Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam

Oleh Ust. Syamsul Arifin Nababan

Pendahuluan

Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam.

Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.

Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia.

Konsep Toleransi Dalam Islam

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’�?lamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”

Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja).  Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.

Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun saw�? atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”  Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.

Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la  dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iy�?lull�?hi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iy�?lihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).

Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil sam�?” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu).  Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.

Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.

Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan  dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.

Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.

Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…”

Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah).

Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.

Lalu, apa itu as-samahah (toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:

  1. Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
  2. Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
  3. Kelemah lembutan karena kemudahan
  4. Muka yang ceria karena kegembiraan
  5. Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
  6. Mudah dalam berhubungan sosial (mu’amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
  7. Menggampangkan dalam berda’wah ke jalan Allah tanpa basa basi
  8. Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ada rasa keberatan.

Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama iman, dan [c] Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : ‘Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki’. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya : ‘Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat’. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : ‘Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur.”

Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minall�?h).

Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam

Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik.

Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.

Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam sejarah kekuasaan Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah dengan praktiknya di lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara doktrin tak ada dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas nama Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama, dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan penyembah berhala dalam pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan.

Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.

Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama, pendidikan, maupun asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya.

Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim tentang toleransi Islam. Dan toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini.

Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. Apa yang dicontohkan para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan contoh sahih betapa penyebaran Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat mencengangkan bagi keagungan ajaran Islam.

Secara perlahan dan pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang dilakukan tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan segala gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka perkembangan Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang.

Penutup

Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.

Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.

Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.

Jakarta, 15 Januari 2009

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’nul Karim
Natsir, Mohamad. Keragaman Hidup Antar Agama (Jakarta: Penerbit Hudaya, 1970), cet. II.
Al-Baihaqi, Syu’ab al-Imam (Beirut: t.t), ed. Abu Hajir Muhamad b. Basyuni Zaghlul, VI, h. 105.
Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Toleransi Islam Menurut Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Abdillah Mohammad Afifuddin As-Sidawi (Misra: Penerbit Maktabah Salafy Press, t.t.).
Shahih Al-Jami’ As-Shaghir wa Ziyadatuhu. No. 3266
Max I. Dimon, Jews, God, and History (New York: New American Library, 1962), h. 194.

 

sumber: Annaba Center

John Webster Jadi Mualaf Setelah Melihat Masjid

Mohammad John Webster dibesarkan dalam keluarga Protestan. Di usia remajanya, ia memiliki banyak pertanyaan soal kepercayaan yang dianutnya.

“Yang menjadi pertanyaan saya, di Inggris, banyak kemiskinan dan ketidakpuasan sosial. Agama saya seperti tidak berusaha untuk menyelesaikannya,” kenang dia seperti dikutip Arabnews.com, Senin (8/4).

Sejak itu, Webster muda tidak lagi menerima Protestan dan beralih menjadi penganut komunis. Baginya, komunisme menciptakan kepuasan tersendiri. Tapi itu tidak berlangsung lama. Selanjutnya, ia beralih pada filsafat dan agama.

“Dari apa yang saya alami ini mendorong saya mengidentifikasi diri dengan apa yang disebut panteisme,” katanya.

Webster mengakui peradaban Barat membuat masyarakatnya begitu asing dengan Islam. Ini terjadi karena sejak Perang Salib berakhir, banyak hal yang menyimpang terkait informasi tentang Islam dan Muslim.

Satu fase baru dalam kehidupannya dimulai ketika ia menetap di Australia. Di sana, ia membaca Alquran di sebuah perpustakaan umum di Sydney. Saat itu, kefanatikan Webster terhadap Islam coba ia tutupi. Padahal, ia sangat antusias untuk mengkaji lebih dalam terkait isi Alquran. Satu hari, ia temukan salinan Alquran terjemahan Inggris.

Pada satu surat, ia temukan satu hal tentang kehidupan Rasulullah. Ia habiskan berjam-jam untuk menemukan apa yang diinginkannya. Ketika keluar dari perpustakaan, Webster merasakan kelelahan. Kebimbangan muncul dalam pemikirannya.

Hal itu coba ia tangguhkan dengan berjalan menyusuri keramaian. Langkahnya terhenti ketika ia melihat tulisan yang menyebut ‘Masjid’. Hatinya bergetar seketika. Wajahnya segera memucat.

“Inilah kebenaran.Spontan Webster mengucapkan syahadat. Tiada Tuhan selain Allah, Muhamamd adalah utusan Allah. Alhamdulillah, aku menjadi seorang Muslim,” kata dia yang kini menjabat Presiden The English Muslim Mission.

 

 

sumber: Republika Online

Cerita Mualaf Rusia Terpikat Cara Hidup Islam

Pertumbuhan mualaf etnis Rusia kian pesat sejak dekade 2000-an. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat.

Dilansir Opendemocracy.net, seorang pendeta Ortodoks yang masuk Islam, Ali Vyacheslav Polosin mengatakan, sekarang ada lebih dari 10 ribu Muslim etnis Rusia di negara itu. Tak melulu soal teologi, sebagian mualaf jatuh hati lantaran cara Islam menyadarkan mereka akan arti hidup.

Alexei Abdulla Terekhov, misalnya. Ia masuk Islam 10 tahun yang lalu. Awalnya, dia benar-benar tertekan. Dia merasa hidupnya sangat pahit dan getir. Abdulla sudah berusia 40 tahun, namun dia tidak pernah melakukan sesuatu yang serius. Dia tidak punya keluarga, tidak ada pekerjaan, juga tidak ada tempat tinggal tetap. Segala sesuatunya benar-benar buruk.

Hal itu membuat Abdulla gelisah. Dia mulai berhenti merokok dan kebiasaan buruk lain. Kemudian, pada satu kesempatan dia membaca Alquran, terjemahan Krachkovsky. Abdulla melihat banyak surat-surat itu diakhiri dengan kata “Semoga kamu bahagia” atau May you be happy. Lelaki itu pun merasa tentram.

Dia pun tertarik pergi ke masjid. Ketika pertama kali datang, Abdulla kaget. Dia melihat semua orang memiliki jenggot. Mereka tidak terlihat seperti orang Rusia. “Saya takut. Tapi, saya tetap tinggal. Saya merasa kesepian di rumah. Di rumah, saya tertekan.”

 

Kasus Abdulla berbeda dari banyak orang. Sebelum masuk Islam, Abdulla beragama Kristen. Dia tidak mencari kebenaran selama bertahun-tahun. “Saya datang, saya menyukainya, dan saya merasa lebih baik. Saya pun mengikutinya,” ucapnya. Seseorang menyarankan lelaki itu memilih nama baru. Dia pun memilih nama Abdulla, hampir sama dengan nama aslinya, Alexei.

Setelah berislam, dia mulai memikirkan hidup lebih serius. Dia mencari pekerjaan dan hidup normal. Lelaki yang kini berusia 50 tahun itu kemudian menikah dengan seorang gadis. Istrinya memeluk Islam setelah pernikahan mereka. Kini mereka telah dikaruniai dua orang anak. Semua anaknya dibesarkan sebagai Muslim.

Mualaf lain adalah Viktor Abdulla, pria 31 tahun yang berprofesi sebagai penjual buku. Dia sudah masuk Islam lebih dari sepuluh tahun lalu. Seperti kebanyakan warga Rusia, semula dia menganut Ortodoks. Viktor juga aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja.

Sekalipun begitu, dia menyimpan kegelisahan. Secara teologis, dia tidak suka konsep Ortodoks tentang trinitas dan ketuhanan Yesus karena ia tidak mengerti. Lelaki itu juga lebih tertarik dengan ajaran asketis. Cara hidup sederhana, zuhud, dan bersahaja, itulah yang dia temukan dalam Islam. Khususnya, dalam tasawuf.

 

Viktor pun merasa lebih dekat dengan Islam. Ia juga membaca buku-buku Ali Vyacheslav Polosin, mantan imam Ortodoks yang masuk Islam. Dia suka buku-buku itu. Pada akhirnya, lelaki itu memutuskan bersyahadat. Ia memilih masuk ke jalan tasawuf.

“Islam, pertama dan terutama, adalah cara hidup. Alquran terlibat aktif dalam kehidupan seorang Muslim, baik menyangkut pengembangan pribadi maupun interaksi dengan orang lain,” kata pria asli Rusia itu.

Tidak semua bisa menerima konversi Viktor. Keislamannya merupakan pukulan berat bagi teman-teman lamanya yang kebanyakan aktivis gereja. Tapi, keluarga menerima dengan mudah. Mereka mengerti. Istrinya yang juga etnis asli Rusia kemudian ikut berislam. Anak-anaknya, Madina dan Mikael, terlahir sebagai Muslim. Saat ini, Viktor tengah menanti kelahiran anak ketiganya.

 

sumber: Republika Online

Ustaz Arifin Ilham Bimbing Al Arifi Bersyahadat

Gemuruh takbir jamaah Az-Zikra membahana di waktu Subuh berjamaah. Tangis haru dan ucapan rasa syukur terucap pada proses syahadat, R Yugiantoro Menara Aji.

Proses syahadat dipimpin langsung Ustaz Arifin Ilham. Usai syahadat, ustaz memberi nama Islam untuk Aji, Muhammad Al Arifi.

“Beliau pun dengan keyakinan bulat masuk Islam setelah mempelajari kebenaran dan kemuliaan ajaran Islam. Alhamdulillah kini jumlah muallaf kita bertambah lagi, 618 muallaf melalui majlis yg kita cintai ini,” kata Ustaz.

“Semoga semakin banyak yang meyusul saudara saudara kita meraih hidayah Allah…aamiin.”

“Selamat bahagia hidup baru sebagai Muslim ya Muahmmad AlArifi.”

 

 

sumber: Republika Online

 

Kagumi Kaligrafi Masjid Ketuk Hati Karima Peluk Islam

Setelah mengucap syahadat, Karima kini membuka klinik herbal di Timur Tengah dan tidak lagi tinggal di Iowa.

Dream – Karima Kristie Burns, wanita asal Midwest, Iowa, Amerika Serikat ini dikenal sebagai sosok multitalen. Dia merupakan seorang editor, penulis, guru, juga pakar herbalis.

Tetapi, saat ini dia memilih menetap di kawasan Timur Tengah dengan membuka klinik Herb’n Muslim. Keputusan ini diambil Karima setelah memutuskan memeluk Islam, setelah kagum pada kaligrafi masjid di Spanyol.

Awalnya, Karima pernah berkunjung ke Spanyol saat berusia 16 tahun. Saat itu, dia menyempatkan diri mengunjungi Masjid Kordoba atau Alhambra di kota Granada. Matanya terpikat dengan bentangan lukisan kaligrafi Arab yang menghiasi dinding masjid.

“Ini adalah tulisan paling indah yang pernah aku lihat,” ujar Karima. Ia bahkan sampai meminta brosur perjalanan wisata bertuliskan huruf Arab kepada pemandu wisatanya saat itu.

Setiap malam, Karima membuka brosur-brosur bertuliskan huruf Arab itu di kamar hotelnya. Dia bahkan membayangkan bisa menulis huruf seindah itu dan bertemu dengan budaya yang memiliki bahasa tersebut.

Karima pun berjanji akan belajar bahasa dan tulisan itu ketika kembali ke kampung halamannya. “Perjalanan ke Spanyol itu sebenarnya upaya saya mencari jawaban atas keraguan terhadap agama saya yang sudah lama saya pendam,” ujar Karima.

Setelah pulang dari tur di Eropa, Karima mendaftar ke Northwestern University. Dengan keinginan yang begitu besar akan sebuah bahasa, Karima mendaftar di kelas Bahasa Arab.

Karima pun langsung larut dengan pelajaran Bahasa Arab. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, hingga sang dosen yang non-muslim dibuatnya heran.

Karima pun senang ketika mengerjakan tugas-tugas menulis huruf kaligrafi. Dia bahkan seringkali pinjam buku-buku dalam Bahasa Arab dari dosen hanya untuk melihat huruf-huruf Arab yang ada dalam buku itu.

Memasuki tahun kedua di universitas, Karima memutuskan untuk memilih bidang studi Timur Tengah. Dengan begitu dia bisa fokus pada satu kawasan saja.

“Di salah satu mata kuliahnya adalah belajar Alquran. Saya gembira bukan main,” kata Karima.

Satu malam dia membuka Alquran untuk mengerjakan PR. Heran campur takjub. Makin dia baca makin terasa nikmat dan sulit untuk berhenti membacanya.

Karima merasa Alquran seperti novel yang sangat indah, berisi semua jawaban dari keraguan dan kebingungannya selama ini.

Pada hari berikutnya, Karima bertanya pada dosennya siapa pengarang dari Alquran ini. Namun dosen Karima yang non-muslim itu mengatakan bahwa menurut Muslim, Alquran bukan karangan siapa-siapa. Alquran adalah firman Allah SWT dan tidak pernah berubah sejak diwahyukan, dibacakan dan kemudian ditranskripkan.

Mendengar itu, Karima makin terpesona dan takjub. Dia menjadi bersemangat tidak hanya mempelajari Alquran, tetapi juga Islam. Dia kemudian pergi ke Timur Tengah.

Di tahun terakhir kuliah, Karima mendapat kesempatan mengunjungi Mesir. Salah satu tempat favorit yang ingin dia lihat di sana adalah masjid.

Satu hari seorang teman menanyakan kenapa tidak masuk Islam saja kalau memang sudah sangat tertarik. “Tapi saya sudah jadi seorang muslim,” kata Karima.

Teman Karima terkejut mendengar jawaban itu. Bukan hanya dia, Karima sendiri juga terkejut dengan jawaban spontan yang keluar dari bibirnya. “Tapi kemudian saya sadari hal itu logis dan normal. Islam telah merasuk dalam jiwa saya.”

Temannya menyarankan agar lebih resmi masuk Islam sebaiknya pergi ke masjid dan menyatakan keislaman di hadapan jemaah di sana sebagai saksinya.

“Tanpa menunggu lama saya ikuti sarannya. Alhamdulillah, saya akhirnya bersyahadat. Sekarang saya banyak mempelajari Alquran. Ketika membuka Alquran saya merasa seperti telah menemukan keluarga lama yang hilang,” kata dia. (Ism)

 

sumber: Dream.co.id

Usai Tes Kejiwaan, Pemuda AS Peluk Islam

William lahir dalam kondisi autis. Dia sulit bersosialisasi. Saat berusia 11 tahun, dia menemukan ada keanehan dalam ajaran agama lamanya.

William tumbuh sebagai remaja di keluarga serba berkecukupan di Dallas, Texas, Amerika Serikat. Tetapi, keluarganya bukan keluarga yang begitu religius.

Sejak kecil, seluruh kebutuhan William terpenuhi. Hanya ada satu masalah, dia lahir dalam kondisi autis.

Hal itu membuat dia kerap merasa canggung untuk bersosialisasi. Willia selalu merasa tidak bisa cocok dengan lingkungannya sehingga suka menyendiri dan menghabiskan waktu dengan bermain video game. “Aku lebih peduli pada video game daripada agama,” kata dia.

Meski begitu, dia pernah menyecap pengetahuan agama. Gagasan manusia masuk ke surga karena dia percaya bahwa dalam agamanya, Nabi Isa adalah penyelamat yang akan menjamin setiap manusia masuk surga.

“Jadi mari main video game seumur hidup dan kemudian masuk surga,” pikir dia saat itu.

William merasakan ada masalah dengan doktrin agama awalnya saat berusia 11 tahun. Dia menganggap inti ajaran agama yang selama ini dipeluknya tidak masuk akal karena bersifat menyembah banyak tuhan ketimbang satu tuhan.

Membayangkan saja, William merasa kesulitan. Sehingga untuk mengaplikasikan konsep seperti itu pun dia merasa sulit. Alhasil, dia menolak gagasannya tetapi bukan agamanya.

Ketika duduk di bangku SMA, William mulai sedikit lebih peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi di dunia. Dia kemudian mendalami dunia politik di sekolah dan mulai benar-benar mendalami agamanya.

Alih-alih memperoleh kembali keyakinannya, William justru menolak gagasan agamanya secara umum. “Masalahnya, tidak ada satu pun gagasan sekte dalam agama saya yang saya bisa setuju,” katanya.

William pertama kali mengenal agama-agama lain melalui ibunya. Sejak bercerai, ibunya mengalami trauma mendalam sehingga mencari spiritualitas alternatif. Seiring waktu, William pun mengalami kekosongan yang sama.

Dia merasa butuh spiritualitas yang tepat untuk mengisi kekosongan dalam hatinya. Meski terdengar aneh, ibunya merekomendasikan William untuk mengikuti tes kejiwaan online yang akan merekomendasikan agama apa yang paling cocok untuk penggunanya.

William pun menuruti ibunya. Alangkah terkejutnya William ketika mengetahui bahwa Islam ada di peringkat kedua sebagai agama yang cocok dengan kompatibilitas sekitar 98 persen. Sementara pilihan pertama yang cocok adalah Yahudi Ortodoks.

“Meskipun memiliki minat terhadap agama Yahudi pada saat itu, aku benar-benar tertarik dengan Islam karena asing bagiku.”

Jadi, nuansa asing yang dirasakan William tentang Islam justru menarik baginya. Dia kemudian mencari informasi tentang Islam di Wikipedia. Mulai dari prinsip-prinsip dasar iman, haram, halal, dan sebagainya.

Tidak disangka, William merasa semua penjelasan tentang Islam tersebut masuk akal dan dia pun setuju dengan konsep Islam. Setelah membaca, William memutuskan untuk mengambil Alquran dan mulai membacanya. Isinya ternyata menakjubkan.

“Alquran menjelaskan segala sesuatu yang aku cari selama ini dan aku setuju dengan semua isinya. Jadi aku ingin menjadi seorang Muslim mulai sekarang,” kata dia

William kemudian mengucapkan kalimat syahadat ketika kembali ke sekolah karena dia tidak menemukan satu pun masjid di Dallas. Kebetulan ada sebuah masjid tepat di sebelah sekolahnya.

(Ism, Sumber: onislam.net)/Dream.co.id

MCI Bimbing Pelajar 16 Tahun Bersyahadat

Alhamdulillah telah bersyahadat Marissa Laynardi, pelajar berusia 16 tahun. Prosesi syahadat dibimbing tim Mualaf Center Indonesia (MCI).

Sebelumnya, Marissa sempat berdialog beberapa kali dengan Muhammad Alvin Faiz (putra sulung K. H. Muhammad Arifin Ilham di Mualaf Center Azzikra ). Setelah dialog, dengan penuh keyakinan dan siap menghadapi apapun yang akan terjadi.

“Kita doakan saudari kita yang baru ini menjadi muslimah yang istiqomah dan kaffah. Aamin,” kata Aktivis Dakwah MCI, Hanny Kristianto, seperti dilansir mualaf.com, Rabu (4/11).

Beberapa hari sebelumnya, tepatnya Ba’da maghrib tadi malam telah bersyahadat bersama team MCI, saudara kitabyang baru bernama Luqman Humara (baju merah) di Masjid Waqof Qomaruddin Kav Polri Blok EIV no 1341, pemuda kelahiran 31 Mei 1982.

 

sumber: Republika Online

Arlina Senang Sekali Mendengar Kumandag Azan

Gemuruh takbir jamaah zikir membahana di Gedung Pertamina Plaju, Palembang belum lama ini. Rasa syukur haru bahagia menyambut keputusan saudari Arlina berikrar Syahadatain.

Awalnya, Arlina ingin bersyahadat di Masjid Az Zikra Sentul. Namun, Allah punya rencana terbaik untuk hadiah hidayah hambaNya. Malam selesai isya berjamaah, Arlina bersyahadat dengan nama Islam, Asma Shiddiiqoh, hadiah nama dari Habib Umar Abdul Aziz bin Syahab.

“Arlina senang sekali setiap mendengar kumandang adzan, setelah mempelajari Islam, Arlina semakin bulatkan hati keyaqinan untuk masuk Islam” kata Arlina seperti dilansir akun pribadi Ustaz Arifi Ilham.

Arlina adalah mualaf yang ke 615 melalui majelis ini. Arlina 23 tahun juga mohon doa agar ibu beliau juga meraih hidayah Allah.

 

Sumber: Republika Online

Eric Hensel: Ada Alasan Islam Melarang Daging Babi dan Alkohol

Erick Hensel rutin berkomunikasi dengan temannya di Dubai. Setiap kali bertemu mereka, ia akan melontarkan pelbagai pertanyaan. Persoalan keislaman pun tak luput ditanyakan hingga teman-temannya jengah.

Mereka mengatakan, “Berhentilah bertanya. Kalau kamu bertanya, mengapa perempuan mengenakan penutup wajah, itu pertanyaan negatif. Tidak perlu ditanyakan. Mengapa perempuan menutup wajah seperti itu? Atau, mengapa perempuan tampak alami bila terlihat seperti ini? Jangan terus-menerus bertanya tentang sesuatu yang aneh tentang Islam. Dan, jangan bertanya soal ini lagi dan lagi!”

Hensel yang dibesarkan di keluarga Kristiani ini tak menyerah. Kendati tidak digubris, dia mencari sendiri jawaban untuk menutup rasa ingin tahunya. Baginya, manusia tidak selalu bisa mengandalkan opini orang lain. Agama adalah soal `kamu’ dan `pencarianmu’. Pencarian untuk menemukan sesuatu yang bermakna dan menuntunnya pada hidup yang lebih baik.

Saat itu, Hensel masih tinggal di Timur Tengah. Dia mulai banyak belajar mengenai Islam. Kadang-kadang, dia membaca sesuatu sampai gemetar dan berkeringat. Hensel tidak tahu dari mana tekanan itu berasal. Akan tetapi, pria Amerika itu mulai menemukan sebentuk kebenaran.

Hensel kemudian juga membeli sajadah, meminjam buku agama berbahasa Inggris, dan mencari referensi via internet. Dia menjelajah mulai dari Wikipedia sampai situs-situs keislaman untuk mendapat informasi pembanding yang lebih gamblang.

Hingga pada beberapa kesempatan, Hensel yakin tidak mungkin dia bisa belajar semua itu. Dia hampir-hampir menyerah. Tidak ada cara untuk mempelajari itu semua.

“Setiap kita memiliki sebuah kesempatan. Pilihannya, akan kita ambil atau kita lewatkan. Saya bisa jadi meninggal besok. Saya mungkin akan melewatkan kesempatan itu dan tidak akan pernah mendapatkannya kembali,” ucapnya mengenang.

Butuh waktu sekitar sepekan untuk meyakinkan diri atas keputusan itu. Ada juga hal-hal kecil yang masuk ke pikiran Hensel, seperti larangan makan daging babi atau minum bir, tapi dia merasa dorongan berislam jauh lebih kuat. Hensel meyakinkan diri. Islam memang sesuatu yang baru, tapi tidak akan membuatnya berbeda.

Dia yang dulu hidup tanpa makna dan sekadar bersenang-senang, kini memiliki tujuan hidup. Dengan keyakinan itu, Hensel mantap mengikrarkan syahadat. Waktu itu dia sendirian, di kamar. Dia itu kemudian belajar shalat dan berdoa. Karena selalu bepergian, dia tidak pernah tinggal di satu tempat cukup lama dan memiliki keluarga dekat. Dia cukup beruntung memiliki lingkungan yang mendukung. Relawan itu mendapat tempat untuk belajar Islam dan bahasa Arab.

“Keluargaku di AS adalah keluarga yang sangat baik. Mereka mendukung sepanjang perjalanan hidupku. Tapi, memiliki keluarga Muslim yang mendukungmu sangat penting,” ujarnya.

 

sumber: Republika Online

Awal Mula Eric Hensel Terpesona Islam

Pria bernama lengkap Eric Hensel ini telah melakukan kerja-kerja sosial untuk membantu orang miskin di Tunisia, Oman, Bahrain, UEA, dan Mesir. Bagi relawan berkebangsaan Amerika ini, perjalanannya ke berbagai negara tidak sebatas menemukan tempat-tempat baru, tetapi juga mendapatkan makna spiritualitas yang hilang. Mula-mula bertugas di Detroit, kemudian pindah ke Timur Tengah.

Bagi Hensel yang sudah terjun ke dunia relawan sejak muda ini, menjadi relawan lebih memuaskan ketimbang menceburkan diri ke dunia bisnis. Pria itu memandang relawan sebagai pekerjaan yang mampu membuatnya menjadi pribadi lebih baik.

Afrika Utara sudah lama menarik perhatian Hensel. Kebetulan, suatu kali dia mendapat tawaran posisi di Tunisia.
Tidak mudah baginya untuk pindah karena banyak kenalan mengatakan hal- hal negatif tentang Afrika Utara atau kawasan seputar negara-negara Arab.

Namun, Hensel tidak ambil pusing. Ia tetap berangkat dengan segala cara. Di Tunisia, Hensel tidak menemukan orang-orang yang secara langsung memberitahunya tentang Islam. Tunisia, kata Hensel, bukan tempat orang asing bisa benar-benar belajar agama terlalu banyak.

Namun, di sanalah dia menemukan orang-orang yang begitu baik dan menunjukkan kemurahan hati yang tulus. Bukan berarti tidak ada orang-orang tulus macam itu di belahan dunia lain, tapi untuk beberapa alasan sikap, orang-orang Tunisia menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tersimpan di dalam budaya mereka. Suatu sistem yang dianggap penting oleh semua orang dan ditaati dengan sangat baik.

“Saya tinggal di negara Muslim, tempat orang menunaikan ajaran agama mereka. Saya menyaksikan nilai-nilai Islam bertebaran dalam budaya dan adat istiadat negeri ini,” kesan Hensel.

Perkenalan Hensel dengan risalah Muhammad SAW ini sebenarnya sudah di mulai sejak dia duduk di bangku perkuliahan. Saat itu, dia merasa Islam terlalu berbeda, kendati dia tidak pernah memiliki pengalaman buruk dengan Islam atau pemeluknya.

Islam akan membuatnya dipandang rendah di tengah masyarakat dan membawa perubahan gaya hidup yang terlalu besar.  Ajaran Islam tampak jauh lebih ketat dibandingkan gaya hidup yang dia praktikkan. “Saya belajar banyak tentang agama di universitas. Saya menjalin interaksi dengan Muslim juga di universitas,” tuturnya.

Persentuhannya dengan Islam berlanjut di Tunisia, Dubai, Bahrain, Oman, dan seluruh negara Teluk. “Tapi, tidak ada yang benar-benar menarik perhatian sampai saya membaca sebuah buku karya seorang penulis asal Iowa,” ungkap Hensel.

Penulis yang dimaksud Hensel adalah Bill Bryton. Dia menulis sebuah buku yang cukup impresif berjudul, A Short Histoty of Nearly Everything (2003). Buku itu merangkum seluruh ilmu pengetahuan yang berhasil diketahui umat manusia dari awal kehidupan hingga saat ini. Itu sebuah buku besar, sekitar 800 halaman atau lebih. Bryton menulis buku itu lantaran tidak puas terhadap pengetahuannya sendiri.

Ada beberapa informasi yang kurang tepat, tapi secara umum sangat baik. Pada setiap akhir bab, penulis menambahi catatan, “Tapi, ini kurang lima persen dari informasi yang sebenarnya di luar sana.”Setelah membaca buku itu, Hensel berpikir,  “Wow! Sungguh menakjubkan, manusia benar-benar tahu banyak informasi.” Perhatian pria itu tersita pada satu persoalan.

Dia terpesona betapa Tuhan melakukan segalanya bagi manusia. Ilmu Tuhan sangat luas, meliputi langit dan bumi. Manusia bahkan tidak akan pernah bisa meniru atau mempelajari seluruh apa yang Dia berikan. Buku itu seolah membuka simpul rasa ingin tahu di benak Hensel.

 

Republika Online