. ”Saya pun mencari tahu apa itu umrah? Apa yang harus dilakukan, apa maknanya. Berbagai buku saya baca mulai dari bacaan shalat sampai tata cara umrah.”

Semuanya mengenai ibadah. ”Fokus saya saat itu, saya harus tahu tentang agama Islam supaya saya bisa naik kelas dan tahu umrah itu apa. Hal ini ternyata membuka tidak hanya wawasan, juga hati saya. Kedekatan saya kepada Allah semakin terasa di waktu umrah,” ungkapnya penuh syukur.

Lantas, kenikmatan apa yang ia rasakan setelah menjadi Muslimah? Menurut Sita, Islam itu begitu pribadi, menenangkan jiwa dan kedekatan kepada Allah terasa lebih mudah. ”Sesuatu yang tidak saya rasakan sebelumnya,” ungkapnya penuh syukur.

Dalam kesulitan membaca Al Qur’an, kata dia, Allah SWT meringankan dan mendekatkan hati untuk membacanya dan terus berusaha. Saat hati gundah dan pikiran kusut, berdzikr menenangkan hati dan pikiran.

”Saat bingung harus bagaimana dan diri pasrah seringkali jawaban itu hadir saat membuka Al Qur’an. Halaman yang terbuka mengandung ayat jawaban dari masalah yang ada,” ujar Sita yang pernah aktif di The Dawn Quranic Institute dan Daar Aisha College, Sydney secara part time.

Sita membenarkan nasihat sang mama. when you are close to Allah problems will revolve around you and it won’t affect you  (Ketika kamu dekat dengan Allah SWT, persoalan yang berputar di sekitarmu, tidak akan memengaruhimu).

Sita mengaku tahu tentang Islam melalui tetangga yang juga guru ngaji di waktu kecil. Waktu itu pengetahuannya terbatas pada soal Ramadaan dan shalat taraweh di Komplek.

”Saya mulai mengenal dan belajar apa itu Islam tahun 1997 saat SMA. Umrah adalah titik balik dari hidup saya. Saat umrah ada seorang ibu asing yang mengajarkan tata cara shalat kepada Mama dan Sita di Masjid Nabawi waktu kami sedang menunggu waktu Shalat di Raudhah,” ungkapnya.

”Ibu tersebut mengantar kami ke Raudhah dan menuntun kami ke makam Rasulullah SAW. Ibu itu juga menunjukkan lokasi rumah Rasulullah SAW dan Fatimah Al Zahra. Perjalanan umrah itu menjadi perjalanan spiritual yang sangat berkesan,” paparnya haru.

Enam bulan kemudian, kata Sita, ia dan sekeluarga pergi haji. ”Subhanallah, dalam ibadah yang sibuk dan memerlukan banyak energy, banyak kemudahan yang kami rasakan,” ujarnya.

Menjelang kepulangan ke Tanah Air, sang kakak bertanya apakah ia akan tetap memakai hijab. ”Jawaban saya saat itu saya ingin pakai tapi saya masih ingin bermain basket dan segala kegiatan lain,” kata Sita.

”Kakak saya bilang dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman memakai hijab itu wajib. Pipi saya panas seperti ditampar, saya baru tahu memakai hijab itu wajib. Sepulang haji, saya memutuskan memakai hijab. Waktu itu saya kelas 2 SMA,” ungkapnya.

Sita yang aktif dalam berbagai kegiatan Islam di Australia seperti menjadi mentor Islamic Youth Camp di Canberra tahun lalu serta kegiatan Islam lainnya, mengaku senang tinggal di Australia.

Di Sydney misalnya, kata Sita, bisa memilih untuk hidup di lokasi yang banyak komunitas Muslimnya dan sepanjang mata memandang mayoritas adalah kaum Muslimin atau di lokasi-lokasi lain.

Walau demikian, sambung Sita, ber-Islam di Australia bisa dibilang memerlukan kepercayaan diri untuk tampil berbeda.

”Pertama tiba di Australia saya tinggal dengan Paman yang tinggal di daerah Northern Beaches di Sydney yang Muslimnya masih sangat sedikit.”

Menuju tempat kuliah, ia memerlukan perjalanan 1,5 jam dengan transport umum dari rumah. Sepanjang perjalanan selalu bertemu orang Australia, baru bertemu warga Asia kalau sudah di daerah kota (Sydney City).

Sita mengaku tak jarang mendapatkan pertanyaan, ”Mengapa kamu menutup kepala kamu? Apa kamu tidak kepanasan, ini kan sedang musim panas? Kamu Islam liberal atau radikal?” ungkapnya getir.

Semua itu memuncak, setelah peristiwa jatuhnya Twin Tower – September 11, tak lama ia menetap di Sydney. Ujiannya, sambung Sita, tak hanya sekadar ditanya mengenai hijab atau Islam tapi juga ujian kesabaran.

”Kebencian terhadap Islam memuncak saat itu karena kebencian itu didasari oleh ketidaktahuan. Beberapa kali saya dimaki karena saya seorang Muslimah dan mereka tidak terima “saya” atau “kaum muslimin” menghancurkan the twin towers dan menyebabkan banyak nyawa melayang.”

Sekali waktu di jalan, Sita disemprot dan dimaki orang-orang yang sedang naik mobil padahal mereka tak mengenal Sita. Tetapi melalui semua ini, ia dan kawan-kawannya dalam the Islamic Society di University of New South Wales dan di pengajian Keluarga Pelajar Islam Indonesia (KPII) justru semakin dekat dengan satu sama lain dan semakin teguh iman Islamnya.

”Persaudaraan kami menjadi lebih erat dan kami jadi mencari tahu lebih lagi tentang Islam terutama bagaimana cara terbaik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Islam dan berdakwah.”

Sita mengungkapkan, dua sahabat terdekatnya memakai jilbab waktu di Sydney. Di perusahaannya, awalnya hanya Sita yang memakai hijab. ”Alhamdulillah dalam dua tahun terakhir sudah ada dua Muslimah lain yang mengenakan hijab dan diterima bekerja di perusahaan saya. Semua itu ada hikmahnya. Alhamdulillah,” ungkapnya semringah.

Di Sydney selain bekerja sita mengajar anak-anak di salah satu TPA, bantu-bantu di kepengurusan Masjid Al Hijrah dan sekarang belajar tajwid dan hafalan Al Qur’an.

Sita bersyukur, banyak masjid yang menyelenggarakan kegiatan agama seperti ceramah Sabtu malam atau pun ceramah Jum’at. Ada juga TPA (Taman Pendidikan Alquran) yang di Australia dikenal sebagai Saturday School. ”Juga ada organisasi kemasyarakatan dan institusi pendidikan yang menyelenggarakan belajar agama baik secara gratis ataupun membayar.”

Ia mengakui, suasana ber-Islam di Australia sangat terasa terutama di bulan Ramadhaan. ”Masjid-masjid menyelenggarakan i’tikaf terutama di 10 hari terakhir. Banyak kawan yang mengambil cuti di 10 hari terakhir agar bisa memaksimalkan ibadah.”

Masjid Al Hijrah, Tempat Sita aktif membantu, biasanya mengundang ustadz dari Indonesia mengisi kegiatan sepanjang bulan Ramadhaan. ”Masjid lainnya, ada juga yang mengundang sheikh dari negara lain.”

Jum’at, Sabtu dan Ahad malam di bulan Ramadhan, kata Sita, biasanya penuh dengan iftar (buka puasa) di masjid atau iftar fundraising untuk berbagai kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia. Pernah juga ada iklan billboard tentang Islam beberapa waktu lalu.

Aktivitas Sita dalam kegiatan TPA di Sydney memberikan pengalaman menarik baginya. Siswanya mulai usia 2.5 tahun, yang awalnya tidak tahu apa-apa tentang agama dan belajar sambil main-main atau lari-lari karena usianya memang usia bermain, berubah menjadi ingin belajar dan selalu menunggu-nunggu waktu shalat.

”Pernah saat perubahan waktu shalat, anak-anak yang biasanya shalat dulu baru makan siang jadwalnya diganti menjadi makan siang dulu sebelum shalat. Saat disajikan makan siang beberapa dari mereka spontan bilang  “kita kan belum shalat. Makannya setelah shalat saja.”

 

Yang menarik, sambung Sita, semangat belajar para siswanya akhrinya menarik orang tuanya untuk lebih serius belajar agama.

”Saat anak-anak belajar, ibu-ibu yang menunggu pun mengaji. Anak dan ibu kadang berlomba untuk bisa membaca Al Qur’an. Sungguh suatu keberkahan bisa menyaksikan dan terlibat dalam perubahan baik ini,” ungkapnya penuh syukur.

 

Sita menuturkan, dari berbagai observasi menyebutkan, dakwah terbaik adalah melalui amal perbuatan. Kawan-kawannya non-Muslim mengatakan perilaku umat Muslim membentuk persepsi mereka akan Islam.

Selain aktif membina di TPA, Sita dan teman-teman Muslim di Australia juga sering berdakwah melalui kegiatan sosial seperti Feed the Homeless(Memberi makan para tunawisma0, Clean-Up Australia Day dan kegiatan lainnya.

 

REPUBLIKA

Kisah Panjang Pengacara Michael Jackson yang Masuk Islam

Mark Shaffer, seorang pengacara dan jutawan Amerika, memutuskan untuk memeluk Islam pada 17 Oktober 2009 silam. Saat itu, Mark tengah berlibur di Arab Saudi untuk mengunjungi beberapa kota terkenal seperti Riyadh, Abha, Jeddah. Ia berlibur selama 10 hari di Saudi.

Mark adalah seorang jutawan terkenal dan juga seorang pengacara yang terlatih di Los Angeles, yang mengkhususkan diri dalam kasus-kasus hukum perdata. Kasus besar terakhir yang ia tangani ialah kasus penyanyi pop terkenal Amerika, Michael Jackson, sepekan sebelum ia meninggal.

Seorang pemandu wisata yang menemani Mark selama 10 hari di Saudi, Dhawi Ben Nashir, sejak Mark menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Arab Saudi, ia sudah mulai mengajukan pertanyaan tentang Islam dan ibadah shalat. Begitu tiba di Saudi, Mark tinggal di Riyadh selama dua hari. Selama di RIyadh ia sangat tertarik dengan Islam.

Setelah pindah ke Najran, mereka pergi ke Abha dan Al-Ula. Di sana, ketertarikan Mark pada Islam semakin jelas. Terutama, saat mereka pergi ke padang gurun.

“Mark kagum melihat tiga pemuda Saudi yang berada di kelompok kami di Al-Ula, melakukan shalat di hamparan padang pasir yang sangat luas, sebuah panorama yang sangat fantastis,” kata Nashir, dilansir di Saudi Gazette, Ahad (25/3).

Setelah dua hari di Al-Ula, Mark dan Nashir pergi ke Al-Juf. Begitu tiba di Al-Juf, Mark bertanya apakah Nashir bisa memberinya beberapa buku tentang Islam. Nashir kemudian memberikan beberapa buku tentang Islam kepadanya. Menurutnya, Mark membaca semua buku tersebut.

Keesokan paginya, dia meminta Nashir untuk mengajarinya cara melakukan shalat. Nashir kemudian mengajarinya bagaimana beribadah dan melakukan wudhu. Kemudian, Mark bergabung dengan Nashir dan melaksanakan shalat di sampingnya.

“Setelah berdoa, Mark memberi tahu saya bahwa dia merasakan kedamaian di jiwanya,” lanjut Nashir.

Pada Kamis sore, mereka meninggalkan Al-Ula menuju Jeddah. Dikatakan Nashir, Mark tampak sangat serius membaca buku-buku tentang Islam sepanjang perjalanan. Pada Jumat pagi, mereka mengunjungi kota tua Jeddah. Sebelum waktu shalat Jumat mendekat, mereka kembali ke hotel dan Nashir pamit untuk pergi shalat Jumat.

Mark berkata kepada temannya, bahwa ia ingin bergabung dengannya untuk shalat Jumat. Sehingga ia dapat menyaksikan sendiri bagaimana shalat Jumat. Nashir lantas menyambut baik gagasan itu.

Nashir mengatakan, mereka kemudian pergi ke sebuah masjid yang tidak jauh dari hotel tempat mereka tinggal di Jeddah. Karena mereka cukup terlambat, ia dan banyak orang lainnya harus beribadah di luar masjid, karena jumlah jamaahnya yang meluap.

“Saya dapat melihat Mark mengamati orang-orang dalam jamaah, terutama setelah shalat Jumat selesai, ketika semua orang berjabat tangan dan saling berpelukan dengan wajah berseri-seri dan gembira. Mark sangat terkesan dengan apa yang dilihatnya,” ujarnya.

Ketika kembali ke hotel, Mark tiba-tiba mengatakan Nashir bahwa ia ingin menjadi seorang Muslim. Karena itulah, Nashir memintanya untuk mandi terlebih dulu. Setelah Mark mandi, ia membimbingnya mengucapkan syahadat (pernyataan keimanan) dan kemudian Mark shalat dua rakaat. Selanjutnya, Mark mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Masjidil Haram di Makkah dan melakukan shalat di sana sebelum meninggalkan Arab Saudi.

Untuk memenuhi keinginannya, mereka lantas pergi ke Pusat Dakwah di Jeddah untuk mendapatkan bukti resmi tentang pertaubatannya ke dalam Islam. Sehingga, Mark akan diizinkan memasuki kota Makkah dan Masjidil Haram. Mark kemudian diberi sertifikat sementara tentang mualafnya, dan ia bisa mengunjungi kota suci Makkah.

Setelah Mark menyatakan keyakinan Islamnya, ia memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pengalamannya kepada koran Al-Riyadh. Ia mengatakan, bahwa ia tidak dapat mengungkapkan perasaannya saat itu. Namun, ia merasa sedang terlahir kembali dan memulai hidup yang baru.

“Saya sangat senang. Kebahagiaan yang saya rasakan ini tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, terutama ketika saya mengunjungi Masjidil Haram dan Ka’bah yang mulia,” kata Mark.

Mark pun menceritakan langkah selanjutnya setelah ia masuk Islam. Ia menjelaskan bahwa ia ingin belajar lebih banyak tentang Islam, mempelajari lebih dalam agama Allah (Islam), dan kembali ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Ia juga mengungkapkan apa yang mendorongnya untuk masuk Islam.

“Saya sudah memiliki informasi tentang Islam, tetapi itu sangat terbatas. Ketika saya mengunjungi Arab Saudi dan secara pribadi menyaksikan orang-orang Muslim di sana, dan melihat bagaimana mereka melakukan shalat, saya merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam. Ketika saya membaca informasi yang benar tentang Islam, saya menjadi yakin bahwa Islam adalah agama haq (kebenaran),” lanjut Mark.

Pada Ahad pagi, 18 Oktober 2009, Mark meninggalkan Bandara King Abdul Aziz Jeddah menuju Amerika. Ketika mengisi formulir imigrasi sebelum meninggalkan Jeddah, Mark menulis Islam sebagai agamanya.

 

REPUBLIKA

Cina, Mualaf, dan Bertato Salib

Ragu dan malu-malu. Seorang ibu muda nan cantik mindik-mindik alias mengendap-endap. Ia terlihat ragu dan malu-malu ingin menghampiri saya usai manasik. Dari sorot matanya tersirat ada sesuatu yang penting ingin disampaikan.

Maka, beberapa jamaah laki-laki yang sejak tadi mengerubungi saya untuk konsultasi kesiapan berangkat umrah, segera saya suruh minggir dulu. Lalu, ibu muda itu saya suruh gantian maju.

Mangga Mbak, silakan maju sini,” pinta saya. Ibu muda itu pun segera mendekat. Dengan membetulkan jilbabnya, ibu muda itu duduk penuh takzim di depan saya.

“Maaf, Pak Ustaz. Saya mau anu… mau anu soal suami saya, Pak Ustaz,” ucap ibu muda itu terlihat gugup.

Dalam hati saya, ibu ini kok bilang anu-anu. Memang ada apa dengan anu suaminya? Tapi, saya lebih tidak enak hati karena ibu muda itu memanggil saya Pak Ustaz. Waduh!

“Maaf Mbak, saya bukan ustaz. Saya ini cuma pemberi materi manasik umrah, jauh ilmunya dari seorang ustaz. Jadi, panggil saja nama saya. Para jamaah biasa memanggil saya, Cak Wot,” pinta saya.

Ibu muda itu tersipu lalu menunduk. Malu. “Iya Ustaz, eh iya Cak Wot,” jawab ibu muda itu masih tampak gugup.

Agar ibu muda itu bisa santai, biar tidak gugup, saya pun berusaha bercanda. “Tapi jelek-jelek begini, tak sedikit ustaz dan kiai pergi umrah ikut saya. Maksudnya daftar ke travel saya. Jadi, kalau soal kegiatan perjalanan umrah, insya Allah, ilmu saya lebih tinggi dibanding mereka… hehehe,” canda saya.

Wajah ibu muda itu pun langsung mencair. Tidak gugup lagi. “Maaf, emang kenapa dengan anu suami. Kok tadi bilang anu-anu, ada yang mau disampaikan dengan anu suami?” tanya saya dengan masih bercanda.

Ibu muda itu tersenyum malu-malu. Lalu, ia segera angkat bicara. “Begini lho Cak Wot, suami saya itu Cina. Mohon nanti dimaklumi. Semua anggota rombongan jamaah umrah nanti mohon bisa mengerti.”

Saya terdiam. Dalam hati bertanya, emang ada apa dengan Cina? Emang nggak boleh Cina memeluk Islam? Emang nggak boleh Cina beribadah haji atau umrah? Islam itu untuk semua etnis yang beriman, dan bahkan bagi segenap alam.

Bukan monopoli kepercayaan bangsa Arab saja. Untuk meyakinkan ibu muda itu, saya pun bilang bahwa belakangan ini sudah banyak warga keturunan Tionghoa masuk Islam dan berangkat haji atau umrah.

“Saat di Tanah Suci, saya sering melihat ratusan jamaah dari Cina, Eropa, dan Amerika melaksanakan ibadah haji atau,” ujar saya menjelaskan.

Mendengar penjelasan ini, ibu muda itu tersenyum dan tampak senang. Lalu, ia bilang, “Bukan hanya seorang Cina, Cak Wot. Suami saya itu seorang mualaf.”

Lagi-lagi saya terdiam. Dalam hati bertanya lagi, emang ada apa dengan mualaf? Bukankah itu lebih bagus. Ia telah meninggalkan agama lama. Itu berarti ia sudah mendapatkan hidayah dari-Nya. Memeluk Islam, agama yang diridhai Allah SWT. Andai kalaupun ia dulu mantan preman, bukankah itu lebih bagus daripada mantan kiai.

“Tapi maaf, ngomong-ngomong setelah mualaf, suami sudah dikhitan belum?” tanya saya sedikit ngaco.

Ibu muda itu tersenyum lalu mengangguk tanpa ragu. “Ya sudah-lah, Cak. Sejak menyatakan masuk Islam, ketika hendak meminang saya, ia duluan mendatangi dokter untuk disunat,” jawabnya dengan mantap.

Tapi sergahnya segera, suaminya itu hingga kini masih bertato di lengan kanan bahunya. Ini yang jadi biang persoalan. Pada bahunya terdapat tato bergambar salib. Suaminya dulu sebelum menikah dengannya adalah keluarga pendeta.

Sejak masuk Islam, suaminya sudah berusaha menghapus tato tersebut. Tapi, tidak bisa. Malah membesar gambarnya. Ibu muda itu dan suami malu tatonya nanti diketahui banyak jamaah lain. Sebab, dalam tawaf semua jamaah laki-laki wajib membuka bahu kanannya.

“Jadi, bagaimana enaknya saat tawaf nanti suami saya. Boleh nggakbahunya tetap ditutup kain ihramnya, biar tidak terlihat tato salibnya,” tanya ibu muda itu serius.

Saya pun harus menjawab dengan serius. Bahwa membuka bahu kanan saat tawaf itu wajib hukumnya bagi jamaah laki-laki. Itu namanya i’thiba. “Tidak perlu malu. Ibu dan suami malah harus bangga. Sebab, itu bisa dibilang syiar agama. Orang bertato salib sudah masuk Islam. Sudah datang ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umrah dan haji,” jawab saya.

Dan, ibu muda itu berangkat umrah bersama suaminya tanpa ragu dan malu-malu lagi. Allahu Akbar.

 

Oleh: H Soenarwoto Prono Leksono (Penulis tinggal di Madiun, Jatim)

 

REPUBLIKA