Mereguk Hikmah dari Musibah

Musibah meruntuhkan kesombongan dan keangkuhan manusia.

Allah telah berjanji bahwa setiap kesulitan ataupun musibah yang diberikan kepada seorang hamba, tak akan melebihi kapasitas kemampuan dari hamba yang bersangkutan tersebut. Bahkan ada kalanya, dari musibah muncul hikmah dan faedah yang dapat dipetik oleh setiap pribadi.

Syaikh Aidh Al-Qarni dalam kitabnya La Tahzan jilid 1 menjabarkan, sejatinya sebuah musibah mampu mengeluarkan nilai-nilai ubudiyah doa yang selama ini terpendam. Beliau menyebut, sesungguhnya Allah menurunkan ujian kepada seorang hamba yang saleh dari hamba-hambaNya. Dan kepada Malaikat, Allah berkata bahwa diturunkannya musibah serta ujian tersebut agar Allah mendengar suara doa dan permintaan dari manusia.

Di sisi lain, menurut beliau, diturunkannya musibah serta ujian dari Allah kepada manusia agar kesombongan dan keangkuhan yang kerap terpatri di jiwa manusia itu runtuh. Sebab, musibah dapat menggugah empati sesama manusia untuk saling merekatkan rasa cinta terhadap sesama. Tak hanya itu, manusia juga kerap kali saling mendoakan kepada yang sedang tertimpa musibah.

Sejatinya, musibah dapat membukakan mata mereka kepada hal yang lebih besar. Selama ini, menurut beliau, manusia hanya melihat hal-hal kecil jika dibandingkan dengan musibah lain yang lebih besar. Umumnya manusia menerima bahwa itu semua merupakan penebusan dosa dan kesalahan, sekaligus pahala dan ganjaran di sisi Allah.

Maka, beliau berpendapat, apabila setiap manusia menyadari bahwa semua musibah dan ujian adalah buat yang dapat dipetik dan dinikmati, maka sudah pasti manusia akan menghadapi musibah tersebut dengan senang dan tenang. Bukankah ketenangan merupakan representasi dari keimanan? Maka, mereguk hikmah dari musibah merupakan hal yang patut menjadi sikap yang perlu dilakukan setiap Muslim.

KHAZANAH REPUBLIKA


Bandingkan Musibahmu dengan yang Lebih Berat

BANYAK sekali pesan masuk yang belum saya jawab. Walaupun banyak, warna dari pesan itu, baik yang lewat WA, Messenger, SMS dan lainnya, adalah bermuara pada satu hal saja, yakni keluhan atas musibah dan derita yang dialaminya. Ada yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan keluarga, ini yang paling banyak, dan ada pula yang berkaitan dengan masalah sosial politik serta ada pula yang bersentuhan dengan dunia hati.

Tulisan kali ini adalah jawaban saya untuk semua pesan itu. Versi singkat jawaban saya: “Tetaplah bersyukur karena Anda masih lebih mujur ketimbang orang yang musibah atau ujiannya lebih besar dibandingkan dengan yang Anda alami.” Versi sedang dari jawaban saya: “Cobalah dengarkan berita yang bertebaran di sekeliling kita tentang orang yang terpuruk bisnisnya sampai berutang bermiliar-miliar, tentang orang yang ditinggal mati seluruh keluarganya karena bencana, tentang orang yang sakit seluruh badannya sekaligus sakit hatinya karena ditinggal orang yang dicinta. Lalu cobalah menghitung diri, jangan-jangan kita memang tengah jauh dari Tuhan atau bahkan telah lama memusuhiNya sehingga pantas mendapat teguran. Renungkanlah.”

Jawaban saya dalam versi yang agak panjang adalah bahwa sesungguhnya musibah kita itu tidak ada seberapanya dibandingkan dengan musibah atau ujian yang dijalani para manusia pilihan, mulai dari para Rasul, para Nabi sampai para ulama nan shalih. Beliau diuji bukan karena kesalahan mereka, namun sebagai cermin dan tauladan bagi kita semua bahwa kadang musibah adalah salah satu cara Allah menjadikan hambaNya sebagai manusia pilihan. Jangan-jangan, musibah yang menimpa kitapun adalah cara Allah untuk mengangkat derajat kita. Tetaplah bersyukur.

Bagi yang sedang sakit, bacalah kisah Nabi Ayyub yang berpenyakit sangat parah, yang dalam beberapa kisah tafsir disebutkan sebagai tertimpa segala jenis penyakit selain penyakit hati. Bagi yang sedang terusir dari kampung halaman, bacalah kisah Nabi Musa yang harus pergi dan tetap dikejar serta diancam bunuh. Bagi yang dihina dan dicaci serta diberitakan tak benar, cobalah membaca kisah Nabi Muhammad yang tetap sabar di tengah gempuran hal tak nyaman dalam masa panjang.

Bagi yang sedang dijauhi banyak orang dan dianggap sebagai orang gila dan tak normal, bacalah kisah Nabi Nuh yang dijauhi kaumnya dan bahkan dikhianati istri dan anaknya. Bagi yang sedang diberi ujian sebagai korban fitnah, iri hati dan dengki, mengapa tak membaca kisah Nabi Yusuf yang dikukuhkan Allah sebagai kisah terindah. Lalu, bandingkanlah musibah kita dengan manusia-manusia pilihan itu. Masihkan akan mengeluh? Bersyukurlah.

Dunia adalah ladang ujian, jika kita lulus maka kelak kita akan mendapatkan anugerah besar. Sebagai ladang ujian, selalu saja ada yang tak nyaman. Kenyamanan abadi adalah nanti, mulai saat kita injakkan sebelah kaki kita di taman surga. Kini, bersabarlah dan tetaplah bersyukur karena Allah sangat senang dan sayang pada hambaNya yang senantiasa bersabar dan bersyukur. Selalulah melihat segala yang terjadi dari sisi positifnya.

Seorang pemikir cerdas berwajah jelek sangat bersyukur sekali mendapatkan istri cantik walaupun bodoh. Bukan bodohnya yang dibacanya, namun cantiknya. Pun istrinya, melihat cerdasnya dan bukan jeleknya. Mereka berdua bersyukur dan berbahagia menikmati takdir, sambil berharap anaknya kelak cantik atau ganteng nurun wajah ibunya serta cerdas pandai nurun otak bapaknya. Sungguh adalah cara bersyukur yang baik.

Lahirlah anak yang ditunggu-tunggunya yang saat tumbuh besar nyata sekali bahwa anak itu adalah keturunan sepasang suam istri itu; wajahnya jelek nurun dari bapaknya dan otaknya bodoh seperti ibunya. Walau berbeda dengan yang diharapkannya, apakah sepasang suami istri itu sedih menangis? Ternyata tidak. Keduanya tertawa dan bersyukur bahagia. Tahukah, mengapa? Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Mengubah Musibah Menjadi Berkah

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA yang telah men ceritakan bahwa anak Abu Thalhah RA menderita sakit keras. Ketika Abu Thalhah keluar rumah, anaknya itu meninggal dunia. Ketika Abu Thalhah pulang, ia bertanya kepada istrinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anakku?” Ummu Sulaim, ibu si anak tersebut menjawab, “Ke ada annya sekarang sangat tenang.”

Selanjutnya, Ummu Sulaim menyajikan makan malam kepada suaminya, dan suaminya menyantapnya. Sesudah itu, ia melakukan hubungan suami istri dengannya. Setelah se galanya usai, Ummu Sulaim berkata kepada suaminya, “Anak kita sudah dikebumikan.”Singkatnya, pada pagi harinya, Abu Thalhah datang kepa da Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu kepadanya, ma ka Rasulullah bertanya, “Apakah tadi malam kalian berse tubuh?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Rasulullah berdoa, “Ya Allah, berkatilah keduanya.”

Beberapa waktu kemudian, Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki dan Abu Thalhah berkata kepadanya, “Aku akan membawanya kepada Nabi SAW.” Dan Abu Thalhah membawa beberapa buah biji kurma. Nabi SAW bertanya, “Adakah dibawakan sesuatu untuknya?” Abu Thalhah menjawab, “Ya, beberapa butir kurma.”

Nabi SAW pun mengambil kurma itu dan mengunyahnya. Sesudah itu, Nabi mengeluarkan lagi kurma tersebut dari mulutnya dan memasukkannya ke dalam mulut bayi untuk mentahniahnya dan memberinya nama Abdullah.

Kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita, kaum Muslimin. Musibah yang menimpa bila disikapi dengan bijak dan ikhlas maka akan mendatangkan keberkahan dan kebahagiaan hidup di dunia, dan di akhirat masuk surga. Karena ridha Allah kepada kita yang senantiasa ridha dan ikhlas menerima setiap ujian yang ditimpakan kepada kita.

Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala bergantung besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha maka mereka akan mendapatkan keridhaan Allah. Dan siapa yang murka (tidak ridha) maka akan mendapatkan murka Allah,” (HR Tirmidzi).

Selain diberikan keberkahan hidup, bagi yang ridha dan ikhlas menerima ujian maka ditinggikan derajatnya. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, tapi tidak ada satu amal yang bisa mengantarkannya ke sana. Maka itu, Allah senantiasa mengujinya dengan sesuatu yang tidak disukainya sehingga dia bisa sampai pada kedudukan yang dikehendaki oleh Allah.” Semoga Allah memberikan kesabaran kepada kita menerima musibah yang terjadi, diberikan solusi dan jalan keluar. Sehingga, di balik musibah itu ada keberkahan dalam hidup. Aamin.

OLEH Imam Nur Suharno

Menangis dan Menceritakan Musibah Kepada Orang Lain

Salah satu tanda tinggi tauhid seseorang adalah menyandarkan diri kepada Allah. Allah adalah tempat paling pertama sebagai tempat ia mengadu semua permasalahannya, curhat dan bahkan menangis kepada Allah. Sebaliknya, salah satu tanda kurangnya tauhid seseorang adalah ia lupa kepada Allah. Ketika ada masalah, ia langsung mengadu kepada makhluk, mengadu kepada keluarga dan sahabat, bahkan menangis dan menceritakan masalahnya kepada keluarga dan sahabatnya.

Mengadu dan curhat kepada Allah pertama kali

Seorang hamba hendaknya memprioritaskan Allah dalam segala urusan, karena Allah adalah Rabbnya yang telah menciptakan dan memberikan segalanya. Ketika mendapatkan masalah dan musibah, hendaknya ia langsung mengadu kepada Allah pertama kali. Sebagaimana teladan dari para nabi dan orang shalih.

Nabi Ya’qub ‘alaihis salam ketika mendengar berita sangat menyedihkan, yaitu anak kesayangannya Nabi Yusuf diberitakan telah di makan oleh srigala. Beliau langsung mengadu kepada Allah dan berkata,

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (Yusuf : 86)

Demikian juga Nabi Ayyub ‘alaihis salam, yang sangat terkenal dengan cobaan yang sangat berat menimpa beliau dengan cobaan bertubi-tubi, ia sangat sabar dan mengadu kepada Allah. Allah berfirman,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia Amat taat (kepada Tuhan-nya)” (Shad : 44)

 

Orang yang bersabar dan tidak menceritakan masalah/musibah pada orang lain akan mendapatkan keutamaan yang besar. Allah berfirman dalam hadits qudsi,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِى الْمُؤْمِنَ فَلَمْ يَشْكُنِى إِلَى عُوَّادِهِ أَطْلَقْتُهُ مِنْ إِسَارِى ثُمَّ أَبْدَلْتُهُ لَحْمًا خَيْرًا مِنْ لَحْمِهِ وَدَمًا خَيْرًا مِنْ دَمِهِ ، ثُمَّ يَسْتَأْنِفُ الْعَمَلَ

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Jika Aku (Allah) memberikan cobaan (musibah) kepada hambaKu yang beriman sedang ia tidak mengeluh kepada orang yang mengunjunginya maka Aku akan melepaskannya dari tahananKu (penyakit) kemudian Aku gantikan dengan daging yang lebih baik dari dagingnya juga dengan darah yang lebih baik dari darahnya. Kemudian dia memulai amalnya (bagaikan bayi yang baru lahir).” [HR. Al Hakim, shahih]

Pertanyaan yang muncul, apakah benar-benar tidak boleh bagi seserorang untuk menceritakan musibahnya kepada orang lain secara mutlak? Jawabannya: boleh saja, asalkan ia menceritakan dalam keadaan tegar, memuji dan bersyukur kepada Allah serta dengan tujuan musyawarah dan untuk mencari solusi dari musibah yang sedang ia hadapi. Penting diperhatikan juga bahwa orang yang ia ceritakan itu adalah orang yang benar-benar bisa membantunya dalam masalah/musibah ini, bukan menceritakan musibah kepada semua orang.

Perharikan fatwa berikut, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya,

الأخت تقول في سؤالها أنا مريضة وأحيانا أبكي لما صارت إليه حالتي بعد مرضي فهل هذا البكاء معناه اعتراض على الله عز وجل وعدم الرضا بقضائه وهذا الفعل خارج عن إرادتي وكذلك هل التحدث مع المقربين عن المرض يدخل في ذلك ؟

Seorang wanita berkata: Aku sedang sakit dan kadang aku menangisi keadaanku ketika tertimpa penyakit. Apakah tangisan ini menunjukkan rasa tidak terima dan tidak ridha terhadap takdir Allah? Padahal perasaan sedih ini muncul begitu saja. Lalu apakah menceritakan keadaanku tersebut kepada teman-teman dekat juga termasuk sikap tidak ridha terhadap takdir?

Beliau menjawab:

لا حرج عليك في البكاء إذا كان بدمع العين فقط لا بصوت لقول النبي صلى الله عليه وسلم لما مات ابنه إبراهيم: ((العين تدمع والقلب يحزن ولا نقول إلا ما يرضي الرب وإنا لفراقك يا إبراهيم لمحزونون))، والأحاديث في هذا المعنى كثيرة ولا حرج عليك أيضا في إخبار الأقارب والأصدقاء بمرضك مع حمد الله وشكره والثناء عليه وسؤاله العافية وتعاطي الأسباب المباحة، نوصيك بالصبر والاحتساب وأبشري بالخير لقول الله سبحانه وتعالى: إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ[1]، ولقوله تعالى: وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ * الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ * أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ[2]، ولقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((لا يصيب المسلم هم ولا غم ولا نصب ولا وصب وهو المرض ولا أذى حتى الشوكة إلا كفر الله بها من خطاياه))، وقوله عليه الصلاة والسلام : ((من يرد الله به خيرا يصب منه)) نسأل الله أن يمن عليك بالشفاء والعافية وصلاح القلب والعمل إنه سميع مجيب

Anda boleh saja menangis, namun cukup dengan linangan air mata saja, jangan bersuara. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika anaknya, Ibrahim, meninggal,

العين تدمع والقلب يحزن ولا نقول إلا ما يرضي الرب وإنا لفراقك يا إبراهيم لمحزونون

Air mata berlinang dan hati bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. Dengan kepergianmu ini wahai Ibrahim, kami sangat bersedih.” (HR. Al Bukhari bab Al Jana’iz no 1241, Muslim bab Al Fadhail no.2315, Abu Daud bab Al Jana’iz no.3126, Ahmad 3/194)

Anda pun boleh mengabarkan teman dan sahabat anda tentang keadaan anda, namun dengan memuji Allah, bersyukur kepada Allah, dengan menyebutkan bahwa anda telah memohon kesembuhan kepada Allah dan telah menjalani upaya untuk sembuh yang mubah. Aku menasehatkan anda agar bersabar dan mengharap pahala dari Allah. Aku akan memberi anda kabar gembira, yaitu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Qs. Az Zumar: 10)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun“. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 156-158)

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

لا يصيب المسلم هم ولا غم ولا نصب ولا وصب( وهو المرض) ولا أذى حتى الشوكة إلا كفر الله بها من خطاياه

Seorang Muslim tertimpa kesedihan, kesusahan, penyakit, gangguan walau sekedar tertusuk duri, pasti Allah akan menjadikannya penghapus dosa-dosa yang ia miliki.” (HR. Al Bukhari bab Al Mardhi no.5318, Muslim bab Al Birr Was Shilah Wal Adab no.2573, At Tirmidzi bab Al Jana’iz no.966, Ahmad 3/19)

Juga sabda beliau,

من يرد الله به خيرا يصب منه

Jika Allah menginginkan kebaikan kepada seseorang, Allah akan memberinya cobaan.” (HR. Al Bukhari bab Al Mardhi no.5321, Ahmad 2/237, Malik dalam Al Muwatha, 1752)

Aku memohon kepada Allah semoga anda diberikan kesembuhan dan kesehatan, serta kebaikan lahir dan batin. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi mengabulkan doa.” [Majmu’ Fatawa 4/144]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44136-menangis-dan-menceritakan-musibah-kepada-orang-lain.html

Salah Menyikapi Musibah

SAUDARAKU, telah banyak terjadi ujian atau musibah yang menimpa banyak saudara kita. Tapi jika kita menanggapi kejadian atau musibah itu, tidak tersambung kepada Allah SWT, itu bisa jadi lebih buruk dari musibah. Karena yang paling bahaya dalam menyikapi sebuah musibah adalah jika kita menyikapinya tidak ingat kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman: “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun 64: Ayat 11)

Mari kita bantu saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah, mari kita bantu dengan doa dan bantuan materi. Jangan memanfaatkan keadaan untuk urusan pribadi atau kelompok, niatkanlah untuk membantu dan Lillahi Taala.

Semoga dengan kejadian kita bisa menanggapinya dengan baik dan harus jadi bahan perbaiki diri kita agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Dalam Musibah Allah Memberi Ketakwaan dan Istiqamah

Habib Geys Abdurrahman Assegaf mengatakan musibah gempa dan tsunami yang menimpa Sulawesi Tengah merupakan cara Allah SWT menyayangi umatnya. Dia mengatakan ketika Allah secara lahir memberikan musibah, pada hakikatnya Allah memberikan ketakwaan dan istiqamah pada umatnya.

“Bisa jadi secara zahir Allah memberikan bencana, tetapi pada akhirnya Allah memberikan ketaqwaan, memberikan istiqamah dalam kehidupan,” ucap Habib Geys dalam acara doa bersama untuk Palu dan Donggala di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Kamis (4/10).

Ia mengatakan, apabila secara lahir Allah memberikan kesehatan, keselamatan, rumah mewah, istri yang cantik, dan suami yang sukses, maka Allah sedang memberikan umat-Nya ujian, menghalangi mereka dari kesyukuran, keimanan, dan ketakutan pada azab Allah. “Sesunguhnya azab Allah berbanding lurus dengan amal yang dilakukan manusia,” kata Geys.

Ia juga menambahkan, orang-orang yang diberikan musibah bukan berarti mereka melakukan dosa. Tetapi sesungguhnya Allah menyayangi orang-orang yang sabar.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) KH Masdar Mas’udi mengatakan bencana yang melanda Sulawesi Tengah merupakan kehendak Allah SWT. Bencana tersebut telah ditetapkan Allah pasti yang terbaik bagi umat-Nya.

“Kita percaya tak ada sesuatu di dunia tanpa rencana Allah. Meskipun kita tidak tahu, apa yang ditetapkan pasti yang terbaik,” ujar Kiai Masdar

Ia mengajak masyarakat husnuzan (berbaik sangka) terhadap bencana yang menimpa Sulawesi Tengah. Ia meyakini akan ada hal baik di balik bencana tersebut. Menurut dia, bencana mempunyai sisi positif, baik bagi mereka yang tertimpa bencana maupun yang selamat.

Hikmah bagi yang terkena musibah adalah momentum untuk berhenti berbuat kesalahan. Sedangkan, bencana tersebut juga menjadi hikmah bagi yang selamat, yaitu agar manusia selalu waspada.

“Allah punya segala-galanya. Itu artinya kita setiap saat harus siap menghadapi kematian. Nggak tahu kita kapan akan tiba,” kata Kiai Masdar.

 

REPUBLIKA

Terapi Musibah

Terdapat ungkapan menarik yang tentunya telah mafhum, ad-dunya daar al-imtihan, dunia adalah arena ujian. Iman sejati justru berada dalam ujian. Lantas, mendidik nurani berbisik sebagaimana sajak Rendra, … hari ini dan esok, langit di luar langit di dalam, bencana dan keberuntungan sama saja.

Pesan moral dari sajak tersebut semestinya yang hadir dalam diri adalah kepasrahan yang tulus. Sebab, boleh jadi gelapnya musibah yang datang barangkali dapat memberikan pijar yang lebih terang dalam hidup.

Musibah hendaknya ditengarai sebagai jembatan yang mendatangkan keridhaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, Bahwasanya pahala itu ber gantung pada besarnya ujian bala, dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka kaum itu diuji nya terlebih dahulu, maka barang sia pa yang ridha mendapatkan ujian itu, maka mendapatkan keridhaan Allah, dan barang siapa yang benci, maka kemurkaan Allah baginya. (HR Tirmidzi).

Seseorang yang dirundung musibah, pada umumnya jiwa dan mental hidupnya menjadi rapuh. Oleh karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi seorang Muslim selain mengembalikan semua peristiwa kepada Allah sebagai sebuah takdir dari-Nya. Sebagaimana ungkapan yang sering kita serukan, innalillahi wainnailaihiraaji’un.

Secara eksplisit, sesungguhnya Allah telah memberikan terapi khusus bagi mukmin saat ditimpa musibah, sebagaimana firman-Nya, Hai orang- orang yang beriman, mintalah (pertolongan) kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al-Baqarah [2]:153).

Pertama, sabar dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan secara arif bijaksana. Seorang mukmin sejatinya menyadari bahwa hidup ini dan segalanya adalah hak mutlak Allah. Apa yang dimiliki, baik harta benda dan materi apa pun, hanyalah hak sekadar meminjam dari-Nya. Itu semua pada saatnya harus dikembalikan kepada-Nya. Bila semua yang kita miliki bukan milik kita, mengapa kita harus menangisi dan meratapi ketika semuanya lenyap dan hilang dari sisi kehidupam kita.

Sabar merupakan poros dan asas segala kemuliaan akhlak. Saat seseorang menaiki menara kebaikan dan keutamaan, maka sabar menjadi pondasinya. Zuhud, misalnya, merupakan bentuk sabar untuk tidak berfoya-foya meski di saat yang sama hidupnya bergelimang materi dan kekayaan. Qanaah atau merasa cukup dengan yang ada merupakan bentuk sabar dari segala keterbatasan yang ada walaupun di saat yang sama musibah menerpanya.

Kedua, shalat, secara generik berarti berdoa. Tipologi mukmin sejati, ia tidak pernah melepaskan segenap usahanya dengan berdoa yang terangkum indah dalam rangkaian shalat. Melepaskan diri dari belenggu musibah akan terasa indah manakala seseorang memasrahkan segala kehidupannya dalam untaian doa.

Shalat adalah serangkaian doa yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat juga merupakan representasi mikraj seorang mukmin dengan Allah SWT. Shalat adalah dialog istimewa dengan sang Khaliq. Melalui shalat, seorang mukmin dapat mencurahkan segala keluh kesahnya kepada sang pemilik kehidupan dan memohon pertolongan-Nya.

Tidak kurang lafal ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’indibaca 17 kali sehari-semalam dalam ritus shalat. Hanya Allah SWT satu-satunya yang berhak disembah dan sebaik- baiknya penolong dalam kehidupan.Shalat tidak hanya dipandang sebagai ungkapan rasa syukur saat mendapatkan rezeki yang berlimpah.

Shalat juga merupakan sarana memperingan penderitaan manakala beban hidup semakin berat. Di saat manusia dibelenggu rasa cemas, maka shalatlah yang membebaskannya. Pun di saat manusia diterpa musibah, maka shalat menjadi sumber tenaga, energi yang akan menguatkan diri dan imannya.

Orang yang dapat mengambil hikmah atas semua musibah, maka sejatinya dia adalah manusia yang tercerahkan.

Orang mukmin adalah orang yang tidak emosional saat mendapatkan musibah, pun tidak sombong tatkala mendapatkan anugerah. Tidak melekat pada kebahagiaan, tidak juga menolak pada kesedihan. Persis seperti bunga padma, di air tidak basah, di lumpur tidak kotor. Wallahua’lam.

OLEH AHMAD AGUS FITRIAWAN

 

Antara Bencana dan Hidayah

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS al-Baqarah [2]:155 ).

Setiap orang beriman pasti akan dicoba. Huruf lam pada ayat di atas disebut laamut taukid (lam untuk suatu yang pasti ). Jika laamut taukiddigunakan dalam bahasa Arab sehari-hari, hal itu sesuatu yang biasa. Namun, bila berasal dari Yang Maha Pencipta, hal itu sesuatu yang sangat luar biasa. Artinya, setiap orang yang meyakini syariat agama Islam, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya tidak akan luput dari musibah dan cobaan.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkomentar: “Bahwa Allah SWT akan mencoba hambanya terkadang dengan hal yang mengembirakan dan terkadang dengan kesusahan berupa rasa takut dan lapar, sedikit, bahkan hilangnya harta benda, meninggalnya para karib kerabat serta sawah ladang yang tidak mendatangkan hasil seperti biasanya.”

Ketika musibah menimpa kita dan saudara-saudara kita, maka ucapan yang seharusnya kita perbanyak adalah Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un(Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. Kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah).

”Barang siapa yang membaca istirjaa ketika ditimpa musibah, maka Allah akan mengalahkan musibahnya, memberikan balasan yang baik kepadanya dan menjadikan baginya ganti yang baik yang diridhainya.” (HR As Suyuthi dalam kitab Ad Durrul Mantsur).

Said bin Jubair berkata: “Sungguh umat ini telah dikaruniai satu ucapan yang belum pernah diberikan kepada para nabi dan umat-umat sebelumnya, yaitu istirjaa.”

Namun, semestinya bukan hanya lidah yang berucap. Lebih dari itu, hati dan seluruh jiwa raga kita harus benar-benar kembali kepada-Nya, meratapi kesalahan, mengakui dosa-dosa yang telah kita lakukan serta mengisi detik-detik hidup kita dengan amal saleh dan ketaatan.

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al Baqarah [2]:157 ). Al Muhtaduun (orang-orang yang mendapat petunjuk) merupakan derajat yang tidak sederhana dalam kacamata Alquran. Derajat ini biasanya diperuntukkan para nabi dan rasul. Akan tetapi, dalam ayat ini, ungkapan al muhtaduun diberikan bagi setiap orang yang mendapat musibah.

Modal mereka hanya satu, yaitu sabar. Menjadikan apa yang mereka peroleh sebagai sarana untuk memperoleh berkah, rahmat, dan hidayah Allah. Mereka tidak berkeluh kesah dengan derita yang mereka terima. Bagi mereka, seluruh peristiwa yang terjadi adalah yang terbaik bagi mereka.

“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sungguh setiap urusannya mengandung kebaikan. Jika ia ditimpa hal yang menyenangkan, maka ia bersyukur dan itu baik bagi dirinya, dan jika ia ditimpa musibah, ia bersabar dan itu juga baik bagi dirinya. Hal itu tidak dimiliki oleh siapa pun selain orang yang beriman (HR Muslim)”. Wallahu a’lam.

 

Oleh:  Abu Afifah Zulfiker

REPUBLIKA

Lima Fakta di Balik Mencekamnya Gempa

Beberapa hari lalu, Selasa (23/1/2018), Jakarta dan sekitarnya diguncang gempa. Orang-orang berhamburan ketakutan menyelamatkan diri. Namun ada

1. Media sosial memperbincangkan hal yang sama

Mereka berhenti melakukan ujaran kebencian, twitwar atau menyebarkan hoaks. Mereka saling menanyakan kondisi satu sama lain baik lewat tulisan, gambar maupun video.

2. Orang-orang yang berada di dalam bangunan berhamburan keluar

Mereka berkumpul di titik kumpul. Membuat yang tadinya jarang bertegur sapa menjadi saling tegur sapa. Yang tadinya marahan menjadi baikan.

3. “Simulasi” Hari Kiamat

Orang-orang berhamburan ketakutan. Berlari lintang pukang. Menuruni tangga dari sekian lantai. Tidak sedikit membawa apa yang seharusnya dibawa. Ponsel, barang berharga bahkan ada yang tidak mengenakan alas kaki.

Ini mengingatkan kita akan guncangan besar di Hari Kiamat, yang mana seorang ibu yang sedang menyusui bayinya lalai akan bayinya.

Dalam Surah Al-Waqiah yaitu surat khusus tentang hari kiamat. Surat ayat 4-6 ini berarti:

إِذَا رُجَّتِ الأرْضُ رَجًّا (٤) وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا (٥) فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا (٦)

“Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya” (4)

“Dan gunung-gunung dihancurkan seluluh-luluhnya” (5)

“Maka jadilah ia debu yang beterbangan” (6)

4. Mengakui Kemahakuasaan Allah

Kemahakuasaan Allah memang tidak diragukan lagi. Bukti-buktinya banyak di dunia ini. Satu di antaranya kemunculan gempa. Ini menjadi pelajaran bagi yang tidak mempercayai keberadaan Allah maupun meragukan kemahakuasaan Allah. Kalau sudah seperti ini, kita bisa berkaca bahwa kita tak layak untuk sombong. Tidak ada daya dan upaya selain pertolongan dari Allah SWT.

5. Merenung tentang dosa

Mengapa Allah memberikan cobaan bernama gempa? Dosa apa yang telah diperbuat oleh kita, oleh bangsa kita? Apakah kita melegalkan sesuatu yang tidak disukai atau melanggar perintah Allah SWT? Muhasabah adalah jalan terbaik.

Wallahua’lam.

 

 

[Paramuda/BersamaDakwah]