Sonia Soares: Islam Paling Tahu Keadaan Pemeluknya

Nama saya Sonia Soares, biasa dipanggil Sonia. Saya adalah gadis kelahiran Timor Leste, tanggal 08 Nopember 1999. Saya seorang mualaf yang saat ini sedang menempuh pendidikan formal di salah satu sekolah Islam swasta dan menjadi santri di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan Annaba Center Indonesia.

Menjadi seorang mualafah bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi pada diri saya. Latar belakang keluarga yang beragama Katholik, menjadikan saya harus memikul beban yang tidak ringan karena saya berhadapan dengan mayoritas penganut Katholik dalam lingkungan keluarga.

Meski ayah hanyalah seorang yang bekerja sebagai tukang ojek dan ibu adalah pedagang sayur, tapi dalam diri mereka terdapat keimanan Katholik yang cukup kuat. Ini dapat dilihat dari keseharian mereka yang juga aktif dalam kegiatan ke-katholik-an.

Saya memilih masuk Islam ketika saya masih berumur sekitar dua belas tahun. Usia yang sangat muda, namun waktu itu saya sudah baligh, karena ukuran baligh dalam Islam bukan dilihat dari usia melainkan dari perkembangan organ reproduksi.

Waktu itu saat masih SD, saya berteman dengan seorang anak yang kebetulan beragama Islam. Meski hanya seorang diri di kelas yang beragama Islam, namun teman saya ini tetap konsisten menjalankan ajaran agamanya.

Mungkin pembaca bertanya, bagaimana saya bisa tahu jika teman saya tersebut konsisten terhadap agamanya? Jawabannya karena ketika kami semua hendak memulai pelajaran di sekolah, dan kemudian berdoa menurut agama Katholik, tapi teman saya itu berdoa dengan cara Islam meski hanya mengucapkannya dengan suara berbisik.

Pembaca mungkin menganggap bahwa hal itu merupakan sesuatu yang biasa. Ya! Memang itu sesuatu yang biasa bagi anda, tetapi tidak bagi saya. Mempertahankan keyakinan (agama) sebagai minoritas di lingkungan yang mayoritas bukanlah hal mudah, dan itulah yang terjadi pada teman saya.

Singkatnya, ini pula yang membuat saya bertanya mengapa begitu penting mempertahankan keyakinan (akidah) dalam Islam. Berawal dari kebiasaan dalam berdoa itulah kemudian terlintas dalam benak saya tentang aktifitas kebaktian yang selama ini saya lakukan.

Kalau dalam agama Islam, peribadatan diatur sesuai dengan porsinya, namun dalam Katholik agaknya tidak. Ibadah, khususnya shalat, dalam Islam dilakukan dengan ketentuan yang tidak menyulitkan penganutnya. Ketika hendak shalat misalnya, seorang Muslim terlebih dahulu berwudhu kemudian mengenakan pakaian yang bersih dan suci, tidak mesti baru apalagi yang mewah.

Berbeda dengan ajaran yang disampaikan oleh pastor kami dulu. Setiap berangkat ke gereja diharuskan menggunakan pakaian yang bagus, dan jika mungkin mengenakan pakaian yang baru. Tidak mesti suci, yang penting “wah” dipandang.

Oleh sebab itu, meski kami tinggal di desa, kebanyakan pria penganut Katholik di kampong kami memakai jas ketika datang ke gereja, sedangkan para wanita mengenakan kebaya. Perbedaan inilah yang akhirnya membuat saya berpikir, mengapa harus demikian.

Di tengah kesusahan dan kesulitan ekonomi yang kami rasakan di desa, agama justru semakin mempersulit umatnya untuk beribadah.

“Bagaimana logikanya, seorang yang susah secara ekonomi harus membeli pakaian dengan harga mahal hanya untuk beribadah? Bahkan mengganti pakaian ini dianjurkan setiap kali berangkat kebaktian di gereja, sedangkan untuk makan sehari-hari saja pun sudah susah. Belum lagi iuran yang harus dibayarkan setiap bulan sebagai bentuk kewajiban bagi kami.”, ujarku waktu itu. Sepertinya agama hanya untuk orang kaya saja, tidak bagi orang yang kekurangan seperti kami.

Alasan itulah yang membuat saya berpikir bahwa hanya Islam-lah satu-satunya agama yang mengerti akan keadaan pemeluknya. Bahwa ketakwaan seorang individu dilakukan sesuai kemampuan pemeluk agama, seperti yang ustaz di Annaba Center Indonesia jelaskan; “bertakwalah semampu kalian.” (Q.S. At-Taghabun : 16), bukan karena keterpaksaan.

Singkatnya, perpindahan agama yang saya alami didasari atas ketidaksesuaian antara perintah agama dengan kondisi yang kami alami, sehingga saya berpikir agama saya yang dulu tidaklah menjadi agama yang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.

 

 

sumber: Republika Online

Seruan Alquran Bawa Ibrahim Ardy Widiantoro Menjadi Muslim

Gregorius Ardy Christmas Widiantoro sejak kecil aktif mengikuti layanan di lingkungan gereja di kawasan Depok, Jawa Barat. Suatu hari  ia mendengar seruan Alquran Surat Ali Imran Ayat 19 yakni agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.

Bunyi ayat Alquran ini membuatnya tersinggung, karena sangat bertentangan dengan agama yang dipercayainya. Bertahun-tahun, Ardy begitu membenci Islam.

Suatu hari beliau berdoa untuk mendapat petunjuk keselamatan. Doa itu kemudian dijawab yang Maha Kuasa melalui mimpi setiap malam selama sepekan.  Dalam mimpinya, Ardy berjalan di atas bara panas dan akan dilempar dalam jurang yang gelap, dalam mimpi itu beliau menyebut nama 3 tuhannya, dan selalu terbangun dalam keadaan basah bekeringat dari tempat tidurnya. Meski sebenarnya kamarnya berpendingin udara.

Pada minggu terakhir setelah mengalami mimpi yang sama dan dalam mimpi itu dari mulutnya keluar kata-kata Allahuakbar dan terbangun sejak itu mimpi itu tidak terjadi lagi.

Akhirnya meskipun belum bersyahadat beliau mencoba mengikuti shalat dan berpuasa sebagaimana kewajiban seorang Muslim. Dan terkadang karena keterbatasannya mencoba shalat sendiri, dimana shalat dzuhur dan asharnya sering salah menjadi 3 rakat.

“Ada kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan lahir batin yang tidak dirasakannya dalam agama sebelumnya,” kata Ardy seperti dilansir akun facebook mualaf.com, Senin (6/4).

Alhamdulillah,kini Ardy sudah bersyahadat dan sekarang bernama Ibrahim Ardy Widiantoro. Setiap hari bersama – sama komunitas Mualaf Center Indonesia menjalin silaturrahiim dalam ukhuwah Islamiyah kita bersama.

 

 

sumber: Republika Online

Kisah Haru Mualaf Belajar Azankan Anak dan Jadi Imam Salat

Menjadi imam bagi keluarga kecil muslim adalah tantangan besar bagi seorang mualaf berkewarganegaraan Inggris, Gary Williams (33). Gary yang memeluk Islam sejak 2011 ini harus benar-benar belajar dari nol untuk bisa membawa keluarga menjadi sakinah, mawadah dan waramah.

Kesungguhan Gary belajar Islam membuat banyak orang tersentuh, termasuk istrinya, Ilona (27). Padahal sejak awal Ilona ragu menikah karena Gary tetap mempertahankan tato di tubuhnya meski telah bersyahadat.

“Pertama imam di rumah nenek dia berusaha ngebimbing. Dia berusaha baca Al-Fatihah dan membuat aku nangis karena dia imamin sekuat tenaga,”cerita Ilona kepada merdeka.com di kediamannya Bintaro, Minggu (22/6).

Gary tak sadar bahwa si makmum alias istrinya sudah sesegukan menangis karena Ilona begitu tersentuh dengan niat suaminya untuk menjadi imam meski terbata-bata. Dia akhir salat, Ilona mencium tangan suaminya dan berkata,

“Allah tidak memberatkan kamu. Kalau kamu enggak bisa Allahuakbar saja yang dikerasin. Setelah doa sudah aku nangis minta maaf sama Allah jadi nangis karena benar dia (berislam) sungguh-sungguh, enggak main-main,”tandas Ilona.

Kebanggan terhadap suaminya tidak hanya sampai di situ. Sewaktu Illona hamil, Gary sudah belajar azan agar saat lahir, Gary ingin yang didengar anaknya adalah suara azan dari mulut ayahnya.

“Dia belajar azan. Pas aku di ruang caesar dan dia di inkubator dipanggil bapak Gary trus dia azanin dia belajar di youtube dan dengerin tiap hari ini di sini dari masjid,” ucap Ilona.

Gary yang menyimak cerita istrinya hanya senyum-senyum lalu berujar, “Mungkin kalau saya tidak bertemu dengannya saya juga pasti masih minum dan sekarang saya merasa lebih baik. Saya merasa saat itu terjadi dalam sekejap saja, sangat berat ya,” ucap Gary.

Lalu Ilona meledeknya, “Dia itu mau menangis saat itu tapi malu karena ada ibu,”. Keduanya lantas tertawa.

 

sumber: Merdeka

Mualaf Inggris Menangis Saat Baca Alquran

Saat membacakan terjemahan Surat Al-Maidah ayat 83, tidak terasa air matanya keluar. Begitu juga saat melihat muslim sedang salat.

Pria asal Inggris, Idris Tawfiq mendapat hidayah memeluk Islam setelah menjadi pengajar studi agama di sebuah sekolah di negaranya. Perjalanan keislaman Tawfiq diawali saat melakukan perjalanan ke Kairo, Mesir.

Selama ini, Tawfiq menganggap Mesir adalah negara dengan banyak piramida, unta, padang pasir serta pohon palem. Selama beberapa minggu, Tawfiq menghabiskan waktu di Kairo. Ini adalah untuk pertama kalinya dia berkenalan dengan Islam dan muslim.

“Seperti kebanyakan orang Inggris, pengetahuan Islam saya terbatas pada apa yang disajikan di TV dan media Barat,” kata dia berbagai kisah.

Awalnya Tawfiq merasa Islam adalah agama yang bermasalah. Namun saat berkunjung ke Mesir dia melihat betapa indahnya Islam.

Orang-orang sederhana meninggalkan dagangannya saat mendengar azan untuk bertemu langsung dengan Allah. Mereka begitu yakin akan keberadaan dan kuasa Allah. Orang-orang muslim juga membantu yang membutuhkan, tak memandang dia siapa, dari golongan apa, bahkan non-muslim sekalipun.

Saat balik ke Inggris, Tawfiq kembali menjalankan pekerjaannya mengajar agama. Salah satu mata pelajaran wajib di sistem pendidikan Inggris adalah studi agama.

Jadi setiap hari, Tawfiq membaca tentang berbagai agama-agama agar bisa mengajar kepada murid-muridnya yang kebanyakan pengungsi muslim Arab. Dengan kata lain, dengan mengajar tentang Islam ia juga mengajarkan dirinya banyak hal.

Tawfiq bisa melihat betapa murid-muridnya itu bisa menjadi contoh muslim yang baik. Mereka sopan dan ramah hingga terbangun pertemanan antara Tawfiq dengan murid-muridnya itu. Mereka bertanya apakah bisa menggunakan ruang kelas Tawfiq untuk salat selama bulan Ramadan.

“Kebetulan kelas saya satu-satunya yang dilapisi karpet. Jadi saya terbiasa duduk sambil memperhatikan mereka salat. Saya bahkan sesekali ikut puasa Ramadan bersama mereka meski saya bukan muslim.”

Hidayah itu datang ketika ia membacakan terjemahan Surat Al-Maidah ayat 83, tidak terasa mata Tawfiq berkaca-kaca meski itu disembunyikan dari murid-muridnya.

Tawfiq lalu pergi ke masjid terbesar di London untuk mencari penjelasan soal agama ini. Saat itu dia bertemu dengan Yusuf Islam, mantan penyanyi terkenal Inggris. Tawfiq kemudian bertanya kepadanya tentang apa yang dilakukan untuk menjadi muslim.

Yusuf Islam menjawab bahwa muslim harus percaya pada satu Tuhan, salat lima kali sehari dan puasa di bulan Ramadan.

Tawfiq menyela bahwa dia sudah meyakini itu semua, bahkan pernah ikut puasa. Kemudian Yusuf Islam bertanya, “Apa yang Anda tunggu? Apa yang membuat Anda menunda-nunda?” Tawfiq menjawab, “Tidak, saya tidak bermaksud menjadi mualaf.”

Saat itu suara azan bergema dan semua orang bersiap salat, kecuali Tawfiq. Dia duduk di bagian belakang sambil memperhatikan mereka salat. Tak disangka, tiba-tiba Tawfiq menangis dan menangis. Dia berkata dalam hatinya bahwa dia telah menipu dirinya sendiri.

Setelah mereka selesai salat, Tawfiq mendekati Yusuf Islam dan meminta untuk menuntunnya mengucapkan kalimat syahadat. Tawfiq minta Yusuf Islam menerangkan arti kalimat syahadat dalam bahasa Inggris.

“Kemudian saya menirukan Yusuf Islam mengucap syahadat dalam bahasa Arab,” kenang Tawfiq sambil menahan air matanya.

Untuk mendedikasikan hidupnya sebagai muslim, Tawfiq yang kini tinggal di Mesir telah menulis buku Gardens of Delight: A Simple Introduction to Islam.

“Saya memutuskan menulis buku ini untuk menjelaskan kepada non-Muslim tentang prinsip-prinsip dasar Islam. Saya mencoba untuk memberitahu orang bagaimana Islam yang indah dan bahwa Islam adalah harta yang paling luar biasa. Islam mengajarkan pemeluknya untuk mencintai sesama,” ujarnya.

(Ism, Sumber: OnIslam.net)

 

Dikutip dari: Dream.co.id

John Webster Jadi Mualaf Setelah Melihat Masjid

Mohammad John Webster dibesarkan dalam keluarga Protestan. Di usia remajanya, ia memiliki banyak pertanyaan soal kepercayaan yang dianutnya.

“Yang menjadi pertanyaan saya, di Inggris, banyak kemiskinan dan ketidakpuasan sosial. Agama saya seperti tidak berusaha untuk menyelesaikannya,” kenang dia seperti dikutip Arabnews.com, Senin (8/4).

Sejak itu, Webster muda tidak lagi menerima Protestan dan beralih menjadi penganut komunis. Baginya, komunisme menciptakan kepuasan tersendiri. Tapi itu tidak berlangsung lama. Selanjutnya, ia beralih pada filsafat dan agama.

“Dari apa yang saya alami ini mendorong saya mengidentifikasi diri dengan apa yang disebut panteisme,” katanya.

Webster mengakui peradaban Barat membuat masyarakatnya begitu asing dengan Islam. Ini terjadi karena sejak Perang Salib berakhir, banyak hal yang menyimpang terkait informasi tentang Islam dan Muslim.

Satu fase baru dalam kehidupannya dimulai ketika ia menetap di Australia. Di sana, ia membaca Alquran di sebuah perpustakaan umum di Sydney. Saat itu, kefanatikan Webster terhadap Islam coba ia tutupi. Padahal, ia sangat antusias untuk mengkaji lebih dalam terkait isi Alquran. Satu hari, ia temukan salinan Alquran terjemahan Inggris.

Pada satu surat, ia temukan satu hal tentang kehidupan Rasulullah. Ia habiskan berjam-jam untuk menemukan apa yang diinginkannya. Ketika keluar dari perpustakaan, Webster merasakan kelelahan. Kebimbangan muncul dalam pemikirannya.

Hal itu coba ia tangguhkan dengan berjalan menyusuri keramaian. Langkahnya terhenti ketika ia melihat tulisan yang menyebut ‘Masjid’. Hatinya bergetar seketika. Wajahnya segera memucat.

“Inilah kebenaran.Spontan Webster mengucapkan syahadat. Tiada Tuhan selain Allah, Muhamamd adalah utusan Allah. Alhamdulillah, aku menjadi seorang Muslim,” kata dia yang kini menjabat Presiden The English Muslim Mission.

 

 

sumber: Republika Online

Cerita Mualaf Rusia Terpikat Cara Hidup Islam

Pertumbuhan mualaf etnis Rusia kian pesat sejak dekade 2000-an. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat.

Dilansir Opendemocracy.net, seorang pendeta Ortodoks yang masuk Islam, Ali Vyacheslav Polosin mengatakan, sekarang ada lebih dari 10 ribu Muslim etnis Rusia di negara itu. Tak melulu soal teologi, sebagian mualaf jatuh hati lantaran cara Islam menyadarkan mereka akan arti hidup.

Alexei Abdulla Terekhov, misalnya. Ia masuk Islam 10 tahun yang lalu. Awalnya, dia benar-benar tertekan. Dia merasa hidupnya sangat pahit dan getir. Abdulla sudah berusia 40 tahun, namun dia tidak pernah melakukan sesuatu yang serius. Dia tidak punya keluarga, tidak ada pekerjaan, juga tidak ada tempat tinggal tetap. Segala sesuatunya benar-benar buruk.

Hal itu membuat Abdulla gelisah. Dia mulai berhenti merokok dan kebiasaan buruk lain. Kemudian, pada satu kesempatan dia membaca Alquran, terjemahan Krachkovsky. Abdulla melihat banyak surat-surat itu diakhiri dengan kata “Semoga kamu bahagia” atau May you be happy. Lelaki itu pun merasa tentram.

Dia pun tertarik pergi ke masjid. Ketika pertama kali datang, Abdulla kaget. Dia melihat semua orang memiliki jenggot. Mereka tidak terlihat seperti orang Rusia. “Saya takut. Tapi, saya tetap tinggal. Saya merasa kesepian di rumah. Di rumah, saya tertekan.”

 

Kasus Abdulla berbeda dari banyak orang. Sebelum masuk Islam, Abdulla beragama Kristen. Dia tidak mencari kebenaran selama bertahun-tahun. “Saya datang, saya menyukainya, dan saya merasa lebih baik. Saya pun mengikutinya,” ucapnya. Seseorang menyarankan lelaki itu memilih nama baru. Dia pun memilih nama Abdulla, hampir sama dengan nama aslinya, Alexei.

Setelah berislam, dia mulai memikirkan hidup lebih serius. Dia mencari pekerjaan dan hidup normal. Lelaki yang kini berusia 50 tahun itu kemudian menikah dengan seorang gadis. Istrinya memeluk Islam setelah pernikahan mereka. Kini mereka telah dikaruniai dua orang anak. Semua anaknya dibesarkan sebagai Muslim.

Mualaf lain adalah Viktor Abdulla, pria 31 tahun yang berprofesi sebagai penjual buku. Dia sudah masuk Islam lebih dari sepuluh tahun lalu. Seperti kebanyakan warga Rusia, semula dia menganut Ortodoks. Viktor juga aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja.

Sekalipun begitu, dia menyimpan kegelisahan. Secara teologis, dia tidak suka konsep Ortodoks tentang trinitas dan ketuhanan Yesus karena ia tidak mengerti. Lelaki itu juga lebih tertarik dengan ajaran asketis. Cara hidup sederhana, zuhud, dan bersahaja, itulah yang dia temukan dalam Islam. Khususnya, dalam tasawuf.

 

Viktor pun merasa lebih dekat dengan Islam. Ia juga membaca buku-buku Ali Vyacheslav Polosin, mantan imam Ortodoks yang masuk Islam. Dia suka buku-buku itu. Pada akhirnya, lelaki itu memutuskan bersyahadat. Ia memilih masuk ke jalan tasawuf.

“Islam, pertama dan terutama, adalah cara hidup. Alquran terlibat aktif dalam kehidupan seorang Muslim, baik menyangkut pengembangan pribadi maupun interaksi dengan orang lain,” kata pria asli Rusia itu.

Tidak semua bisa menerima konversi Viktor. Keislamannya merupakan pukulan berat bagi teman-teman lamanya yang kebanyakan aktivis gereja. Tapi, keluarga menerima dengan mudah. Mereka mengerti. Istrinya yang juga etnis asli Rusia kemudian ikut berislam. Anak-anaknya, Madina dan Mikael, terlahir sebagai Muslim. Saat ini, Viktor tengah menanti kelahiran anak ketiganya.

 

sumber: Republika Online

17 Alasan Ita Meigavitri Memilih Islam

Mulanya, tak pernah tebersit sedikit pun keinginan di benak pemilik nama lengkap Ita Meigavitri ini untuk memeluk Islam. Bahkan, perempuan berdarah Tionghoa yang akrab disapa Ita ini mengaku benci luar biasa dengan orang Islam. “Saya benci sekali. Yang terdoktrin dalam otak saya, Islam itu agama yang senang ribut dan ribet,” kata dia.

Latar belakang perempuan asal Kutoarjo ini semakin mengkristalkan kebenciannya terhadap risalah Muhammad SAW ini. Sulung dari enam bersaudara ini adalah orang pertama dari keluarga besarnya yang masuk Katolik. Orang tuanya semula menganut Konghucu.

Berikut cerita Ita dalam memperoleh hidayah Islam:

Mencari Kesalahan Alquran

Ita memeluk Katolik lantaran sejak TK-SMA bersekolah di lembaga pendidikan Katolik. Setelah Ita dibaptis, barulah ayah ibu dan adik-adiknya mengikuti jejak masuk Katolik. “Saya tidak sekadar duduk sebagai umat, tapi menjadi bagian dari tim sukses gereja,” ungkap Ita. Dia aktif menjadi putra-putri altar di gereja.

Seolah takdir Allah SWT menuntun, selepas kuliah dia bekerja di lingkungan Muslim. Alumnus S-2 Universitas Tarumanegara itu berprofesi sebagai advokat. Ita mengaku, dia berambisi ‘mengkristenkan’ teman kerjanya. Identitas kekristenan dengan bangga dia perlihatkan. “Saya selalu membuat tanda salib. Tanda salib itu simbol kemenangan bagi umat Katolik,” tutur dia.

Tindakan itu membuat risih teman Muslimnya. Mereka pun berbalik menyerang agama Katolik yang dianut Ita. Dia tak terima. Ia mengajukan pembelaan. “Heh, yang salah itu agamamu. Islam itu agama paling tidak rasional,” sahut Ita.

Merasa jengkel, perempuan itu pun pergi ke toko buku mencari Alquran. Dia beli Alquran cetakan paling besar. Ita mengira itu edisi yang paling lengkap. Sampai di rumah, dia membukanya dan terheran. Tulisan macam apa ini. Dia tidak dapat membaca! Ita sempat marah, tapi segeralah dia kembali ke toko buku. Dia tukar dengan Alquran tafsir terjemahan.

Ambisinya hanya satu, yaitu mencari kesalahan Alquran dan menunjukkannya kepada kolega Muslimnya. Namun, Allah Maha Membalikkan hati seorang hamba. Perempuan itu malah jatuh hati. Dia merasa tidak ada satu pun kalimat yang salah atau kontradiktif dalam Alquran. Seketika, dia tergelitik kembali mendalami Injil yang selama 33 tahun belum pernah ia kaji serius.

Giliran membuka Alkitab, Ita kaget luar biasa. Dia terantuk pada satu ayat dalam Imamat 11. Ayat itu menyebutkan, haram bagimu makan babi dan binatang berkuku belah lain. Bahkan, bangkainya pun jangan kamu sentuh. Ita heran, merasa selama ini umat Katolik sah-sah saja makan daging anjing dan babi. Setelah itu, Ita makin bernafsu membuka Alkitab.

Singkatnya, ia menemukan 17 alasan masuk Islam. Menurut dia, Yesus pun mengajarkan dua kalimat syahadat. Yesus tidak pernah menyebut dirinya Tuhan dan menyuruh manusia menyembah hanya kepada Allah. Sama seperti Alquran, Alkitab mengajarkan khitan, berwudhu, mandi junub, berjilbab, shalat menghadap ke kiblat, hukum qisas, dan larangan membungakan uang. “Bukan Alkitab yang salah, tapi penerapannya yang tidak pas,” kata Ita.

 

Jadi Santri

Ita lalu mencari seorang kiai. Dia belajar di salah satu pondok pesantren di Yogyakarta tentang perbandingan agama dan kristologi. Dari situ, dia semakin mantap. Islam adalah agama yang paling baik dan benar. “Semua agama baik, saya setuju. Tapi, maaf, saya tidak setuju dengan dalil yang mengatakan semua agama benar. Karena bagi saya, agama yang benar hanya Islam,” tegas perempuan itu.

Tepat 20 Desember 2008, Ita berikrar syahadat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Tanggal 20 sengaja dia pilih karena takut diajak Natalan ke gereja. Dari Yogyakarta, Ita pergi dengan alasan bertemu klien di Ibu Kota. “Ketika saya mengucap dua kalimat syahadat, saya merasa ada sesuatu yang sejuk sekali masuk ke lubuk hati saya.” Dia tersungkur. Ita yang mulanya sesumbar tidak akan menangis, nyatanya tak kuat menahan deraian air mata.

Selama 15 menit, Ita menangis di depan petugas takmir Istiqlal. Ita teringat dosa-dosanya dulu. Dia ingin bertobat. “Berapa orang sudah saya masukkan ke dalam gereja. Saya menyesal sekali. Sejak itu saya bernazar, hidup atau mati, saya akan terus menyampaikan Islam,” janji dia.

 

Menikmati Risiko Menjadi Muslim

Pilihan itu bukan tanpa risiko. Tidak ada Muslim di tengah keluarga besar Ita. Ia harus menghadapi seorang diri. Setiap azan berkumandang, dia masuk dan mengunci kamar. Sebagai mualaf, dia hanya shalat bermodalkan hafalan syahadat dan al-Fatihah. Bacaan lain belum ada yang dia hafal. Tapi, Ita tetap berusaha istiqamah.

Tak dinyana, kegiatan ini diamati oleh sang suami. Suaminya heran. Suatu petang, ketika Ita masuk Islam, lelaki itu mengambil kursi dan mengintip lewat jendela. Dia lihat istrinya sedang shalat. “Oalah Ma, gemblung!” seru suaminya.

Mendengar makian sang suami, hati perempuan itu sudah tidak keruan. Keluar dari kamar, Ita langsung disuruh duduk dan disidang. Tiga anaknya ikut dipanggil. Mereka diultimatum supaya tidak ikut-ikutan ‘kegilaan’ ibunya.

“Suami saya bilang, katamu dulu orang Islam bodoh. Mengapa kamu sekarang ketularan bodoh?” kata Ita menirukan. Kepada lelaki itu, Ita menjelaskan dari segi Alkitab. Shalat, jelas Ita, bukan hanya perintah kepada umat Islam. Yang menyuruh dia shalat menghadap kiblat adalah Alkitab. Yang mengajarkan wudhu juga Alkitab. Tapi, lelaki itu tidak bisa terima.

Kabar berislamnya Ita pun akhirnya sampai di keluarga besarnya. Mereka menolak. Keputusannya itu dianggap mempermalukan geraja. Bahkan, ibundanya sempat memanggil rohaniwan dari  Wamena untuk ‘mengembalikan’ Ita. “Saya akan ke gereja lagi kalau Romo bisa menemukan Yesus beragama Katolik di Alkitab,” tantang dia.

Tak terhenti di situ, bahtera rumah tangganya dengan sang suami goyah sejak peristiwa itu. Keduanya bercerai. Semua harta dibawa suami.  Bermodalkan uang Rp 600 ribu, perempuan Tionghoa itu mengontrak sebuah rumah. “Nelangsa saat itu. Anak saya kebutuhannya besar karena terbiasa hidup enak,” kenang dia. Tapi, Ita berusaha tegar.

Ia hanya mengadu pada Allah. Alhamdulillah, seiring waktu, ia bisa merajut hidup kembali. Ia telah membeli sebuah rumah dan menikah dengan lelaki Muslim. Nikmat itu kian bertambah setelah ketiga anaknya ikut memeluk Islam.

Kini, Ita aktif menjadi seorang pendakwah. Semangatnya semasa Katolik mewaris dalam nadinya setelah masuk Islam. Perempuan itu aktif mengisi pengajian di berbagai tempat. Walau sering mendapat ancaman saat berdakwah, ia tidak surut.

Ita juga mengaku membina puluhan mualaf di rumahnya. Sebagian adalah orang-orang Katolik, Kristen, dan Tionghoa yang terbuang dari keluarga. Belajar dari pengalaman, Ita mengajak setiap Muslim untuk memerhatikan saudara-saudara sesama Muslim yang ada di sekitarnya.

 

sumber: Republika Online

 

Hanya hari ini, promo T-Drive + Jam Tangan Anak

Satu Keluarga di Yogyakarta Bersyahadat

Satu keluarga di Yogyakarta mengucapkan dua kalimat syahadat. Prosesi syahadat dibimbing Ketua Umum Mualaf Center Indonesia, Steven Indra Wibowo.

Triyono, kepala keluarga tersebut mengaku terlahir dari keluarga besar Kristiani. Selanjutnya, ia dan keluarganya kerap melihat umat Islam shalat menyembah Allah. “Ini yang membuat kami berpikir,” kata dia seperti dikutip dari Mualaf Center Indonesia, Rabu (17/9).

Menurut Triyono, ia dan keluarganya begitu kagum dengan kesadaran umat Islam ketika mendengar seruan adzan segera melangkahkan kaki ke Masjid. “Begitu sejuk di mata kami itulah kesan yg ada, ” kata dia.

Triyono mengungkap, rasa kagum itu kemudian mendorong ia dan keluarganya mempelajari wudhu dan shalat. “Rasa kagum semakin bertambah, apalagi tiada batas pembeda antara umat Islam ketika shalat. Mereka berlomba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka,” kata dia.

“Shalat, shalat, dan shalat. Itulah yang sering membayangi kami. Kami pun memutuskan menjadi mualaf,” ucap dia yang kemudian bersyahadat dan berganti nama menjadi Muhammad Triyono.

Bersyahadat Bisa Kapan Saja dan di Mana Saja

Ketua Mualaf Center Indonesia Steven Indra Wibowo mengungkapkan bahwa para mualaf bisa mengucapkan syahadat kapan saja dan di mana saja.

“Selama tempat itu bersih dari najis, syahadat bisa di mana saja dan kapan saja,” kata dia, Rabu (12/8).

Hidayah dari Allah SWT, ujarnya, memang bisa datang tanpa bisa diduga oleh manusia, dan bisa terjadi pada siapapun, dimanapun dan kapanpun Allah SWT menghendakinya. Maka, seorang manusia juga tidak bisa memperkirakan kapan dan di mana seseorang mendapatkan hidayah, serta memiliki keinginan untuk memeluk Islam.

Hal itulah yang diyakini betul oleh Steven sering membimbing para mualaf di tempat-tempat umum, termasuk tempat-tempat nongkrong. Menurutnya, tidak masalah berada dimana saja, kapan saja, selama tempat tersebut suci dari najis, ia akan mensyahadatkan siapaun yang mendapatkan hidayah.

Pengalaman pahit yang pernah ia alami saat mencoba memualafkan sanak keluarganya, semakin meneguhkan niatnya untuk tetap mensyahadatkan orang di manapun dan kapanpun ia bisa.

Kala itu, orang yang sebenarnya sudah ingin memleuk Islam, harus terlebih dahulu dijemput oleh maut, hanya karena ingin bersyahadat dalam Masjid Istiqlal.

Mulai saat itulah, Indra memutuskan untuk bisa mensyahadatkan orang di manapun dan kapanpun sesegera mungkin, selama tempat untuk bersyahadat tersebut bersih dari najis.

Liana Jadi Mualaf karena Kagum dengan Sains dalam Alquran

Liana Yasmin (26) sudah dua tahun memeluk Islam. Perjalanannya panjang. Berawal saat masih duduk di bangku SMP, Liana sering ditinggalkan teman-teman sekelasnya untuk ke masjid, membuatnya bertanya-tanya tentang Islam.

“Saya dulu sekolah di sekolah umum. Kebetulan sekolah saya pas berdampingan dengan masjid. Pas kelas 2 SMP, saya masuk siang. Tapi setelah sampai di kelas, kok teman-teman saya nggak ada. Ternyata mereka salat di masjid,” ujar Liana.

Hal ini disampaikan Liana saat ditemui detikcom di sebuah restoran di kawasan Condongcatur, Sleman, Sabtu (27/6/2015).

Hingga suatu saat Liana memberanikan diri untuk ikut ke masjid. Dia bertanya kepada salah seorang temannya, apakah boleh dia ikut masuk ke masjid. Akhirnya dia duduk di serambi masjid sambil mengamati teman-temannya beribadah.

“Saya lihat mereka wudu, lalu salat. Saya bertanya (kepada temannya), kenapa sih kalau mau salat harus dibasahi semuanya? Kemudian dijelaskan mereka sedang bersuci,” kisahnya.

Berbagai pertanyaan soal Islam terus tertanam di pikirannya hingga kelas 1 SMA. Sampai pada suatu saat seorang temannya mengatakan kepadanya, bahwa semua agama itu sama saja, mengajarkan kebaikan.

“Saya jadi berpikir apakah saat ini banyak yang seperti teman saya itu. Padahal seharusnya mereka menjelaskan dan menjawab pertanyaan saya tentang Islam, menyebarkan kebaikan dan kebenaran Islam,” ulasnya.

Setelah mendapat jawaban itu, Liana kemudian mencoba fokus beribadah sesuai dengan agamanya saat itu. Dia menyibukkan diri dengan kegiatan keagamaannya.

“Tapi saya tetap merasa ada yang kurang. Teman saya banyak, saya sibuk, tapi di hati ini masih ada yang kurang,” tutur Liana.

Liana seperti sudah jatuh hati pada Islam, tapi dia masih belum tahu banyak tentangnya. Setelah dia bekerja sebagai tenaga marketing di sebuah perusahaan asing, Liana memiliki relatif banyak waktu luang untuk mencari tahu soal Islam.

Melalui internet, dia banyak membaca berita-berita soal mualaf. Tak hanya itu, dia membaca banyaknya ilmu-ilmu alam yang ternyata sudah tertulis di dalam Alquran.

Dia juga menyadari keajaiban Alquran, kitab yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu ini tetap relevan bagi kehidupan manusia hingga saat ini.

“Mulai tahun 2011, saya membandingkan kitab saya begini, Alquran begini. Dan saya sadar isi Alquran jauh lebih lengkap dan rasional,” ujarnya.

Hingga akhirnya dia mengenal seorang pria muslim bernama Amru yang menjelaskan isi Alquran kepadanya. Keduanya berkomunikasi melalui email.

Pada tahun 2013, Liana mantap mengucapkan syahadat dan memeluk Islam. Dia bersyahadat di rumahnya di Tangerang.

“Ayah saya kaget. Tapi Alhamdulillah beliau mengizinkan dan menjadi saksi saya saat bersyahadat,” tuturnya sambil tersenyum.

 

sumber: Detik.com