Dosa dapat Merugikan Orang di Sekitarnya

PERBUATAN dosa seseorang tidak hanya merugikan dirinya sendiri. Terkadang dosa itu dapat merugikan orang di sekitarnya.

Dikisahkan di zaman Nabi Musa as pernah terjadi paceklik. Kekeringan melanda hingga sulit sekali menemukan air. Bani Israil melakukan berbagai macam cara untuk meminta kepada Allah agar diturunkan hujan. Berulang kali mereka meminta tapi tidak ada jawaban.

Hingga suatu malam, Nabi Musa as pergi ke bukit untuk berboda. Beliau menangis dan berkata,”Ya Allah, jikalau kedudukanku buruk di sisi-Mu maka aku meminta kepadamu untuk menurunkan hujan Demi Kemuliaan Nabiyul Ummi yang telah Engkau janjikan untuk di utus di akhir zaman.”

Kemudian Allah swt Mewahyukan kepadanya,”Wahai Musa, kedudukanmu di sisi-Ku tidaklah buruk, bagi-Ku engkau begitu mulia. Namun ada seorang hamba diantara kalian yang menentangku selama 40 tahun. Jika kalian mengeluarkannya dari lingkungan kalian, akan Ku Turunkan hujan kepada kalian.”

Setelah itu Nabi Musa segera berkeliling di lorong-lorong desa dan berkata, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Tuhannya selama 40 tahun, keluarlah dari lingkungan kami ! Karenamu, Allah mencegah hujan dari kami.”

Orang yang bermaksiat itu mendengar ucapan Nabi Musa, dan dia mengetahui bahwa dirinyalah yang dimaksud. Dia berkata pada dirinya, “Apa yang harus aku lakukan. Jika aku masih tetap berada diantara mereka, Allah akan mencegah hujan itu karenaku. Namun jika aku keluar, maka terbukalah semua aibku dihadapan Bani Israil.”

Akhirnya dia memasukkan kepalanya ke dalam pakaian seraya merintih, “Duhai Tuhanku, aku bermaksiat kepada-Mu dengan segala kemampuan-Ku. Aku berani menentang-Mu dengan kebodohanku. Dan kini aku datang dengan segala penyesalan untuk bertaubat kepada-Mu. Maka terimalah taubatku. Dan jangan engkau cegah air hujan itu dari mereka karenaku”

Belum selesai doa dari hamba ini, tiba-tiba datang kabut putih menutupi langit dan seketika itu turun air hujan dengan derasnya.

Nabi Musa bertanya kepada Allah, “Tuhanku, engkau menurunkan hujan sementara belum ada seorang pun yang keluar dari kami?

Allah menjawab, “Sesungguhnya seorang yang membuat-Ku mencegah (air hujan), dia lah yang membuat-Ku menurunkannya.”

Nabi berkata, “Tuhanku, jelaskan kepadaku tentang hal itu.”

Allah menjawab, “Wahai Musa, Aku menutupi aibnya ketika dia bermaksiat. Bagaimana Aku akan membongkar aibnya ketika dia telah bertaubat?”

“Dan Dia-lah yang Menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan Memaafkan kesalahan-kesalahan dan Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Asy-Syura 25)

“Dan Dia-lah yang Menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah Maha Pelindung, Maha Terpuji.”(Asy-Syura 28)

-“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah Memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”(Asy-Syura 30). []

 

MOZAIK

3 Langkah Kala Ditimpa Musibah

SATU bukti manusia tak kuasa secara mutlak dalam hidup ini adalah hadirnya musibah dalam perjalanan hidup setiap manusia. Namun demikian, sebagian besar orang masih menjadikan tolok ukur akal dalam menimbang dan menentukan segala sesuatu termasuk musibah, sehingga alih-alih ingat dan kembali kepada Allah, sebagian malah semakin jauh dari ketentuan Islam.

Ketika anak secara mendadak terjatuh, luka bagian kepala dan mengucurkan darah segar begitu banyak yang membuat siapapun yang melihatnya akan shock, sebagian orang tua langsung menghardik buah hatinya. “Ya Allah, kenapa sampai seperti ini, kamu kok gak hati-hati, kan tadi sudah mama bilangin, jangan main di situ.” Padahal, musibah terjadi tanpa ada satu pun manusia akan ada yang mengetahui.

Dalam kata yang lain, tak ada gunanya menyalahkan apa dan siapapun kala musibah menimpa. Cukup kembalikan kepada Allah dengan mengucapkan “Innalillahi wainna ilayhi roji’un” sebagaimana Allah tegaskan di dalam Surah Al-Baqarah ayat 156.

Dari segi bahasa, “musibah” atau dalam dialek Arab diucapkan dengan mushabah dan mashubah, berarti “peristiwa yang dibenci yang menimpa manusia.”

Al-Qurthubi berkata, musibah sebagai semua peristiwa yang menyakiti kaum beriman. Dalam kehidupan keseharian, musibah mencakup bencana dan segala hal yang membawa kerugian dan kejelekan dalam pandangan manusia.

Dan, sebagai tempat ujian sementara, dunia tidak bisa bebas dari yang namanya musibah. Abu Al-Faraj Ibn Al-Jauzi mengatakan, “Seandainya dunia bukan medan musibah, di dalamnya tidak akan tersebar penyakit dan nestapa, takkan pernah ada kepedihan yang menimpa para Nabi dan orang-orang pilihan.”

Namun demikian, tidak berarti kehidupan dunia harus dihadapi dengan penesalan, kesedihan apalagi keputusasaan. Semua peristiwa datang dari dan diciptakan oleh Allah Ta’ala.

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid [57]: 22).

Artinya, sesuatu yang menimpa kehidupan umat manusia, terutama musibah hakikatnya telah Allah tentukan. Dan, karena itu harus disikapi dengan sabar dan lapang dada. Jangan ada ungkapan yang semakin menjerumuskan diri pada kehinaan dan kemurkaan Allah Ta’ala.

Tentu saja, sikap yang harus diusahakan adalah sabar dan lapang dada. Sayyidina Ali berkata, “Jika engkau bersabar, takdir akan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapatkan pahala. Jika engkau berkeluh kesah, takdir jug aakan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapatkan dosa.”

Lantas, apa yang harus kita lakukan saat mendapat musibah dalam kehidupan?

 

Pertama, Segera ambil tindakan disertai muhasabah

Kala diri ditimpa musibah, katakanlah terkilir, terluka, sakit atau apapun, maka bersegeralah mengambil tindakan pengobatan baik dengan mendatangi tempat berobat maupun ahli pengobatan. Hal ini penting karena bagian dari syariat Islam, berikhtiar menemukan solusi.

Misalnya, ketika secara tiba-tiba kaki anak atau kaki diri sendiri terkena kenalpot motor. Jangan buang momentum dengan penyesalan atau ungkapan negatif dengan menyalahkan siapapun, tapi segera dikompres dingin supaya panasnya tidak meresap ke dalam. Setelah dikompres, kemudian perawatan lukanya harus dicuci bersih tiap hari setelah itu keringkan, kemudian kasih salep untuk luka bakar. Ini jauh lebih efektif, luka tertangani, lisan terjaga dan lebih baik semua dilakukan diiringi memperbanyak doa.

Jadi, jangan sampai ada tindakan yang salah, apalagi dengan mengomel sampai akhirnya luka tidak segera ditangani, hati menjadi jengkel dan momentum menjadi berkurang bahkan hilang untuk segera melakukan penanganan yang semestinya.

Setelah penanganan usai dilakukan, barulah muhasabah, bagaimana musibah itu bisa terjadi. Oh…mungkin tadi terburu-buru, tidak fokus dan kurang hati-hati, sehingga ke depan bisa lebih hati-hati, sehingga ikhtiar menghindari kejadian buruk bisa diupayakan sedini mungkin.

 

Kedua, Tetap Positif Thingking

Sekalipun musibah adalah hal yang dibenci oleh manusia, dalam Islam musibah tak semata nestapa, ia juga kemuliaan yang amat dibutuhkan setiap insan beriman.

“Apabila Allah menginginkan kebaikan-kebaikan hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghenndaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (HR. Tirmidzi)

Oleh karena itu, jangan pernah berprasangka buruk kepada Allah dengan musibah apapun yang dialami. Rasulullah bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian itu mati, kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim).

 

Ketiga, Jangan mengeluh dan mencela Musibah

Sebagai insan beriman, kita dituntun oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menyikapi musibah secara bijaksana, yakni dengan memandang hal tersebut secara proporsional. Sebab, musibah kadang menjadi pilihan Allah untuk mempercepat penempaan diri menjadi insan kamil, sekalipun sudah pasti di dunia ini no body is perfect.

 

Terlebih di balik musibah ada banyak kebaikan langsung dari Allah, seperti pengampunan dosa dan kebaikan-kebaikan lainnya.

“Tidak ada musibah yang menimpa umat Islam hingga sekecil duri menusuknya, melainkan Allah Azza wa Jalla akan menghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Tidak ada yang menimpa seorang Muslim dari kepenatan, sakit yang menahun, kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, atau hanya tertusuk duri, kecuali dengan itu Allah hapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari).

“Janganlah engkau mencela penyakit demam, karena ia akan menghapuskan kesalahan-kesalahan anak Adam sebagaimana alat pandai besi itu dapat menghilangkan karat besi.” (HR. Muslim).

Subahanalloh, demikianlah Islam menjelaskan hikmah dari musibah, derita yang mendatangkan keberkahan dari sisi-Nya. Semoga Allah kuatkan diri kita dalam menghadapi musibah apapun, sehingga kita senantiasa mendapatkan rahmat dan ridho-Nya.*

sumber: Hidayatullah.com

———————————————————————————————
Umrah resmi, Hemat, Bergaransi
(No MLM, No Money Game, No Waiting 1-2 years)
Kunjungi www.umrohumat.com atau hubungi handphone/WA 08119303297

Kisah Gagal Panen sebagai Azab di Dunia

ALQURANUL Karim sepertiganya adalah kisah, sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama Alquran. Itu artinya, betapa pentingnya posisi sejarah untuk membangun generasi peradaban. Kita ambil satu kisah, yang kisah ini merupakan salah satu kisah yang awal diturunkan oleh Allah kepada Nabinya dalam mengawali langkah di Makkah. Kisah ini diturunkan karena Nabi mulai berhadapan dengan orang-orang musyrik Makkah yang menentang dakwah beliau. Allah berikan kisah ini dalam surat Al-Qalam.

Allah berfirman dalam Surat Al-Qalam ayat 17: “Sesungguhnya kami telah menguji mereka, yaitu orang-orang musyrik Makkah, sebagaimana kami menguji para pemilik kebun ketika mereka dulu bersumpah bahwa mereka benar-benar akan panen di pagi hari.”

Said bin Zubair rahimahullah, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, beliau berkata bahwa para pemilik kebun ini adalah mereka yang tinggal di sebuah tempat yang bernama Dharawan, di mana tempat ini lokasinya 6 mil dari Kota Shana di Yaman. Kisahnya adalah bahwa para pemilik kebun ini dulunya punya ayah. Ayahnya adalah orang yang mulia, baik, dermawan sekali. Setiap dia panen, dia panggil orang-orang miskin ikut panen menikmati kebunnya. Orang miskin datang ada yang membawa tempat, keranjang, atau menggunakan tangannya untuk membawa hasil panen yang sama-sama dinikmati itu.

Ayah yang baik ini sudah mengukur bahwa dia memanfaatkan apa yang bisa dia manfaatkan dari kebunnya, disimpan sebagiannya untuk makan dia dan keluarganya selama setahun, dan sisanya disedekahkan. Ketika dia meninggal, anak-anaknyalah yang mewarisi kebun itu. Tapi mereka berkata, “Ayah kita ini tidak cerdas. Andai kita tidak berikan pada orang-orang miskin, kita akan lebih kaya dari sekarang.” Ini hitungan matematis, bukankah begitu?

Maka berhati-hatilah punya anak yang hanya diajari hitungan matematika dunia, tapi tidak pernah diajari hitungan Allah Yang Maha Memberi Keberkahan, Yang Memiliki kekayaan di langit dan di bumi serta seluruh isinya. Seperti anak-anak pemilik kebun ini, mereka pandai berhitung. Jelas mereka tahu hitungannya, andai tidak diberi kepada orang miskin maka mereka lebih kaya. Tapi ketahuilah, inilah yang membuat mereka kehilangan keberkahan. Bahkan tidak hanya kehilangan keberkahan, mereka kehilangan kebun mereka dan tidak bisa panen!

Pada Surat Al-Qalam ayat 19, ayat mengatakan bahwa kebun mereka dihabisi oleh Allah saat mereka tidur, sehingga ketika esok paginya mereka harus panen, kebun mereka telah hangus dan gosong. Akhirnya mereka menyesal di ujungnya. Mereka tidak bisa panen. Maka hilanglah semuanya, hilanglah rezeki mereka sepanjang tahun, hilanglah kebun mereka, bahkan hilanglah kesempatan untuk bersedekah.

Dan Allah menutup pada Surat Al-Qalam ayat 33: “Itulah azab di dunia, dan azab di akhirat lebih besar lagi kalau mereka tahu.”

Oleh karenanya, berilah haknya orang tidak mampu pada harta kita. Jangan zalimi mereka. Apa yang kita simpan dari harta, atau hak orang lain yang ada di harta kita itu tidak ada baiknya. Yang ada justru menghilangkan keberkahan di harta kita. Maka ambil berkahnya, berikan hak orang lain, berikan hak-hak orang miskin di harta kita.

Wallahu alam bisshawab. [Ust. Budi Ashari, Lc.]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2345383/kisah-gagal-panen-sebagai-azab-di-dunia#sthash.tn9podYt.dpuf

Tiga Alasan Bencana Menimpa Manusia

Oleh: Komarudin Saleh

 

Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang bencana, mulai dari banjir, longsor, dan yang paling aktual adalah bencana asap di tanah Sumatra hingga bencana moral yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan kriminal. Mungkin kita bertanya mengapa semua ini terus terjadi? Alquran sebagai petunjuk dan pedoman hidup telah memberikan setidaknya tiga alasan terkait dengan bencana yang menimpa manusia.

Pertama, adakalanya bencana itu datang sebagai “soal ujian” bagi seseorang atau sekelompok manusia. Bencana jenis ini adalah murni kehendak Allah SWT (QS at- Thagaabun [64]:11) yang didatangkan untuk menguji manusia.

Banyak sekali teori yang diciptakan oleh manusia agar terhindar dari bencana atau musibah jenis ini. Dalam aktivitas perdagangan misalnya, untuk sukses dan terhindar dari kebangkrutan, manusia gencar merancang teori marketing dan promosi, tapi faktanya ada yang berkuasa mengatur arus rezeki.

Sikap yang harus kita ambil untuk menyikapi bencana ini adalah bersabar dan bertawakal kepada-Nya. Bersabar artinya kita menerima dengan lapang dada. Berat dan ringan cobaan yang menimpa seseorang bukan selalu bergantung pada bentuk musibahnya, melainkan tergantung pula bagaimana dia menerimanya. Jika diterima dengan hati yang sempit, sekecil apa pun musibah akan terasa berat. Ibarat sekepal garam yang dituangkan ke dalam air semangkuk, tentu akan terasa asinnya jika dibandingkan dengan sekepal garam yang dituangkan ke danau.

Kemudian tawakal, yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, namun bukan berarti menyerahkan pekerjaan kepada-Nya. Artinya, manusia terus berusaha dan hasilnya terserah bagaimana Allah memberi ketetapan. Di samping itu, manusia juga senantiasa berprasangka baik kepada-Nya.

Kedua, adakalanya bencana itu datang disebabkan oleh kesalahan manusia (khatiiati an-naas) (QS ar-Rum [30]:41). Sifat serakah dan eksploitasi terhadap lingkungan hidup tentu berimplikasi terhadap datangnya bencana alam. Tidak jarang bencana yang ditimbulkan berdampak pula kepada mereka yang tidak terlibat dalam pengrusakan lingkungan.

Jutaan manusia di Riau dan sekitarnya yang terpapar asap kebakaran hutan mayoritas justru adalah mereka yang tidak terkait sedikit pun dengan keuntungan dari pembakaran hutan yang dilakukan atas nama ekonomi itu. Maka yang harus dilakukan, yakni, pertama, mengintrospeksi diri dan menata kembali hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dalam penataan ini jelas peran dan arahan pihak yang berwenang adalah yang terdepan.

Kedua, mempertebal kembali humanitas yang mungkin sudah mulai meluntur agar tidak ada lagi korban akibat keserakahan dalam mencari keuntungan. Ketiga, adakalanya bencana itu datang disebabkan oleh dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia (dzunubu an-naas). Jika bencana sebelumnya disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan alam, sedangkan jenis bencana yang satu ini disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan.

Terdapat banyak kisah dalam Alquran yang mengisahkan tentang bencana yang menimpa kaum-kaum terdahulu yang disebabkan oleh dosa-dosa mereka. Tentu tidaklah semata-mata kisah tersebut disajikan dalam Alquran melainkan agar menjadi pelajaran. Maka, tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghindari bencana jenis ini kecuali dengan pertobatan.

Demikianlah Alquran menjawab pertanyaan mengapa bangsa ini terus dilanda bencana. Boleh jadi keimanan kita sedang diuji, namun tidak menutup kemungkinan semua ini akibat dari kesalahan dan dosa-dosa yang kita perbuat. Apa pun yang melatari semua bencana yang melanda negeri ini, berpegang teguh kepada ajaran agama adalah solusinya. Wallahu a’lam.

 

sumber: Republika Online