Krisis Da’i di Kepulauan Mentawai

Syiar Islam di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat barangkali terbilang pesat, terbukti dalam beberapa tahun terakhir, ribuan penduduk di sana disyahadat menjadi muallaf. Sayangnya, seiring berkembangnya Islam di bumi Mentawai, pemurtadan juga tak kalah pesat di sana.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Yayasan Islamic Center Siberut, Ramli Muhammad Rais. Menurutnya, meski Islam kian pesat di Mentawai, akan tetapi iman mereka gampang tergoyahkan hingga mereka mudah dimurtadkan.

“Hal itu disebabkan oleh kurangnya bimbingan untuk memahamkan Islam lebih dalam,” tutur Ramli kepada hidayatullah.com, belum lama ini.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa kurangnya sumber daya dari da’i hingga operasionalnya.

“Da’i di sini harus menerobos hutan belantara, melewati tebing berjam-jam hingga bisa ketemu dengan penduduk pedalaman. Setelah mengislamkan mereka, mereka ditinggal tanpa ada bimbingan lanjutan, karena da’i tersebut harus ke tempat yang lain,” terang pria asal Padang itu.

Pasalnya, menurutnya, karena da’i ditempat ini masih sangat sedikit. Hal itulah yang membuat kurangnya pemahaman para muallaf di mentawai mengenai Islam.

“Bahkan di beberapa titik, masih ada muallaf yang pelihara babi, bahkan ada yang masih mengkonsumsinya,” lanjut Ramli.

Ia berharap agar berbagai lembaga dakwah di Indonesia agar mengirim tenaga da’i-nya di Kepulauan Mentawai.

“Di sini sangat krisis da’i, ayo kepada lembaga dakwah segera mengirim tenaganya di sini. Ayo kita selamatkan para muallaf!” harapnya.*/Sirajuddin Muslim

 

HIDAYATULLAH

Ali Akbar Temukan Puzzle Utuh dalam Islam

Konflik di Timor Leste (saat itu masih bernama Timor Timur) mewarnai perjalanan hidupnya, juga pertemuannya dengan Islam. Bertahun-tahun lama nya, remaja bernama Luis Monteiro seolah menyusun pecahan puzzle yang tak pernah ia tahu gambar utuhnya. Tak sia-sia, setelah tujuh tahun, semua hal membi ngungkan itu membawanya pada satu jawaban: Islam.

Terlahir di wilayah konflik tentu bukan keinginannya. Tetapi, boleh jadi itulah satu hal yang disyukurinya kini. Ali Akbar, “penyusun puzzle” itu, kini telah hidup dalam kedamaian Islam. “Ceritanya panjang,” ujar nya. Ali, yang sebelum berislam bernama Luis Monteiro, memulai kisahnya.

***

Dua puluh tiga tahun lalu ia adalah seorang Kristiani yang rajin mengunjungi gereja. Ia adalah satu dari delapan orang bersaudara dan tinggal di dalam sebuah rumah yang memiliki simbol bulan sabit. Sebuah peristiwa di tengah masa itu mengawali segalanya. Ali dikejutkan oleh aksi Paus Yohanes Paulus II ketika pemimpin ge reja Katolik Roma itu berkunjung ke Jakarta pada 1989. “Setelah turun dari pesawat, ia sem pat bersujud,” kata pria kelahiran 1973 itu.

Pemandangan yang disaksikannya melalui satu-satunya televisi nasional kala itu, kata nya, segera memunculkan sesuatu yang aneh dalam hati dan pikirannya. “Terlintas pertanyaan besar dalam benakku, mengingat dok trin gereja yang sampai padaku menyebut Yohanes sebagai Tuhan. Jika ia memang Tu han, lalu kepada siapa ia bersujud?” lanjutnya.

Ali menjelaskan, salah satu doktrin gereja lainnya mengatakan bahwa setiap umat Katolik yang bertemu Paus harus mencium tangannya. “Jika tidak, ia akan mati atau mem per oleh akibat yang fatal,” ujarnya. Maka, ketika Paus berkesempatan mengunjungi Timor Timur, Ali memutuskan untuk tidak menyalaminya.

“Sampai tahun 1990, semua aman. Tidak ada hal fatal yang terjadi dan itu membuatku semakin ingin tahu tentang kebenaran ajaran agamaku.”

Pada tahun yang sama, Allah membimbing Ali pada “potongan puzzle” lainnya. Di tanah kelahirannya, bulan sabit adalah simbol adat. “Pada saat yang sama, aku mengenalnya pula sebagai simbol masjid,” katanya.

Ia mempertanyakan mengapa simbol itu tidak terdapat di gereja yang menjadi tempat ibadah hampir seluruh masyarakat Timor Leste. Belakangan, seorang pria keturunan Arab yang dikenalnya mengatakan bahwa sebelum Portugal datang, Timor Leste telah dihuni oleh orang Islam. “Menurutnya, simbol bulan sabit adalah peninggalan orangorang Islam pada masa itu.”

Tak lama berselang, pertanyaan serupa kembali berputar di kepalanya. Ia melihat kesamaan antara alat musik tabuh khas Timor Leste, tebe-tebe (bentuknya seperti seperti beduk, tetapi berukuran kecil), dan beduk yang pernah dilihatnya di masjid. Juga antara ritual baptis dan amalan wudhu. “Aku merasa seolah ada kedekatan antara adat kami dan budaya Islam,” katanya.

***

Hingga usia 20-an, Ali tak pernah mengenyam bangku sekolah. Terlahir dari dua orang tua yang tidak mengenal baca-tulis dan sebagai anak laki-laki yang memiliki tiga orang adik, Ali harus mengutamakan adik-adiknya. Terlebih, ketika mulai diberlakukan wajib militer, Ali harus meninggalkan rumah dan tinggal di barak.

Perjalanan Ali menuju Islam terus berlanjut. Suatu kali, ia menemukan Alquran terjemahan terbitan Departemen Agama milik seorang tentara. Ia membukanya secara acak dan menemukan terjemahan yang berbunyi, “Sesungguh nya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanya Islam (QS Ali ‘Imran:19).” Ali pun tersentak.

Ketika di rumah, ia bermaksud mencari ayat serupa dalam Alkitab. Dua bulan membacanya, Ali tak menemukan kalimat dengan redaksi yang serupa dengan kalimat dalam Alquran yang dibacanya di barak. “Tak ada ayat yang mengatakan bahwa Kristen adalah satusatunya agama yang diterima di sisi Tuhan,” katanya.

Pada kesempatan lainnya, di surah yang sama pada ayat 85, Ali menemukan kalimat yang berbunyi, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” Ali kembali menelusuri kalimat- kalimat Alkitab untuk menemukan kalimat serupa. Pencariannya kembali nihil.

Sebaliknya, ia justru menemukan ayat-ayat yang tidak sesuai dan bertolak belakang. “Seperti ayat yang menjelaskan tentang Yesus,” ujarnya. Sebagian ayat, kata Ali, menyebutnya sebagai anak Tuhan sementara ayat yang lain menyebutnya anak Abraham.

Tak hanya kitab suci, Ali membaca buku Biologi untuk SMP. Membaca bab reproduksi, Ali dengan mudah menyimpulkan bahwa laki-laki tidak melahirkan. Doktrin bahwa Yesus adalah anak Tuhan pun mulai mengganggu logikanya. “Yesus tidak seharusnya dinasabkan pada Tuhan karena Tuhan tidak punya istri,” ia mendebat dalam hati.

“Atau, Tuhan itu perempuan? Jika ya, maka ia adalah Maryam. Tetapi, bukankah Maryam sudah mati? Lalu, siapa yang mengatur alam semesta sejak ia mati? Dan, jika memang manusia seperti Maryam layak dijadikan Tuhan, mengapa manusia tidak menuhankan Adam, manusia pertama di bumi?”

Mendirikan Pesantren

Pertanyaan dan pergulatan batin yang melelahkan itu membawa Ali pada ke raguan yang semakin be sar pada agamanya. Hingga pada suatu hari pada 1995, ia merasa harus mengakhirinya dengan sebuah keputusan memilih Islam. Kepada tentara yang menjelaskan pengertian ‘jamaah’ dan ‘derajat,’ Ali menyampaikan ke inginannya.

Tentu berpindah agama bukanlah perkara ringan di Timor Timur yang dirundung konflik kala itu. Atas pertimbangan keamanan, tentara itu menjelaskan risiko yang mungkin dihadapi jika ia meninggalkan agamanya dan menjadi Muslim. “Katanya, aku bisa diusir, dibuat cacat, bahkan dibunuh akibat keputusan itu. Ia memintaku me mikirkan kembali keputusan ku untuk memeluk Islam.”

Tak ingin membiarkan dirinya gamang berkepanjangan, Ali kembali mendatangi tentara yang sama untuk diislamkan. “Tahun 1996, tapi aku lupa tanggal dan bulannya,” ujarnya. Disaksikan oleh tiga orang tentara, Luis Monteiro bersyahadat. Di barak militer itu, ia resmi menjadi seorang Muslim.

Berbekal status mualaf, Ali Akbar memutuskan me ninggalkan barak dan ru mah nya menuju Dili. Ia ke mudian berkesempatan belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur.

Ali, yang juga berhasil mengislamkan orang tua dan adik-adiknya, kemudian mendalami Alquran di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ). Tahun ketiga di perguruan Alquran tersebut, Ali melengkapi studi Alqurannya dengan mendalami bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sejak 2010 hingga sekarang.

Kini, sambil terus memperdalam keislamannya, Ali membimbing sejumlah mua laf di pesantren khusus mua laf Yayasan An-Naba’ Center di Ciputat, Tangerang. Setelah menyelesaikan studinya nan ti, Ali akan kembali ke Makassar dan bersama istrinya menge lola sebuah pesantren yang ia rintis bersama kakak ipar nya.

 

REPUBLIKA

Polosin: Tuhan yang Maha Penyayang Perkuat Keyakinanku

Nama aslinya Polosin Vyacheslav Sergeyevich. Ia dibesarkan di tengah keluarga ateis. Meski hidup tanpa agama, sejak kecil Vyacheslav memercayai keberadaan Tuhan yang misterius serta Mahakuasa. “Aku percaya ia takkan menolak orang-orang yang datang dan berpaling kepada-Nya,” tulis dia dalam catatan perjalanannya menemukan Islam, How I Came to Islam.

Keyakinan itu terus berkembang dan menguat menyusul beberapa situasi sulit yang dialaminya. Sejak usia remaja, ketika ia merasa tak memiliki cukup kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan rumit, Vyacheslav selalu berusaha kembali kepada Tuhan yang diyakininya itu. “Aku memohon pertolongan dari-Nya dan situasi membaik setelah itu.”

Tak berhenti pada sebatas meyakini keberadaan Tuhan, ia pun ingin menemukan kebenaran sesungguhnya tentang Zat Yang Mahakuasa itu. Maka, ia mengajukan lamaran untuk belajar di Fakultas Filsafat Universitas Negeri Moskow dan ia diterima.

Di sanalah, Vyacheslav membuka Injil untuk pertama kalinya dan mendapati kesan yang bertentangan dengan dirinya. Ia menemukan beberapa bagian dari Injil tampak benar-benar supranatural, sementara di bagian lainnya Tuhan dikemukakan untuk menghancurkan sebagian besar bangsa.

“Ada pula gagasan-gagasan aneh (dalam Injil) seperti ‘otot’, ‘tangan’, ‘tubuh’, ‘daging’, dan ‘darah’ Allah. Ada banyak asimilasi Sang Pencipta (Tuhan) dengan ciptaan-Nya, yakni manusia,” ujarnya.

Kala itu tahun 1970-an. Meski dihadapkan pada sesuatu yang dinilainya bertentangan, Vyacheslav melihat dirinya tak memiliki alternatif di tengah ideologi komunis negaranya, kecuali Gereja Ortodoks Rusia. Ia pun mendatangi sebuah Gereja Ortodoks pada usianya yang ke-19. “Di sana aku menemukan sebuah tradisi kuno serta keindahan nyanyian pujian yang memuja Tuhan. Lalu, kuputuskan mencari lebih banyak pengetahuan teologis dengan mengikuti sebuah seminari.”

Sampai pada keputusan itu, Vyacheslav merasa hal itu tak berarti bahwa ia telah menetapkan pilihan atas kepercayaan tertentu. “Karena, aku tidak memiliki kepercayaan lain apa pun untuk kubandingkan dengan Ortodoksi.”

Setelah mempelajari banyak dalil tentang ajaran Kristen melalui seminari, pria kelahiran 26 Juni 1956 ini kemudian menjadi imam keuskupan pada 1983. Posisi itu dimaknainya sebagai simbol peperangan rohani dan intelektual melawan kefasikan. “Aku merasa diriku menjadi prajurit Tuhan.”

Namun, perasaan itu tak berlangsung lama. Di tengah kesibukannya melayani umat di gereja, Vyacheslav merasa dipaksa mengabdikan diri untuk melakukan berbagai ritual di bawah perintah orang-orang yang disebutnya penuh takhayul. Aktivitasnya di gereja juga ia rasakan bukan untuk mengabdi di bidang spiritual dan keyakinan intelektual seperti perkiraannya. Kecewa, ia pun memutuskan tak lagi menjadi tentara Tuhan.

Pada 1991, Vyacheslav secara resmi meninggalkan pelayanan imamah. Namun, ia tak sekaligus meninggalkan agama yang telah menjadikannya seorang pendeta itu. Ia tetap menjadi pendeta dan melanjutkan pencariannya pada sebuah penjelasan teologis atas berbagai agama ritualistik.

Ia mulai mempelajari sumber-sumber kuno Kristen tentang sejarah gereja, sejarah pelayanan gereja, dan sejarah teologi. Penelusuran mendalam yang ia lakukan membawanya pada keraguan yang serius tentang kebenaran seluruh konsep teologis Roma-Bizantium. “Aku menemukan konsep teologi itu didasarkan atas misteri-misteri kafir pada masa lampau,” kata pria yang memperoleh gelar MA bidang ilmu politik dari Akademi Diplomatik Kemenlu Rusia itu.

Upaya pencariannya tak sia-sia. Pada 1995, Vyacheslav menyadari semua keraguannya, dan sejak itu ia mengundurkan diri dari seluruh keikutsertaannya dalam pelayanan gereja. Namun, tambahnya, keimanan antropis terhadap Yesus Kristus yang diperolehnya dari seminari kala itu masih menahannya dari pemahaman pada prinsip sederhana monoteisme. “Saat itu aku belum menyadari ajaran Islam, karena bagiku terjemahan Alquran oleh Krachkovskiy (akademisi yang menerjemahkan Alquran ke bahasa Rusia) mendistorsi arti dari ‘wahyu Ilahi’,” katanya.

Sematkan nama Ali
Namun akhirnya, semua keraguan yang membayangi Vyacheslav tentang Islam sirna saat ia menemukan penjelasan di Alquran dan ajaran Islam tentang Yesus (Nabi Isa as). Ia menilai, penjelasan Alquran tentang Yesus sangat rasional.  “Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pemurah memperkuat keyakinanku. Lalu, aku dan istriku memutuskan untuk mengumumkan bahwa kami memeluk Islam dan berdakwah tentang monoteisme,” ujarnya.

Vyacheslav berislam pada 1999 dan menyematkan nama “Ali” di depan nama tengahnya. Keislamannya sempat menjadi kontroversi kala itu dan dinilai bersifat politis terkait keanggotaannya di parlemen Rusia. Setelah masuk Islam, Polosin terpilih sebagai salah satu ketua Refakh, sebuah gerakan sosial dan politik komunitas Muslim di Rusia. Ia juga menjadi pemimpin redaksi sebuah surat kabar Muslim yang diterbitkan pada 1999.

Vyacheslav kini menjadi tokoh Islam sekaligus pakar dialog lintas agama di Rusia serta menjadi direktur Al Wasatiya Center, sebuah organisasi internasional yang berupaya membantu menyelesaikan persoalan-persoalan berbasis perbedaan agama. Beberapa buku dan artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Di antaranya, Secular State and Islamic Tradition in Russia, Criminal Sectarianism Will Never Become the Norm of Life, dan Rothschilds against Arab Rulers-Causes and Mechanism of Arab Revolutions.

 

REPUBLIKA

Wajah Yesus yang Sebenarnya

Pada tahun 321 Kaisar Konstantin mengumumkan bahwa pengadilan tidak boleh tutup pada hari Sabat (Sabbath) orang Yahudi, tetapi harus tutup pada “hari pemuliaan matahari”, yaitu hari Sunday (hari matahari atau Minggu). Dengan begitu, pemeluk agama Kristen mengganti hari istirahat mereka dari hari Sabtu menjadi hari Minggu.

Akibat keputusan ini, semakin lebar jarak antara orang Kristen dan orang-orang Yahudi. Sebelum itu, hari Natal (hari kelahiran Yesus Kristus) selalu dirayakan pada tanggal 6 Januari. Tanggal 6 Januari ini hingga sekarang masih menjadi hari penting di sebagian Eropa, Rusia, Turki, dan Syria sebagai “Hari Raja.”

Sebagai gantinya, Kristen mengambil hari suci Sol Invictus dan Mithraisme, yaitu tanggal 25 Desember, sebagai hari lahir Yesus Kristus. Hari Raya itu merayakan kelahiran kembali matahari dan dampaknya pada dunia. Karena itulah semua sekte merayakannya bersama-sama pada hari yang sama. Yang menarik, kaum Mithraisme juga percaya pada doktrin-doktrin penting agama Kristen, seperti kehidupan setelah kematian dan keabadian jiwa. Ketika itu, penting bagi penganut agama Kristen untuk membiarkan Yesus Kristus mewakili Sol Invictus sehingga di gereja-gereja Kristen dibangun patung-patung Sol Invictus yang dibuat mirip wajah Konstantin.

Begitulah hari Minggu dan Natal ditetapkan sebagai hari libur di seluruh kawasan kekaisaran Romawi. Namun, hari Paskah belum dapat ditetapkan sebelum dilaksanakan Konsili Nicea pada tahun 325 M. Pada saat itulah hari Paskah (Easter) ditetapkan melalui pengumpulan suara komite, dan menghasilkan penetapan hari Paskah yang jatuh pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama mengikuti vernal ekuinoks utara, yaitu 21 Maret. Vernal ekuinoks adalah ketika lama waktu siang sama dengan lama waktu malam hari. Mereka tidak dapat menetapkan kebulatan suara pada tanggal tertentu.

Hari Paskah Kristen mengganti hari raya pagan yang disebut Eastre, yaitu nama dari dewi yang berhubungan dengan musim semi, dan juga merupakan asal kata dari kata masa kini yang berhubungan dengan hormon perempuan, estrogen.

Dengan meningkatkan statusnya sendiri, Konstantin menjadi lebih tinggi daripada Yesus. Boleh jadi pula wajah Kristus yang ada sampai saat ini adalah gambaran wajah Konstantin. (Jika itu benar, maka penganut Kristen sesungguhnya sedang menyembah Konstantin, bukan Tuhan!) Jika itu benar, bukankah itu berarti orang Kristen telah menyembah manusia selain Yesus? Jika wajah Yesus saat ini bukan wajah Konstantin, lalu wajah siapa? Apakah ada dokumen asli peninggalan sejarah berupa lukisan wajah Yesus?  Bukankah semasa hidup Yesus tidak pernah dilukis? Dari mana asalnya lukisan laki-laki berambut panjang itu? Bagaimana jika ternyata Yesus berambut pendek?

Apa berarti orang Kristen telah menyembah manusia selain Yesus?

Bagaimana jika ternyata Yesus berbibir tebal?

Bagaimana jika Yesus ternyata kulitnya tidak berwarna putih dan hidungnya tidak mancung?

Bagaimana jika Yesus aslinya berjenggot lebat seperti kebanyakan laki-laki Yahudi?

Demikianlah yang terlanjur terjadi; umum diterima bahwa lukisan wajah Yesus berkulit putih, bibir tipis, hidung mancung, berambut pirang dan panjang, wajah kurus (agak tirus) dan bola mata berwarna biru. Hanya saja sering diabaikan kenyataan bahwa profil seperti itu lebih mendekati profil orang Eropa ketimbang orang Timur Tengah.

BERSAMA DAKWAH

Herrington : Jika Menginginkan Kebenaran, Bergaullah dengan Muslim

“Saya menyadari cara terbaik untuk merasakan bagaimana menjadi seorang Muslim adalah dengan menjalani hidup seperti mereka,” kata Cassidy Herrington, seorang mahasiswi, non-Muslim dan wartawan di harian Kentucky Kernel, sebuah media yang dikelola oleh mahasiswa di Universitas Kentucky, AS.

Keinginannya untuk mengenal lebih dekat dan memahami kehidupan sebagai Muslim itulah yang mendorongnya untuk mencoba “menjadi seorang muslimah” dengan cara mengenakan jilbab selama satu bulan penuh.

“Selama sebulan saya mengenakan jilbab, bergulat dengan persepsi yang ditunjukkan orang asing, teman bahkan keluarga saya sendiri,” kata Herrington.

“Karena persepsi-persepsi itu, saya berjuang ketika harus menuliskannya. Pengalaman saya berjilbab sangat pribadi, tapi saya berharap dengan berbagi atas apa yang saya lihat, akan membuka ruang dialog yang lebih terbuka dan kritis,” sambungnya,

Awalnya, Herrington khawatir akan reaksi komunitas Muslim ketika melihatnya yang non-Muslim mengenakan jilbab. Untuk itu, ia merasa harus mendapatkan persetujuan dari komunitas Muslim sebelum mulai mengenakan jilbab.

Tanggal 16 September, Herrington mendatangi sebuah organisasi Muslim Student Association (MSA) dan mengenalkan dirinya. Ia mengaku sangat grogi ketika pertama kali datang ke kantor itu. Di sana ia bertemu dengan Heba Sulaeiman, mahasiswi yang menjabat sebagai Presiden MSA, yang menyambut gembira setelah mendengar rencana dan maksud kedatangan Herrington ke tempat itu.

“Ide yang mengagumkan,” kata Herrington menirukan respon Suleiman.

Herrington merasakan ketegangan dan kegelisahan yang dirasakannya mulai mencair. Ia mengucapkan “Assalamu’alaikum” saat mengenalkan dirinya di hadapan sejumlah anggota MSA dan ia mendengar belasan orang yang hadir membalasnya dengan ucapan “wa’alaikumsalam.”

Ketika akan meninggalkan kantor MSA, beberapa orang remaja muslim mendekatinya. “Saya tidak akan melupakan seorang diantara mereka mengatakan ‘ini memberi saya harapan’, sementara remaja yang lain berujar ‘saya muslim, dan saya bahkan tidak bisa melakukan hal itu’,” tutur Herrington.

Ia tidak terlalu menanggapi perkataan remaja-remaja tadi sampai kemudian ia merasakan bahwa “proyek” yang dilakukannya bukan sekedar menutupi rambutnya dengan kerudung, tapi ia akan mewakili sebuah komunitas dan sebuah agama. “Konsekuensinya, saya harus benar-benar menjaga perilaku saya saat mengenakan jilbab,” ujar Herrington.

Dua minggu setelah datang ke MSA, ia bertemu lagi dengan Heba Suleiman dan temannya, Leanna yang mengajarkannya mengenakan jilbab. “Meski ini inisiatif saya sendiri, saya merasa tidak seorang diri dan ini sangat membantu ketika saya merasa ingin melepas jilbab dan menghentikan proyek pakai jilbab ini,” kata Herrington.

“Saya menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasanya. Saya bersepeda dan merasakan sensasi desiran angin yang menyelinap di sela-sela jilbab yang saya kenakan. Saya berjalan di depan etalase toko dan melihat sepintas refleksi wajah orang asing sampai saya terbiasa dan menyadari bahwa refleksi wajah orang asing itu adalah saya sendiri,” tutur Herrington menceritakan pengalamannya setelah mengenakan jilbab.

“Mengenakan jilbab menjadi kegiatan rutin saya tiap pagi. Suatu hari, berangkat bersepeda ke tempat kuliah, dan ketika sampai baru sadar kalau saya lupa mengenakan jilbab,” tukasnya sambilnya tersenyum.

Herrington mengakui jilbabnya kadang membuatnya tidak nyaman. Ketika berbelanja di toko grosir, ia merasa orang-orang memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apakah itu cuma perasaannya saja, tapi ia merasa terasing dari orang-orang yang ia kenal dekat. “Teman kuliah, para profesor dan teman-teman semasa sekolah menengah tidak mengatakan apapun tentang jilbab saya, dan itu menyakitkan. Kadang, terjadi gap setiap kali kami berbincang-bincang,” ungkap Herrington.

Suatu ketika, ia makan di sebuah restoran Timur Tengah King Tut. Pemilik restoran bernama Ashraf Yusuf memuji proyek jilbabnya dan menanyakan apakah ia akan tetap mengenakan jilbab setelah proyeknya selesai. Herrington hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Seorang non-Muslim yang mengenakan jilbab, hanya mengenakan penutup kepala,” kata Yusuf.

Herrington pernah juga dikirimi email dari seseorang. Ketika ia membuka email berisi file audio, terdengar suara bacaan salat dari Makkah, tapi tiba-tiba terdengar suara tembakan tiga kali lalu suara lagu kebangsaan AS.

Herrington menegur orang yang mengiriminya email itu dan orang itu mengatakan bahwa ia cuma bercanda. Herrington mulai mengerti bahwa memang ada masalah fobia dan sikap tidak toleran terhadap Islam dan Muslim.

“Email itu membuktikan bahwa banyak orang yang tidak akurat memandang Islam,” imbuhnya.

Sebulan penuh mengenakan jilbab, selama bulan Oktober kemarin, memberikan pemahaman baru bagi Herrington bahwa tak ada yang perlu ditakuti dengan eksistensi komunitas Muslim. “Faktanya, banyak tentara AS yang muslim, yang ikut membela negeri ini. Apa yang Anda lihat atau Anda dengar dari media tentang Islam, bisa saja keliru. Kalau Anda menginginkan kebenaran, bergaullah dengan muslim,” tandasnya.

Untuk saat ini, Herrington mungkin sudah melepas kembali jilbabnya, ia juga minta maaf pada orang-orang yang merasa telah tertipu dengan identintasnya. Tapi dengan pengalamannya berjilbab, semoga Allah Swt menganugerahkan hidayah dan cahaya Islam bagi Herrington. (ln/KK)

 

ERA MUSLIM

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Madame Fatima: Tak Jadi Masuk Biara Setelah Mendengar Kalimat “Allahu Akbar”

Kisah Madame Fatima Mil Davidson mendapatkan hidayah Islam terbilang unik. Seperti sebuah keajaiban, cahaya Islam itu menyentuhnya saat ia baru saja masuk ke kehidupan biara. Waktu itu ia memang sudah berniat untuk menjadi biarawati.

Saat ini Madame Fatima menjabat sebagai Menteri Pembangunan Sosial dan Pemerintah Lokal, Republik Trinidad dan Tobago, sebuah negara kepulauan di kawasan Laut Karibia bagian selatan. Pada majalah berbahasa Arab Men-bar-al-Islam di Kairo, ia menceritakan awal mula menemukan Islam dan bagaimana akhirnya ia menjadi seorang Muslimah.

“Saya membantah keras cerita yang mengatakan bahwa saya masuk

Islam pada tahun 1975 dengan tidak mengakui ajaran Kristen. Sungguh, saya tidak bisa memahami dan menjelaskan apa yang saya alami. Saya akan mengajak Anda kembali ke tanggal 9 Maret 1950, hari yang sudah ditetapkan buat saya untuk masuk biara. Ketika saya bangun pagi di hari itu , saya merasa mendengar suara yang menyebutkan kalimat ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’, suara itu terngiang-ngiang di telinga saya dan membuat seluruh tubuh dan hati saya bergetar,” kata menteri yang sebelum masuk Islam bernama Model Donafamik Davidson.

“Saya tidak begitu tahu, itu apa. Tapi hari itu saya menolak masuk ke biara. Setelah itu, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari petunjuk Tuhan, sampai akhirnya saya menemukan Al-Quran dengan terjemahannya. Lalu, dengan mudah saya menaruh kepercayaan pada terjemahan Al-Quran yang saya baca,” sambungnya.

Secara kebetulan, Madame Fatima kemudian bertemu dengan seorang cendikiawan muslim asal Pakistan Maulana Siddiq dan ulama dari India Syaikh Ansari. Ia terlibat pembicaraan yang mendalam dengan kedua ulama itu, tentang budi pekerti dan apa yang dirasakan dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan detil yang diajukan Madame Fatima, hingga kedua ulama berseru, “Alhamdulillah, Anda seorang muslim ! Anda sekarang seorang muslim. Bacalah apa yang Anda sukai, masuklah ke masjid dan berdoa. Kami siap menerima Anda, kapanpun Anda merasa ingin belajar apapun.”

Madame Fatima merasa gembira dengan respon kedua ulama tersebut. “Saya bahagia. Setelah hari itu, saya merasa hati saya dilimpahi dengan keimanan dan rasa cinta serta kebanggaan terhadap Nabi Muhammad Saw,” ujarnya.

Meski demikian, Madame Fatima mengaku baru secara resmi memeluk Islam sekitar tahun 1975. “Sampai sekarang, sudah 36 tahun saya menjadi seorang muslim. Sejak saya mendengar suara misterius yang menggetarkan kalbu, dan lalu saya menolak masuk biara. Hati saya sudah memproklamirkan Allahu Akbar,” tukasnya.

“Saya menjadi gadis pertama dari komunitas kulit berwarna yang masuk ke masjid. Dan ini mendorong banyak remaja muslimah untuk juga datang ke masjid-masjid untuk salat, khususnya ke Masjid Anjuman Jami’ Sanatal yang didirikan oleh ulama besar Dr. Syaik Ansari di kota Francis di Trinidad. Masjid itu sekarang dipimpin oleh Al-Haj Shafiq Muhammad,” tutur Madame Fatima.

Ia juga menceritakan bahwa warga di lingkungannya masih berpikir bahwa Islam adalah agama orang India, yang memiliki ajaran dari beragam kepercayaan dan agama. “Dalam perkembangannya, di kalangan warga pribumi, kebanyakan yang berasal dari Afrika, makin banyak yang memeluk Islam. Rasio warga muslim meningkat hingga 13 persen dari total penduduk Republik Trinidad dan Tobago. Selebihnya, 31 persen penduduk negara ini beragama Kristen, 27 persen beragama Protestan, 6 persen pemeluk agama Hindu dan 23 persen pemeluk keyakinan lainnya, ” papar Madame Fatima.

Lalu, apakah keislamannya membawa dampak pada pekerjaannya sebagai salah satu pejabat di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim? Menjawab pertanyaan ini, Madame Fatima menjawab, “Islam mengajarkan kita untuk ikhlas dan efisien dalam menjalankan pekerjaan dan saya mempraktekkan ajaran Islam dengan tulus …”

“Saya tidak berbohong, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi saya. Saya berusaha menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, semampu saya dan dengan kesadaran diri yang kuat. Jadi, dampak keislaman saya pada pekerjaan, tidak lain hanyalah semua pekerjaan saya berjalan baik dan penuh rahmat. Mantan perdana menteri bahkan menganjurkan saya untuk berkunjung ke Mesir, tempat sekolah Islam terkenal Al-Azhar dan salah satu pusat peradaban. Dia suka membicarakan Islam juga,” ujar Madame Fatima.

Ia sungguh beruntung, karena perdana menteri yang sekarang menjabat, mengizinkannya berkunjung ke Mesir terkait tugasnya sebagai menteri pembangunan sosial dan pemerintahan lokal. “Perdana Menteri juga menganjurkan saya mengunjungi Al-Azhar dan Mahkamah Tinggi Agama Islam,” imbuhnya.

Madame Fatima beberapa kali berpartisipasi dalam pemlu parlemen dan sukses. Ia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Ia menjadi teladan sebagai seorang muslim yang mampu menunjukkan kemampuannya di bidang politik.

“Hal penting yang harus Anda ketahui, Republik Trinidad dan Tobago memberikan hari libur resmi pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Komunitas Muslim bebas menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, baik di rumah maupun di masjid-masjid,” jelas Madame Fatima.

Sebagai bagian dari umat Islam, ia menyerukan dunia Islam untuk bersatu dibawah bendera Islam agar posisi dunia Islam dan kaum Muslimin menjadi kuat. “Allah Yang Mahabesar telah membimbing saya ke jalan Islam dan saya berdoa padaNya untuk membimbing umat Islam ke arah persaudaraan dan perdamaian, agar umat Islam menjadi masyarakat terbaik di masa kini, dan sudah menjadi inspirasi bagi umat manusia,” tandas Madame Fatima. (ln/SP)

 

ERA MUSLIM

Meneguhkan Syahadat

Syekh Muhammad bin Sholeh Al Utsmaini mengatakan, kalimat La Ilaha Illallah bermakna seorang mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Allah. Kalimat ini mengandung makna peniadaan dan penetapan.  Kalimat peniadaan (Laa ilaha) dan penetapan (Illallah) mengandung makna ikhlas. Artinya, memurnikan ibadah hanya untuk Allah saja dengan meniadakan ibadah selain dari-Nya.

“Bagaimana kamu mengatakan tidak ada sesembahan (ilah) kecuali Allah padahal di sana banyak ilah-ilah yang diibadahi selain Allah dan Allah Azza wa Jalla menamainya alihah (jamak dari ilah) dan penyembahnya menyebutnya alihatun,” tulis Syekh Al Utsmaini.  Tentang sesembahan ini, Allah SWT berfirman dalam QS Hud: 101.  “Karena itu tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah di waktu azab Rabb-mu datang. ” Allah juga berfirman dalam QS al-Isra: 39, yakni “Dan janganlah kamu mengadakan sesembahan-sesembahan lain di samping Allah.

Lebih lanjut, sang syekh mengatakan, makna Muhammad utusan Allah adalah membenarkan apa-apa yang Rasulullah kabarkan, melaksanakan apa yang dia perintahkan, menjauhi apa yang dilarang dan tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan cara yang disyariatkan darinya. Kalimat ini juga mengandung konsekuensi bahwa seorang Muslim tak memiliki keyakinan bahwa Rasulullah memiliki hak untuk disembah, hak mengatur alam, atau hak dalam ibadah.

Hanya, Rasulullah merupakan seorang hamba yang tidak berdusta dan tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk memberi manfaat dan mudarat untuk dirinya sendiri ataupun orang lain, kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Anfal:50. “Katakanlah (ya Muhammad): Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malakikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku..”

Karena itu, meneguhkan kembali kalimat syahadat sangat relevan pada zaman yang penuh dengan fitnah dan cobaan ini. Maraknya aliran sesat di bumi nusantara mengharuskan kita untuk menjaga diri dan keluarga lewat mempertebal akidah. Kalaulah kita jauh dari aliran sesat, mengingat lagi syahadat dapat menggerus syirik-syirik kecil yang kerap dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Tanpa sadar, pengingkaran ini sering kita lakukan sehingga dapat membatalkan syahadat. Kita meninggalkan sunah-sunah Rasulullah yang seharusnya menjadi komitmen saat mengucap syahadat. Sering kali kita mengutamakan pertandingan sepakbola ketimbang panggilan azan, larut dalam rapat berjam-jam tanpa memerhatikan waktu shalat, menunda untuk membayar zakat padahal sudah memenuhi nisabnya, dan sebagainya. Maka, sebagaimana wudhu yang diperintahkan untuk diulang saat kentut atau buang air kecil, sudah semestinya kita perbaharui lagi syahadat. Kali ini dengan lebih khusyuk. Wallahu’alam.

 

REPUBLIKA

Mualaf Majelis Az-Zikra Capai 675 Orang

Jumlah mualaf yang berikrar dua kalimat syahadat di Majelis Az-Zikra terus bertambah. Hingga 10 November 2017, jumlahnya sudah mencapai 675 orang.

“Alhamdulillah, jumlah mualaf Majelis Az-Zikra saat ini sudah mencapai 675 orang. Yang terbaru adalah Sellvy Elsiana, 22 tahun. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Az-Zikra Sentul, Bogor, Jumat  (10/11) ba’da shalat Maghrib. Semula ia beragama Konghucu, setelah masuk Islam namanya menjadi Salma Rahma,” kata Pimpinan Majelis Az-Zikra Ustaz Muhammad Arifin Ilham dalam pesan instan yang diterima Republika.co.id, pekan silam.

Ustaz Arifin menambahkan, setiap bulan selalu ada mualaf baru di Majelis Az-Zikra. Momentum ikrar menjadi Muslim terutama pada Tausiyah Zikir yang diadakan di Masjid Az-Zikra Sentul setiap hari Ahad pekan pertama tiap bulan. “Insya Allah akan terus bertambah saudara-saudari Muslim kita karena hidayah Allah. Aamiin,” ujarnya.

Arifin mengundang kaum Muslimin menghadiri Tausiyah Zikir bulan Desember 2017.  “Insya Allah Taushiyah Zikir bulan Desember akan digelar di Masjid Az-Zikra Sentul, Bogor,  Jawa Barat, Ahad, 14 Rabi’ul Awwal 1439 H bertepatan dengan 3 Desember 2017, pukul 07.00-10.00,” tutur Arifin Ilham.

 

REPUBLIKA

Pencak Silat Membawa Steven Krauss ke Islam

Pemilik nama lengkap Steven Eric Krauss ini, masih mengingat betul peristiwa bersejarah sepanjang hidupnya itu. Ya, pada 30 Juli 1999, ia memutuskan berikrar syahadat. Keputusan sangat krusial yang menentukan arah hidupnya hingga kini.

Meski terlahir dari keluarga Protestan, sebelum mengenal Islam, Krauss adalah pribadi liberal dan anti segala sesuatu yang berbau dogmatis maupun paksaan atas nama agama. Selama lebih dari 25 tahun, ia masih awam terhadap keyakinan yang ia anut sejak kecil itu.

Ia lebih tertarik mencari makna spiritual di luar konsep agama, yang baginya terlalu terorganisir. Bagi saya, agama telah keluar dari sentuhan dan tidak relevan dengan zaman, katanya.

Kenyataan ini membuat Krauss semakin tidak percaya agama. Sangat sulit baginya mempraktikkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Ia selalu tidak menyukai jika diatur atas nama agama.

Keengganan Krauss memperdalam ajaran agama juga akibat kebingungannya dengan konsep ketuhanan. Tidak ada alasan jelas dan rasional untuk menerima konsep itu, katanya.

Pada awalnya, Krauss tidak begitu memedulikan Islam. Islam sangat berbeda baginya. Tata cara ibadah umat Islam begitu sulit dimengerti.

Perkenalan Steven Eric Krauss dengan Islam dimulai saat ia masih menjadi mahasiswa pascasarjana di New York City pada 1998.

Teman sekamar Krauss yang merupakan Yahudi, selalu menceritakan tentang makna spiritual dari kelas seni silat yang ia ikuti.

Saat itu, Krauss tidak mengetahui apa-apa tentang silat. Krauss tertarik dengan cerita temannya dan memutuskan untuk menemani teman sekamarnya latihan silat di suatu pagi.

Saat inilah perkenalannya dengan Islam dimulai. Guru pencak silat yang seorang Muslim menjadi langkah awal menuju Islam.  Seiring berjalannya waktu, ketertarikan Krauss kepada silat dan Islam semakin besar.

Ia menghabiskan banyak waktu dengan gurunya. Bahkan, setelah latihan, Krauss dan temannya akan berkunjung ke rumah guru untuk memperoleh ilmu lebih banyak lagi.

Melalui sang guru silat, Krauss belajar banyak tentang Islam. Ia dipertemukan langsung dengan umat Islam yang taat dan melihat dengan mata kepala praktik Islam di kehidupan sehari-hari.

Ia menyadari, Islam adalah gaya hidup. Ketika Anda berada dalam lingkungan Islam, Anda tidak bisa memisahkannya dari kehidupan sehari-hari, katanya.

Bagi Krauss, kenyataan ini begitu berbeda dari agama yang ia anut terdahulu. Di agamanya dahulu, terjadi pemisahanan antara kehidupan sehari-hari dan agama.

Sedangkan Islam mewajibkan umatnya untuk mengintegrasikan Allah dengan segala sesuatu yang dilakukan. Kecintaan Krauss terhadap gaya hidup yang dipraktikkan umat Islam semakin besar. Ia begitu mengagumi Islam.

Ia mengaku bersyukur atas kemudahan yang diberikan Allah, sehingga ia dapat mempelajari Islam dengan baik dan menjalani perubahan hidup di Amerika sebagai Muslim taat.

Di Amerika, banyak aspek budaya yang sangat berbeda dengan Islam. Bahkan ketika ia menyampaikan kabar kepada keluarga bahwa ia telah menjadi Muslim.

Ia menerima pertanyaan dan keprihatinan menyangkut perbedaan budaya seperti perkawinan, kehidupan sosial, dan keluarga. Keluarga dan teman-temannya berpendapat bahwa menjadi Muslim tidak selalu negatif. Hanya saja, dengan menjadi Muslim, maka diperlukan pemahaman yang banyak tentang Islam.

Totalitas Mempraktikkan Islam

Seiring berjalannya waktu, pemahamannya akan Islam menjadi tumbuh.    Krauss menyadari, budaya Amerika begitu menjunjung tinggi kebebasan.  Budaya Amerika sangat menarik bagi kehidupan duniawi.

Di Amerika, kebahagiaan didefinisikan dengan apa yang dimiliki dan apa yang dikonsumsi. Memutuskan taat beragama berarti siap menerima perlakuan kurang menyenangkan di masyarakat.

Sebagai seorang sosiolog, ia banyak mengamati fenomena dan penyakit sosial yang melanda masyarakat. Setelah ber-Islam, ia menyimpulkan, merebaknya penyakit sosial tersebut akibat perilaku sosial yang tidak sehat.

Bagi Krauss, Islam bukan hanya relevan dengan kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, Islam memang berbeda dari agama-agama lain. Hanya Islam yang memberikan pengetahuan dan bimbingan untuk setiap aspek kehidupan.

Cuma Islam yang memberikan cara untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan dalam setiap dimensi kehidupan. Baik secara fisik, spiritual, mental, keuangan, dan lain sebagainya. Dan Islam sajalah yang memberikan tujuan hidup yang jelas.

Yang tak kalah penting, Islamlah yang menunjukkan cara yang tepat untuk berkontribusi di masyarakat. Ini adalah jalan menuju tujuan, makna, kesehatan dan kebahagiaan. Hal ini karena  jalan yang lurus ke sumber kebenaran dan kekuasaan yang sesungguhnya, yaitu Allah, ujarnya.

Pemahaman ini diperoleh Krauss ketika ia total menjadi Muslim dan menjalani ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Menurutnya, secara harfiah, segala sesuatu yang dilakukan memiliki satu tujuan yang mendasari, yakni untuk mengingat Allah.

Dan dengan mengingat Allah, segala sesuatu yang kita lakukan menjadi fokus pada-Nya. Dengan mengingat Allah terus-menerus, maka kita menjadi kuat dan sehat dalam setiap aspek kehidupan, dan tidak terganggu oleh pikiran dan perilaku negatif yang muncul dari dalam diri.

 

REPUBLIKA

Islamnya Sang Mantan Bandit

Pemilik nama asli Regis Fayette Mikano melewati masa-masa kelam dalam hidupnya. Berbagai aksi kejahatan pernah dilakoni oleh pria berdarah Kongo ini. Pria kelahiran 14 Maret 1975 ini mengisahkan sepak terjangnya sebelum merengkuh di pangkuan Islam. Ia sering kali terlibat dalam pencurian mobil dan peredaran narkoba.

Tak sedikit orang yang antipati terhadap masa depannya. Semua bermula ketika pada 1977 kedua orang tua Regis yang berdarah Kongo membawanya kembali ke negara asal mereka, Kongo, dan tinggal di Brazzaville (ibu kota serta kota terbesar di Republik Kongo). Regis menghabiskan masa kecilnya di sana, sebelum ia dan keluarganya kembali ke Prancis dan menetap di Distrik Ghetto atau Neuhof (selatan Kota Strasbourg) pada 1981.

Sang ayah pergi meninggalkan rumah, saat Regis berusia remaja. Ibunya harus berjuang sendirian membiayai dan mendidik anak-anak nya. Regis mulai tumbuh menjadi penjahat kecil. Tinggal di lingkungan baru dan tanpa ayah, Regis belajar memenuhi keterbatasan dan kekurangan yang ia temukan di rumah.

Bermula dari melakukan kejahatan kecil, ia terus tumbuh menjadi penjahat kelas kakap dengan sejumlah temannya. Aku menyambar dan mencuri mobil, untuk menghasilkan uang yang tidak dapat diperoleh dari rumah, katanya. Dalam kondisi itu, Regis melayani tiga peran kehidupan sekaligus. Sebagai seorang anak yang berjuang menjaga keluarganya, siswa berprestasi di sekolah, dan penjahat jalanan yang cerdik.

Titik balik Kendati demikian, masih ada secercah kebaikan dalam dirinya, rasa keingintahuannya sangat besar ihwal asah spiritual. Regis memilih menyalurkan rasa frustrasinya melalui musik rap, bercerita dan menyampaikan kritik sosial dari semua yang terjadi. Terinspirasi oleh rap Amerika pada 1980- an, Regis dengan saudaranya bergabung dengan sejumlah temannya dan membuat grup yang diberi nama New African Poets, yang disingkat NAP.

Di tengah kekritisannya, Regis kecanduan gerakan Black Power dan mengidolakan Malcolm X sebagai pahlawan Muslim kulit hitam, yang telah berani menentang ketidakadilan. Dari sinilah perkenalannya dengan Islam dimulai. Dari sinilah perkenalannya dengan Islam bermula. Baginya dan tak sedikit imigran di Prancis saat itu, Islam menawarkan identitas yang menantang. Di Prancis, Regis tinggal di wilayah Ghetto. Ghetto merupakan kediaman minoritas imigran di Prancis.

Saat bersekolah, ia sering melihat polisi mengatakan semua imigran adalah orang Prancis. Namun dalam kenyataannya, ia belum pernah melihat seorang kulit hitam tampil di TV. Termasuk tidak adanya politisi berkulit hitam. Regis mulai mencari tahu tentang Islam dengan mendengarkan khotbah-khotbah tentang Islam di jalan-jalan.

Akhirnya pada usia 16 tahun, Regis memutuskan masuk Islam dan berganti nama menjadi Abd al-Malik. Setelah memeluk Islam, Abd al-Malik mera sakan perubahan dalam hidupnya. Beberapa tahun setelah menjadi Muslim, ia melakukan perjalanan dakwah berkeliling Prancis bersama teman Muslimnya. Dalam dakwahnya, ia mengajak para pemuda mendatangi masjid, menjalankan sunah dan berhenti minum alkohol serta obat-obatan ter larang. ed: nashih nashrullah

Musik Rap Media Mendakwahkan Islam Damai

Abd al-Malik melihat ajaran Islam yang tengah populer di Ghetto Prancis, bukanlah sesuatu yang secara eksplisit mencerminkan kekerasan. Namun, sebagai seorang imigran muda yang fanatik ia mendorong untuk menjauhi segala hal yang bersifat sekuler, modern, dan kebarat-baratan. Hal tersebut justru menimbulkan pergolakan batin dalam dirinya.

Sebagai seorang remaja, Abd al-Malik merasakan kecintaannya terhadap musik rap. Dia harus menjauhi jenis musik tersebut karena musik rap, termasuk hal yang modern dan kebarat-baratan. Pada saat keislamannya seumur jagung, sebagai seorang rapper, Abd al- Malik marah ketika mendengar opini yang mengatakan Islam tidak sejalan dengan seni musik yang ia pilih.

Di autobiografinya yang berjudul Sufi Rapper (2009), Abd al-Malik berpendapat, budaya rap Prancis lahir dalam konteks rasisme dan xenofobia (ketakutan terhadap orang asing yang berlebihan) secara luas. Ia masih ingat, bagaimana publik meng kritiknya akibat statusnya sebagai anak imigran.

Hal ini diperburuk dengan banyaknya diskriminasi yang ia peroleh dalam banyak hal. Oleh karena itu, musik rap menjadi populer pada 1990-an, musik rap dikritik sebagai seni yang mengagungkan kekeras an dan mempertinggi ketegangan rasial. Abd al-Malik terjebak dalam paradoks untuk beberapa tahun. Itu menyakitkan, katanya. Rasa sakit semakin terasa karena ia menyadari musiknya dibiayai dengan kejahatan dan menjadi bagian peredaran narkoba.

Kekacauan batin mendorong Abd al- Malik mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang imannya. Dalam pencarian itu, ia menerima jawaban dari tasawuf. Abd al-Malik bertemu dengan seorang guru spiritual dari Afrika Utara yang mengajarkannya, esensi agama adalah cinta dan kesadaran terhadap sifat rohani setiap manusia.

Jadi, Islam adalah agama cinta. Islam adalah perdamaian dengan diri sendiri dan orang lain. Pembelajaran ini memberi perubahan pola pikir bagi Abd al-Malik. Ia mulai memainkan perannya dalam seni. Abd al-Malik mulai menulis lagu untuk album solonya. Lagu yang ia tulis membawa pesan untuk menyerukan pemahaman antar ras.

Dalam autobiografinya, Abd al-Malik menjelaskan, melalui musik ia hanya mencoba menerjemahkan bahasa hati. Untuk itu, ia memutuskan untuk mening galkan musik rap aliran keras dan mulai berkolaborasi dengan berbagai musisi, untuk mengembangkan genre baru campur an musik jazz. Dengan demikian, ia dapat menyampaikan kritik secara beretika.

Ketika rapper lainnya terus menciptakan musik kemarahan dan beberapa dari mereka dituduh menghasut kekerasan, Abd al-Malik tetap pada pilihannya. Daripada mengkritik sistem Prancis, Abd al-Malik mendorong negara untuk hidup sesuai dengan cita-cita demokrasi. Melalui musiknya, ia telah memperoleh banyak penghargaan.

Ia ingin menunjukkan umat Islam tidak harus menghindari hal-hal yang modern. Apalagi, jika bisa melakukan sesuatu dengan hal tersebut.

 

REPUBLIKA