Pengertian Mubazir dalam Islam

Berikut ini adalah penjelasan mengenai pengertian mubazir dalam Islam serta klasifikasinya. Selama ini yang umumnya kita pahami tentang tabdzir adalah menggunakan harta secara berlebihan dan melewati batas. Padahal, masih ada batasan yang perlu ditambahkan di dalam mendefinisikan tabdzir, sehingga ada keluasan makna dalam definisi tabdzir itu sendiri. 

Seperti menambah batasan definisi tersebut dengan “menggunakan segala sesuatu dalam kebatilan”. Dikatakan bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah mendefinisikan tabdzir dengan menggunakan sesuatu tanpa tujuan kebenaran. 

Sehingga dari definisi di atas dapat dipahami bahwa menggunakan segala sesuatu di luar tujuan kebenaran itu adalah perilaku  mubazir. Sekalipun hal tersebut tidak melampaui batas. Karena segala nikmat Allah Swt yang digunakan untuk selain ridhanya merupakan perilaku menyia-nyiakan sesuatu yang itu memang sudah dilarang.

 Sehingga dari luasnya cakupan makna definisi tersebut maka perilaku mubazir tidak melulu soal membelanjakan harta diluar batas, karena ada yang menggunakan harta di luar batas untuk kebaikan dan itu dibenarkan, seperti apa yang dilakukan oleh para sahabat di zaman awal perjuangan dakwah Islam. 

Selain itu, memang ada penjelasan dari Allah Swt bahwa perilaku mubazir adalah tipu daya setan. Sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al-Qur`an surat al-Isra ayat 27;

اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

Artinya; “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra ayat 27).

Tiga Klasifikasi Tabdzir

Pertama, tabdzir harta. Hal ini sebagaimana yang banyak dipahami oleh kebanyakan umat muslim bahwa tabdzir adalah menyia-nyiakan harta. Larangan menyia-nyiakan hart aini sudah ditegaskan oleh Allah di dalam surat Al-Isra ayat 26;

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا

Artinya; “Janganlah menghamburkan hartamu dengan boros.” (QS. Al-Isra ayat 26).

Kedua, tabdzir kesehatan. Nikmat kesehatan sama juga seperti nikmat lainnya yang biasanya akan terasa keberadaanya ketika sudah tiada. Dan acap kali tak sedikit orang menyia-nyiakan nikmat sehat ini dengan melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat di saat dalam kondisi sehat, sedangkan setelah mengalami kondisi sakit baru merasakan penyesalan atas lalainya diri di waktu sehat. 

Rasulullah Saw bersabda dalam salah satu hadist riwayat Imam Bukhari; “Ada dua nikmat dimana manusia banyak tertipu yaitu nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang.” (HR. Imam Bukhari).

Ketiga, tabdzir waktu. Kesalahan ini juga banyak terjadi pada manusia. Hal ini banyak terjadi kepada kawula muda, mereka cenderung menggunakan waktu-waktunya dengan melakukan yang tidak mendatangkan manfaat.  Sehingga ketika sudah di masa tua mereka merasakan penyesalan atas waktu muda yang tak digunakan untuk hal kebaikan.

Dikatakan di dalam kitab Fathul Qadir; “Barangsiapa yang menggunakan waktu luang dan kesehatan dalam ketaatan kepada Allah maka ia akan dapat kesenangan dan barangsiapa yang menggunakannya di dalam kemaksiatan kepada Allah maka ia tertipu. Kerena setelah waktu luang aka nada waktu sibuk dan setelah kesehatan aka nada waktu sakit.”

Demikian penjelasan pengertian mubazir dalam Islam dan klasifikasinya. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Daripada Mubazir, Bolehkah Mengambil Sisa Makanan di Kafe atau Restauran?

Hukum Mengambil Sisa Makanan di Kafe atau Restauran

Assalamualaikum Ustadz. Saya sering melihat orang di kafe tidak menghabiskan makanan dan minumannya, lalu ia pergi tak kembali, apa hukumnya jika saya mengambil lalu mengonsumsinya dgn alasan agar tidak mubazir?

Jawaban:

Wa’alaykumussalaam wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Alhamdulillah wahdah, wa-sh sholaatu wa-s salaamu alaa man laa nabiyya ba’dah, amma ba’du…

Saudaraku penanya, semoga Allah –subhaanahu wa ta’ala– merahmati dan membalas anda dengan kebaikan, dikarenakan semangat anda mencegah terjadinya tabdziir (penyia-nyiaan harta) yang pelakunya disebut dengan mubazir.

Allah –ta’ala– berfirman:

﴿وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا

إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا﴾

[(26) Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (bersikap mubazir)]

([27) Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan. Dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.] (QS. Al-Isra’ : 26-27)

Adapun tindakan anda memakan makanan yang sudah pasti akan dibuang, baik oleh pemiliknya atau pemilik kafe, maka dibolehkan/mubah.

Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Mardawi Al-Hanbali (885H) bahwa barang-barang yang ditinggalkan oleh si pemilik karena ia sudah tidak menginginkannya, maka ia dapat dimiliki oleh siapa pun yang menemukannya. (Al-Inshaf : 6/382)

Syaikh Al-Utsaimin (1421H) ketika membagi jenis-jenis barang temuan, Beliau menyebutkan di antaranya adalah:

أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ صَاحِبَهُ تَرَكَهُ رَغْبَةً عَنْهُ فَهذَا لِوَاجِدِهِ…

“(jenis pertama) Jika yang menemukan tahu bahwa barang tersebut ditinggalkan oleh si pemilik lantaran ia sudah tidak menginginkannya lagi, maka barang tersebut menjadi milik yang menemukannya…” (Asy-Syarh Al-Mumti’ : 10/360)

Terlebih jika tindakan anda memakan atau mengambil makanan tersebut untuk diberikan kepada orang lain atau hewan, disertai niat mencegah terjadinya perbuatan tabdzir, insyaa Allah anda akan meraih pahala untuk niat tersebut.

Syaikh Ibn Baz (1420H) mengatakan:

“Kami anjurkan agar sisa-sisa makanan, baik berupa daging, roti, ataupun selainnya, agar ditempatkan pada kotak-kotak khusus, yang kemudian petugas berwenang meletakkannya pada tempat khusus agar dapat diambil oleh hewan-hewan atau siapa pun yang membutuhkannya untuk memberi pakan hewan-hewannya, jangan dibiarkan begitu saja dibuang bersama hal-hal yang najis…” (binbaz.org.sa)

Wallaahu a’lam, wa shallallaahu alaa nabiyyinaa wa sallam.

Dijawab oleh Ustadz Ustadz Muhammad Afif Naufaldi (Mahasiswa Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah)

Read more https://konsultasisyariah.com/35408-daripada-mubazir-bolehkah-mengambil-sisa-makanan-di-kafe-atau-restauran.html

Menakar Belanja yang Berlebihan

Berbelanja ( shopping) adalah aktivitas yang ditunggutunggu oleh kebanyakan orang, terutama kaum Hawa. Kala berbelanja, tak sedikit rupiah yang digelontorkan untuk membeli barang yang diinginkan. Tak jarang, hingga menghabiskan dana dan menimbulkan kesan berlebih-lebihan.

Akibat ‘virus’ berbelanja yang kelewat batas, tak sedikit dari mereka yang terpaksa terlilit utang kartu kredit. Bagaimana Islam memandang hukum berbelanja dengan gambaran kasus di atas, alias berlebih-lebihan dalam berbelanja? Bolehkah Muslimah membelanjakan hartanya sedemikian rupa?

Syekh Yusuf Al Qaradhawi, dalam laman resminya menyebutkan sikap ‘rakus’ berbelanja menghabiskan uang, sangat dikecam dalam Islam. Hukumnya pun haram dilakukan. Mes ki pun uang tersebut adalah hasil jerih payahnya sendiri. Konsep kepemilikan harta yang berlaku dalam Islam, pada dasarnya uang yang dimiliki bukanlah kepunyaan pribadi secara mutlak.

Harta itu hanya dititipkan kepada yang bersangkutan. Ada hak orang lain di sebagian harta itu. Karena itu, ada hukum pemblokiran dana bagi mereka yang belum dapat mengelola keuangan. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS An Nisaa’ [4] : 5).

Qaradhawi yang menjabat ketua Perhimpunan Ulama se-Dunia itu mengatakan bukan berarti Islam melarang berbelanja. Tetapi, yang ditekankan ialah pentingnya prinsip keseimbangan. Artinya, berbelanja boleh-bo leh saja, tetapi tetap tidak menghambur- hamburkan uang. Di sisi lain, ke seimbangan itu juga melarang sikap ter lalu irit hingga menyulitkan diri sendiri.

Apakah takaran belanja yang berlebihan? Menurut Qaradhawi yang memperoleh gelar doktor di Univer sitas Al Azhar, Kairo, Mesir, itu ukuran nya ialah pengalokasian dana untuk membeli barang yang terlampau me wah dan kurang dari segi peruntuk kannya. Misalnya saja berbelanja wa dah atau aksesori berbahan dasar emas, perak, intan, dan permata hanya untuk keperluan perabotan rumah.

Qaradhawi pun lantas mengutip pendapat para bijak yang mengatakan keutamaan itu akan melimpah berada di antara sikap berlebih-lebihan dan kikir. Belanja berlebihan termasuk kate gori tabzir yang dilarang .Sedangkan terlalu mengirit adalah kikir. Tidak ter lalu boros dan tidak pula irit adalah keutamaan.

Inilah bedanya Islam dengan dua agama sebelumnya. Risalah Yahudi menitikberatkan pada kekakuan dan kekasaran hidup. Sedangkan Nasrani terlampau memberikan kelonggaran. Ajaran Islam berada di tengah-tengah. Syekh Thahir bin Asyur mencoba mengungkapkan dampak dari sikap boros berbelanja. Menurut dia, selain tindakan itu tidak disukai oleh Allah SWT, berlebihan saat berbelanja bisa mendorong seseorang mendapakan rezeki dengan cara apa pun, termasuk menempuh jalan haram.

Mengapa demikian? Karena menurutnya, orang yang boros akan susah hidupnya. Dana yang ia miliki tidak akan pernah cukup. Ia pun tak segan untuk menggali lubang berutang sanasini. Maka itu, solusi jangka pendek baginya tak lain ialah memperoleh uang dengan cepat dan jalan pintas.

 

REPUBLIKA