Al-Quran dan Musik Itu Bagaikan Minyak dan Air

Al-Quran dan musik itu bagaikan air dan minyak yang tidak akan pernah bisa bersatu. Sangat sulit Al-Quran dan musik berada di hati seorang hamba yang bertakwa dan berusaha dekat dengan Al-Quran. Terlebih ingin menghafalkan Al-Quran, mendalami, dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah menjelaskan bahwa Al-Quran dan musik tidak akan bersatu. Beliau Rahimahullah berkata,

حُبُّ الْكِتَابِ وَحُبُّ أَلْحَانِ الْغِنَاءِ … فِي قَلْبِ عَبْدٍ لَيْسَ يَجْتَمِعَانِ

“Cinta Al-Quran dan cinta melodi nyanyian … tidak akan berkumpul di hati seorang hamba” (Nuniyyah Ibnul Qayyim hal. 368).

Di lain kesempatan, beliau menjelaskan bahwa hal itu tidak akan bersatu karena saling bertentangan. Ibarat kutub utara dan selatan. Ibarat kanan dan kiri. Beliau Rahimahullah berkata,

إِنَّ الْقُرْآنَ وَ الْغِنَاءَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي الْقَلْبِ أَبَدًا، لِمَا بَيْنَهُمَا مِن التَّضَادِّ

“Sesungguhnya Al-Quran dan nyayian itu tidak akan bersatu di hati selamanya, karena keduanya itu bertentangan” (Ighatsatul Lahfan, 1: 248).

Oleh karena itu, kita perhatikan mereka yang mulai hijrah dan mulai kembali kepada agama dan Al-Quran, mereka berusaha meninggalkan musik. Tentunya mereka sangat ingin dekat dengan Al-Quran dan mengamalkannya. Terlebih Al-Quran adalah petunjuk hidup dan jalan keselamatan dunia akhirat yang mengantarkan kepada kebahagiaan abadi.

Allah Ta’ala berfirman,

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185).

Terkadang proses meninggalkan musik ini berat. Akan tetapi dengan kekuatan ilmu dan iman serta pertolongan dari Allah, banyak yang bisa meninggalkan musik karena ingin dekat dengan Al-Quran dan Allah gantikan dengan yang lebih baik.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا للهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesungguhnya tidaklah Engkau meninggalkan sesuatu karena Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali Allah akan menggantikannya bagimu dengan yang lebih baik bagimu” (HR Ahmad, sahih).

Jika seseorang ingin meninggalkan sesuatu, tentu harus ada penggantinya yang bahkan jauh lebih baik. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menjelaskan kaidah psikologi,

إِنَّ النُّفُوسَ لَا تَتْرُكُ شَيْئًا إِلَّا بِشَيْءٍ

“Sesungguhnya jiwa tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali jika ada penggantinya.”

Terlebih musik dan nyanyian hukumnya adalah haram sebagaimana banyak penjelasan para ulama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan “lahwal hadits” untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan” (QS Luqman: 6).

Ibnu Katsir Rahimahullah menukil (mengutip) banyak sekali pendapat ulama yang menyatakan bahwa maksud “lahwal hadits” pada ayat tersebut adalah musik dan nyanyian. Beliau Rahimahullah menukilkan perkataan sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu,

الْغِنَاءِ، وَاللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلَاثَ مَرَّات

“Maksud dari lahwal hadits” adalah nyanyian. Aku bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Ibnu Mas’ud mengulangi sampai tiga kali.”

Hasan Al-Bashri Rahimahullah juga berkata,

فِي الْغِنَاءِ وَالْمَزَامِيرِ

“Maksud lahwal hadits adalah nyanyian dan seruling” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Hadis yang menjelaskan tentang hal ini juga cukup banyak. Sebagaimana hadis yang menjelaskan bahwa akan dihalalkam musik suatu saat nanti. Artinya, hal ini menunjukkan bahwa musik itu hukumnya haram.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعازِفَ

“Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan (sebelumnya hukum asalnya haram, pent.) zina, kain sutra (bagi lelaki), khamar, dan alat-alat musik” (HR. Bukhari).

Demikian juga semakna dengan hadis berikut,

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « فِى هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ ». فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَتَى ذَاكَ قَالَ « إِذَا ظَهَرَتِ الْقَيْنَاتُ وَالْمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الْخُمُورُ ».

“Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Di dalam umat ini akan ada longsor, perubahan bentuk rupa, dan hujan batu (dari langit).” Lalu seorang laki-laki dari kaum muslimin bertanya, “Wahai Rasulullah, kapankah hal tersebut?” Beliau menjawab, “Jika telah nampak al-qayyinat (penyanyi-penyanyi wanita) dan alat-alat musik dan khamr telah di minum (dengan bebas).” (HR. Tirmidzi, lihat As Silsilah Ash Shahihah no. 2203)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menutup telinga ketika mendengarkan musik seruling yang menunjukkan beliau tidak suka mendengarkan musik.

Nafi’ Maula Ibnu Umar berkata,

سمعَ ابنُ عُمرَ مِزمارًا فوضعَ أصبُعَيْهِ في أذُنَيْهِ، وَنَأَى عَن الطَّريقِ وقالَ لي: يا نافعُ هل تسمَعُ شَيئًا ؟ قلتُ: لا، فرَفعَ أصبُعَيْهِ مِن أذُنَيْهِ وقالَ: كُنتُ معَ النَّبيِّ – صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ – وسمعَ مثلَ هذا وصنعَ مِثلَ هذا

“Ibnu ‘Umar mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan dua telunjuknya di telinganya dan menjauh dari jalan. Ia berkata kepadaku, ‘Hai Nafi, apakah kamu masih mendengarnya?’ Aku berkata, ‘Tidak.’ Maka ia melepas jarinya dari telinganya dan berkata, ‘Dahulu aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau mendengar sama dengan yang aku dengar dan beliau melakukan seperti apa yang aku lakukan” (HR Abu Dawud).

Demikian, semoga bermanfaat.

@Lombok, pulau seribu Masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/69077-al-quran-dan-musik-itu-bagaikan-minyak-dan-air.html

Halalkah Penghasilan dari Bermain Musik?

Sebagian orang mencari penghasilan dari bermain musik. Namun bagaimana hukum musik dalam Islam dan bagaimana hukum penghasilannya?

Hukum musik

Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an Al Karim:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan lahwal hadis untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman: 6).

Mayoritas ahli tafsir menafsirkan lahwal hadis dalam ayat ini maknanya: al ghina’ (nyanyian). Ini merupakan tafsir Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Mujahid, Ikrimah rahimahumullah. Namun yang dimaksud nyanyian di sini adalah nyanyian yang diiringi alat musik. Sebagaimana dikatakan oleh Mujahid rahimahullah:

عن مجاهد، قال: اللهو: الطبل

“Dari Mujahid, ia berkata: yang dimaksud al lahwu di sini adalah gendang” (lihat Tafsir At Thabari tentang ayat di atas).

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah juga mengatakan:

نزلت هذه الآية في الغناء والمزامير

“ayat ini turun terkait dengan nyanyian dan seruling” (lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat di atas)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ

“ Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَسْفٌ ، وَقَذْفٌ ، وَمَسْخٌ ” ، قِيلَ : وَمَتَى ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْقَيْنَاتُ ، وَاسْتُحِلَّتِ الْخَمْرُ

“Di akhir zaman nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya menjadi buruk”. Beliau ditanya, “Kapankah hal itu terjadi wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Ketika ma’azif (alat-alat musik) dan para penyanyi wanita telah merajalela, serta khamr di anggap halal” (HR. Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir, 5672, dihasankan Asy Syaukani dalam Nailul Authar, 8/262, bahkan disahihkan Al Albani dalam Sahih At Targhib, 3665).

Hadits-hadits ini tegas menjelaskan tentang haramnya musik. Dan ini merupakan pendapat dari ulama empat madzhab. Ibnu Shalah rahimahullah (wafat 643 H), ulama besar Syafi’iyyah, beliau berkata,

وَأما اباحة هَذَا السماع وتحليله فَليعلم أَن الدُّف والشبابة والغناء إِذا اجْتمعت فاستماع ذَلِك حرَام عِنْد أَئِمَّة الْمذَاهب وَغَيرهم من عُلَمَاء الْمُسلمين وَلم يثبت عَن أحد مِمَّن يعْتد بقوله فِي الْإِجْمَاع والاخلاف أَنه أَبَاحَ هَذَا السماع

“Mengenai adanya anggapan bahwa nyanyian untuk mubah dan halal maka ketahuilah bahwa rebana, gitar dan nyanyian jika bercampur menjadi satu maka hukum mendengarkannya adalah haram menurut para imam madzhab dan seluruh ulama umat Islam selain mereka. Tidaklah benar ada ulama, yang pendapatnya yang diakui dalam ijma dan khilaf, yang membolehkan nyanyian semisal ini” (Fatawa Ibnu Shalah, 2/500).

Imam Al Qurthubiy rahimahullah (wafat 671 H), ulama pakar tafsir dan ulama besar madzhab Maliki, beliau berkata,

“أما المزامير والأوتار والكوبة (الطبل) فلا يختلف في تحريم استماعها، ولم أسمع عن أحد ممن يعتبر قوله من السلف وأئمة الخلف من يبيح ذلك. وكيف لا يحرم! وهو شعار أهل الخمور والفسق ومهيج الشهوات والفساد والمجون، وما كان كذلك لم يشك في تحريمه، ولا تفسيق فاعله وتأثيمه

“Adapun seruling, sitar, dan al kuubah (gendang) maka tidak ada perselisihan mengenai keharaman mendengarkannya. Dan belum pernah saya mendengar ada yang membolehkannya di kalangan ulama yang didengarkan ucapannya dari para salaf dan khalaf. Maka bagaimana mungkin tidak haram? Dan alat-alat musik ini juga merupakan syiar para pemabuk, orang fasik, pecinta syahwat, orang-orang bobrok dan cabul. Dan ini membuat keharamannya semakin tidak diragukan lagi, serta tidak ragu memvonis fasiq dan dosa bagi pelakunya” (dinukil dari Hukmul Ghina wal Ma’azif, hal. 1).

Alauddin Al Kasani rahimahullah (wafat 587 H), ulama Hanafiyah, beliau berkata,

إظْهَارُ فِسْقٍ يَعْتَقِدُونَ حُرْمَتَهُ كَالزِّنَا وَسَائِرِ الْفَوَاحِشِ الَّتِي هِيَ حَرَامٌ فِي دِينِهِمْ، فَإِنَّهُمْ يُمْنَعُونَ مِنْ ذَلِكَ سَوَاءٌ كَانُوا فِي أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ، أَوْ فِي أَمْصَارِهِمْ وَمَدَائِنِهِمْ وَقُرَاهُمْ، وَكَذَا الْمَزَامِيرُ وَالْعِيدَانُ، وَالطُّبُولُ فِي الْغِنَاءِ، وَاللَّعِبُ بِالْحَمَامِ، وَنَظِيرُهَا، يُمْنَعُونَ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ فِي الْأَمْصَارِ وَالْقُرَى؛ لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ حُرْمَةَ هَذِهِ الْأَفْعَالِ كَمَا نَعْتَقِدُهَا نَحْنُ

“Mereka (para ulama) meyakini haramnya menampakkan kefasikan seperti zina yang merupakan perbuatan haram dalam agama. Dan mereka telah melarang perbuatan tersebut, baik di negeri-negeri kaum Muslimin maupun di negeri dan desa mereka. Demikian juga seruling-seruling, sitar, gendang untuk nyanyian, permainan musik di pemandian umum, semua ini sama dengan hal itu (kefasikan). Dan mereka telah melarang semua ini di kota-kota dan desa-desa. Karena mereka telah meyakini semua hal tersebut haram sebagaimana kami juga meyakininya” (Badai’us Shana’i, 7/113-114).

Al Qarafi rahimahullah (wafat 684 H), ulama Malikiyah, beliau berkata,

وَلَا بَأْسَ بِالدُّفِّ وَالْكَبَرِ وَلَا يَجُوزُ الْغِنَاءُ فِي الْعُرْسِ وَلَا غَيْرِهِ إِلَّا كَمَا كَانَ يَقُولُ نسَاء الْأَنْصَار أَو الرجز الْخَفِيف مِنْ غَيْرِ إِكْثَارٍ

“Tidak mengapa duff (rebana) dan al kabar di acara pernikahan, dan tidak diperbolehkan alat musik baik di acara pernikahan maupun di luar acara pernikahan. Yang dibolehkan hanyalah apa yang dilakukan oleh sebagian wanita Anshar (yaitu bersyair) atau rajaz (semacam syair) yang ringan tanpa terlalu sering” (Adz Dzakhirah, 4/400)

Hukum penghasilan dari bermain musik

Setelah kita mengetahui hukum musik dalam pandangan Islam, yaitu para ulama menjelaskan bahwa musik adalah perkara yang diharamkan. Maka ketahuilah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ تعالى إذا حرَّمَ شَيئًا حرَّمَ ثَمَنَه

“Sesungguhnya Allah ta’ala jika mengharamkan sesuatu Allah juga haramkan penghasilannya” (HR. Ad Daruquthni no. 2815, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Sunan ad Daruquthni).

Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa penghasilan dari bermain musik pun hukumnya haram. Ibnu Abdil Barr rahimahullah (wafat 463 H) mengatakan,

من المكاسب المجتمع على تحريمها الربا ومهور البغاء والسحت والرشاوي وأخذ الأجرة على النياحة والغناء وعلى الكهانة وادعاء الغيب وأخبار السماء وعلى الرمز واللعب والباطل كله

“Diantara profesi yang disepakati keharamannya adalah riba, upah melacur, uang suap, upah yang didapatkan karena menjadi tukang meratap, menyanyi dengan musik, menjadi dukun, mengaku-aku mengetahui masa depan dan berita-berita langit serta upah karena meniup seruling dan semua permainan yang sia-sia” (Al Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, 1/444).

An Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) juga mengatakan,

أجمع المسلمون على تحريم حلوان الكاهن لأنه عوض عن محرم ولأنه أكل المال بالباطل وكذلك أجمعوا على تحريم أجرة المغنية للغناء

“Ulama kaum Muslimin sepakat tentang haramnya penghasilan dukun. Karena ia adalah upah dari pekerjaan haram. Dan ia termasuk memakan harta manusia dengan cara batil. Demikian juga ulama sepakat tentang haramnya penghasilan penyanyi dari nyanyiannya” (Syarah Shahih Muslim, 10/231).

Dari semua uraian di atas jelas dapat kita simpulkan bahwa penghasilan dari musik hukumnya haram.

Jika musik haram mengapa banyak orang yang melakukannya?

Mungkin muncul pertanyaan dari sebagian orang yang baru mengetahui tentang keharamana musik, yaitu: “jika musik haram, mengapa banyak orang yang bermain musik?”.

Sebagai Muslim, kita yakin bahwa sumber hukum dalam Islam dan patokan kebenaran adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun perbuatan mayoritas orang, bukanlah patokan kebenaran sama sekali. Apa yang diharamkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah tetaplah haram hukumnya walaupun dilakukan oleh mayoritas orang. Demikian juga apa yang dihalalkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, maka halal walaupun mayoritas orang tidak menyukainya.

Oleh karena itu, Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah (wafat 187 H) beliau berkata:

لا تستوحِشْ طُرُقَ الهدى لقلة أهلها، ولا تغترَّ بكثرةِ الهالكين

“Janganlah engkau menganggap buruk jalan-jalan kebenaran karena sedikit orang yang menjalaninya. Dan jangan pula terpedaya oleh banyaknya orang-orang yang rusak (agamanya)” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163).

Imam An Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) juga berkata:

ولا يغتر الإنسانُ بكثرةِ الفاعلين لهذا الذي نُهينا عنه ممَّن لا يراعي هذه الآدابَ

“Seorang manusia hendaknya tidak terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukan hal-hal terlarang, yaitu orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik dan hidayah kepada kaum Muslimin yang masih menyenai musik dan juga mencari penghasilan dari bermain musik, untuk segera meninggalkannya. Dalam rangka mengharapkan ridha Allah ta’ala.

Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/66875-halalkah-penghasilan-dari-bermain-musik.html