Mungkinkah Ulama Menjadi Teroris? Inilah Kriteria Ulama yang Sebenarnya

Sebelum pertanyaan ini dijawab, lebih dulu harus tahu definisi ulama. Ulama secara etimologi merupakan bentuk jamak (plural) dari isim fa’il ‘aalim dari akar akata ‘ilmu yang berarti pengetahuan. ‘Aalim artinya orang yang berpengetahuan. Dengan demikian, ulama salah orang-orang yang memiliki pengetahuan. Dari makna bahasa ini maka semua orang yang pintar dalam disiplin ilmu apa saja disebut ulama. Namun, menurut istilah ulama kemudian lebih spesifik pada mereka yang pintar ilmu agama beserta pengamalannya.

Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddinnya menjelaskan, ulama adalah orang-orang yang tekun mengerjakan ibadah, Zuhud, menguasai ilmu akhirat, mengerti kemaslahatan umat (ilmu dunia), dan mempergunakan ilmunya untuk mengabdi kepada Allah.

Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Ajibah, ulama adalah orang-orang yang pada dirinya melekat tiga karakter sekaligus. Yakni, ‘alim atau menguasai ilmu agama, ‘abid atau ahli ibadah dan ‘arif yang berarti meneladani akhlak Rasulullah, seperti zuhud (tidak memiliki ketergantungan kepada agama), wara’ (menjaga kehormatannya), hilm (toleran dan lapang hati) dan mahabbah (cinta kepada Allah dan kepada semua yang dicintai-Nya).

Dengan demikian, yang disebut ulama adalah mereka yang memahami ilmu keagamaan sampai ke dasarnya yang paling dalam, bukan mereka yang riuh dipermukaan. Orang-orang seperti ini yang disebut “Al Ulama Waratsatul Anbiya”.

Mungkinkah ulama menjadi teroris?

Karena ulama adalah orang-orang yang berpengetahuan mendalam terhadap ilmu agama, maka seluruh tindakannya didasarkan kepada al Qur’an dan hadis dengan pembacaan yang syamil dan komprehensif.

Dalam konteks keragaman; agama, suku, etnis dan golongan, ulama pasti mendasarkan pada dua sumber hukum pokok dalam Islam yakni al Qur’an dan hadis.

Titah-Nya, “Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa semua manusia hingga mereka menjadi orang-orang beriman semua?”. (QS. Yunus: 99).

“Dan tidaklah kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta”. (QS. al Anbiya: 197).

Kalau begitu, umat Islam tidak perlu berdakwah? Tidak demikian. Justru tidak ada yang mampu menyamai ketulusan dan semangat dakwah Nabi. Amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh Nabi tidak ada yang dapat membandingi, tetapi beliau tidak menggunakan cara-cara yang mungkar. Rasulullah selalu mendahulukan akhlak mulia dalam setiap dakwahnya. Bukan dengan kekerasan dan intimidasi. Justru karena itu, beliau sukses memikat manusia untuk memeluk agama Islam.

Ulama pewaris Nabi juga begitu. Setiap langkah dakwahnya selalu meniru Nabi. Mengedepankan keramahan, toleransi dan kearifan. Latar belakang penguasaan ilmu agama yang baik menjadi modal bagaimana cara berdakwah yang memang dituntunkan oleh Baginda Nabi. Tidak mencaci, serta ramah. Beda dengan penganut paham radikalisme yang selalu menuding pihak lain dalam posisi bersalah. Mereka melakukan justifikasi kebenaran yang dipahami sebagai kebenaran absolut. Padahal, mereka tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang baik.

Sampai disini telah jelas, ulama sejati tidak mungkin melakukan tindakan terorisme. Kemapanan ilmu agama yang dimiliki menjernihkan pemahaman mereka tentang ajaran Islam yang sangat membenci radikalisme dan terorisme karena memang bukan ajaran Islam. Maka, kalau baru-baru ini ada anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditangkap karena kasus terorisme, sejatinya ia adalah oknum yang disusupkan oleh kalangan kaum radikal ke tubuh MUI supaya tujuan jahat mereka lebih mudah untuk direalisasikan.

ISLAM KAFFAH