Bolehkah Berdagang Sambil Berhaji?

Berhaji bagi yang mampu melaksanakannya adalah kewajiban yang ditentukan agama. Namun bolehkah kita berhaji sambil berniaga atau berdagang?

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau menceritakan tentang Ukazh, Majinnah, Dzul Majaz dahulu merupakan pasar-pasar di masa jahiliah. Dan saat Islam datang, para pedagangnya merasa berdosa jika melakukan perniagaan dalam musim-musim haji.

Untuk itu, mereka pun bertanya kepada Rasulullah SAW. Rasul tidak langsung menjawab, maka turunlah firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 198:

“Laysa alaikum junahun an tabtaghu fadhlan min Rabbikum. Fa idza afadhtum min arafatin fadzkurullaha indal-masy’aril harami, Wadzkuruhu kama hadakum wa in kuntum min qablihi lamina-dholin,”.

Yang artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikir kepada Allah di Masya’aril Haram. Dan berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana yang ditujukanNya kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat,”.

Dalam kitab Asbabun Nuzul karya Imam As-Suyuthi dijelaskan, seseorang berkata pada Ibnu Umar tentang boleh tidaknya menyewakan tanah pada waktu yang sama dalam berhaji. Mendengar hal itu, Ibnu Umar pun menjelaskan.

Dia berkata: “Telah datang seseorang kepada Nabi SAW dan bertanya hal yang sedang engkau tanyakan kepadaku sekarang. Tetapi Rasulullah SAW tidak langsung menjawab. Hingga turun Jibril menyampaikan kepadanya perihal ayat (Al-Baqarah ayat 198).
Bahwa sejatinya, tidak ada dosa untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan dari Tuhanmu). Kemudian, kata Ibnu Umar, Rasulullah SAW memanggil orang yang bertanya padanya itu dan bersabda: “Kalian dapat menunaikan haji,”.

IHRAM

Siapakah Mukimin Jawi?

Makkah dan Madinah sebagai dua kota Rasulullah SAW tentu menarik perhatian umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk dikunjungi. Keberadaan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah  adalah keistimewaan tersendiri.

Bersama dengan Masjid Al Aqsa di Palestina, dua masjid tersebut adalah masjid yang dikhususkan sebagai tujuan ziarah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah pelana itu diikat—untuk melakukan perjalanan—kecuali ketiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul (Nabawi) dan Masjid Al Aqsa.” (HR Bukhari Muslim).

Makkah juga menjadi tempat tujuan ibadah haji dan umrah. Begitu juga Madinah, tempat Rasulullah SAW dimakamkan. Jutaan umat Islam dunia berkunjung di dua kota suci itu setiap tahunnya. Sampai-sampai ada yang menetapkan diri untuk tinggal lebih lama di kota itu.

Para pendatang yang bermukim di Makkah dan Madinah pun berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Warga Indonesia yang tinggal dan beraktivitas di Makkah dan Madinah pun memiliki julukan tersendiri, yakni mukimin jawi.

Menurut Ensiklopedia Islam, mukimin jawi bukan hanya ditujukan bagi pendatang dari Indonesia, namun juga secara umum dari wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Brunei dan Mindanau. Mereka adalah orang Islam yang tinggal dalam kurun waktu beberapa lama di Makkah dan Madinah. Mereka berbaur dan memiliki aktivitas ekonomi dengan penduduk lokal.

Menurut catatan Lodovico de Varthema, seorang pengembara asal Bologna Italia, mukimin jawi sudah masuk ke Makkah sejak abad ke-16. Saat itu, ia menyamar sebagai Muslim agar bisa masuk Makkah. Dalam catatannya, mukimin jawi sudah masuk pada 1502.

Saat itu, kedatangan orang Melayu ke Makkah selain untuk beribadah haji juga untuk berdagang. Jumlah mukimin jawi meningkat setelah lancarnya transportasi dari Asia Tenggara ke Timur Tengah setelah digunakannya kapal api pada abad ke-18.

Para mukimin jawi di Makkah dan Madinah bisa dilihat dari ujung nama mereka yang bernuansa etnik nusantara. Gelar seperti as-Singkil (Singkil), al-Asi (Aceh), al-Minangkabawi (Minangkabau), al-Padani (Padang), al-Mandili (Mandailing), al-Palimbani (Palembang), al-Bantani (Banten) hingga al-Maqassari (Makassar).

Para mukimin jawi ini berkumpul sesuai dengan etnik kelompoknya. Pada abad ke-19, komposisi terbesar dari mukimin jawi adalah etnik Jawa. Banyak pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki hubungan  dengan ulama Jawi yang memperoleh pendidikan di Makkah dan Madinah.

Selain berdagang dan haji, banyak pemuda nusantara yang tinggal di Makkah benar-benar untuk menimba ilmu. Mereka mengikuti halaqah di Masjidil Haram. Tak sedikit dari mereka yang kembali ke Tanah Air menjadi ulama besar, seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.

Secara ekonomi, para mukimin jawi ini termasuk yang cukup mapan. Mereka mendapat kiriman rutin dari keluarga di Tanah Air selama menuntut ilmu. Selain itu, saat musim haji, mereka juga bekerja membantu para jamaah haji asal nusantara. Beberapa dari mereka juga melakukan badal haji dengan imbalan tertentu. Dari kerja saat musim haji ini mereka bisa menghidupi diri untuk setahun ke depan.

Ketika gerakan pan-Islamisme berkembang pada akhir abad ke-19, dampaknya turut memengaruhi para mukimin jawi. Pemerintah kolonial Belanda khawatir para mukimin jawi terkena paham Pan-Islamisme saat  kembali mengobarkan perlawanan. Belanda mulai mengetatkan perizinan bagi mereka yang akan pergi ke Makkah dan Madinah. Kedatangan para santri dari Makkah dan Madinah pun diperketat. Jamaah haji pun dibatasi.

Menginjak abad ke-20, motivasi orang-orang Indonesia datang ke Makkah dan Madinah pun mulai bergeser. Kemajuan ekonomi Arab Saudi membuat keberangkatan orang Melayu hanya untuk mencari nafkah. Para santri yang ingin menjadi ulama dan menimba ilmu di Makkah dan Madinah mulai berkurang. Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Arab Saudi juga memperketat visa belajar. Hanya yang ingin belajar di perguruan tinggi saja yang diberikan izin. Itu pun bagi yang mendapat beasiswa dari pemerintah.

Perluasan kompleks Masjidil Haram dari tahun ke tahun pun juga membuat permukiman para pendatang dari Melayu tergeser. Permukiman Jabal Abu Qubais yang terkenal sebagai tempat tinggal orang Indonesia  digusur dan menjadi bagian dari istana raja Arab Saudi. Para mukimin jawi yang tersisa pun tinggal berpencar-pencar.

 

IHRAM

Risiko Memakai Jasa Dorong Mukimin: Mahal, Ditelantarkan dan Berbahaya

Petugas Perlindungan Jemaah (Linjam) menangkap seorang mukimin yang dicurigai gerak-geriknya saat berada di pemondokan jemaah. Pria itu memakai baju ihram, memakai tas jemaah tahun 2016, namun gelang yang dipakai tahun 2012. Saat diperiksa, ada uang jutaan rupiah dan ribuan riyal di tasnya.

Diinterogasi petugas, pria tersebut bersumpah tak melakukan pencurian. Dia mengaku hanya menjadi pendorong bagi jemaah yang membutuhkan kursi roda untuk beribadah ke Masjidil Haram. Uang itu adalah hasilnya bekerja dan tasnya berasal dari teman. Dimintai identitas, pria tadi tak punya surat-surat apa pun di Saudi.

Ini adalah salah satu contoh kasus risiko menggunakan jasa mukimin di Saudi. Jemaah diimbau agar tak menggunakannya karena aktivitas para mukimin di Masjidil Haram sudah diintai petugas keamanan. Mereka juga menerapkan tarif yang mahal, sampai kerap dikeluhkan berbuat jahat pada jemaah.

Kepala Seksi Perlindungan Jemaah Wagirun Topan Tuwinangun menerangkan, kasus tenaga pendorong kursi roda tidak resmi yang ditangkap di Masjidil Haram masih terus terjadi. Akibatnya, jemaah yang menggunakan jasa mereka menjadi terlantar.

“Kami dari perlindungan jemaah merasa peduli dengan kejadian ini. Karenanya kita adakan patroli rutin di lingkungan-lingkungan pemondokan jemaah supaya tidak minta tenaga pendorong dari mukimin,” kata Wagirun.

Foto: Rachmadin Ismail/detikcom

Menurutnya, menggunakan jasa mukimin untuk mendorong kursi roda saat tawaf atau sai risikonya besar. Apalagi, aparat Saudi di Masjidil Haram terus memperketat pengamanan sehingga potensi pendorong kursi roda tidak resmi ditangkap lebih besar. “Saya yakin pasti ditangkap kalau mukimin. Bahkan pendorong wanita, mereka bisa tahu. Karena intel-nya sangat banyak di Haram. CCTV saja ada 2000 an,” tuturnya.

Jika tertangkap, lanjut Wagirun, jemaah tentu menjadi pihak yang dirugikan karena terlantar. Petugas juga harus menangani setidaknya dua persoalan sekaligus, terlebih jika jemaah baru menjalani umrah wajib. Selain mengamankan jemaah secara fisik, petugas juga harus membantu jemaah menyelesaikan umrah wajibnya.

Wagirun mengaku pihaknya akan memperketat pengawasan agar kasus jemaah terlantar karena pendorong kursinya tertangkap aparat Masjidil Haram, tidak terulang. Rencana pengamanan sudah dibuat sejak dari pemondokan, jalanan, dan Masjidil Haram.

“Di pemondokan sudah kita gelar semua. Sekarang sistemnya terpadu, jadi semua petugas merupakan unsur linjam. Kita harapkan seperti itu, makanya di hotel sudah ada yang nempel di situ,” kataya.

“Secara khusus, linjam memperkuat sektor dengan patroli 24 jam, tErutama waktu malam, ketika teman-teman yang nempel di hotel mundur, kita yang aktif melakukan patroli,” tambahnya.

Jemaah juga diminta untuk mewaspadai modus yang digunakan pada pendorong kursi roda tidak resmi. Misalnya, agar tidak diketahui petugas, pelaku sengaja menggunakan kain ihram serta aksesoris gelang dan tas jamaah. Wagimun mengimbau jemaah menggunakan tenaga pendorong resmi yang sudah disiapkan pemerintah Saudi. Selain aman, biayanya juga jauh lebih murah.

Tarif yang biasa dikenakan para mukimin pada jemaah untuk tawaf dan sai berkisar di angka 500-600 riyal. Padahal memakai jasa pendorong resmi hanya 200 riyal untuk dua aktivitas ibadah tersebut.

sumber: Detikcom