Mengenal Lebih Dekat Anggota Kongres AS Perempuan Berhijab

Pekan lalu menjadi momen tak terlupakan bagi Ilhan Omar. Muslimah keturunan Somalia itu terpilih menjadi anggota Kongres Amerika Serikat dari distrik kelima, Minnesota. Terpilihnya Omar menorehkan sebuah sejarah baru, Dia menjadi anggota DPR AS perempuan pertama yang berhijab.

“Kita memulai kampanye ini untuk membuktikan bahwa kita telah siap dan ingin memperjuangkan bahwa Amerika milik kita semua. Untuk setiap anggota staf, sukarelawan, dan pemilih, kemenangan ini milik kita semua. Bersama-sama, kita akan menggerakkan distrik, negara, dan bangsa kita ke depan,” ujar Omar dalam unggahan Twitter-nya seusai pengumuman kemenangannya dilakukan.

Omar lahir di Somalia, 4 Oktober 1981. Bersama keluarganya, Omar melarikan diri dari perang saudara di tanah kelahirannya. Ia bahkan, sempat menghabiskan masa kecilnya selama empat tahun di Kamp Utango, dekat kota pesisir Kenya Mombasa.

Sebelumnya, Omar pernah tinggal di kamp Dadaab yang luas. Saat itu kamp dibuka untuk menerima pengungsi perang sipil. Ketika kemenangan Omar diumumkan, penduduk Dadaab pun ikut merayakannya. Banyak di antara warga Dadaab mengingat Omar pernah tinggal di sana 30 tahun yang lalu.

Dilansir dari The Guardian, Omar pernah menceritakan penerbangannya dari Somalia. Saat itu para anggota milisi bersiap menyerang rumahnya di Mogadishu pada tengah malam. Kerabat perempuannya yang lebih tua pun meyakinkan mereka untuk pergi dan meninggalkan keluarga ini dengan damai.

Seusai kejadian itu, Omar bersama keluarganya pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Omar masih bisa mengingat per nah melalui jalanan yang dipenuhi puing-puing dan mayat. Kamp Utango yang menjadi tempat tinggal ia dan keluarganya berada di lokasi yang terisolasi. Sanitasinya pun terbatas. Omar bahkan harus mengumpulkan kayu bakar dan air untuk keluarganya.

Keluarga Omar termasuk yang pertama masuk ke kamp tersebut saat pertama kali dibuka. Kamp ini ditutup pada 1996. Omar mengaku kerap merasa iri melihat anak-anak seusianya pergi ke sekolah dan menggunakan seragam. Ia juga sering bertanya kepada sang ayah apakah ia bisa melanjutkan pendidikannya.

“Kondisinya sangat terisolasi, seperti di hutan. Banyak yang meninggal karena malaria,” ujar dia.

Ketika ia berusia 12 tahun, ia dan keluarga pun pergi menuju AS. Saat itulah ia pindah ke Kamp Dadaab. Lokasi ini telah berkembang lebih pesat. Saat itu, Kamp Dadaab dihuni 250 ribu penduduk. Namun, kehidupan di sana pun lebih keras dan kacau.

Selalu ada kedatangan dan kepergian penduduknya. Omar bersama enam saudara-saudarinya akhirnya pindah dan menetap di lingkungan Cedar-Riverside di Minneapolis pada 1997.

Ketertarikan Omar pada dunia politik dimulai ketika ia berusia 14 tahun. Saat itu ia menjadi penerjemah untuk kakeknya di partai Democratic-Farmer-Labor (DFL) lokal. Ia melihat para tetangga berkumpul untuk melakukan advokasi mengenai perubahan di tingkat akar rumput. Proses ini membuat Omar jatuh cinta pada proses demokrasi.

Saat menjadi siswi di Edison High School di Minneapolis, ia telah menjadi pengurus dan membentuk koalisi. Ia juga bekerja sebagai pendidik masyarakat saat menjadi mahasiswi di Universitas Minnesota dan menjadi aktivis progresif dalam partai petani di Minnesota atau DFL selama bertahun-tahun.

Sebelum maju dan mencalonkan diri sebagai anggota kongres, ia memiliki jabatan sebagai Anggota Kebijakan Humphrey dan bertugas sebagai Pembantu Kebijakan senior untuk Anggota Dewan Kota Minneapolis. Ia banyak bekerja dan berfokus pada beberapa masalah, seperti akses pendidikan, perlindungan terhadap lingkungan, dan kesetaraan ras.

Pada 2016, Omar menjadi legislator Muslim Somalia-Amerika pertama di Amerika Serikat. Ber sama tim kampanye, ia berhasil meningkatkan jumlah pemilih sebesar 37 persen. Ia terpilih mewakili distrik 60B Minnesota House of Representatives, tempat ia tinggal bersama suaminya, Ahmed, dan tiga anak mereka.

Dikutip di situs resmi Ilhan Omar, tertulis berbagai pengalaman organisasi yang telah ia lakukan. Di antaranya, mantan anggota Dewan Penasihat untuk Anggota Dewan Minnesota ten tang Hubungan Islam Amerika (CAIR), mantan wakil presiden Minneapolis NAACP, Anggota Dewan St Anthony Falls Heritage Board, dan Koordinator Pen jangkauan Gizi Anak pada Departemen Pendidikan Minnesota.

“Aku rasa tugasku saat ini adalah untuk menanamkan harapan pada orang-orang sehingga mereka punya kekuatan untuk terus berjuang dan percaya bahwa ada kesempatan untuknya. Untuk pertama kalinya betul-betul berbicara tentang bagaimana bangsa dan negara yang harusnya ada dan layak kita dapatkan,” ujar dia.

Paksa Lepas Jilbab Anak-Anak, Seorang Guru di AS Dipecat

Seorang guru di Amerika Serikat dipecat setelah mengancam dan menarik jilbab seorang siswi di Bennington School di kota  New York hingga mengakibatkan luka di bagian mata.

“Dia nakal di kelas dan duduk di kursi guru tanpa izin,” ujar Oghenetega Edah (31 tahun) yang sengaja menarik jilbab Safa Alzockary karena dinilai berperilaku buruk selama di kelas, seperti dilansir New York Post Selasa (9/05) pekan kemarin.

Setelah memegang lengan Safa dan membuat ancaman, Edah mengatakan, “Saya akan melepasnya.”

“Oghenetega Edah kemudian menarik jilbab Safa sehingga mengenai wajahnya dan merusak mata kanannya,” ujar sumber kepolisian New York.

Sementara itu dokter di Rumah Sakit Jacobi mengatakan bahwa kornea Safa tidak mengalami kerusakan.

Ayah Safa Alzockary, Mohamed Alzockary, mengatakan kepada New York Daily News bahwa dirinya terkejut dengan apa terjadi pada putrinya, “Ini sangat menakutkan.”

Juru bicara Departemen Pendidikan Amerika Serikat, Michael Aciman, mengatakan, “Perilaku kekerasan ini sama sekali tidak dapat diterima. Orang ini segera dikeluarkan dari sekolah dan pekerjaannya telah dihentikan.”

Kantor berita NBC melaporkan bahwa Safa sedang duduk di kursinya saat Oghenetega Edah melepas jilbabnya.

Kini kasus kekerasan terhadap anak dibawah usia dalam penyelidikan intensif Departemen Investigasi. (Kiblat/Ram)

 

ERA MUSLIM

Muslim AS Jadikan Amerika Lebih Islami dari Negara Islam

Sejak awal Desember lalu, calon Presiden dari Partai Republik, Donald Trump menjadikan Muslim dan Islam sebagai bahan panas kampanye politiknya. Namun, di bawah tekanan Islamophobia dan kebencian terhadap Islam terus memburuk, muslim AS memberikan balasan yang berbeda.

Pemimpin komunitas muslim muda New Jersey, Mahmoud Mahmoud mengatakan, hubungan Muslim dan non-Muslim di Amerika sebenarnya jauh lebih baik dari negara-negara Muslim yang ada di dunia.

“Saya setuju pendapat Imam Feisal Abdul Rauf (pemimpin dan pendiri Komunitas Amerika untuk Kemajuan Muslim), bahwa Muslim AS mampu membuat Amerika lebih Islami dari pada negara-negara muslim dunia,” katanya dilansir VOA, Rabu (13/1). (Pameran Kebudayaan Islam Digelar di Museum Anak New York).

“Anda lihat nepotisme di sana (Negara mayoritas Muslim), korupsi mejalela, hak perempuan yang kurang dihargai, kemiskinan di mana-mana dan ketidakadilan sosial,” katanya. Muslim AS masih bisa mengekspresikan dirinya secara bebas, menjadi lebih relijius walaupun kini di bawah tekanan Islamophobia.

Di salah satu kesempatan, Imam Faeisal menanggapi komentar Trump yang ingin menutup akses Muslim ke Amerika. Feisal mengatakan, AS dan dunia Muslim tidak bisa dipisahkan. AS memiliki kepentingan besar dan dunia Muslim menduduki seperempat dari populasi dunia.

Presiden AS, Barack Obama pada Selasa (12/1) lalu, ikut menentang provokasi kebencian terhadap Muslim dan Islam. “Ketika politisi AS kini menghina Muslim, itu tidak membuat kita lebih aman. Itu tindakan yang salah,” kata Obama. Karena itu, kata dia, ajakan untuk membenci Islam tidak menjadikan AS menjadi lebih baik.

 

sumber: Republika Online

Alhamdulillah, Semakin Banyak Kota di Amerika yang Tetapkan Hari Libur Islam

Mulai saat ini pelajar Muslim di Montgomery County, Maryland, Amerika Serikat, bisa menikmati perayaan hari besar Islam. Hal itu karena Dewan Sekolah sudah menetapkan hari besar Islam sebagai hari libur sekolah.

Akhirnya perjuangan kaum Muslim di Maryland selama bertahun-tahun membuahkan hasil. Kini pelajar Muslim bisa menikmati berkumpul dengan keluarga dan melaksanakan shalat Ied bersama pada Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.

Sebelumnya, di sekitar Montgomery County, Washington DC dan kota-kota lainnya hanya menjadikan hari besar agama Kristen dan Yahudi saja yang ditetapkan sebagai hari libur sekolah.

Pelajar Muslim hanya bisa merayakan perayaan hari besar Islam bersama keluarganya di rumah ketika bertepatan dengan perayaan Yom Kippur. Jika tidak, mereka tidak mendapatkan libur.

Kini Dewan Sekolah memutuskan untuk menambahkan hari besar Islam dalam kalender sebagai hari libur. Sementara penambahan hari libur ini tidak mengganggu hari libur lainnya misal pada perayaan Christmas dan Easter yang memang bertepatan dengan liburan musim semi dan musim dingin.

Selain itu Walikota Bill de Blasio juga akan menetapkan hari libur untuk perayaan Hindu Diwali. “Sebelum tahun ini kami perlu untuk menjadikan Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur. Saya juga percaya, perlu untuk memberikan hari libur pada tahun baru Imlek. Itu sudah menjadi keputusan saya,” katanya menurut Slate pada Kamis (12/11).

Dia menyatakan, perlu menghormati adanya keragaman agama, sehingga dengan memberikan hari libur pada perayaan masing-masing agama tersebut dapat meredam kritik dari masyarakat.

Montgomery County, kota yang memiliki sekolah terbesar di Maryland, dengan jumlah sekitar 156 ribu pelajar, bukanlah satu-satunya tempat yang berjuang untuk mengakomodasi meningkatnya keragaman agama siswa. Beberapa daerah di New Jersey juga diliburkan ketika hari besar Islam.

Sementara kota lain, seperti Jersey City, baru-baru ini memilih untuk menentang adanya hari libur untuk Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri pada tahun ini.

Kemudian pada musim semi ini, Departemen Pendidikan New York City, kota dengan sekolah terbesar di negara ini, dimana sekitar 10 persen dari siswa mereka adalah Muslim, mengumumkan sekolah akan diliburkan pada saat Hari Raya Idul Adha.

Sekolah musim panas juga akan diliburkan ketika perayaan Idul Fitri, dimana merupakan hari yang menandai akhir bulan Ramadhan.

 

 

sumber: Republika Online