Baca Surah Al-Anbiya’, LoDuca Terperangah

Seniman lulusan Pratt Institute ini tak pernah bercita-cita menjadi Muslim. Ia juga tidak ingin menjadi Kristen.

Ia menilai, semua konsep agama formal tidak menyenangkan. Meski dibesarkan sebagai pemeluk Katolik, Danielle menganggap dirinya agnostik. Ia menghina semua agama secara umum. “Jika Anda menawarkan jutaan dolar untuk mengajak saya bergabung dengan salah satu agama, saya akan menolak,” kata Danielle LoDuca penuh percaya diri.

LoDuca adalah generasi ketiga Amerika Serikat. Ia tumbuh besar di lingkungan pinggiran Kota New York yang homogen. Sebagai perempuan modern yang rasional, ia lebih percaya pada akal pikiran untuk menuntunnya menjalani hidup, ketimbang “beberapa buku kuno”.

Tak heran bila perempuan ini begitu gandrung dengan Bertrand Russell. Filsuf dan ahli matematika asal Inggris itu berpendapat, agama tak lebih dari takhayul. Agama pada umumnya berbahaya bagi manusia meski mungkin memiliki sedikit efek positif bagi sebagian yang lain.

Lebih lanjut, Russel menilai, agama hanya akan menghalangi manusia dari ilmu pengetahuan, memunculkan ketakutan, dan ketergantungan. Agama juga hanya mengobarkan perang yang sia-sia, penindasan, dan kesengsaraan. LoDuca mengakui kebenaran perkataan itu.

LoDuca ingat, ia tertawa keras-keras saat membaca Hey Is That You God karangan Pasqual S Schievella. Lewat buku setebal 200 halaman itu, Professor Columbia University tersebut mencemooh konsep Tuhan melalui dialog satire. Semua tampak begitu logis bagi LoDuca. Menurut dia, para pemikir jelas berada di atas penganut agama-agama yang hidup tanpa daya kritis.

Kendati demikian, daya kritis LoDuca tak tumpul begitu saja. Mosi tidak percaya agama itu tak membuatnya urung melakukan pembuktian. Ia merasa tidak cukup sekadar berpikir lebih baik tanpa agama. Layaknya para ilmuwan Barat yang empiris dan rasional, Danielle ingin membuktikan secara sistematis bahwa agama tidak lebih dari tipuan. Ia sengaja ingin melakukan itu.

Menariknya, kata LoDuca, dalam pembicaraannya dengan para pemeluk agama, khususnya selain Islam, ia sering melihat bahwa mereka tampak sekali ingin percaya. Seolah, tidak peduli berapa banyak kontradiksi atau kesalahan yang ditunjukkan kitab suci mereka. Mereka kesampingkan itu, tanpa sedikitpun daya kritis.

Jarang ia menemukan kitab suci itu sendiri yang meyakinkan mereka. Yang ada, mereka memutuskan untuk beriman, kemudian baru mempelajarinya setelah keputusan itu dibuat.

Atau, seperti kata teman LoDuca, “Islam tampak asing, jadi aku tidak pernah meliriknya. Kristen lebih akrab dan nyaman karena sebagian besar orang di sekitar saya Kristen. Jadi, ketika saya mencari Tuhan, saya memilih Kristen.”

Danielle Lo Duca tidak ingin seperti itu. Secara pribadi, ia tidak pernah menganggap dirinya sengaja untuk mencari Tuhan. Konsisten dengan Bertrand Russel, ia telah memutuskan untuk percaya satu hal; agama hanyalah delusi palsu yang diagung-agungkan.

Walau pada kenyataannya, aku LoDuca, gagasan itu juga tidak dibangun di atas fakta-fakta tegas. Itu hanya asumsi. Ia tidak memiliki bukti. Ketika membaca buku-buku agama, ia sengaja mencari kelemahan. Sebuah pendekatan yang, kata LoDuca, membuatnya tetap objektif.

Sampai suatu hari, sebuah terjemahan Alquran dia peroleh secara gratis. Ia tengah melintasi sekelompok orang yang membagi-bagikan Alquran hari itu. Tanpa memalingkan muka dari ponsel, ia bertanya ketus, “Apakah itu gratis?”

Salah satu dari panitia mengiyakan. Ia meraih salah satu, kemudian melanjutkan perjalanan. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bertanya. Ia hanya tertarik untuk mengambil buku gratis yang barangkali bisa membuatnya makin menertawakan agama.

Tapi, sejak membaca “kitab kuno itu”, ia menjadi lebih pendiam. Alquran berbeda dari buku-buku agama lain yang juga telah dia kumpulkan. Danielle bisa memahaminya dengan mudah. Itu sangat jelas.

Seorang teman pernah menyebut Tuhannya Muslim itu pemarah dan pendendam. Ia langsung menghampiri orang itu tanpa sadar. Ia buka lembaran-lembaran Alquran, kemudian menunjukkan kalimat, “Sesungguhnya, Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”

Alquran hanyalah “buku tua nan usang”, tapi entah bagaimana ia berpikir kitab itu sepenuhnya relevan. Ada sesuatu dengan irama dan cara komunikasinya yang intim. Ada semacam keindahan yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Terasa melegakan, seolah berjalan tanpa alas kaki di gurun pasir bermandikan cahaya bintang, kemudian angin berembus ringan dari samping.

Alquran telah menarik daya intelektual LoDuca. Ia menawarkan isyarat, kemudian mengajaknya berpikir, merenung, dan mempertimbangkan. Ia menolak keimanan yang membabi buta, tapi mendorong manusia menggunakan kecerdasan. LoDuca sadar, Alquran sepenuhnya ditujukan bagi kebaikan manusia.

Setelah beberapa waktu, niat itu semakin mengendap. Ia mulai membaca buku-buku tentang Islam. LoDuca menemukan bahwa Nabi Muhammad pernah ditegur dalam Alquran. Fakta itu tampak aneh jika Muhammad dianggap penulis Alquran, sebagaimana anggapan para orientalis.

“Orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda seorang pembohong,” kata LoDuca. Ia berdoa pada suatu malam. Memohon ampun lantaran pernah menghina sosok mulia itu.N C38 ed: nashih nashrullah

 

Suatu malam, LoDuca kian terperangah tatkala membaca surah al-Anbiya’ ayat 30. Konsentrasinya terpecah. Itu teori Big Bang! pikir LoDuca. Ayat itu masih melanjutkan lagi, segala sesuatu yang hidup berasal dari air. Bukankah itu baru saja ditemukan para ilmuwan? Ia tercengang.

LoDuca melompat turun dan mulai membaca lebih teliti. Ia memeriksa buku-buku hingga semalaman duduk di Perpustakaan Pratt Institute. Masih dengan mata terbelalak dan tumpukan buku terbuka, LoDuca tersadar. Kebenaran sudah ada di depan mata.

“Saya tidak bisa menyangkal apa yang telah saya temukan. Saya tidak bisa mengabaikannya dan hidup seperti semula. Kini, hanya tersisa satu pilihan,” ungkap LoDuca. Perempuan cerdas itu tahu, ia harus menerima. Akhirnya pada 2002, Danielle Lo Duca resmi masuk Islam.

 

 

REPUBLIKA

Yassini: Allah Menyayangiku

Bagi Melissa Yassini, masa kecil bukanlah fase kehidupan yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Terlahir sebagai anak hasil hubungan di luar nikah, perempuan asal Texas, AS, itu menghabiskan masa kanak-kanaknya tanpa belaian kasih sayang seorang ibu apalagi bapak.

“Ibu saya adalah pencandu narkoba. Ketika mengandung saya, dia masih berumur 20 tahun,” ujar Yassini membuka kisah hidupnya, seperti dikutip dari I Found Islam.

Saat tengah mengandung dirinya itu, ibu kandung Yassini sempat masuk penjara lantaran terjerat kasus hukum. Nenek Yassini akhirnya terpaksa menggadaikan rumah untuk membebaskan sang ibu, dua pekan sebelum kelahirannya. “Begitu saya lahir, nenek dan kakek membawa saya. Mereka berdualah yang mengasuh dan membesarkan saya,” katanya.

Setelah tumbuh besar, Yassini pernah beberapa kali mengunjungi ibunya. Kendati demikian, ia tidak pernah merasa nyaman untuk tinggal bersama dengan wanita tersebut. Belakangan, Yassini akhirnya sadar bahwa hidup terpisah dari sang ibu merupakan pilihan terbaik baginya.

Meski nenek dan kakeknya mau bermurah hati untuk merawatnya, Yassini kecil tidak memperoleh banyak kesenangan seperti halnya anak-anak seusianya. Tidak ada menonton film di bioskop apalagi mengikuti pesta bersama teman-temannya. Hari-hari Yassini lebih banyak dihabiskan dengan belajar di dalam kamar dan merenungkan apa yang harus ia lakukan untuk masa depannya.

Nenek dan kakek Yassini merupakan penganut Kristen. Namun demikian, keduanya tidak pernah pergi ke gereja. Padahal, ada sebuah gereja yang berdiri di seberang jalan rumah mereka.

Berbeda dengan nenek dan kakeknya, Yassini justru rutin menghadiri kebaktian di tempat ibadah tersebut. Bahkan, ia juga aktif terlibat dalam kelompok remaja Kristen.

Akan tetapi, entah mengapa, Yassini tidak pernah merasakan kebutuhan spiritualnya terpenuhi dengan pergi ke gereja. Begitu banyak pertanyaan tentang konsep keimanan dan ketuhanan Kristiani yang tidak pernah terjawab oleh akal apalagi terserap dalam hatinya. “Saya merasa tidak berada di jalan yang benar,” ujarnya.

Sejak itulah pergulatan batin timbul dalam diri Yassini muda. Menurutnya, mencintai Tuhan tidak bisa dilakukan dengan keimanan yang buta. Cinta yang sejati kepada Sang Pencipta hanya bisa dicapai ketika seseorang telah mengenali Tuhannya.

Namun, Yassini benar-benar tidak mengerti dengan dogma trinintas yang diajarkan para pendeta kepadanya. Ia bahkan mengaku pernah sampai menangis dalam kamar dan berpikir akan masuk neraka akibat gagal memahami apa dan siapa itu Tuhan. “Padahal, saya selalu punya keinginan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan dicintai oleh-Nya,” kata Yassini.

Pada sebuah kesempatan, Yassini akhirnya mencoba mengikuti program pelatihan konselor untuk kegiatan kemah musim panas Kristen di daerahnya. Di situ, para kandidat konselor diberi materi tentang perbandingan agama, mulai dari Kristen, Buddha, Sikh, Yahudi, dan Islam.

Usai mengikuti kelas perbandingan agama tersebut, ada ketertarikan Yassini untuk mempelajari Islam lebih mendalam lagi. Ia pun mulai membaca beberapa buku yang berisi tentang agama yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW itu.

Setelah mempelajari Islam, Yassini mengungkapkan, akhirnya ia menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran sebelumnya. “Saya pun merasa seperti telah menemukan kembali sesuatu yang hilang dari hidup saya selama ini,” ujarnya.

Akhirnya, Yassini pun urung meneruskan rencananya untuk menjadi konselor pada kemah musim panas Kristen. Itu lantaran ia telah memperoleh sesuatu yang jauh lebih istimewa, yakni hidayah Islam. “Saya memutuskan menjadi seorang Muslimah sejak itu,” katanya.

Bersyukur

Yassini mengaku sangat bersyukur karena Allah SWT telah memilihnya menjadi seorang Muslimah. Ia pun menyadari bahwa kasih sayang Allah selalu hadir di dalam kehidupannya selama ini. Pertama, Allah menyelamatkan Yassini dari pengaruh narkoba, yaitu dengan cara menyerahkan pengasuhannya kepada kakek dan neneknya.

Selanjutnya, dalam perjalanannya mencari Tuhan, Allah tetap membimbing Yassini kepada jalan yang benar. “Alhamdulillah, semua itu termasuk cara Allah mempertemukan saya dengan Islam,” ujarnya. Ia berharap kisah ini dapat menginspirasi orang lain untuk mencari jalan menunju Allah.

 

REPUBLIKA

Gareth Bryant Temukan Hidayah Ketika Masih Belia

Gareth Bryant, merasa begitu beruntung menerima cahaya Islam ketika masih belia. Dia menyatakan diri sebagai seorang Muslim pada usia 15 tahun. Bryant masih ingat betul momentum paling berharga baginya itu terjadi, tepat pada 27 Desember 1996 atau 16 Sya’ban 1416 Hijiriah. “Saya masih duduk di bangku kelas satu SMA,” ujar Bryant membuka kembali kisah perjalanan rohaninya.

Kini dia begitu yakin, hidayah Islam tidak mengenal batasan umur. Jika Allah SWT berkehendak, dia bisa menghampiri seseorang kapan pun, baik saat muda maupun tua. Karenanya, Bryant merasa begitu beruntung menerima cahaya Islam ketika masih belia.

Sebelum menjadi mualaf, Bryant dididik dan dibesarkan sebagai seorang Kristen oleh keluarganya. Kendati demikian, dia mengaku tidak pernah memercayai Yesus (Isa AS) sebagai anak Allah. Akal dan hatinya tidak pernah dapat menerima konsep keyakinan semacam itu. Setiap kali Bryant menanyakan landasan teologis Yesus dalam ajaran trinitas, dia selalu memperoleh jawaban yang “tumpul”. Pada akhirnya, dia meninggalkan agama Kristen sama sekali.

Lalu, dia mulai melakukan pencarian sendiri dan mempelajari konsep keimanan dalam agama-agama lain. “Misinya untuk melihat mana jalan yang benar sesungguhnya,” katanya.

Meninggalkan konsep ketuhanan yang diterima sejak kecil, tak lantas membuat Bryant menjadi ateis. Dia tetap meyakini keberadaan Sang Pencipta. Adapun yang dia butuhkan ketika itu hanyalah pengetahuan yang benar tentang Tuhan itu sendiri. Bryant terus membaca lebih banyak lagi referensi mengenai berbagai macam agama. Sampai akhirnya dia memperoleh informasi tentang Islam.

Ironisnya, kata Bryant, ini merupakan agama yang terakhir yang dia selidiki. Bryant mengaku semakin banyak membaca literatur tentang Islam, dia menemukan bahwa agama ini berisi semua jawaban atas semua pertanyaannya selama ini. “Setelah rasa dahaga intelektual saya terpuaskan, saya pun memutuskan untuk menerima Islam dan menjadi Muslim sejak saat itu,” ujarnya mengenang.

Ketika memutuskan menjadi mualaf, Bryant mengaku menghadapi pertentangan keras dari orang-orang di sekelilingnya.Terutama, dari keluarganya yang tidak siap menerima keislamannya tersebut. Bahkan, ibunya sempat mengancam akan mengusir Bryant dari rumah dan mengirimnya ke panti rehabilitasi sosial.

Tidak sampai di situ saja, Bryant terus-menerus diejek oleh teman-teman sekelasnya. Dia juga kerap dibully oleh orang-orang di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Akan tetapi, Bryant benar-benar tidak memedulikan semua itu.

Keyakinannya terhadap Islam justru semakin kokoh. Dia tetap dalam pendirian bahwa Islam bentuk kasih sayang paling sempurna dari Sang Pencipta. Allah SWT yang memandu langkahnya untuk menjadi seorang Muslim. “Saya sudah membuat keputusan, Islam adalah kebenaran dan saya perlu memilikinya,” ujar pria yang juga sarjana ilmu politik lulusan Touro College, New York, AS, itu. n ed: nashih nashrullah

Kisah Bryant menemukan hidayah itu sudah 18 tahun berlalu. Hari ini, dia telah terbiasa menjalani hidup dalam Islam. Sejak 2007 sampai sekarang, Bryant terlibat aktif sebagai anggota komunitas Islamic Center di New York University.

Bryant juga merupakan salah satu pendiri Da’wah Unlimited Alliance (DUA), sebuah organisasi nonprofit yang didirikan di Brooklyn, New York, pada 2000 silam. “Organisasi ini memiliki komitmen untuk memberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Muslim kepada masyarakat umum,” ujarnya.

Selain itu, Bryant juga dipercaya menjadi juru bicara Muslims Giving Back, sebuah komunitas nirlaba yang didedikasikan untuk mengatasi kelaparan di Amerika Serikat. Pria keturunan Afro-Amerika ini pun terdaftar sebagai anggota eksekutif Young Muslims USA, salah satu organisasi pemuda Islam AS yang berdiri sejak 1995.

Meski sudah menjadi Muslim sejak usia remaja, keinginan Bryant untuk terus mendalami Islam tidak pernah pudar. Sejak 2000-2006, dia mempelajari studi-studi Islam dan bahasa Arab di bawah bimbingan Siraj Wahhaj—yang merupakan pimpinan Aliansi Muslim Amerika Utara (MANA).

Bryant juga memperoleh pengetahuan tentang Ushul Fikih dari ulama AS sekaligus pendiri Foundation for Knowledge and Development (FKAD), Shakiel Humayun. Di bidang sirah dan sabda Nabi Muhammad SAW, dia berguru kepada Abdul-Rahman Khan, anggota eksekutif Dewan Fiqih Amerika Utara.

Di samping bergelut dengan segudang kegiatan tersebut, Bryant juga bekerja sebagai staf pengajar di almamaternya, Touro College. Lelaki yang kini berusia 34 tahun itu pun dipercaya menjadi instruktur studi-studi Islam dan Arab di Islamic Learning Foundation (ILF), Queens, New York. Gareth Bryant menaruh minat yang besar terhadap sastra dan puisi. Di laman blog pribadinya, garethbryant. wordpress.com, dia aktif menulis syairsyair Islami tentang alam, perjalanan, kesadaran, dan cinta.

Sebagai manusia biasa Briyant sadar bahwa dia merupakan seorang Muslim, penyair, penulis, pecinta, dan juga pejuang yang tak jarang disalahpahami seperti orang-orang lainnya di dunia ini. “Namun, saya masih terus berusaha untuk menikmati hidup,” tulis Bryant memberikan gambaran tentang dirinya.

 

REPUBLIKA

 

—————————————————————-
Download-lah Aplikasi CEK PORSI HAJI dari Smartphone Android Anda agar Anda juga bisa menerima artikel keislaman ( termasuk bisa cek Porsi Haji dan Status Visa Umrah Anda) setiap hari!

 

Jumlah Mualaf Az-Zikra Genap 670 Orang

Jumlah mualaf Majelis Az-Zikra mencepai genap 670 orang. “Alhamdulillah, pada acara Tausiyah Zikir di Masjd Az-Zikra Sentul, waktu Dhuha, Ahad (6/8), tiga orang mengucapkan dua kalimat syahadat,” kata Pimpinan Majelis Az-Zikra Ustaz Muhammad Arifin Ilham kepada Republika.co.id, Senin (7/8).

Mereka adalah Dafa Suwandi (39 tahun) dari Katholik dengan nama Islam Dr Muhammad Dafa Ilham, Yulia Ratnasari (24 tahun) dari Protestan dengan nama Islam Dzulfahima, dan Monica Nia (23 tahun) dari Katholik dengan nama Islam Siti Hafshah.

Kemudian, kata Arifin, pada hari yang sama, ba’da shalat Zhuhur berjamaah di Masjid AzZikra, dua orang wanita mengikrarkan diri menjadi Muslimah. Keduanya adalah Merry Sarah Aseh Putri (25 tahun) dari Protestan dengan nama Islam Khoirun Nisa, dan Angela Cassandra Wijaya (20 tahun) dari Protestan dengan nama Islam Khoirul Mar’ah.

“Subhanallah walhamdulillah, kini mualaf Majelis Az-Zikra bertambah lagi menjadi genap 670 orang. Insya Allah akan terus bertambah, saudara saudari Muslim kita karena hidayah Allah. Aamiin,” tutur Arifin.

Ia menjelaskan, setiap bulan selalu ada mualaf yang berikrar di Masjid Az-Zikra Sentul. “Alhamdulillah, setiap acara Tausiyah Zikir selalu dihiasi dengan masuk Islamnya sejumlah saudara kita,” ujarnya.

Ia pun menginformasikan jadwal Tausiyah Zikir di Masjid Az-Zikra Sentul, Bogor, bulan depan, yakni Ahad, 19 Dzulhijjah 1438 H, bertepatan 10 September 2017. “Ayo sahabatku, kita beramai-ramai menghadiri acara Tausiyah Zikir tersebut. Bagi yang bermalam di Masjid az-Zikra, berkesempatan untuk melaksanakan qiyamullail berjamaah,” papar Ustaz Muhammad Arifin Ilham.

 

REPUBLIKA

Keith: Hidup Sebagai Muslim Terasa Indah

Membaca sebuah kitab suci sudah menjadi rutinitas Keith, warga Illinois, Amerika Serikat. Sejak kecil dia melakukan itu setiap akhir pekan. Bahkan, dalam tujuh hari, dia bisa menyempatkan tiga hari hanya untuk membaca kitab suci.

Namun, ritual rutin itu tidak membuatnya merasakan ketenangan beragama. Batinnya selalu mempertanyakan apakah ada hal lain yang membuat seseorang lebih bisa merasakan dekat dengan Sang Pencipta. Adakah ajaran yang lebih mengarahkan insan untuk maju, berkembang, sehingga bisa menghasilkan budaya yang mendukung perkembangan hidup.

Kegelisahan itu semakin dia rasakan ketika dipercaya bertugas di Turki. Sebagai seorang militer, dia harus mampu memetakan potensi ancaman dan kondisi masyarakat sekitar. Itu bukan hal sulit bagi pria yang sudah 24 tahun aktif di sebuah satuan militer Amerika Serikat ini. Ketika itu, dia banyak bertemu dengan tokoh Muslim Turki. Keith sempat bertanya-tanya dalam hati ketika melihat mereka. Selama ini dia hanya mengetahui Is lam identik dengan radikalisme dan terorisme. Islam jauh dari istilah toleransi.

Jika bicara tentang Islam, banyak orang selalu mengaitkan risalah yang dibawa Rasulullah dengan berbagai keburukan. Namun, di Turki Keith tidak menemukan Islam yang seperti itu. Dia melihat peninggalan Turki Usmani seperti Masjid Hagia Sophia yang megah dan kaya dengan nilai seni. Keindahan arsitekturnya membuat siapa pun yang masuk ke dalam bangunan tua itu terpesona.

Tidak hanya itu, dia juga mengamati kehidupan masyarakat Muslim di Turki yang saling peduli. Mereka hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Perbedaan keyakinan tidak membuat mere ka saling bermusuhan. Justru mereka hidup rukun dan saling bersinergi untuk samasama menciptakan kehidupan yang penuh dengan rasa saling menghormati.

Dia kemudian memahami bahwa Islam secara keseluruhan tidak dapat dilihat dari tindakan beberapa orang saja. Islam adalah ajarannya bukan sekadar sikap atau perilaku beberapa orang. Karena, beberapa orang Muslim bisa saja bertindak yang tidak mencerminkan ajaran Islam.

Dalam beberapa pertemuan dengan tokoh Muslim di Turki, Keith kerap menanyakan Islam. Seperti apa ajarannya. Bagai mana perkembangan Islam. Apa yang membuat masyarakat di dunia meyakini Islam. Pertanyaan tersebut diajukannya un tuk mengenal lebih dalam tentang risalah yang dibawa oleh Muhammad SAW.

Ketika mengenal Islam, dia mulai menyadari ada beberapa kemiripan dengan aga ma yang dianut sebelumnya. Pesan dari ke dua agama ini tidak pernah ada yang ber ubah, selalu sama. Tetapi, ketika bersya hadat, dia memahami Islam adalah agama yang murni. Dalam Islam, dia mem ahami ketika berdoa tidak ada perantara kepada Tuhan. Berbeda dengan agama yang dianut sebelumnya yang mengajarkan doa harus melalui perantara.

Lalu, apa gunanya perantara da lam berdoa? Dia mempertanyakan masalah ini di agama sebelumnya. Namun, Keith ti dak menemukan jawaban yang memua sakan. Mantan prajurit itu berpen da pat, seharusnya antara hamba dan Sang Pen cipta tidak perlu ada perantara. Makhluk dapat lang sung memohon kepada Tuhan. Ini lah yang diajarkan Islam dan tidak diajarkan di agamanya dahulu. Dalam Islam, Tuhan tidak me mi liki anak dan tidak diperanakkan.

Sebelum memeluk Islam, Keith mempelajari Islam selama satu tahun. Dia mulai membaca berba gai sumber untuk mengetahui pe ngetahuan tentang Islam. Dia ingin memastikan dan menyadari sepenuhnya seperti apa Islam itu. Sedikit demi sedikit mantan tentara ini mulai memahami Islam, baik dalam sisi sejarah maupun ajarannya.

Dia melihat Islam memiliki keindahan. Hidup islami dapat dilakukan dengan cara sederhana. Keith mulai benar-benar secara terbuka dan mengakui memeluk Islam pada Desember 1998 di Flo rida. Dia meminta seseorang me nyaksikan prosesnya menjadi Mus lim. Setelah mengucapkan sya hadat, dia pun resmi memeluk Islam.

Selama ini Keith mengha biskan sebagian hidupnya bekerja di bidang militer. Hampir 24 tahun. Dia telah berkeliling dunia, mengenal budaya yang berbeda. Keith telah memeluk Islam selama 18 tahun terakhir. Baginya, hidup se bagai Muslim terasa indah. Perasaan dan pikirannya terbuka luas.

“Saya rutin membaca Alkitab tiga hingga empat kali dan memahaminya dengan baik. Saya mengetahui apa yang ditanamkan ajaran itu pada diri saya. Tetapi, saya merasa ada yang tidak sesuai,” kata dia.

Keith merasakan Islam banyak berpengaruh positif bagi kehidupan pribadinya. Dia mulai mema hami bahwa Muslim tidak seperti yang dia bayangkan selama ini. Dia tidak lagi merasa khawatir ke tika berhadapan dengan orang lain. Dia dapat bersinergi dengan ba nyak orang dari berbagai latar belakang. Tidak ada lagi yang da pat memberikan gambaran bu ruk tentang Islam karena Keith sudah memahami Islam dengan baik. “Saya melihat segala sesuatu da lam cahaya yang berbeda,” kata dia.

Setahun sebelum bertugas di Turki, ada kekhawatiran yang dira sakannya. Kekhawatiran ini semakin memuncak saat dia mulai belajar Islam hingga dia benar-benar bertobat dan bersyahadat. Dia khawatir akan seperti apa sikap keluarganya ketika mengetahui dia menjadi seorang Muslim.

Dia khawatir akan dijauhi, dicerca, bahkan dimaki karena berpindah agama. Padahal, selama ini dia dibesarkan oleh keluarga yang taat dengan agama selain Islam. Keith semakin khawatir sampai-sampai ingin berusaha menghindari keluar ganya. Dia takut saudara dan orang tuanya kecewa.

Sebelum dia meyakini dan belajar Islam terselip sebuah pertanyaan pada dirinya. “Mengapa saya harus pindah ke tempat lain jika orang yang saya lihat selama ini melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan” tanya Keith dalam hati.

Dalam waktu setahun, dia mulai menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Dia mu lai bisa memahami perbedaan keduanya. Bagi dia, orang-orang yang seagama dengannya dulu tidak setia dengan keyakinannya.

Awalnya, dia sangat merasa kesulitan dalam mempelajari Islam. Dia harus mengikuti kursus selama beberapa bulan dengan berbagai materi. Tidak hanya itu, dia juga harus mendengarkan ceramah dan mengikuti kelas khusus bagi pemula secara rutin. Baginya, mempelajari Islam tidak sulit. “Oke, saya siap belajar Islam dan bisa memahaminya dengan mudah,” ujar dia.

REPUBLIKA

 

Terkesan Pergaulan Umat Islam, Petrus Sekeluarga Bersyahadat di Kupang

Petrus sehari-hari bekerja sebagai tukang kuli bangunan. Ia pun tak ketinggalan ketika mendengar akan ada pembangunan masjid. Ia turut mengambil bagian membangun masjid bersama masyarakat Muslim sekitar.

 

Kemarin, Ahad (23/07/2017), di Masjid Agung Baiturrahman Perumnas, Jl Ainiba No 17, Perumnas, Nefonaek, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, NTT, satu keluarga mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Imam Amir Kiwang dan puluhan jamaah yang hadir.

Sebut saja Petrus (bukan nama sebenarnya), beberapa waktu lalu ia datang menemui Ustadz Sarifudin mengutarakan niatnya berpindah agama. Sarifudin, dai kelahiran NTT yang kini bertugas di kampung halamannya, pedalaman Soe, menanyakan niat baik Petrus.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya sang ustadz.

“Begini, Ustadz, saya sekeluarga ingin memeluk agama Islam. Bolehkah?” kata Petrus.

Tak menunggu lama, langsung saja Sarifudin menyambut kabar gembira dari Petrus. Sarifudin segera mengabarkan kepada Ustadz Pono di Kupang. Pono, dai yang juga aktif membina Desa Fatukopa, Soe TTS, NTT, bersama Sarifudin. Pono pun menyampaikan agar Petrus beserta keluarga berangkat ke Kota Kupang untuk segera disyahadatkan.

Hidayah yang didapat Petrus sekeluarga bermula dari kisah setahun lalu. Saat itu, ada seorang donatur dari Jakarta bernazar ingin membangun masjid. Ketika dicari tempat yang layak, donatur ini menemukan tempat pembangunan masjid di desa tempat tinggal Sarifudin dan Petrus.

Petrus sehari-hari bekerja sebagai tukang kuli bangunan. Ia pun tak ketinggalan ketika mendengar akan ada pembangunan masjid. Ia turut mengambil bagian membangun masjid bersama masyarakat Muslim sekitar.

Lama bergaul, ia sangat berkesan dengan kehidupan dan pergaulan orang-orang Islam. Anak-anak Petrus pun selalu diperhatikan oleh Pono dan Sarifudin. Dari situlah ketertarikan Petrus di awal mengenal Islam.

 

Hari bersejarah, Ahad kemarin, tepat pukul 10.30 WITA, Petrus bersyahadat di hadapan Imam Masjid. Walau terbata-bata mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi semangat keislamannya ia buktikan lebih dulu sebelum memeluk Islam. Yakni ia bersama anak-anaknya telah dikhitan oleh Pono dan pegiat dakwah lainnya di NTT.

 

Kini nama Islam Petrus adalah Muhammad Nasir, sedangkan istrinya bernama Siti Aisyah, adapun nama anak-anaknya menyusul.

“Semoga istiqamah di atas jalan yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala, yaitu dinul Islam,” doa salah seorang jamaah yang hadir dan mendukung kegiatan itu.

 

* Usman Aidil Wandan, pegiat komunitas menulis PENA. Berita ini hasil kerja sama dengan hidayatullah.com

 

 

Marcel, Mualaf yang Bercita-cita Jadi Hafiz Alquran

Garis keturunan Marcelinus Wahyu Darmawan berasal dari keluarga non-Muslim. Hanya ia, sang ibu, ayah angkat dan adiknya yang Muslim. Namun, latarbelakangnya itu tak menghalangi bermimpi untuk menjadi hafiz Alquran.

Bocah laki-laki yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini sempat beragama non-Muslim saat umurnya masih enam tahun. Kini ia seorang mualaf.

Sang ibu dan ayah angkatnya begitu mendukung Marcel untuk jadi hafizh Qur’an. Sang kakek yang kini masih beragama non-Muslim pun sering mengantar Marcel ke Masjid Jami Al Hikmah dan Rumah Tahfizh Daarul Qur’an Kaliwadas untuk Shalat Subuh berjamaah dan menghafal Alquran.

Marcel punya mimpi, suatu saat baik kakek, nenek maupun pamannya pun memeluk Islam. “Berharap kakek nenek ikut masuk Islam, biar bisa shalat berjamaah dan saat nanti Idul Fitri sekeluarga bisa ke masjid bareng-bareng,” tuturnya penuh harap.

Selain bercita-cita menjadi hafizh Qur’an agar bisa membanggakan orang tua dan mengajak seluruh keluarganya mengenal Islam. Marcel juga punya mimpi menjadi dokter untuk membantu orang-orang yang sakit.

Marcel yang selalu mendapat peringkat dua atau tiga sejak Kelas 2 SD ini mengaku ingin berkuliah di salah satu Universitas Negeri yang berada di Bandung. “Cita-cita jadi dokter umum, pengen bantu orang yang lagi sakit dan banggain orang tua. Soalnya orang tua sekolahnya enggak pernah tinggi. Marcel juga pernah ngerasain kalau posisi jadi orang sakit enggak enak,” ucapnya.

Marcel mengaku ingin terus menghafal hingga khatam 30 juz. Mudah-mudahan, Allah mengabulkan mimpi dan cita-citanya.

PPPA Daarul Qur’an terus berupaya mendawamkan Alqur’an ke seluruh penjuru Nusantara dan Dunia, melahirkan semakin banyak generasi muda penghafal Qur’an seperti Marcel. Semoga Allah selalu meridhoi ikhtiar ini, Aamiin.

Kini, Marcel yang tengah belajar menghafal Qur’an di Rumah Tahfizh Daarul Qur’an Kaliwadas, Subang, Jawa Barat. Meski belum genap satu tahun, remaja berusia 12 tahun ini sudah menghafal hampir 3 juz.

 

REPUBLIKA

Anna Maidi Mengenal Islam dari Suami

Pria 19 tahun bernama Chabane Maidi mampu mengubah seorang Anna menjadi muslimah. Padahal, stigma negatif muslim, masih berpengaruh negatif di Amerika akibat peristiwa 11 September. Saat itu dia baru menjadi mahasiswa.

Anna baru menyadari saat memikirkan hidupnya pernah berada dalam masa transisi dari kehidupan masa lalu hingga memiliki kehdiupan yang baru sebagai muslim. Kisahnya dimulai ketika mengenal seorang pria berusia 19 tahun. Anna bertemu dengannya di sbeuah ruang baca Cafe Hoosier dengan memberikannya sebotol jus.

Anna bertemu dengan suaminya tahun 2006 ketika berusia 18 tahun. Dia mengaku, bahwa berkat suaminya, dia memeluk Islam. Anna bukanlah wanita yang religius. Namun, dia tetap percaya Tuhan dan percaya bahwa Dia ada.

Berbeda dengan suaminya, saat Anna mengenalnya Chabane adalah seorang muslim yang taat. Chabane memiliki keyakinan yang kuat dengan agama dan Alquran.

Anna pun mencoba untuk membacanya. Sebagai seorang mahasiswa, Anna tidak terlalu punya banyak waktu untuk membaca kitab suci hingga khatam. Namun, suatu saat, dia ditawari bekerja magang di Prancis 2009. Anna mulai sering membaca Alquran lebih sering ketika berada di Prancis.

Dia mengaku, menemukan kebenaran ketika membaca Alquran. Dia pun resmi memeluk Islam sepekan sebelum dia kembali ke Amerika.

Sekembalinya ke Amerika, dia tidak segera memberitahu Chabane yang saat itu belum menjadi suaminya. “Saat itu saya hanya ingin bersama Tuhan saja,” ucap dia.

Karena, ketika dia bertemu dengan Chabane, Anna merasa hidupnya tak lagi miliki dia dan Tuhannya. “Saya ingin merasakan hidup hanya ada saya saja sebentar,” ujar dia.

Setelah menikah, Chabane dan Anna memiliki dua anak. Anak pertamanya berusia tiga tahun dan anak keduanya berusia 20 bulan. Setelah menjadi mualaf, Anna merasa dapat melihat banyak keindanhan di dunia. Dia merasa seolah-olah saya menjadi diri saya sendiri lebih dari sebelumnya.

Dia bersyukur mengenal Allah melalui Chabane suaminya. Karena tanpa dia, Anna tidak tahu saat ini dia akan berada dimana.

 

REPUBLIKA

Pendeta Katolik, Menemukan Kebenaran Islam Saat Ramadhan

Sebelum memeluk agama Islam, ia adalah seorang pendeta agama Katolik Roma dan menjadi kepala bidan pendidikan agama di sekolah khusus anak laki-laki di selatan London. Bulan Ramadan menjadi bulan penuh kenangan bagi lelaki yang kemudian menggunakan nama Idris Tawfiq ini, karena pada bulan suci itulah ia menemukan Islam dan memeluk agama Islam hingga sekarang.

Di Inggris, kata Idris, semua siswa menerima pelajaran tentang enam agama utama yang dianut masyarakat dunia. Sebagai kepala bidang pendidikan agama, Idris yang ketika itu belum masuk Islam bertanggungjawab untuk memberikan mata pelajaran tentang agama Kristen, Yudaisme, Budha, Islam, Sikh dan Hindu. Ia hanya menjelaskan perbedaan keenam agama tersebut dan tidak mereferensikan siswanya untuk memeluk salah satu dari keenam agama tersebut.

Idris tentu saja harus membaca berbagai informasi tentang Islam sebelum memberikan pelajaran tentang agama Islam pada para siswanya. Karena pernah berkunjung ke Mesir dan melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat Muslim, Idris mengaku respek dengan Muslim yang menurutnya ramah dan lembut. Di sekolahnya sendiri, sebagian siswanya adalah Muslim dan banyak dari mereka yang berasal dari negara-negara Arab.

Idris ingat, beberapa hari sebelum bulan Ramadhan, beberapa siswanya yang Muslim mendekatinya dan bertanya apakah mereka bisa menggunakan kelas Idris untuk keperluan salat, kebetulan kelas tempat Idris mengajar berkarpet dan memiliki wastafel. Meski peraturan sekolah di Inggris saat itu tidak memberi ijin siswa untuk melaksanakan peribadahan di sekolah.

Idris mengijinkan permintaan siswanya itu. Tapi kepala sekolah mengharuskan seorang guru hadir untuk mengawasi kelasnya saat digunakan untuk salat. “Saya belum menjadi seorang muslim ketika itu, tapi Allah bekerja dengan caranya yang sangat istimewa, memberikan contoh-contoh sederhana dalam kehidupan untuk membuat keajaiban dalam hidup kita,” tukas Idris.

Maka, selama bulan Ramadhan itu, pada waktu makan siang, Idris duduk di belakang menyaksikan siswanya yang Muslim salat dzuhur, ashar dan salat jumat berjamaah. Apa yang dilihatnya ternyata menjadi pembuka jalan bagi Idris untuk mengenal Islam. Idris jadi tahu bagaimana seorang Muslim shalat dan ia bisa mengingat beberapa bacaan salat meksi ia tak paham artinya. Oleh sebab itu, usai Ramadan, Ia tetap membolehkan siswanya yang Muslim untuk salat di dalam kelasnya sampai Ramadan tahun berikutnya.

Kali ini, Idris yang masih belum masuk Islam, ikut berpuasa sebagai bentuk solidaritas terhadap siswanya yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Ketika itulah keinginannya untuk masuk Islam semakin kuat dan setelah bulan Ramadhan itu, Idris memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, menjadi seorang Muslim.

“Alhamdulillah, saya menjadi seorang muslim. Tapi itu cerita lain. Apa yang dicontohkan para siswa saya yang Muslim telah membawa saya menjadi seorang muslim. Sejak itu, saya ikut shalat berjamaah bersama mereka, sebagai soerang mualaf,” ungkap Idris.

Ramadhan tahun berikutnya adalah Ramadhan pertama bagi Idris sebagai seorang Muslim. “Ramadhan pertama itu sangat istimewa. Di akhir bulan Ramadhan, saya bersama para siswa menggelar buka puasa bersama. Untuk meraih malam Lailatul Qadar, saya bersama para siswa itikaf di sekolah,” kenang Idris tentang Ramadhan pertamanya.

Usai jam sekolah saat Ramadhan, sambil menunggu waktu berbuka, Idris dan para siswanya yang Muslim menyaksikan film bersama tentang kehidupan Rasulullah Saw. Usai shalat maghrib berjamaah, mereka membuka bekal makananan dan minuman masing-masing yang dibawa dari rumah dan saling berbagai dengan yang lainnya.

Saat Idris menjalankan ibadah puasa Ramadhan pertamanya sebagai Muslim, ketika itu masyarakat Inggris sedang dilanda Islamofobia karena baru saja terjadi peristiwa serangan 11 September 2001 di AS. Banyak warga Inggris yang curiga pada Islam dan Muslim. Tapi alhamdulillah, beberapa guru non-Muslim di sekolahnya datang dan mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Kepala sekolah bahkan membawakan mereka kurma untuk berbuka, karena dari siswanya yang Muslim ia tahu bahwa Rasulullah Muhammad Saw selalu berbuka dengan makan kurma.

Idris mengakui, menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negara non-Muslim tidak mudah. “Seringkali kita menjadi satu-satunya orang yang berpuasa. Setelah berbuka, tidak ada kegiatan istimewa apalagi kalau letak masjid sangat jauh,” ujar Idris.

“Tapi, malam-malam di Ramadhan pertama saya sebagai muslim adalah malam yang sangat istimewa yang tidak akan saya lupakan. Saya bisa menyampaikan pesan Islam pada semua yang hadir disana bahwa Ramadhan adalah bulan yang penuh kegembiraan dan penuh persaudaraan yang sangat menyentuh hati kita, Alhamdulillah,” tukas Idris menutup kisah pengalaman Ramadhan pertamanya sebagai seorang yang baru masuk Islam. (ln/iol)

 

ERA MUSLIM

Lisa Suhay Kecanduan Islam Saat Ramadhan

Lisa Suhay menjadi mualaf sebelum Ramadhan tahun ini. Ia mengaku, menjalani ritual di bulan suci ini membuatnya kecanduan Islam.

Pekan pertama Ramadhan ia jalani dengan bahagia. Perempuan asal Virginia, AS ini tak mengalami kesulitan menjalani puasa walaupun ia punya masalah dengan pola minum. Ia khawatir lupa minum. Bagi dia, rasa haus lebih menyiksa daripada rasa lapar.

Keluarganya bukan Muslim. Bahkan, suaminya sangat keberatan dengan semua hal berbau Islam. Namun, Lisa justru tertarik datang ke masjid. Berbuka puasa di masjid merupakan hadiah yang baginya lebih besar daripada makanan budaya baru yang dibagikan di sana.

Masyarakat sekitar tak menyambut baik keputusannya menjadi seorang Muslim. Walaupun begitu, selalu ada sekumpulan orang yang menyambut dia.

Pada pekan kedua, ia telah menemukan strategi untuk sahur. Ia mulai bisa menghindari agar tidak kekurangan energi dan gangguan tidur. Ia sadar akan lebih sulit pada 10 hari terakhir.

Dengan berdiri selama shalat tarawih dari pukul 10.00 WIB, kakinya terasa keram dan punggungnya sakit, namun ada ikatan pertemanan yang lebih kuat. Pada jam kedua, ia mulai bergoyang ke kiri-kanan agar otot tak kaku.

Dengan semangat mengabdi kepada Allah SWT dan makan sahur pukul 03.30 WIB, Lisa membaca Alquran dan 99 asmaul husna dengan lantang. Ia mengaku kagum kepada para perempuan yang mengorbankan waktu-waktu shalat untuk menyiapkan makan dan bersih-bersih selama Ramadhan.

Lisa mengaku tak punya guru. Ia mengandalkan pencarian online tentang tata cara salat dan aplikasi Muslim Pro serta Youtube. Akibatnya, ia tak tahu yang harus dilakukan pada 10 malam terakhir Ramadhan dan Idul Fitri. Ia mendengar seorang perempuan berkata, “Baiklah kita dalam 10 malam terakhir sekarang.”

Lisa mulai bertanya tentang tahajud. Ia berpikir, ia berdiri selama berjam-jam dalam pertaubatan dengan bahasa yang tidak ia mengerti.

Ia tak tahu apa yang harus dilakukan di saat-saat sulit. Tahajud membawanya pada tingkat yang benar-benar berbeda. Bangun di tengah malam ke tempat ibadah selama berhari-hari belum pernah dijalani. Ia tak punya persiapan apa pun. Baginya ini pengalaman komunitas dan keimanan yang menakjubkan.

“Aku berharap bisa kelelahan, mengantuk dan kesepian,” kata dia.

Mencoba pengalaman itu membuatnya menyadari sifat adiktif Ramadhan dan Islam itu sendiri. Ia merasa dituntun pada kehidupan baru dan kekuatan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Pagi-pagi, ia bukannya kelelahan tapi justru merasa penuh energi.

Ia terbiasa berjalan kaki ketika tarawih dan tahajud, sebab masjid hanya berjarak beberapa blok dari tempat tinggalnya. Namun, setelah seorang gadis Muslim berusia 17 tahun diculik dan dibunuh saat berjalan pulang dari sebuah masjid di Virginia, Lisa memilih tinggal di masjid.

Lisa senang memakai abaya hitam pemberian Khadijah dari Maroko. Pakaian itu sederhana, ramping, dan sejuk di tengah panasnya Virginia. Ia percaya abaya adalah busana Muslim yang setara dengan little black dress. Pakaian itu cantik dan klasik dan secara universal sesuai untuk setiap kesempatan.

Hampir setiap non-Muslim yang ia kenal terkejut, ngeri, jijik dan marah saat melihat Lisa mengenakan abaya dan jilbab untuk pertama kali. Mereka mengasosiasikan keduanya dengan stereotip Muslim negatif. Lisa berharap, dengan melihat satu per satu perubahan menuju kebaikan, orang-orang itu akan dilembutkan hatinya.

Di malam-malam terakhir Ramadhan, ia merasa mendapat perlindungan dari Allah. Kemana pun ia pergi dan dengan siapa pun, ia mencoba mempraktikkan Islam dengan baik.

“Jadi sekarang saya menantikan Idul Fitri. Saya sedih Ramadhan akan berakhir. Saya harus menunggu satu tahun lagi untuk tenggelam dalam masyarakat karena begitu banyak saudara laki-laki dan perempuan ini datang ke masjid selama liburan ini,” kata Lisa.

 

REPUBLIKA