Apakah Muntah Menyebabkan Batalnya Puasa?

Muntah yang di luar dari kesengajaan, tidaklah membatalkan puasa

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang muntah ketika berpuasa. Bisa karena kondisi kesehatannya yang terganggu, karena hamil, ataupun mabuk perjalanan. Sedangkan arti puasa sendiri adalah menahan dari hal-hal yang menyebabkan batalnya puasa. Seperti tidak makan dan minum, tidak memasukkan sesuatu dengan sengaja ke tubuh manusia.

Lalu, dalam kondisi puasa tersebut, apakah muntah juga termasuk yang membatalkan puasa?

Dikutip dari buku Pembatal Puasa Ramadhan dan Konsekuensinya karya Isnan Ansory menyebutkan, ulama sepakat bahwa muntah yang di luar dari kesengajaan, tidaklah membatalkan puasa. Apakah karena sebab sakit, mual, pusing atau karena naik kendaraan lalu mabuk dan muntah.

Hanya saja ulama berbeda pendapat, apabila muntah dilakukan karena terdapat unsur kesengajaan. Seperti, jika seseorang yang tengah berpuasa lalu memasukkan jarinya ke dalam tenggorokan, sehingga mengakibatkan dirinya muntah.

Apakah hal tersebut membatalkan puasanya atau tidak, menurut mayoritas ulama, puasa seseorang itu batal. Ulama empat mazhab sepakat, bahwa muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa.

Bahkan imam Ibnu al-Munzir menilai bahwa perkara ini telah pada tahap ijma’. Sebagaimana, umumnya mereka juga berpendapat bahwa, kewajiban yang dilakukan hanyalah dengan mengqadha’ puasanya.

Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang dikalahkan oleh muntahnya (keluar tanpa kehendaknya), tidak wajib mengqadha’ (puasanya tetap sah), tetapi siapapun muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha (puasanya batal).” (HR. Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim)

Mazhab Kedua mengatakan, puasa seseorang tidak batal. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian ulama sahabat, tabi’in, dan ulama lainnya seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ikrimah, Rabi’ah dan al-Hadi, bahwa mereka berpendapat muntah yang disengaja tidaklah membatalkan puasa.

Dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang tidak membuat batal orang yang berpuasa: berbekam, muntah dan mimpi (hingga keluar mani).” (HR. Tirmizi dan Baihaqi)

Hanya saja, menurut jumhur ulama, hadits tersebut dinilai dhaif, selain itu, juga masih bermakna umum. Di mana hadits ini tidak menyebutkan secara spesifik apakah muntah yang dimaksud adalah muntah dengan sengaja atau tidak. Dan karenanya, dinilai lemah untuk menjadi hadits yang dipertentangkan dengan hadits riwayat Abu Hurairah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Muntah itu Najis

Ini penjelasan tentang najisnya muntah. Dan ini bahkan jadi pendapat kebanyakan ulama.

Di antara dalil yang disampaikan Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla (1:191) adalah hadits,

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِه

“Orang yang meminta kembali hadiahnya seperti anjing muntah lalu menelan muntahannya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 2589 dan Muslim, no. 1622)

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,

وَالْقَيْءُ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ حَرَامٌ يَجِبُ اجْتِنَابُهُ

“Muntah dari seorang muslim maupun kafir, dihukumi haram dan wajib dijauhi.” (Al-Muhalla, 1:191)

Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (34:85) disebutkan bahwa al-qai’ (muntah) adalah makanan yang keluar dari dalam perut setelah masuk di dalamnya.

Muntah itu ada dua macam:

Macam pertama: Yang keluar dari perut berubah, tidak lagi seperti makanan (saat dimasukkan), yaitu berubah dari sisi rasa, warna, atau bau.

Muntah jenis ini najis sebagaimana pendapat dari kebanyakan ulama salaf dan khalaf, inilah pendapat dari empat ulama madzhab, juga termasuk pendapat ulama Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

Alasannya adalah qiyas (analogi) dengan kotoran. Karena muntah itu adalah makanan yang sudah berubah dalam perut, hingga baunya tidak enak dan bentuknya sudah rusak.

Az-Zarkasyi berkata bahwa yang keluar dari manusia itu ada tiga macam:

  1. Suci, tanpa ada beda pendapat di dalamnya: air mata, keringat, air liur, ingus, ludah.
  2. Najis, tanpa ada beda pendapat di dalamnya: kencing, kotoran manusia, wadi, darah dan yang semisal, dan muntah.
  3. Yang masih diperselisihkan suci ataukah najis: mani, madzi. Lihat Syarh Az-Zarkasyi ‘ala Mukhtashar Al-Kharaqi (2:93).

Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Saudi Arabia) menyatakan bahwa muntah itu najis, baik dari anak-anak maupun orang dewasa karena muntah itu adalah makanan yang sudah mengalami perubahan dalam perut, hingga menjadi rusak. Hukumnya disamakan dengan kotoran dan darah. Jika muntah tadi terkena pakaian atau selainnya, maka wajib dicucii dengan air, hingga hilang, dan tempat yang terkena menjadi bersih. Demikian Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (4:193).

Macam kedua: Muntah yang keluar dan keadaannya sama dengan makanan dan tidak berubah.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Najisnya muntah itu telah disepakati, baik itu muntah dari manusia maupun hewan. Juga termasuk najis, muntah yang berubah atau tidak berubah dari bentuk makanan. Ada juga yang berpendapat bahwa jika keluar tidak berubah dari bentuk makanan, tetap dianggap suci, inilah pendapat dari madzhab Imam Malik.” Demikian disebutkan dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (2:551).

Masih dimaafkan untuk muntah yang sedikit

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang muntah apakah mempengaruhi sucinya pakaian ataukah tidak?

Syaikh rahimahullah menjawab, “Muntah yang sedikit dimaafkan, adapun muntah yang banyak sudah selayaknya dicuci. Karena kebanyakan ulama menganggap najisnya muntah dan disamakan dengan kencing. Sehingga jika muntah tadi mengenai pakaian atau badan, sudah sepatutnya dicuci. Adapun muntah yang sedikit, maka dimaafkan sebagaimana darah, nanah, dan najis yang sedikit dimaafkan. Permasalahan muntah ini berlaku pada orang orang dewasa maupun anak-anak, dihukumi sama.” (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 5:379)

Prof. Dr. Muhammad Al-Zuhailiy dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i mengatakan, “Mulut bayi yang tercampur dengan muntahnya ketika dia disusukan oleh ibunya termasuk najis yang dimaafkan.”

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21263-muntah-itu-najis.html