Kisah Mualaf Donna Latief: Tak Terpikirkan Masuk Islam

Donna Latief mengakui ada kebahagian saat belajar dan membaca Alquran

Donna Latief menjadi salah satu sosok pembawa berita yang cukup populer di era 2000-an. Rupanya, istri Abdul Latief ini mengaku menjadi mualaf usai menikah dan akhirnya merasa bahagia untuk mendalami islam. Bagaimana kisahnya?

Abdul Latief merupakan pengusaha dan mantan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) pada era Soeharto. Donna dipertemukan dengan Abdul Latief saat ia bekerja di perusahaan televisi nasional dan akhirnya dipinang hingga menjadi mualaf.

“Nama asli saya itu sebelum saya mualaf, namanya Donna Luisa Maria. Setelah saya mualaf, suami saya memberikan nama Islam kepada saya. Namanya (jadi) Aina Haq Donna Abdul Latief,” ujar mantan mertua Nikita Mirzani itu, dalam kanal YouTube Venna Melinda.

Diakui Donna, tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk memeluk agama Islam karena semasa hidupnya dibesarkan dengan agama Katolik yang kuat. Bahkan, seluruh kegiatan dan pendidikannya pun berlatar agama Katolik.

“Saya dibesarkan di keluarga Katolik, dari kecil, saya ambil S2 pun saya semuanya itu background-nya semua Katolik,” kata Donna Latief.

Usai menempuh pendidikan dan meraih gelar magister, Donna mencapai cita-citanya untuk menjadi seorang jurnalis. Di sini, Donna dipertemukan dengan suaminya yang kala itu menjabat sebagai atasannya.

Tak disangka, perbedaan usia yang terpaut 35 tahun dan agama, tetap membuat Donna dan Abdul Latief yakin untuk menikah. Hidayah Islam yang ditemui Donna, dirasakan pasca menikah karena sosok Abdul Latief yang memegang kuat prinsip agama Islam.

“Saya memang cari suami yang penting tuh agamanya kuat, memang cari yang itu. Dan memang ini juga jalannya, menjawab hidayah saya jauh sebelum bertemu dengan Pak Latief,” kata Donna.

“Jadi, ketika mendapat panggilan ini, bertemu dengan beliau. Beliau membimbing saya untuk Islam saya. Dan Alhamdulillah.. itu lah.. amazing aja gitu,” imbuh Donna Latief.

Setelah menikah selama 18 tahun dan menjadi mualaf, Donna Latief mengaku mendalami agama Islam dengan belajar membaca Al Quran. Ada kebahagiaan yang dirasakannya saat membaca Al Quran.

“Saya benar-benar mendalami sampai insya Allah saya fasih baca kaligrafinya itu. Karena saya memang senang saja,” ucapnya.

Lebih dalam, Donna menyebut tak masalah apabila iman yang dirasakan tengah turun. Kuncinya, kata Donna, dengan istiqomah sehingga mata hati akan lebih terjaga. Selain itu, Donna menegaskan pentingnya mendalami Al Quran agar lebih istiqomah.

“Saya akhirnya baca bisa kaligrafi Arab karena saya belajar 6 bulan, intens sih,” kata Donna.

“Saya juga sudah khatam, tapi saya juga khatam (tulisan) Arabnya. Tapi benar deh Venna, jangan baca Latinnya harus baca Arabnya. Beda rasanya, beneran deh. Aku juga belajar itu, fokus itu. Tapi aku bahagia akhirnya aku bisa khatam dengan Bahasa Arab. Aku pengen teruskan, aku juga ambil kajian studi Islam,” tambah Donna Latief.

KHAZANAH REPUBLIKA

Loe Kwang Ik, Syahadat Usai Diskusi Empat Mata

Pendiri komunitas Tionghoa Muslim Indonesia ini menjadi mualaf sejak masih anak-anak.

Dalam hidup, perkara yang sangat disyukurinya ialah berislam. Loe Kwang Ik, demikian nama aslinya, mulai mengenal agama ini dari seseorang yang dekat dengannya. Pada akhirnya, lelaki kelahiran Jakarta itu mantap mengimani tauhid. Sejak menjadi Muslim, dirinya memilih nama baru: Muhammad Abdul Aziz.

Pria yang akrab disapa Koh Aziz itu kini mendedikasikan waktunya untuk syiar Islam. Menurut sosok berdarah Tionghoa tersebut, dakwah adalah jalan hidup yang ideal bagi seorang Muslim. Dengannya, pesan rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin) yang juga merupakan karakteristik agama ini dapat disampaikan kepada seluas-luasnya khalayak.

Ketertarikannya pada Islam bermula dari keluarga. Memang, kedua orang tuanya adalah non-Muslim. Namun, kakaknya menjadi mualaf ketika Aziz masih berusia kanak-kanak. Kesan yang didapatnya terus membekas dalam benak pikiran.

Ayah dan bundanya sangat menentang keputusan abangnya itu. Alhasil, suasana di rumah sempat menjadi kurang harmonis. Apalagi, keduanya menganggap budaya mereka tidak akan sesuai dengan Islam. Kaum Muslimin dipandangnya sebelah mata. Kebanyakan orang Islam distigmakan sebagai bukan kaum kaya, berpakaian tidak bersih dan rapi, serta pelbagai perilaku negatif lainnya.  

Saat itu, Aziz adalah bocah berumur 11 tahun. Namun, nalarnya sudah mencoba mengurai ketidakharmonisan dalam rumah. Ia tidak ikut-ikutan menghakimi kakaknya, sebagaimana yang ditunjukkan bapak dan ibunya. Yang dilakukannya ialah berdialog dengan abangnya itu.

Dari obrolan tersebut, Aziz kecil mulai mengenal sedikit tentang dasar-dasar Islam. Misalnya, bagaimana konsep ketuhanan menurut agama ini. Selain itu, diceritakan pula tentang Nabi Muhammad SAW, sosok yang menyebarkan risalah tersebut.

“Saya ditanya mengenai keyakinan akan Tuhan dan koko (kakak) saya menjelaskan tentang konsep ketuhanan dalam Islam. Itu dikaitkannya dengan fakta yang ada. Akhirnya, saya semakin ragu dengan konsep ketuhanan yang saya yakini selama itu (di agama lama),” ujar Muhammad Abdul Aziz mengenang.

Seharian itu, ia bertukar wawasan dengan kakaknya. Sang abang tiap memasuki waktu azan, selalu pamit untuk mendirikan shalat. Begitu seterusnya hingga tak terasa, malam pun tiba.

Keesokan harinya, Aziz menemui kakaknya. Dalam hatinya, tidak ada keraguan sama sekali. Ia meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Terlebih lagi, tauhid sangat mudah dipahami. Hanya ada satu Tuhan. Dialah Allah Yang Maha Esa. Dia Yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Bagi Aziz, dalil tersebut begitu masuk akal.

Waktu itu, suatu hari pada tahun 1991, ia pun menyatakan diri masuk Islam. Oleh abangnya, lelaki kelahiran 23 Agustus 1980 itu dibimbing untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Pelan-pelan, meski terbata-bata, akhirnya meluncurlah ikrar ini dari lisannya: “Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, ‘saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.’

Sesudah itu, Aziz mulai merasakan kekhawatiran. Sebabnya tidak ada selain bahwa kedua orang tuanya dapat mengetahui keislamannya. Karena itu, ia memutuskan untuk menyembunyikan iman tersebut untuk sementara waktu. Perkara ibadah dan lain-lain tetap dijalaninya. Bahkan, kadang-kadang dirinya terpaksa shalat di tempat ibadah agama sebelumnya.

Semua dijalaninya dengan penuh kesabaran. Syukurlah, kakaknya dengan setia membimbing dan mendampinginya. Abangnya itu pun membimbing dengan arahan seorang ustaz. Ada lagi mentornya, yakni seorang kawannya, mantan mahasiswa universitas Islam yang pernah kuliah kerja nyata (KKN) di kantor orang tuanya.

Tahun demi tahun berganti. Aziz berhasil melalui satu per satu jenjang pendidikan. Setelah lulus SMP, ia berpisah dengan kedua orang tuanya. Mereka kembali ke Jakarta, sedangkan Aziz tetap di Jawa Timur, tepatnya Jember. Karena jauh dari keduanya, ia merasa lebih bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya sekarang: Islam.

“Tiga tahun saya menjadi Muslim dan beribadah secara sembunyi-sembunyi. Sejak hidup mandiri, saya bertekad untuk serius menjalani dan mendalami ajaran Islam,” katanya.

Dalam hal ini, tentu saja belajar agama tidak bisa sendirian. Ia pun mulai mencari seorang dai atau ustaz yang bersedia mengajarinya. Pemuda itu berkunjung dari satu masjid ke masjid lainnya.

Bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala. Saat itu, dia biasa mengadakan perjalanan hingga ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar, barulah ada seorang ahli agama Islam yang bisa membimbing kalangan mualaf, seperti dirinya.

Terlebih lagi, di sana cukup banyak mualaf yang berusia sebaya dengannya. Aziz pun kian bersemangat untuk mempelajari Islam, terutama mengaji Alquran dan melancarkan bacaan-bacaan shalat. Salah seorang pengajar yang cukup berkesan baginya kala itu ialah Ustaz Nuke Anugrah Lesmana.

Banyak hal yang diajarkan Ustaz Nuke kepadanya. Tidak hanya ilmu-ilmu agama, motivasi pun kerap disampaikannya. Pesan yang berulang kali ditekankannya: seorang Muslim harus terus istikamah di jalan takwa.

Sebagai seorang mualaf, Aziz mengenang, saat itu dirinya merasakan cobaan yang cukup berat. Tiga tahun lamanya sempat menyembunyikan keimanan. Rasanya, tidak mudah untuk menerapkan hidup islami dengan baik, semisal perkara makanan dan sebagainya. Karena itu, perantauannya selama di Jawa Timur dan juga Yogyakarta adalah blessing in disguise. Mulai saat itu, konsistensi bisa dipupuknya tahap demi tahap.

Memilih takzim

Pada akhirnya, Aziz mengungkapkan jati dirinya sebagai Muslim. Sebelum itu, ia terlebih dahulu curhat ke Ustaz Nuke dan sahabat-sahabat terdekat. Semuanya mendukung keputusannya untuk mulai terbuka dengan kedua orang tuanya mengenai iman. Kalaupun nanti, umpamanya, Aziz diusir dari rumah, beberapa kawan bersedia memberikan tempat untuk bernaung.

Hari yang dinanti-nanti tiba. Tentu saja, ayah dan ibunya terkejut dengan pengakuan putranya itu. Dalam bayangan mereka, terulang lagi perkara yang pernah terjadi pada si sulung—kakaknya Aziz.

Karena itu, diputuskanlah bahwa tidak ada “pengusiran”. Menurut keduanya, percuma diusir karena nanti seisi rumah hanya menjadi sasaran cibiran tetangga. Belum lagi, di luar sana anaknya itu bisa saja mendapatkan lebih banyak dukungan.

Alhasil, Aziz dibiarkan untuk tinggal di rumah. Namun, perlakuan terhadapnya kian terasa berubah. Sering kali ia dibujuk rayu atau disindir agar kembali ke agama lama.

Sampai di sini, Aziz teringat pesan Ustaz Nuke: perlakukanlah kedua orang tua dengan penuh cinta, hormat, dan sopan santun. Sebab, itulah yang diajarkan Islam. Jangan sampai perbedaan iman menjadi penyebab kedurhakaan seorang anak terhadap ayah dan ibu.

Maka, Aziz terus menunjukkan baktinya kepada mereka. Harapannya, Allah membukakan pintu hidayah bagi kedua orang tuanya. Atau, setidaknya, suasana harmonis dapat kembali hidup di dalam rumah.

“Di keluarga, saya adalah anak paling muda. Sikap saya, ingin tetap takzim, menghormati mereka. Dengan begitu, harapannya, mereka menyadari bahwa akhlak seorang Muslim adalah (anak) tetap menghormati orang tua,” ucapnya.

Tibalah masanya Aziz lulus SMA. Dengan komitmen ingin hidup mandiri, yakni tidak terus-menerus membebani orang tua, ia memutuskan untuk menikah. Waktu itu, dia sudah memperoleh pekerjaan tetap walau dengan gaji tidak begitu banyak.

Ia pun melamar seorang perempuan Muslimah. Setelah lamaran, Aziz kemudian berbicara bahwa dia akan menikah. Tentu kedua orang tuanya terkejut. Sebab, semua itu seperti tanpa persiapan. Waktu akad hanya selang dua hari sejak lamaran.

Usai menikah, Aziz dan istrinya menyewa sebuah rumah. Pasangan ini beberapa tahun kemudian dikaruniai seorang anak. Meski dengan keterbatasan ekonomi, keluarga kecil ini tak patah semangat. Istri Aziz pun kerap menyemangatinya agar selalu memiliki waktu untuk terus belajar agama.

Pada 2000, Aziz mendaftar kuliah pada jurusan tarbiyah di sebuah kampus. Sembari itu, ia tetap meneruskan usahanya sendiri. Allah berkehendak, lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Keadaan ekonominya meningkat. Enam tahun kemudian, ia bisa membangun rumah sendiri.

Aziz kini memiliki lima orang anak. Sementara itu, usahanya kian maju walaupun sempat terimbas pandemi akhir-akhir ini. Bisnisnya tidak menjadi alasan untuk berpaling dari dunia dakwah.

Pada 2014 lalu, ia membentuk komunitas Tionghoa Muslim Indonesia (TMI). Organisasi itu bertujuan mempererat silaturahim dan menyebarluaskan dakwah Islam, khususnya di kalangan keturunan Tiongha. Sifatnya terbuka, baik untuk Muslimin, mualaf, atau siapapun yang tertarik mengenal agama Islam.

Hingga saat ini, TMI terus berkembang. Di Semarang, Jawa Tengah, komunitas tersebut berhasil mendirikan sebuah sekolah mualaf. Pelbagai kajian keislaman digelar rutin di sana, dengan mengundang sejumlah mubaligh.

Ia dan keluarga berniat pula untuk membangun sebuah pondok pesantren khusus penghafal Alquran di Ibu Kota. Rencananya, para santri itu tak hanya dibekali pendidikan agama dan umum, tetapi juga keterampilan berkuda. “Masih proses. Nantinya santri, selain belajar agama, juga akan diberikan homeschooling dan fasilitas maksimal lainnya,” tutur Aziz.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Mualaf Wahyu Salman, Shalawat Nabi Kembalikannya ke Islam

Muhammad Wahyu Salman Alfarisi pernah keluar Islam dan kembali menganutnya

Muhammad Wahyu Salman Alfarisi menuturkan perjalanan panjangnya dalam menemukan kebenaran, hingga akhirnya kembali menerima Islam. Lelaki yang kini berusia 26 tahun itu mengakui, ada banyak ujian kehidupan yang harus dilalui sebelum menjadi mualaf. Lika-liku tersebut mengantarkannya pada kemantapan hati untuk terus memeluk Islam. 

Pria ini lahir dengan nama Wahyu Sajiwo di Bali. Menurut dia, kisah masa kecilnya tidaklah bahagia, seperti anak-anak pada umumnya. Sejak lahir, ibundanya telah wafat. Ia pun dibesarkan oleh ayahnya yang berasal dari Aceh. Di Tanah Rencong, dirinya melalui fase anak-anak.

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat yang diiringi tsunami mengguncang provinsi tersebut. Nyaris seluruh Aceh dan daerah sekitarnya porak poranda. Ayah Wahyu ikut meninggal dunia dalam peristiwa ini. Sesudah hari-hari duka, Wahyu kecil pun diasuh kakeknya.

Namun, pengasuhan tersebut tidak bisa lama.Sebab, sang kakek pun menghembuskan napas ter akhir. Tanpa siapa-siapa sebagai penyokong, ia pun dititipkan di sebuah panti asuhan. Saat ber usia 11 tahun, bocah lelaki ini diadopsi sebuah keluarga angkat.

Dari nasab baik ayah dan ibunya, ia sesungguhnya merupakan Muslim. Akan tetapi, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa saat diasuh keluarga yang non-Muslim. Apalagi, mereka membesarkan dan merawatnya dengan baik. Dengan terpaksa, Wahyu mengikuti agama kedua orang tua angkatnya.

“Saya sudah dapat berpikir saat itu, namun karena kebutuhan hidup dan sekolah, tak apalah saya mengikuti agama mereka, asalkan saya bisa makan dan sekolah,” ujar dia menuturkan kisahnya kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Lambat laun, Wahyu menjadi pribadi yang taat beribadah. Bahkan, keluarga angkatnya pun menawarinya untuk menjadi seorang agamawan. Namun, keinginan mereka tidak sempat terlaksana. Sebab, ia berhasil mendapat beasiswa untuk menempuh SMA di Batu, Jawa Timur. 

Orang tua angkatnya mengizinkan Wahyu muda untuk hijrah dari Aceh ke sana. Maka, berangkatlah remaja ini seorang diri merantau ke kota tersebut. Di daerah yang terkenal akan agrowisata itu, ia tinggal di sebuah asrama. Mayoritas penghuninya menganut agama yang sama dengannya.

Di Batu, pergaulan Wahyu makin luas. Lagi pula, sekolah tempatnya belajar menjadi tempat berkumpulnya banyak murid dari beragam kalangan. Tidak sedikit kawannya yang beragama Islam. Perlahan namun pasti, ia mulai menemukan kembali agama fitrah yang dahulu ditinggalkannya.

Selama di perantauan, Wahyu lebih sering hidup mandiri. Dari kedua orang tua angkat, dirinya jarang mendapatkan kiriman uang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia pun harus bekerja keras.

Pernah pemuda ini mencoba-coba berjualan kerupuk secara keliling dari pintu ke pintu. Semua dilakukannya tanpa malu atau risih.Sebab, tidak ada salahnya selama pekerjaan tersebut tidak merugikan siapa-siapa.   

Saat itu, ia masih berada di kelas dua SMA.Sewaktu mata pelajaran agama Islam, ia kadang kala tetap bertahan di kelas. Mungkin muridmurid dan guru menganggapnya biasa atau sedang malas keluar.

Akan tetapi, diam-diam Wahyu menyimpan rasa ingin tahu tentang Islam.Di luar waktu sekolah, Wahyu juga menyempatkan diri untuk membersihkan masjid dan mushala yang tak jauh dari sekitar asramanya.Ia sangat senang ketika mendengar suara azan.

Ia juga mulai belajar berpuasa Senin Kamis dan Ramadhan. Bahkan, ia pun menyisihkan uangnya untuk membeli baju koko yang sangat disukainya.

“Saya sangat senang mengenakan koko putih.Jadi, saya beli beberapa dan sering memakainya.Sem pat ditegur ibu asrama karena saya mengenakan pakaian Muslim, padahal saya merasa nyaman-nyaman saja,” katanya.

Sebelum lulus SMA, Wahyu pun makin bertekad untuk mempelajari Islam. Akan tetapi, niat untuk bersyahadat belum ada. Ia memang mulai belajar sholat, meski sempat temannya menolak untuk mengajarkannya gerakan-gerakan ibadah ini.

Wahyu tidak putus asa. Ia pun mencari teman lain yang mau membimbingnya. Baginya, lebih leluasa belajar Islam karena memang sedang menetap jauh dari keluarga angkat. Ia pun tidak pernah pulang ke Aceh ketika masa liburan sekolah.

Waktu luang dimanfaatkannya banyak-banyak untuk belajar Islam dan mencari tambahan uang. Sampai satu ketika, Wahyu bermimpi aneh.

Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seorang wanita berparas cantik, berpakaian serbaputih.Perempuan tersebut memberi isyarat ingin menggandeng tangannya. Namun, Wahyu tak sampai menyentuhnya.

Begitu bangun, lelaki ini masih menyimpan rasa penasaran. Keesokan harinya, Wahyu bertanya kepada seorang ustadz yang juga bertugas menjaga asrama. Sang ustadz lantas bertanya soal agama dan orang tuanya. Setelah mendengar cerita Wahyu, ustadz tersebut menyimpulkan bahwa wanita itu adalah ibunya yang berbeda agama, saat itu, dengannya.

Mimpi kedua adalah Wahyu bertemu ayahnya. Namun, seperti mimpi sebelumnya, ia enggan digandeng ayahnya. Saat ditanya perihal itu, ustadz ini kembali menjelaskan bahwa kedua orang tuanya yang Muslim berbeda agama dengan Wahyu sendiri. Alhasil, kemungkinan besar doa-doanya tidak akan sampai diijabah; doa anak yang berbeda agama tidak akan sampai. 

Mereka seperti berharap agar Wahyu kembali kepada agama lamanya, yakni Islam. Dengan begitu, ia pun bisa mendoakan mereka. Sebelum (kembali) menjadi Muslim, Wahyu sangat ketakutan jika mendengar ada orang meninggal.

Sebab, ajaran agama sebelumnya, yakni agama orang tua angkatnya,meyakini bahwa ketika seseorang meninggal maka akan dilahirkan kembali. Jika sebelumnya berbuat baik, yang lahir kemudian reinkarnasi yang baik. Kalau selama hidup sering berbuat keburukan maka akan lahir kembali dengan kondisi yang lebih jelek dari sebelumnya.

Wahyu selama ini hanya beribadah fokus untuk dirinya sendiri. Tidak pernah memikirkan orang tuanya.   

Di Islam, Wahyu mulai kembali mengingat kedua orang tuanya. Saat terbangun dari mimpi-mimpi itu, Wahyu menangis sedih.

Menurut ustaz tersebut, kesedihan itu adalah jalan hidayah untuk Wahyu. Ia yakin betul, Allah menghendakinya untuk kembali kepada Islam. Wahyu kemudian belajar sholat Jumat dan diajak mengaji di sebuah majelis shalawat. 

Saat bershalawat, ada bayangan kerinduan akan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, hatinya kian mantap untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat. Masjid At Taqwa, Batu, Jawa Timur, menjadi saksi deklarasi keimanannya.

Waktu itu, Desember 2016.Momen tersebut bertepatan dengan dirinya lulus SMA. Wahyu pun harus keluar dari asrama tempatnya menetap selama ini. Beruntung, ustadz pengawas asrama mengajaknya untuk tinggal di sebuah pondok pesantren di Malang.

“Setelah lulus, saya ingin kuliah, namun tak tahu biaya dari mana, bersyukur sejak di ponpes, Wahyu mendapatkan beasiswa S-1, bahkan dua sekaligus,” jelasnya.     

Saat itu, ia hanya mendapatkan beasiswa untuk biaya sekolah sedangkan untuk biaya hidup dan kebutuhan lain tidak ada.Wahyu harus pindah meski ilmu agamanya belum cukup dia timba.

Banyak teman ponpes yang menyalahkannya karena ia pindah artinya tidak percaya dengan Allah yang Mahapemberi rezeki. Namun, prinsip Wahyu berbeda. Wahyu tidak ingin bergantung berdakwah untuk membiayai hidup, tetapi justru dengan berbisnis yang akan membiayai dakwah.

Berbagai bisnis ia lakukan karena selain ingin membantu pondok pesantren, ia juga menjadi kakak asuh bagi beberapa anak-anak yatim di panti asuhan.

“Alhamdulillah, saya bisa kirim beras untuk ponpes dan adik-adik panti asuhan, bisnis kuliner dan fotokopi saya lakukan, “ujar dia.

Dari sejak saat itu, santri di ponpes berubah pandangan tentang bisnis dan dakwah.Mereka mulai mengikuti jejak Wahyu untuk berbisnis demi mengembangkan pondok pesantren.

Menjadi Muslim, perjalanan hidupnya makin lancar. Namun, di sisi lain, hubungan Wahyu dengan keluarga angkatnya makin renggang.

Setelah memeluk Islam, teman-teman dari agama lamanya di Malang menyampaikan kabar kepada keluarga angkatnya. Tentu mereka kecewa. Tak sampai di situ, bahkan tetangga mereka pun mengucilkan orang tua angkatnya karena Wahyu memeluk Islam.

Menjadi Muslim memang memiliki banyak tantangan, apalagi ketika berhijrah.Wahyu pun mengalaminya. Dijauhi teman dan keluarga merupakan bagian dari ujian, berkaca dari perjuangan Rasulullah pun hampir sama, bahkan Rasul dilempari batu dan dihina sangat parah.

Dari kisah Rasulullah ini membuatnya makin istiqamah. Wahyu lebih fokus untuk memperbaiki sholat, membaca Alquran, dan makin berusaha untuk mengembangkan usahanya.

Dengan latar belakang sebagai sarjana pertanian dan manajemen, Wahyu pun mengembangkan usaha sayur organik. Bahkan, ia meruntuhkan hinaan orang lain dan menunjukkan bahwa anak yatim piatu bisa sukses jika berusaha.

Tak hanya beasiswa, ia pun lulus S-1 di dua tempat dan mendapatkan beasiswa ke Brunei Darrusalam untuk S-2. Namun, pandemi Covid telanjur menyerang sehingga keberangkatannya batal.

Allah memiliki rencana lebih indah.Ternyata, jodoh pasangan hidup yang lebih dahulu didekatkan. Pada Februari 2020, Wahyu melangsungkan pernikahan.

Keluarga istri pun menyambut dengan tangan terbuka kondisi Wahyu. Bagi mereka, tidak ada alasan untuk tidak menerima Wahyu menjadi bagian dari keluarganya.

Kini, Wahyu bersama istri menetap di Malang. Wahyu dan rekan-rekan lainnya juga membentuk komunitas sosial dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah wakaf Alquran ke berbagai daerah.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Cerita Haji Seorang Yahudi yang Masuk Islam

Muhammad Asad lahir pada tahun 1900 dalam keluarga Yahudi Austria. Dia memeluk Islam pada tahun 1926 setelah tinggal dan bekerja di Timur Tengah sebagai jurnalis. Asad menghasilkan beberapa karya selama hidupnya, termasuk terjemahan Alquran yang sangat populer dalam bahasa Inggris.

Selain sebagai jurnalis, ia juga merupakan penulis berbakat. Karyanya berjudul The Road to Mecca (1952) menggambarkan cerita yang menyentuh tentang haji. Berikut penggambaran cerita hajinya seperti dikutip About Islam, Selasa (6/7).

1. Ka’bah

“Ini… adalah Ka’bah, tujuan kerinduan jutaan umat Muslim selama berabad-abad,” kata Asad. Untuk mencapai tujuan ini, para jamaah harus melakukan banyak pengorbanan. Ka’bah yang berbentuk kubus sempurna, seluruh bagiannya ditutupi dengan kain hitam. Keadaan di sini jauh lebih indah daripada karya arsitektur lain di dunia.

Hanya ada satu pintu masuk ke Ka\’bah, pintu perak di sisi timur laut, sekitar tujuh kaki di atas permukaan tanah sehingga hanya dapat dicapai melalui tangga yang ditempatkan di depan pintu di beberapa tempat.

Asad menyebut desain interiornya sangat sederhana. Lantai marmer yang dilengkapi beberapa karpet dan lampu perunggu serta perak tergantung di atap yang ditopang oleh balok-balok kayu. Sebenarnya, interior ini tidak memiliki arti khusus tersendiri karena kesucian Ka\’bah berlaku untuk seluruh bangunan yang merupakan kiblat, arah shalat bagi seluruh Muslim di dunia. Menuju simbol Keesaan Allah inilah ratusan juta Muslim di seluruh dunia menghadapkan wajah mereka dalam shalat lima kali sehari.

2. Hajar Aswad

Ada di bagian sudut timur bangunan, batu ini berwarna gelap yang dilengkapi bingkai perak. Hajar Aswad telah dicium oleh banyak generasi jamaah dan dihormati. Karena Nabi Muhammad pernah menciumnya, semua jamaah melakukan hal yang sama. Rasulullah tahu generasi selanjutnya akan selalu mengikuti teladannya. Saat para jamaah mencium Hajar Aswad, mereka merasa sedang memeluk Nabi dan semua Muslim lain yang telah berada di sini sebelum mereka.

3. Maqam Ibrahim

“Dan di sana saya berdiri di depan Maqam Ibrahim dan menatap keajaiban tanpa berpikir. Saya tersenyum, perlahan-lahan kegembiraan datang,” ujar Asad. Maqam Ibrahim merupakan lempengan marmer halus dengan pantulan sinar matahari di atasnya. Banyak para jamaah yang menghampiri. Mereka ada yang menangis, ada yang sambil berdoa, dan ada pula yang tidak mengucapkan kata apa pun sambil berjalan dengan kepala tertunduk.

Salah satu bagian haji adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Tidak hanya untuk menunjukkan rasa hormat kepada rumah Allah tapi untuk mengingat kembali tuntutan dasar kehidupan Islam.

Ka’bah adalah simbol Keesaan Tuhan dan gerakan tubuh jamaah di sekitarnya adalah ekspresi simbolis dari aktivitas manusia. Ini menyiratkan tidak hanya pikiran dan perasaan, semua yang terkandung dalam istilah kehidupan batiniah dan lahiriah harus aktif.

“Dan saya pun bergerak perlahan ke depan dan menjadi bagian dari barisan para jamaah yang mengelilingi Ka’bah. Mengelilingi Ka’bah teringat seperti tata surya yang bekerja,” ucap dia.

4. Gunung Arafah

“Saya berdiri memakai baju ihram putih di antara para jamaah yang tengah menghadap Gunung Arafah. Saya merenung hari itu, mengingat salah satu kutipan Alquran surat Al-Haqqah ayat 18:

يَوْمَىِٕذٍ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفٰى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi (bagi Allah).”

Dan saat Asad berdiri di puncak bukit dan menatap ke bawah Dataran Arafat yang tak terlihat, kebiruan cahaya bulan dari lanskap terlihat. Ribuan tahun lalu, jutaan jamaah telah melewati rangkaian ini dengan khusyuk. Asad dikelilingi oleh para jamaah yang tidak saling kenal. Namun, ekspresi mereka sama, menunjukkan adanya kegembiraan. Mereka berseru takbir, “Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Beberapa dari mereka juga ada yang menangis seraya berteriak takbir.

“Setelah turun, saya melihat pemandangan di belakang saya. Ada ribuan jamaah berpakaian putih yang melambaikan tangan. Seiring saya menjauh, mereka perlahan-lahan hilang,” tuturnya.

Muhammad Asad lahir pada tahun 1900 dalam keluarga Yahudi Austria. Dia memeluk Islam pada tahun 1926 setelah tinggal dan bekerja di Timur Tengah sebagai jurnalis. Asad menghasilkan beberapa karya selama hidupnya, termasuk terjemahan Alquran yang sangat populer dalam bahasa Inggris.

IHRAM

Terpikat Tauhid, Mualaf Aldilo: Islam Agama Masuk Akal

Mualaf Aldilo mendalami kalimat tauhid yang kerap dilantunkan dalam adzan

Hidayah merupakan karunia Allah SWT untuk siapa pun yang dikehendaki-Nya. Cahaya petunjuk Ilahi pun bisa datang melalui siapa saja, termasuk orang-orang terdekat. Itulah yang dialami Aldilo Wongso Jureh, beberapa waktu sebelum dirinya memeluk Islam. 

Lelaki asal Semarang, Jawa Tengah, ini sejak kecil dididik dalam ajaran Kristiani. Begitu pula dengan keempat saudaranya. Di antara mereka, Dilo begitu dirinya akrab disapabisa disebut sebagai yang paling dekat dengan ibunda. 

Menurutnya, sang ibu selalu mengajarkannya untuk menjadi pribadi yang taat beragama. Ia pun diarahkan untuk rutin beribadah. Tidak ada hari terlewatkan tanpa ditutup dengan doa, memohon kebaikan. 

Pria kelahiran 1998 melewati masa kecil hingga remaja sebagai anak yang baik-baik. Ia pun aktif di gereja dan memiliki banyak kawan. Baru lah, saat berusia 17 tahun, dirinya mulai mendapatkan perspektif berbeda tentang umat agama lain. Pada 2015, seorang saudaranya, Delfano Charies, membuka usaha biro perjalanan umroh dan haji. 

Fano, begitu sang kakak disapa, waktu itu masih sebagai non-Muslim. Pilihannya untuk menjalankan usaha travel tersebut murni atas dasar bisnis. Ya, cukup banyak profit dihasilkan dari biro perjalanan tersebut yang sesungguhnya bernilai ibadah dalam konteks Islam.  

Empat tahun kemudian, abangnya itu mengambil keputusan besar. Fano menyatakan diri telah memeluk Islam dan meninggalkan agama lamanya. Saat ditanya, kakak Dilo tersebut merasa tersentuh dengan kesungguhan hati jamaah haji dan umroh yang disaksikannya selama ini. 

Bahkan, bukan hanya Fano. Berturut-turut, satu per satu saudaranya yang lain ikut menjadi Muslim. Melihat keadaan itu, Dilo mulai tertarik untuk mengenal agama ini lebih dekat.

“Saya memeluk Islam tidak dipaksa mas-mas saya, walaupun mereka lebih dulu menjadi mualaf, katanya mengenang, seperti dilansir dari akun Youtube @delfanocharies,” baru-baru ini. 

Ia memang tidak mau sekadar ikut-ikutan kedua kakak laki-lakinya yang memeluk Islam. Menurutnya, agama adalah hal yang esensial dalam hidup. Tidak bisa dan tidak mungkin memilih beriman atas dasar bujukan, apalagi paksaan siapa pun. Sebab, setiap individu berhak untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing. 

Sebelumnya, Dilo telah mendengar berbagai rumor tentang Islam. Bahkan, Fano sendiri yang pernah mengutarakan berbagai stigma mengenai agama ini kepadanya. Akan tetapi, kini sang kakak sudah menyatakan diri masuk Islam. 

Ia pun terheran-heran, mengapa ada orang yang dahulunya sangat memusuhi Islam, sekarang justru memeluk agama ini. Masih teringat jelas di memorinya, Fano sering kali mencaci-maki suara adzan. Kumandang panggilan sholat itu memang rutin berkumandang dari masjid di dekat rumahnya, setidaknya lima kali dalam sehari.

Dilo pun mengobrol dengan kakaknya itu. Fano pun menuturkan bagaimana hatinya tersentuh dengan kesungguhan jamaah haji dan umroh saat hendak berangkat dan pulang dari Tanah Suci. Sang kakak pun mengungkapkan, kebenciannya terhadap adzan justru membuatnya bertanya-tanya tentang apa maksud dan tujuan suara tersebut. Setelah mempelajari isinya, Fano pun mulai mengenal konsep tauhid seperti tergambar dalam kalimat Laa ilaaha illa Allah.

Setelah diskusi itu, Dilo mulai mempertanyakan keyakinannya sendiri. Enam bulan sesudahnya, ia pun berhenti ke tempat ibadah. Bagaimanapun, kebiasaan berdoa tetap dilakukannya. Pada titik ini dirinya merasa perlu untuk menelaah ajaran agama yang dipeluknya saat itu dan Islam. 

Apa saja yang membedakan keduanya dan manakah yang paling diterima akal, pikiran, dan nuraninya. Dilo menangkap kesan, tidak mungkin Fano menerima Islam kalau agama ini bertentangan dengan logika. Sebab, kakaknya itu adalah seorang yang kritis dalam menilai sesuatu.

Dilo kemudian mulai mengkaji konsep tauhid dalam Islam. Ia menemukan, makna kalimat, Tidak ada Tuhan selain Allah, begitu logis. Konsep kenabian menurut agama ini juga dipelajarinya dari buku-buku dan video-video kajian di internet.

Pemuda ini pun memahami, ajaran Islam ternyata masuk akal. Bahkan, seperti ditunjukkan dalam banyak ayat dalam Alquran yang dibacanya melalui terjemahan, Tuhan pun berulang kali menyeru manusia agar menggunakan akal pikiran dalam menimbang-nimbang sesuatu.

Dilo merasa puas karena menemukan jawaban-jawaban yang logis tentang Islam. Kalau masih ada beberapa hal yang perlu di telusurinya, ia tidak hanya mencari solusinya seorang diri.  

Ia pun sering berdiskusi dengan kawan-kawannya yang Muslim. Setelah terpuaskan dengan jawaban yang didapatkan, Dilo mulai mempelajari kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan seorang penganut Islam.

Salah satunya adalah puasa. Pada Ramadhan 2020, ia bahkan mulai belajar berpuasa. Ini dilakukannya sembari menemani sang kakak yang juga baru pertama kali menjalani puasa Ramadhan.

Dilo mengatakan, waktu itu dirinya batal tiga kali. Dalam hari-hari itu, ia merasa tidak kuat menahan haus karena harus bekerja di kantor. Lagi pula, cuaca kota saat itu cukup terik dan panas.

“Ada cerita lucu sebenarnya, tapi juga tidak boleh ditiru. Waktu itu, aku bosan sahur dengan mi (instan) dan telur saja. Aku pun cari bahan makanan di kulkas, ternyata ada daging yang lalu aku makan,” katanya bercerita.

“Nah, setelah itu Mama tahu dan langsung marah-marah. Barulah aku tahu, itu sebenarnya daging babi. Tapi, tetapku lanjut puasanya karena saat itu belum bersyahadat. Pikirku, tidak masalah,” sambungnya. 

Sebelum Dilo bersyahadat, mamanya sebenarnya sudah menduga ia akan mengikuti jejak kedua kakaknya. Hanya saja, itu tidak dibahas terbuka. Dilo mengatakan, sang ibu sepertinya mengetahui ketertarikannya pada Islam dari kakak perempuannya. Akhirnya, pada suatu hari ibunya mengajak bicara dan memberikan nasihat. 

“Kalau kamu mau sholat, sholat yang benar. Kalau puasa, puasa yang benar. Yang penting, jadi orang baik,” kata Dilo menirukan perkataan ibundanya saat itu. Perkataan Mama diartikannya sebagai sinyal baik. Artinya, sang ibu membiarkannya untuk terus mempelajari Islam atau bahkan mengimani agama ini. 

Setelah itu, Dilo kembali mengutarakan keyakinannya untuk memeluk Islam. Namun kakaknya, Delfano, lebih dahulu menyarankannya untuk belajar sholat. Awalnya, Dilo ragu. Dari kelima shalat, Subuh menjadi yang paling merepotkan. Bangun pada waktu sebelum fajar bukanlah kebiasaanya sejak kecil. 

Bagaimanapun, ia akhirnya lulus dari ujian ini. Usai melaksanakan sholat Subuh pertamanya, ada perasaan haru dalam hatinya. Seluruh beban yang selama ini dirasakannya seperti terangkat. 

Delfano kemudian mengajak Dilo untuk bersyahadat pada hari itu juga. Namun, ia masih dilanda keraguan, apakah sanggup menjadi seorang Muslim.      

Kedua kakaknya kemudian meyakinkannya. Jika sudah ada niat untuk bersyahadat maka segerakanlah. Sebab, tidak ada yang tahu batas umur seseorang. Khawatirnya, ia tidak bersyahadat saat itu juga. 

Apalagi, meninggal dalam keadaan masih kafir. Tepat pada malam Idul Fitri 2020 M, Dilo bersama kedua kakaknya mendatangi markas komunitas Cah Hijrah di Semarang. Disaksikan seorang ustadz dan kakak-kakaknya, Dilo pun mengucapkan dua kalimat persaksian. Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasululllah. 

Setelah mendapatkan beberapa bimbingan dan pertanyaan, Dilo pulang dan mendapatkan bingkisan seperangkat alat sholat serta buku Iqra untuk belajar mengaji. Usai bersyahadat, Dilo dinasihati untuk selalu menjalankan sholat lima waktu dan tidak boleh menunda atau sengaja tidak melaksanakannya.

Dilo harus ingat dengan syahadat yang telah dilakukannya di hari itu. Ikrar yang diucapkannya adalah janji untuk terus berupaya menaati perintah-Nya. Benar saja, bagi Dilo, azan adalah waktu yang selalu dinanti-nanti karena ia bisa melaksanakan sholat fardhu. Tak hanya sholat fardhu, Ramadhan juga adalah waktu yang sangat dirindukannya, sebuah momen istimewa untuk terus menguatkan imannya. 

“Ramadhan tahun ini adalah puasa pertama aku setelah bersyahadat selain itu, Ramadhan tahun ini juga pertama kali aku bisa sholat Tarawih di masjid,” ujarnya. Jika di Ramadhan sebelumnya dia masih pada taraf belajar dan lagi belum berstatus Muslim. Tahun ini, keadaannya berbeda. Sebagai seorang Muslim, dirinya merasa termotivasi untuk bisa tuntas berpuasa satu bulan penuh. 

Sholat Tarawih juga menjadi shalat pertama bagi dia. Dalam pandangannya, Ramadhan menjadi bulan yang sangat berharga. Ramadhan adalah bulan untuk belajar di 11 bulan ke depan. “Biasanya, kita bisa berpuasa Ramadhan selama satu bulan, tentu selama 11 bulan ke depan puasa sunah yang dua hari sepekan atau puasa Nabi Daud yang berseling akan terasa lebih mudah,” ucapnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Yohanes Wahyu Kusnaryo Kembali pada Jalan yang Lurus

Sebelum mualaf, Yohanes sempat mengalami mimpi buruk yang menggelisahkan.

Hidayah merupakan karunia Allah SWT untuk siapapun yang dikehendaki-Nya. Dan, cahaya petunjuk Ilahi mungkin saja datang tidak hanya sekali. Dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini, seorang insan memang memerlukan tuntunan menuju jalan yang lurus (shirat al-mustaqim).

Yohanes Wahyu Kusnaryo merasakan karunia tersebut. Kepada Republika, ia mengaku bersyukur karena Allah Ta’ala menghendakinya agar kembali kepada kebenaran. Sebab, dirinya sebelum itu selalu menganggap remeh perkara keimanan dan ketakwaan.

Wahyu, demikian sapaan akrabnya, bukanlah Muslim sejak lahir. Lelaki kelahiran Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut dibesarkan dengan latar belakang Katolik. Barulah setelah beranjak dewasa, dua kalimat syahadat diucapkannya. Itu pun dipandangnya sebagai proses belaka untuk dapat menikah dengan seorang Muslimah.

Pernikahan itu berlangsung dengan didahului dinamika. Sebelum tanggal akad nikah ditentukan, Wahyu telah berdiskusi dengan perempuan yang akhirnya menjadi istrinya itu. Perbedaan keyakinan memang sempat menjadi persoalan dalam hubungan keduanya. Maka menjelang akad nikah, Wahyu meyakinkan wanita pujaan hatinya itu bahwa dirinya akan mengalah.

Karena istri tidak mau ikut agama saya, jadi saya yang menjadi Muslim. Hingga saat itu, saya merasa Islam saya sekadar KTP.

“Karena istri tidak mau ikut agama saya, jadi saya yang menjadi Muslim. Hingga saat itu, saya merasa Islam saya sekadar KTP (identitas) saja,” ujar pria yang kini berusia 34 tahun tersebut.

Ikrarnya untuk menjadi seorang Muslim diucapkan di Masjid Condro Kiranan pada 26 Juni 2011. Wahyu mengakui, saat itu keislamannya masih pada taraf permukaan. Dalam arti, dia belum sungguh-sungguh memahami apa hakikat dan konsekuensi dari iman dan Islam yang dipilihnya.

Apalagi, kenang Wahyu, pada waktu itu geliat keislaman agaknya belum seperti sekarang. Tidak begitu banyak lembaga atau takmir masjid yang memiliki fokus untuk penguatan iman kalangan mualaf. Ia sendiri tidak berminat kala itu untuk mencari ustaz atau guru yang dapat membimbingnya.

Maka, Wahyu menjalani rutinitas nyaris seperti dahulu masih non-Muslim. Memang, ia mengetahui adanya kewajiban, semisal shalat lima waktu, puasa Ramadhan, atau berzakat. Akan tetapi, semua ibadah wajib itu ditinggalkannya. Kalau ada yang dilaksanakan, itu pun seingatnya saja.

Malahan, kira-kira dua bulan sejak menikah, Wahyu terjerumus dalam dunia malam. Ia cenderung mudah tertarik pada lingkungan jahiliah, yakni gemar memuaskan hawa nafsu semata. Gaya hidupnya sangat jauh dari prinsip-prinsip Islami. Shalat ditinggalkannya. Minuman keras tak ragu ditenggaknya.

Puncaknya, Wahyu kemudian menjadi seorang pecandu narkoba. Pergaulan yang tidak baik mempengaruhinya sehingga gemar mengonsumsi barang haram tersebut. Kalau sedang sakau, ia sering tergeletak tak berdaya di dalam rumahnya. Keadaan itu membuat orang-orang di sekitarnya merasa miris.

Pada suatu siang, Wahyu merasakan pusing yang teramat sangat sesudah memakai narkoba. Ia pun tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi sedang berada dalam satu ruangan yang terbakar.

“Biasanya jika bermimpi, tidak akan terasa apa pun di badan kita. Tetapi ini aneh, saat di ruangan yang terbakar, saya terasa panas dan sakit sekali, dari ujung kaki hingga kepala. Seketika saya terbangun dan mengucapkan istighfar,” tutur dia.

Wahyu mengenang, istighfar adalah lafal yang saat itu seumur-umur jarang diucapkannya. Maka, spontanitasnya dalam beristighfar membuatnya tertegun. Setelah mencuci muka, dirinya kembali duduk dalam kesunyian.

Yang tergambar dalam benaknya hanyalah kematian. Sebagai orang beriman, dia pun meyakini adanya kehidupan sesudah mati, serta surga dan neraka. Bayangan tentang ruangan yang terbakar dalam mimpinya barusan otomatis mengantarkan imajinasinya ke perkara siksa neraka. Ketakutan menghantuinya.

Bagaimanapun, dalam kondisi demikian pikiran dan jiwanya kembali tenang. Sebab, suara azan terdengar dari arah masjid di dekat rumah. Lafaz Allah yang diucapkan sang muazin membuatnya tersadar.

Maka, berulang kali Wahyu menggumamkan istighfar. Sesudah itu, lisannya mengucapkan asma Allah berulang kali. Ibadah zikir ini baru kali itu dilakukannya dengan kesungguhan hati.

Sejak saat itu, Wahyu berkomitmen untuk meninggalkan segala maksiat yang telah dilakukannya termasuk obat-obatan terlarang. Wahyu mulai belajar shalat, rajin ke masjid ketika azan sudah berkumandang.

Wahyu kembali ke titik nol. Dia mempelajari shalat dari teman di shaf depan. Dimulai dengan menghafal gerakan-gerakan dan bacaan shalat.

Wahyu bersyukur, proses hijrahnya ini dipermudah oleh Allah SWT. Di masjid, dia bertemu banyak orang-orang baik.

Hingga satu hari dipertemukan dengan mualaf center Yogyakarta dan diajak untuk ikut menjadi relawan. Dia ikut membantu menangani mualaf yang butuh bantuan sepertu konflik dengan keluarga non-Muslim hingga konflik proses pemakaman mualaf.

Setelah satu tahun hijrah, Allah memberikan rezeki. Wahyu mendapat hadiah umrah dari hamba Allah yang dermawan. Akhir 2018, dia berangkat ke Jakarta karena travel umrahnya berada di kota tersebut.

Dia pun bertemu dengan komunitas garasi hijrah yang memiliki program hapus tato. Karena mereka tahu, Wahyu memiliki tato dan akan berangkat umrah maka mereka memberikan layanan hapus tato secara cuma-cuma.

Takdir Allah berkata lain. Ternyata, perusahaan biro perjalanan umrah yang akan melayaninya bermasalah. Alhasil, ia pun batal berangkat umrah. Karena tak ada pilihan lain, dia lantas kembali ke Yogyakarta.

Komunitas Garasi Hijrah mendengar kabar tersebut. Para sahabatnya di sana kembali mencarikan donatur agar Wahyu bisa berangkat ke Tanah Suci. Upaya ini kemudian mewujud kenyataan.

Allah merestuinya untuk menjadi tamu-Nya di Baitullah. Dua bulan sejak kegagalannya pergi ke Tanah Suci, yakni pada Februari 2019, Wahyu akhirnya berangkat umrah.

Hingga saat itu, dia tidak 100 persen gembira. Ia dihantui “mitos” bahwa Tanah Suci menjadi tempat pembalasan dosa-dosa yang dilakukan seorang Muslim.

“Sempat ketakutan mendengar cerita sebelumnya bahwa di Tanah Suci kita merasakan balasan dari perbuatan. Karena, saat kita berbuat dosa, maka sesampainya di Tanah Suci akan dibalas. Apalagi saya waktu itu merasa banyak melakukan dosa,” kenangnya.

Wahyu bersyukur, ketakutan dan kegelisahannya itu ternyata tidak terjadi. Bahkan, Allah menunjukkan kuasa-Nya. Mualaf tersebut mendapatkan rizki yang tak terduga sejak sebelum keberangkatan.

Ketika di Bandar Udara Soekarno-Hatta, ada seorang hamba Allah yang tidak dikenal memberinya uang dengan mata uang riyal yang jumlahnya sangat banyak. Ketika Wahyu belanjakan di Saudi pun tidak habis dan sampai di Indonesia sisa uang tersebut masih sangat banyak.

Hanya saja, ada beberapa orang Arab yang marah kepada saya karena tato yang belum hilang seluruhnya. Dia menghina Wahyu dan mengharamkan tindakan Wahyu dengan mentato tubuhnya.

Wahyu hanya tersenyum menanggapi hinaan itu, tapi dia tak berhenti menghinanya. Baru setelah pembimbing umrah yang mengerti bahasa Arab menjelaskan bahwa dia baru saja hijrah, orang tersebut meminta maaf dan berdoa untuknya.

Umrah kali itu diniatkan Wahyu untuk memanjatkan doa segala keinginanya. Salah satunya adalah agar keluarganya bisa mengikuti jejaknya untuk mualaf dan hijrah.

Karena ibunya telah meninggal dunia satu tahun setelah Wahyu bersyahadat, kini harapannya ada pada sang ayah. Wahyu berharap ayahnya dapat membuka hatinya untuk Islam.

Sepulang umrah, Wahyu memutuskan untuk pindah rumah dari Kota Yogyakarta ke Bantul. Ayahnya pun mengikutinya karena Wahyu merupakan anak tunggal.

Ayahnya perlahan tertarik dengan Islam karena melihat perubahan perilaku Wahyu yang semakin baik. Dahulu menjadi anak nakal kini berubah menjadi anak yang saleh.

Ayahnya kemudian membuka hati dan mengucapkan syahadat tepat 8 Januari 2020. Belum genap dua bulan menjadi Muslim, Allah memanggilnya Maret 2020.

“Mungkin bapak tertarik Islam karena melihat perilaku saya yang menjadi lebih baik,” jelas dia.

Tak hanya ayahnya, temannya yang mendengar Wahyu kini telah berubah mulai tertarik dan bertanya-tanya. Awalnya teman ini masih berdebat dan membela agama sebelumnya.

Bahkan dia yang juga menjadi teman nakal selama 15 tahun mengajak Wahyu kembali ke dunia hitam ternyata tak berhasil. Malah terlihat Wahyu semakin khusyuk beribadah. Tak lama temannya ini meminta untuk dibimbing bersyahadat.

Sembari berdakwah, Wahyu juga masih perlahan belajar mengaji. Dia bertemu dengan hamba Allah keturunan Arab dan mengetahui dia mualaf. “Saat itu saya ditunjuk menjadi imam. Karena khawatir, saya kemudian bercerita jika saya mualaf dan tidak lancar membaca Alquran,” jelas dia.

Sejak saat itu, pengusaha keturunan Arab tersebut mengajaknya untuk belajar mengaji di rumah. Sebelum lockdown, dia mengundang ustaz dan membiayai ustaz tersebut untuk mengajarkan Wahyu mengaji.

Wahyu mengaji empat kali dalam sepekan. Namun karena pandemi Covid-19, mengaji tatap muka pun dihentikan. Saat ini Wahyu sudah bisa membaca Alquran meskipun belum terlalu lancar.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

REPUBLIKA.id

Kisah Mualaf: Peter Berharap Sang Ibu Dapat Hidayah

Bagi Peter Susilo, perkawinan tidak hanya menjadikannya berperan baru sebagai suami. Lebih dari itu, hidayah Allah SWT menyinari hatinya sejak dirinya menikah.

Sebelum menjadi seorang Muslim, pria 38 tahun itu menganggap agama hanyalah sebuah identitas yang melekat pada diri seseorang. Ia pun pernah beberapa kali berpindah iman, dari satu agama ke agama lainnya. Hal itu dilakukannya sebelum menemukan cahaya Islam.  

Sewaktu duduk di bangku SMA, lelaki yang lahir dan tumbuh besar di Bukittinggi, Sumatra Barat, itu tertarik dengan seorang gadis. Ber be da dengannya, perempuan itu me me luk Islam. Bahkan, gadis puja an nya itu termasuk Muslimah yang taat.  

Sebagai Muslim, Peter tentu saja harus menjalankan berbagai ibadah wajib yang telah disyariatkan. Di antaranya adalah sholat lima waktu dalam sehari, berpuasa pada bulan suci Ramadhan, dan menunaikan zakat. Semua itu membutuhkan ilmu dan kemampuan. Sholat, misalnya, tidak mungkin dilakukan tanpa mampu menghafalkan surat al-Fatihah. 

Dengan dukungan istrinya, Peter berusaha untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Alhasil, dia mempelajari berbagai aspek dalam Islam. Ia belajar membaca Alquran, berpuasa, dan sebagainya. Lama-kelamaan, semua yang dilakukannya itu menumbuhkan komitmen besar dalam dirinya; tekad untuk terus mendalami agama ini. Tidak sekadar ikut-ikutan menjadi Muslim. 

Ramadhan 2012 menjadi momentum baginya. Mulai saat itu, dirinya lebih tekun dalam belajar sholat, puasa, dan zakat. Waktu itu, ia sempat merasa kesulitan untuk membaca Alquran. Sebab, bahasa Arab begitu sukar untuk dilafalkan atau dibaca aksaranya. Betapapun demikian, Peter tetap sabar dan terus berupaya. 

Begitu pula dengan berpuasa. Ibadah ini ternyata membutuhkan tekad kuat agar dapat ditunaikan secara sempurna. Namun, Peter tak pernah merasa terbebani. Ia justru menyambut gembira satu bulan penuh Ramadhan. Pada malam hari, ia dan istrinya menunaikan sholat tarawih berjamaah, lalu tadarus Alquran. Pada dini hari menjelang subuh, saatnya sahur sebagai bekal menjalani puasa sehari penuh.

Suatu hari, Peter mengikuti sebuah pengajian yang disiarkan via radio. Tiba-tiba, ia merasa tersadar. Mubaligh yang mengisi kajian itu menerangkan kepada para pendengar tentang hikmah kehidupan.

Pada faktanya, hidup hanyalah sementara. Yang pasti adalah kematian. Karena itu, boleh jadi ibadah yang dilakukan pada hari ini justru merupakan yang terakhir kalinya.  

Sholat subuh, misalnya. Mungkin pagi tadi sudah sholat, tetapi apakah besok atau hari yang akan da tang (bisa sholat subuh)? Belum tentu. Jangan-jangan usia ini tidak sampai di subuh esok harinya, kata Peter menirukan ceramah ustaz ter sebut.  

Tausiyah tersebut begitu menancap dalam benaknya. Sejak saat itu, dirinya menjadi lebih tekun dalam mendalami Islam. Komitmennya sebagai Muslim untuk terus menjadi hamba Allah yang bertakwa semakin menguat. Ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa Islam adalah agama yang benar, pilihannya tepat untuk memeluk agama Allah.  

Berbeda keadaannya dengan dahulu sebelum menikah, kini Peter sungguh-sungguh berislam. Apalagi, ia juga mengetahui bagaimana Islam mengajarkan kewajiban seorang suami atas keluarganya.

Agar keluarganya menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah, si suami pun harus terlebih dahulu memantaskan dirinya. Tidak bisa, umpamanya, menyuruh istri dan anak-anak untuk sholat lima waktu bila si kepala keluarga justru lalai dari mengerjakan ibadah wajib tersebut. 

Alhamdulillah, sang istri selalu mendampinginya dalam upaya menjadi pribadi yang lebih bertakwa. Peter pun lebih giat lagi dalam mengikuti berbagai kajian keagamaan. Selain itu, ia juga sering menyaksikan berbagai video dakwah di media-media sosial. Hal itu dilakukannya untuk terus meningkatkan keimanan. 

Pada 2018, ia bergabung dengan komunitas Mualaf Center Kalimantan Timur. Sejak menjadi aktivis di sana, ia merasa hidupnya semakin berkah. Apalagi, semenjak dirinya meninggalkan berbagai hal yang terkait urusan riba. 

Ya, beberapa tahun lalu ia memutuskan untuk berwiraswasta. Dengan modal pinjaman dari bank, ia pun membangun usaha sendiri dalam bidang percetakan dan periklanan. Memang, untung diraihnya, tetapi omzet yang ada terasa cepat habis.

Seorang kawan kemudian mengajaknya untuk bergabung dengan komunitas anti-riba pada 2017. Sejak itu, Peter lebih mengetahui hukum riba dalam ajaran Islam. Ia mengingat, seorang ustaz menunjukkan kepadanya surat al-Baqarah ayat 276. Artinya, Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.

Maka perlahan-lahan ia berupaya lepas dari jeratan riba. Meskipun sulit dan sempat terkendala, akhirnya Peter berhasil. Saya sebelumnya merasa, hasil usaha saya seperti tidak terlihat. Habis untuk membayar leasing. “Setelah lunas semua, kini lebih terlihat. Malahan, saya merasa penghasilan saya lebih berkah,” tuturnya  

Kini, ia terus berupaya menjadi pribadi yang selalu bertakwa kepada Allah SWT. Salah satu caranya ialah dengan terus menyambung tali silaturahim. Ia mengingat, pada awal memutuskan diri untuk memeluk Islam, keluarganya tidak bisa menerima. Penolakan juga datang dari sosok yang sangat dihormati dan dicintainya, yakni ibu.

Hingga saat ini, Peter masih meyakinkan sang ibu tentang pilihannya ini. “Saya selalu berdoa, semoga ibu saya mendapatkan hidayah dan menerima ikhlas tentang keislaman saya. Satu tahun sekali saya selalu sempatkan untuk mengunjungi ibu saya yang kini menetap di Bali,” ucapnya.

IHRAM

Lorraine, Mualaf Irlandia yang Perjuangkan Nasib Muslimah

Lorraine O’Connor jatuh cinta dengan seorang pria Muslim dari Libya ketika berusia 20 tahun. Dari pernikahan inilah, Lorraine peroleh hidayah dan memutuskan untuk menjadi Muslim pada usia 30 tahun. 

“Pada awal 80-an, banyak pria Timur Tengah datang untuk belajar dan saya bertemu dengannya saat itu. Saya sendiri berasal dari keluarga besar dan sama sekali tidak ada orang asing dalam keluarga. Butuh waktu lama bagi keluarga saya untuk menerimanya, tetapi pada akhirnya mereka menerimanya,” kata dia dilansir dari laman RSVP Live, Selasa (8/6).

Sebelum mereka menikah, pria itu mengatakan kepadanya bahwa anak-anak mereka harus beragama Islam. Saat itu O’Connor beragama Katolik dan sangat kuat dalam agamanya. Pada akhirnya, cinta mengalahkan segalanya dan mereka pun menikah. Ia mengakui, Islam baginya kala itu terkesan cukup negatif sebelum belajar lebih banyak tentangnya.

“Ada banyak hal di media, dunia Arab digambarkan sebagai tempat di mana ada pembunuhan, perang dan terorisme, hal-hal mengerikan terjadi. Anda akan mengasosiasikan Islam dengan tindakan orang-orang itu. Saya mendapat kesan bahwa laki-laki benar-benar mendominasi dan perempuan tidak memiliki suara,” jelasnya.

Namun, pikiran O’Connor tentang Islam tidak berhenti di situ. Dia ingin tahu lebih banyak soal Islam karena kesan Islam yang bermunculan tidak masuk akal menurutnya. “Pria yang saya cintai dan latar belakang keluarganya dan hubungan yang dia miliki dengan keluarganya, mereka tampak seperti orang-orang yang menyenangkan,” ujarnya.

O’Connor memutuskan untuk pergi ke Masjid di South Circular Road dan bergabung dengan kelompok belajar Alquran. Di sana dia bertemu banyak wanita luar biasa, termasuk beberapa Muslim Irlandia. “Ada banyak gadis Irlandia di sana, dan gegap gempitanya,” kata dia mengenang.

“Anak-anak dan tawa… Itu adalah lingkungan yang indah. Saya pikir saya tidak akan diterima dan tidak ingin berhubungan dengan saya. Tetapi mereka sangat baik. Suatu kali saya sakit dan mereka memasak untuk saya,” ucapnya.

O’Connor tidak hanya terpesona oleh kebaikan para wanita di Masjid, tetapi juga terkesan dengan apa yang dia pelajari tentang Islam. “Apa yang saya pikirkan adalah kebalikan dari apa yang saya ketahui. Saya tidak tahu mereka percaya pada Maria, mereka percaya Yesus lahir dari seorang perawan, semua hal ini saya percaya juga.”

Akhirnya pada tahun 2005, O’Connor memutuskan untuk masuk Islam. “Saya ingat suatu hari duduk dan ada Alquran di rumah dan saya membukanya. Saya memiliki hubungan yang indah dengan Yesus dan saya membaca sebuah bagian dalam Alquran dan saya mengerti saat itu, dan saya sadar saya tidak berada dalam agama yang benar.”

Dia mulai mengenakan jilbab, dan terkejut dengan tanggapan negatif yang dia terima dan merasa asing di negaranya sendiri. “Saya menjadi imigran di negara saya sendiri. Identitas saya diambil dari saya, padahal yang saya lakukan hanyalah mengubah keyakinan saya, saya masih orang yang sama,” katanya.

Orang-orang akan meneriaki saya di jalan, “Kembalilah ke tempat asalmu!” Meski awalnya khawatir tentang jilbab, dia mulai sepenuhnya menghargainya. “Saya selalu mengatakan, ‘Kamu tidak akan pernah menangkap saya dengan jilbab itu’,” ujarnya.

“Orang-orang melihat jilbab sebagai bentuk penindasan tetapi itu adalah bentuk pembebasan. Ini tentang pilihan pribadi. Saya akan memakainya jika saya mau dan tidak ada yang akan menghentikan saya. Mengenakan jilbab adalah tindakan yang indah antara seorang wanita dan penciptanya,” ungkapnya.

Kemudian O’Connor memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk mematahkan stereotip seputar Islam dan wanita Muslim. Dia ingin membantu wanita Muslim menemukan suara mereka. Ia pun mendirikan Muslim Sisters of Eire, yang melakukan banyak pekerjaan amal serta memberikan dukungan kepada wanita Muslim dan mendorong integrasi.

“Kami dapat berkontribusi sangat banyak kepada masyarakat Irlandia yang lebih luas. Kita seharusnya tidak tinggal di dalam komunitas atau kelompok etnis kita sendiri. Ini mematahkan stereotip dan kesalahpahaman bahwa perempuan tidak diizinkan keluar dan tidak diizinkan bekerja. Kami memiliki wanita Muslim yang luar biasa yang sangat berpendidikan,”katanya.

IHRAM

Mualaf, Bintang NBA Kyrie Irving Tetap Puasa Saat Tanding

Bintang Basket NBA, Kyrie Irving, akhirnya secara terbuka mengakui masuk Islam

Setelah dikabarkan memeluk agama Islam, bintang NBA Kyrie Irving akhirnya secara terbuka mengakuinya. Ia bahkan mengatakan tetap berpuasa saat bertanding memperkuat klubnya, Brooklyn Nets.

Setelah Brooklyn Nets mengalahkan Boston Celtics 109-104 pada Jumat (23/4) malam waktu setempat, Kyrie Irving melakukan sesuatu yang sangat langka baginya, dia berbicara tentang kehidupan pribadinya.

Selama konferensi pers pascapertandingan, Irving membahas tentang menjadi bagian dari komunitas Muslim dan bagaimana rasanya menjalankan Ramadhan, bulan suci kontemplasi spiritual, puasa, dan komunitas Islam.  Mereka yang menjalankan puasa Ramadhan setiap hari dalam sebulan, tidak mengonsumsi makanan atau cairan dari matahari terbit hingga terbenam.

“Segala puji bagi Tuhan, Allah, untuk ini …. Bagi saya, dalam hal iman saya dan apa yang saya yakini, menjadi bagian dari komunitas Muslim, berkomitmen pada Islam, dan juga berkomitmen untuk semua ras dan  budaya, agama, hanya memiliki pemahaman dan rasa hormat. Saya hanya ingin meletakkannya sebagai fondasi,” kata Irving.

Irving menambahkan, “Ada energi yang memecah belah di sini, atau sudah seperti itu dalam masyarakat kita, begitu memecah belah, membawanya ke dalam permainan. Saya tidak mau, tapi jelas banyak orang memiliki pertanyaan.”


“Tapi ya, saya ikut Ramadhan dengan banyak saudara laki-laki dan perempuan Muslim saya. Dan, itu merupakan penyesuaian. Itu benar-benar yang bisa saya katakan. Itu hanya berkomitmen untuk melayani saya kepada Tuhan, Allah, dan kemudian melanjutkan dengan  apa pun yang saya pandu,” lanjut Irving.

“Saya hanya senang menjadi bagian dari komunitas saya dan melakukan hal yang benar. Jadi, puasa jelas merupakan bagian darinya–jika Anda tahu sesuatu tentang komunitas Muslim. Tapi ya, benar-benar diberkati  dan bersyukur bisa ambil bagian dalam ini,” ujarnya dilansir Yahoosports.

Irving tidak banyak bicara tentang puasa selain mengatakan itu  “penyesuaian”. Untuk diketahui, ini pertama kalinya Irving berbicara di depan umum tentang imannya. Meski sebelumnya ia pernah menyinggung soal keimanan di media sosial beberapa kali. Misalnya pada Maret lalu, dia menge-tweet tentang Allah, yang adalah Tuhan dalam Islam. Namun, kala itu ia tak menyebut secara eksplisit tentang Islam karena Allah merupakan kata bahasa Arab untuk Tuhan.

Pada 9 April, menjadi lebih jelas ketika dia menanggapi tweet dari seseorang yang berharap dia mendapatkan Ramadhan yang hebat.

Jumat malam adalah pertama kalinya Irving secara terbuka menyampaikan keyakinannya, tetapi dia mendapatkan kritik ketika hari pertama Ramadhan bertepatan dengan pertandingan. Stephen A.Smith dari ESPN mengkritik Irving karena melewatkan lebih banyak permainan karena alasan pribadi, tanpa menyadari alasan Irving sebenarnya melewatkan permainan tersebut.

Beberapa fan membela Irving di media sosial. Smith kemudian mengklarifikasi pernyataannya setelah mengetahui Irving mengambil cuti untuk mengamati awal Ramadhan, tetapi tidak benar-benar berubah pikiran tentang Irving yang melewatkan permainan lain.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kisah Saudagar China Masuk Islam

Sepintas, Suwardi seperti orang Jawa umumnya. Hanya kulitnya kelihatan putih. Tapi jika tahu nama aslinya,  mungkin orang akan terkejut. Lahir dan besar di Blora, Jawa Tengah, 50 tahun yang lalu. Orang tuanya memberi nama Oei Ping Djien. Ya, Suwandi memang keturunan China.

Seperti orang China kebanyakan, Oei Ping juga pintar berdadang. Ia sukses menjadi pedagang cabai dalam usia muda. Ia dikenal sabagai saudagar China. Selain berdagang cabai di berbagai kota,  ia juga menjadi salah satu pemasok pabrik mie terbesar di Indonesia.

Suwardi mengaku, sebagai pedagang ‘ideologinya’ cuma satu. “Mencari uang sebanyak-banyaknya,” katanya. Untuk itu, apapun dilakukan. Mulai dari berbohong, mengurangi timbangan dan sebagainya. Padahal tanpa disadari itu berarti ia telah menggali kuburannya sendiri. Benar saja. Tahun 1997, Allah Subhanahu Wata’ala menghukumnya.

Ia jatuh bangkrut. “Saya ditipu rekanan sampai  terbelit hutang 80 juta rupiah,” kata Suwardi kepada majalah Suara Hidayatullah  di rumahnya, Ponorogo, Jawa Timur, pada suatu kesempatan.

Hari-hari Suwardi kemudian menjadi penuh tekanan. Ia dikejar-kejar petani, rekanan dan bank. Apalagi kalau bukan menagih hutang. Suwardi mengalami stres berat. Larinya kemudian ke agama. Di sini ia mencari sandaran. Sandaran paling kuat adalah agama. Sempat mendalami Kristen, tapi kemudian ia menjatuhkan pilihannya pada Islam. Mengapa memilih Islam?

Cerita selengkapnya  ada di sini

HIDAYATULLAH