Perempuan Muslim tapi tak Berjilbab

ADA yang bertanya, “Bagaimana pandangan syariat dalam menyikapi istri yang enggan berhijab. Perlu diketahui bahwasanya para wanita di tempat kami umumnya tidak berhijab?”

Dijawab Ustadz sebagai berikut: Hendaklah seorang mukmin mengobatinya dengan hikmah. Hendaklah dia mendakwahi wanita tersebut supaya berhijab, menerangkan hukumnya, dan menerangkan wajibnya hijab, dan Allah telah memerintahkannya untuk berhijab.

Selain itu, hendaklah dia menerangkan bahwa jika wanita tersebut tidak memakainya, maka dia telah membiarkan auranya terbuka, dan akan menimbulkan fitnah. Segala sesuatu hendaklah diobati dengan hikmah, dan perkataan yang baik.

Allah Taala berfirman

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS. Al-Ahzab : 53)

Hendaklah dia membacakan ayat tersebut, dan menerangkan kepadanya tentang hukum hijab.

Demikian juga firman Allah Taala :

“Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, (sampai akhir ayat” QS. An-Nuur : 31)

Demikian juga firman-Nya :

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu” (QS. Al-Ahzab : 59)

Dalil kewajiban hijab dalam Hadis dan hukum menutup wajah

Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Aisyah radhiyallaahu anha, bahwasanya dia berkata, “Ketika saya mendengar Shafwan ber-istirja (yaitu mengucapkan : -pent) dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam (yaitu peperangan Bani Musthaliq -pent), dimana di dalamnya muncul perkataan orang-orang yang gemar menuduh; saya menutup wajah saya. Dia telah mengenal saya, karena dia dahulu pernah melihat wajah saya sebelum turun perintah berhijab (yaitu perintah untuk menutup wajah)”.

Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya menutup wajah merupakan perkara yang telah mereka terapkan setelah turunnya ayat yang memerintahkan berhijab. Hal ini (wajibnya menutup wajah -pent) lebih membersihkan hati, dan lebih bermanfaat. Selain itu, hal ini juga lebih menjauhkan diri dari keragu-raguan, dan kejelekan.

Penutup

Maka, hendaklah Anda, wahai hamba Allah, mengobati (mendakwahi -pent) istri Anda dengan perkataan yang baik, dengan cara yang baik; hingga istri Anda menjadi lurus (mau berhijab -pent), insyaAllah.[muslimahorid]

 

MOZAIK

Etika Istri Bicara dengan Suami

Pasang surut hubungan suami istri dalam membina hubungan rumah tangga merupakan sesuatu yang wajar. Pertengkaran antara dua pasangan menjadi bumbu penyedap rumah tangga.

Hanya, ada kalanya kaum ibu yang sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga melampiaskan kekesalan kepada suaminya. Tanpa sadar, sang istri pun membentak suami dengan suara yang tinggi. Bagaimana sebenarnya etika istri untuk berbicara kepada suaminya?

Mengumpat suami atau sebaliknya merupakan perbuatan yang tercela. Menurut hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, berkata kasar dan jelek kepada suami adalah bentuk kefasikan. Tindakan itu semestinya dihindari oleh siapa pun, tak terkecuali istri kepada suami. Mencela atau memaki, sebagaimana ditegaskan hadis dari Abdullah bin Mas’ud di riwayat yang lain, tidak termasuk karakter seorang mukmin.

Suami yang sudah lelah mencari nafkah sudah selayaknya mendapat perlakuan yang baik dari istri. Sikap lembut istri akan membuat keringat suami setelah bekerja kering seketika. Kelembutan istri pun menjadi perlambang rasa syukur terhadap nafkah yang didapat suami seberapa pun kecilnya.

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang neraka yang kebanyakan dipenuhi para perempuan. Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan penyebab populasi perempuan yang banyak di neraka. “Karena mereka tidak mau mengakui kebaikan suaminya dan tidak bersyukur kepada suaminya, tidak berterima kasih dengan apa yang telah suami berikan, dan karena kesalahan sepele suami lalu istri berkata, ‘Tidak pernah aku dapat kebaikan apa pun darimu’.”

Dalam istilah fikih, pembangkangan seorang istri terhadap suami disebut dengan nusyuz. Bahtul Masail Nahdlatul Ulama menjelaskan, “pembangkangan” merujuk pada ketidaksediaan istri untuk berhubungan suami-istri dan tindakan perlawanan istri terhadap suami.

Bila tampak tanda-tanda pembangkangan dari seorang istri, seperti berakhlak buruk dan merasa lebih tinggi dari suami, suami harus menasihatinya dan mengingatkannya akan sanksi yang Allah siapkan di akhirat. Tak hanya itu, suami pun berkewajiban mengingatkan tentang mudharat di dunia sesuai dalam syariat yang akan menderanya, seperti gugur kewajiban nafkah dari suami. Bila istri masih saja membangkang, suami boleh memilih pisah ranjang.

Meski demikian, suami tidak boleh mendiamkan istrinya. Ingatlah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Seorang Muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” Hanya, bila istri terus pada pembangkangannya, suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan melukai. Kalau terpaksa juga memukul, ia tidak boleh memukul wajah karena larangan Rasulullah SAW terhadap pemukulan anggota tubuh yang vital sehingga berdampak bahaya yang luar biasa.

Karena itu, istri harus menghormati posisi suami dalam hidup berumah tangga. Sejumlah keutamaan yang dimiliki suami dan istri mestinya menuntun bahtera rumah tangga ke arah ridha Allah SWT. Ketaatan istri kepada suami menjadi sebuah keutamaan yang disabdakan Rasulullah SAW. Seandainya, kata Rasulullah SAW di sabdanya yang dinukilkan oleh Imam at-Tirmidzi, ada sosok yang lebih pantas untuk bersujud di hadapannya, maka niscaya kepada suamilah seorang istri itu dituntut bersimpuh.

Tiap masalah yang terjadi dan berdampak pada gesekan antarkeduanya harus diselesaikan dengan bijak, bukan dengan umpatan dan kata kasar. Meski demikian, menurut Syekh Shalih Ibn al-Utsaimin, jika suami berlaku kasar dan cenderung jauh dari ketakwaan, istri berhak untuk tidak memenuhi sejumlah kewajibannya sebagai pendamping. Misal, bila suami suka bermaksiat misalnya. “Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS al-Baqarah [2]: 194). Tetapi, tetap dalam koridor yang diperbolehkan.

Kekerasan fisik ataupun nonfisik berupa ucapan-ucapan tak sedap di telinga atau perasaan bukan cara yang tepat dalam mengurai masalah rumah tangga. Sikap saling terbuka, hormat-menghormati, dan tetap menjaga etika dibutuhkan kala menghadapi persoalan. Membalas keburukan dengan kebaikan adalah keutamaan yang tak ternilai harganya, sekalipun memang sulit dilakukan.

Maka, sudah selayaknya seorang istri mengingat kembali sebuah hadis Rasulullah SAW tentang kriteria perempuan salehah. “Ingatlah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu simpanan yang paling baik bagi seseorang? Yaitu wanita salehah. Jika suami memandangnya, maka dia membuatnya senang, jika suami menyuruhnya maka dia menaatinya, dan jika suami tidak ada di sisinya maka dia menjaganya “(HR Abu Dawud).

Sebaliknya, suami pun berkewajiban bersabar saat menjalin hubungan dalam rumah tangga. Allah SWT berpesan kepada para suami lewat surah an-Nisaa’ ayat 19, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”  

 

sumber: Republika Online

Wahai Muslimah! Jauhilah Sulam dan Tato Alis

TIDAK semua upaya mempercantik wajah dibolehkan secara syariat. Sebab ada beberapa cara mempercantik diri, yang dulu menjadi adat masyarakat jahiliyah, kemudian dilarang oleh Islam. Di antaranya adalah an-Namsh (mencabut bulu yang ada di wajah).

Dari Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, beliau mengatakan,

“Allah melaknat tukang tato, orang yang ditato, al-mutanamishah, dan orang yang merenggangkan gigi, untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari 4886, Muslim 2125, dan lainnya).

Makna al-Mutanamishah

Al-Mutanamishah adalah para wanita yang minta dicukur bulu di wajahnya. Sedangkan wanita yang menjadi tukang cukurnya namanya an-Namishah. (Syarh Muslim An-Nawawi, 14/106).

An-Nawawi juga menegaskan, larangan dalam hadis ini tertuju untuk bulu alis,

“Larangan tersebut adalah untuk alis dan ujung-ujung wajah..” (Sharh Shahih Muslim, 14/106).

Ancaman ini berlaku mekipun untuk mempercantik diri

Kita semua sangat yakin, motivasi terbesar para wanita melakukan berbagai macam treatment di wajahnya adalah untuk mempercantik diri, bukan untuk merusak wajahnya. Dia berharap, agar dengan cara seperti itu, bisa lebih menarik pandangan suaminya. Dia rela keluar banyak dana, untuk merenggut cinta sang suami. Kita sepakat akan hal itu.

Akan tetapi, meskipun tujuannya mulia, bukan berarti bisa menghalalkan segala cara.
Kita lihat keterangan para ulama terkait hadis ini,

Ibnul Atsir mengatakan, “An-Namsh adalah menipiskan bulu alis untuk tujuan kecantikan”

Ibnul Allan mengatakan dalam Syarh Riyadhus Shalihin,

“An-Namishah adalah wanita yang mencukur bulu alis wanita lain atau menipiskannya agar kelihatan lebih cantik. Sedangkan Al-Mutanamishah adalah wanita yang menyuruh orang lain untuk mencukur bulu alisnya.” (Dalil al-Falihin, 8:482).

Termasuk dosa besar

Beberapa ulama yang mengarang kitab kumpulan dosa-dosa besar, seperti Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair, demikian pula Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir an Iqtiraf Al-Kabair menyebutkan bahwa salah satu diantara dosa yang masuk daftar dosa besar adalah mencukur atau menipiskan bulu alis. Karena terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Allah melaknat para wanita yang mencukur bulu asli di wajahnya, seperti bulu alis, meskipun itu untuk tujuan kecantikan.

Al-Haitami mengatakan,

Dosa besar nomor 80 hingga 83: menyambung rambut, tato, ngikir gigi, dan an-Namsh.

Selanjutnya, al-Haitami menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa itu dosa besar. (az-Zawajir, 1/234)

Mengapa sulam alis dilarang?
Dalam salah satu situs yang mengupas serba-serbi keluarga, dijelaskan proses sulam alis.

Salah satu di antara proses yang dilangsungkan dalam sulam alis adalah alis dibersihkan dan dibentuk. Alis dirapikan dengan alat cukur alis atau pinset. Terutama bulu-bulu yang tumbuh di luar garis ideal.

Selanjutnya, dilakukan proses penyulaman. Setelah krim anestesi dirasa sudah bekerja, proses sulam pun dimulai. Menggunakan alat khusus (embroidery pen) untuk mengaplikasikan tinta dan menghasilkan salur-salur yang mirip bulu alis.

Untuk proses seperti yang disebutkan, tidak keluar dari larangan yang disebutkan dalam dalil.

Ikat hati suami dengan akhlak

Seberapa lama anda bisa mempertahankan kecantikan anda? 40 tahun, 50 tahun, atau 60 tahun. Ketika anda hanya fokus kepada kecantikan, anda akan dihantui dengan kondisi masa depan wajah anda. Di saat fisik anda tidak mungkin mampu dipoles lebih menawan.

Karena itu, selayaknya anda tidak melupakan kelebihan lain yang bisa menggait hati suami dan itu sifatnya lebih abadi. Itulah akhlak.

Apa yang bisa anda bayangkan ketika anda adalah seorang hafidzah yang hafal al-Quran 30 juz, atau 20 juz atau 10 juz, kalau terlalu jauh, ya.. setidak juz amma.

Atau anda seorang yang sangat antusias dalam dakwah dan ibadah. Atau anda seorang pelopor kebaikan bagi para muslimah. Atau anda orang yang sangat anggun akhlaknya.

Hebat di mata suami, pahlawan di mata anak-anak, bakti di hadapan orangtua, dan mulia di hadapan mertua.

Di saat anda tidak lagi mampu mempertahankan kecantikan fisik, saatnya anda tunjukkan kecantikan akhlak.

 

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2320573/wahai-muslimah-jauhilah-sulam-dan-tato-alis#sthash.zK2cjKfV.dpuf

Menolak Lepas Jilbab, Hani Khan Dipecat dari Kantornya

Seorang karyawan gudang Abercrombie & Fitch menggugat perusahaan ritel pakaian tersebut di pengadilan Amerika Serikat. Karyawan muslim itu mengatakan bahwa dirinya secara ilegal dipecat setelah menolak untuk melepas jilbabnya.

Hani Khan, nama muslimah tersebut, mengatakan bahwa seorang manajer toko di Mall Hillsdale di San Mateo, California, mempekerjakannya ketika dirinya sudah mengenakan jilbab. Hani Khan pun diterima dan diperbolehkan tetap mengenakan jilbabdengan syarat warnanya senada dengan warna perusahaan.

Tapi, empat bulan kemudian, wanita berusia 20 tahun itu mendapat pertanyaan mengejutkan. Hani Khan diminta oleh seorang manajer distrik dan manajer sumber daya manusia apakah ia bisa melepaskanjilbab saat bekerja. Hani Khan diskors dan kemudian dipecat karena menolak untuk melakukannya.

Gugatan Hani Khan muncul setelah Komisi Equal Employment Opportunity memutuskan bahwa Hani Khan dipecat secara ilegal.

 

Ini 6 Dandanan Haram untuk Muslimah

TIDAK semua dandanan dan hiasan bagi suami itu halal, ada cara dandan yang haram dan bertentangan dengan Islam. Misalnya mengikuti cara berdandan wanita kafir yang tidak pernas shalat, wudhu, dan tidak menjalankan hukum syariat.

Wanita muslimah yang menghormati dirinya sendiri pasti takkan sudi menyerupai wanita-wanita kafir dan fasik. Dia akan konsisten menjaga agama dan dirinya yang telah dimuliakan oleh Islam. Wanita muslimah wajahnya akan terlihat bersinar dengan air wudhu yang digunakannya untuk beribadah.

Oleh karena itu, dia akan memilih dandanan dengan hiasan yang dibolehkan dan sesuai dengan sosoknya sebagai seorang muslimah.

Berikut beberapa dandanan dan hiasan yang haram:

Pertama, berlebihan dalam berhias dengan menghabiskan waktu yang cukup lama dan uang yang tidak sedikit untuk mencari kosmetik, pakaian, serta ornamen hiasan terbaru yang diluncurkan ke pasaran.

“Sesungguhnya pemborosan itu adalah saudar setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya,” (QS. Al-Israa ayat 27).

Kedua, menghabiskan banyak waktu di depan cermin guna memoleskan berbagai macam kosmetik. Sebab segala sesuatu yang berlebihan dan melampaui batas, akan menjadikan hal yang negatif.

Ketiga, Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat wanita yang membuat tato dan meminta ditato, yang mencabut bulu alis dan meminta dicabut, yang merenggangkan gigi dan memperindahnya, serta wanita-wanita yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Jami ash-Shaghir).

Keempat, Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan meminta disambungkan rambutnya.” (HR. Al-Jami’ ash-Shaghir).

Kelima,  Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Jami ash-Shaghir).

Keenam, Rasulullah SAW bersabda, “Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan wanita tidak bboleh melihat aurat wanita yang lain,” (HR. Muslim).

Sudah jelas bukan bahwa berdandan dengan berlebihan hanya akan membuatmu melanggar aturan-aturan Allah, untuk itu taatilah perintah Allah dan berdoalah supaya hati tetap istiqomah di jalan-Nya. Dan Allah menjadikan kita wanita muslimah yang seutuhnya. [reni/islampos]

Sumber: Kiat Menjadi Muslimah Seutuhnya/karya: Adnan Tharsyah/Penerbit: Senayan Publishing

diambil dari : Islam Pos

 

 

Perempuan Tiang Peradaban

Umar bin Abdullah bin Abi Rabi’ah (w 93H/711 M), pujangga ternama yang hidup pada Dinasti Umayah, tak henti-hentinya memuja kecantikan perempuan. Ia menjadikan kaum hawa tersebut sebagai inspirasi dalam puisi-puisinya. Dalam kekagumannya, sosok yang didaulat sebagai tokoh Quraisy paling puitis itu menulis:

Aku melihat paras dan aura kehawaannya
Seperti sinar rembulan yang elok
Ketika tampak dari kegelapan
Dengan segera wajahnya bersinar

Kekaguman dan penghormatannya terhadap perempuan begitu mengkristal. Ia juga sering disebut-sebut sebagai spesialis penyair yang berkaitan dengan kecantikan, keelokan, dan misteri agung perempuan. Begitulah perempuan.

Kerapuhan mereka bukan untuk ditindas, mereka lemah, tetapi sejatinya sangat kuat, melampaui batas kemampuan pria meski tak banyak yang menyadari. Perilaku barbar manusia modern saat ini yang memperbudak, menjual, dan menindas perempuan mengingatkan kita terhadap kelakuan yang sama pada peradaban masa kuno.  

 

Apakah memang siklus peradaban masa kini tengah berbalik ke masa lampau sebagaimana yang diteorikan oleh Lauer, Oswald Spengler, atau Pitirim Sorokin? Berbagai peristiwa itu terjadi berulang-ulang, tanpa direncanakan pada titik tertentu.

Tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas antara pola hidup primitif, tradisional, dan modern tidak jelas. Atau, ini adalah upaya mencapai peradaban yang lebih tinggi, seperti prediksi Arnold Toynbee?

Dari sisi lain, betapa pada hakikatnya sebagian kecil dunia mengakui bahwa cara, metode, dan prinsip-prinsip penghormatan Islam terhadap perempuan menginspirasi dunia. Ini, antara lain, terlihat dari sejumlah karya para orientalis. Kratosvieski, orientalis asal Rusia, menulis Asbania al-Muslimah.

Menurutnya, terangkatnya martabat perempuan Spanyol terpengaruh oleh tradisi umat Islam yang berkuasa beberapa dekade di wilayah tersebut. Pendapatnya itu dikuatkan oleh ilmuwan asal Prancis, Brufansal, dengan karyanya yang berjudul, La Civilisation Arabe en Espagne (Peradaban Arab di Spanyol).

 

Penghormatan terhadap perempuan yang digariskan oleh Islam bukti bahwa Islam selangkah lebih maju dibandingkan dengan peradaban yang lebih dulu eksis dan tumbang. Pada saat perempuan dikebiri haknya, Islam memberikan secara proporsional hak-hak tersebut, dalam banyak hal, mereka setara dengan laki-laki, bahkan lebih mengetahui, seperti dalam kasus pengetahuan keagamaan keperempuanan, Aisyah RA contohnya.

Tak mengherankan bila sejarah mencatat banyak tokoh dari golongan hawa yang sukses menorehkan prestasi di berbagai bidang. Meski, perbandingannya masih teramat kecil. Bagi Fatimah Mernissi itu wajar, mengingat budaya patriarki yang teramat kental dalam masyarakat Arab saat itu. Meski demikian, peradaban Islam menjadi tonggak bangkitnya kemuliaan perempuan. Mereka berperan besar dalam membangun peradaban yang bermartabat.

Dalam bidang fikih, sejarah mencatat nama Amra’ binti Abdurrahman (98 H/716 M), Hafsah binti Sirrin (100 H/718 M), atau Ummu al-Bani Atikah. Ada pula perempuan yang terekam sejarah sebagai ahli hukum, seperti Ummu Isa bin Ibrahim (328 H/939 M) dan Amah al-Wahid (377 H/987 M).

Sejarah juga mengabadikan sejumlah nama penyair perempuan. Abu Faraj al-Ishfahani dalam kitabnya yang berjudul, Akhbar an-Nisa’ fi Kitab al-Aghani, memperkirakan jumlah pujangga perempuan itu ada pada kisaran 200 orang. Sebagian besar mereka hidup pada tabiin, generasi kedua pascasahabat.

Ada Salamah al-Qash, Khansa, atau Jamilah as-Sulamiyah yang mahir berpuisi dan bermusik. Meski sebagian besar karya mereka nyaris tak berbekas. Sejarawan menyebut, karya-karya sastra mendominasi buku-buku yang dibakar oleh Hulagu Khan saat meluluhlantakkan Baghdad pada 1258 M.

 

Ada banyak alasan tentunya mengapa tokoh-tokoh perempuan sepanjang sejarah peradaban Islam tak banyak terungkap meski harus tetap diakui bahwa capaian ini pun jauh lebih baik ketimbang peradaban yang eksis sebelumnya.

Ibnu Sa’ad dalam magnum opus-nya di bidang biografi, ath-Thabaqat al-Kubra, hanya memasukkan 629 nama perempuan dari total 4.250 entri para tokoh yang ia catat. Persentasenya hanya sekitar 15 persen. Pemandangan serupa juga akan kita dapatkan saat menelaah kitab Wafiyat al-A’yan karya Ibnu Khalikan yang hanya mencantumkan enam tokoh perempuan dari 826 entri nama. Begitulah sejarah.

Meski banyak sisi yang terlupakan, setidaknya seberapa pun besarnya torehan yang dicapai oleh peradaban Islam menggambarkan bahwa risalah ini begitu memuliakan perempuan. Dari rahim merekalah peradaban ini tumbuh. Sebab itulah, mereka adalah tiang peradaban.

 

sumber: Republika Online

Tanggung Jawab Seorang Muslimah

Pada dasarnya tanggung jawab seorang wanita muslimah dan laki-laki muslim semuanya sama di hadapan Allah yaitu beribadah kepada-Nya, menjalankan fungsi kekhalifahan di atas muka bumi, menyeru pada yang haq dan berusaha menghindar pada yang munkar. Seperti yang telah dicantumkan dalam QS. An-Nisa: 124 yang artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.

Pada waktu tertentu, tanggung jawab wanita muslimah tidak kalah sedikit dibanding kaum laki-laki. Bahkan adakalanya lebih besar, karena jika dirinci secara mendetail terdapat jauh lebih banyak tugas wanita dibanding laki-laki, meski begitu keduanya memiliki porsinya masing-masing.

Di zaman sekarang ini banyak wanita merasa bangga ketika menjadi sosok yang hebat dan berhasil di dunia karirnya, di negeri barat sana bahkan banyak wanita yang menyengaja untuk memilih tidak mempunyai anak karena dianggap merepotkan dan mengganggu rutinitasnya. Na’udzubillah

Sebagai seorang muslimah tentu kita patut merenungi hakikat sosok seorang wanita itu sendiri. Mengapa Allah menciptakan hawa dengan segenap kekurangan dan kelebihannya? Mengapa wanita ditakdirkan mempunyai rahim dan sifat kasih sayang? Mengapa pula Allah memerintah agar kaum hawa senantiasa menjaga dirinya? Tentu semua itu karena wanita mempunyai peran yang cukup penting dalam sebuah kehidupan. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian periode kehidupan wanita muslimah beserta tanggung jawab yang patut diikhtiarkan dalam memenuhinya.

Dua Periode Kehidupan Wanita Muslimah

Pertama, Sebelum Menikah

Saat seorang wanita muslimah belum menikah, maka ia mempunyai tanggung jawab untuk menunaikan hak-hak kedua orang tuanya. Beberapa tanggung jawab wanita muslimah terhadap kedua orang tuanya antara lain:

1. Birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua)

Allah azza wa Jalla memberikan kedudukan tinggi dan mulia kepada orang tua. Allah meletakkan kedudukan tersebut setelah kedudukan iman dan tunduk patuh pada-Nya. Seorang muslimah yang menyadari akan petunjuk Illahinya itu tentu akan berusaha untuk selalu berbakti kepada kedua orang tuanya. Tanggung jawab ini tidak akan berhenti sampai berumah tangga nanti, akan tetapi terus berlanjut hingga akhir hayatnya. Meski setelah menikah sosok terpenting untuk dihormati adalah suaminya sendiri.

Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam menempatkan birrul walidain di antara dua amalan terbesar dalam Islam, yaitu shalat pada waktunya dan jihad di jalan Allah, karena shalat merupakan tiang agama, sedangkan jihad di jalan Allah adalah puncak perjuangan tertinggi dalam Islam. Di sisi lain ada pula hal penting yang perlu menjadi perhatian yaitu berusaha berbuat baik kepada kedua orang tua meski keduanya bukan muslim. Seperti yang dikisahkan dalam hadits berikut ini:
Asma binti abu Bakar RA berkata: “Ibuku pernah mendatangiku, sedang dia seorang musyrik pada masa Rasulullah, lalu aku meminta petunjuk kepada Rasul: “Ibuku telah datang kepadaku dengan penuh harapan kepadaku, apakah aku harus menyambung hubungan dengan ibuku itu?” Beliau menjawab: “Benar, sambunglah hubungan dengan ibumu!” (Muttafaq ‘alaih).

2. Menghormati dan menjalin hubungan yang baik terhadap kerabat-kerabatnya

Menghormati kerabat orang tua berarti menjalin silaturahim yang baik dan memelihara hubungan kekeluargaan dengan kerabat mereka baik dari jalur ibu dan bapak seperti paman, tante, sepupu, dan kerabat yang lainnya.

3. Mendoakan dan Memohonkan Ampun

Dalam sebuah hadits pernah diceritakan, bahwa ada orang tua yang bertanya-bertanya kepada Allah pada hari pembalasan karena mendapatkan nikmat surga, lalu Allah menjawab bahwa itu karena doa anaknya yang shalih (Muttafaq ‘alaih).
Dalam Al-Quran surah Al Israa: 24 juga difirmankan bahwasanya Allah memberikan tuntunan bagaimana seharusnya seorang anak tidak melupakan orang tuanya dalam doa.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”. (Al Israa: 24)

Mendoakan kedua orang tua berarti berbakti kepada mereka, bentuk amal kebajikan yang tidak akan terhalang hingga di hari pembalasan. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa salah satu di antara 3 amal manusia yang tidak putus salah satunya adalah doa anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.

Mendoakan juga merupakan bentuk ikhtiar untuk mempererat hubungan ruhiyah antara anak dan orang tua kepada Allah. Bagi wanita muslimah ini sangat utama karena pada akhirnya ia juga akan menjadi seorang ibu. Sehingga ia akan menghayati betapa berartinya sebuah doa dari anak-anaknya. Dalam mendoakan tidak hanya meminta kebaikan bagi mereka saja tetapi memohonkan ampun atas dosa-dosanya. Tentu kita ingat ketika kita masih kecil, kedua orang tua kita lah yang selalu merawat dan mendoakan agar kita tumbuh besar, sehat, cerdas, dan beriman, bahkan hingga kita dewasa dan sering berbuat kekhilafan, seringkali mereka memaafkan dan memohonkan ampunan bagi kita. Setiap doa dari mereka bahkan senantiasa diucapkan dengan penuh ketulusan tanpa putus.

4. Menunaikan Janjinya

Meski seorang wanita kita juga mempunyai tanggung jawab untuk menunaikan janji kedua orang tua kita meski keduanya telah meninggal. Pernah dikisahkan seorang wanita dari suku Juhainah datang menghadap Nabi SAW, selanjutnya wanita itu bertutur:

“Ibuku pernah bernadzar untuk menunaikan ibadah haji tapi ia meninggal sebelum sempat menunaikannya. Apakah aku harus berhaji untuknya?” Nabi menjawab, “Ya, berhajilah untuknya, bukankah engkau mengetahui bahwa apabila ibumu mempunyai uang engkau akan membayarnya, karena itu tunaikanlah haji, karena hak Allah itu lebih wajib untuk dipenuhi.” (HR. Bukhari).

Oleh karena itu penting bagi wanita muslimah mengetahui dan berusaha menunaikan janji termasuk utang kedua orang tuanya. Sehingga dapat membebaskan kedua orang tuanya ketika ditanya tentang utang-utangnya ketika akhirat nanti.

Kedua, setelah menikah

Periode berikutnya adalah periode baru dalam kehidupan seorang wanita muslimah, karena setelah menikah berarti ia memasuki kehidupan berkeluarga untuk membentuk rumah tangga Islami. Pada periode ini, ada beberapa tahap yang perlu dipelajari, karena ketiganya merupakan bagian tanggung jawab yang besar:

1. Tanggung Jawab Terhadap Suami

Taat pada suami
Ketaatan seorang wanita muslimah pada suaminya adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung. Di balik perintah Allah ini terkandung berbagai keutamaan, antara lain:

Masuk pintu surga dari pintu surga mana saja yang dikehendaki. Rasulullah Sallalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:
“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, shaum di Bulan Ramadhan, dan taat kepada suaminya maka ia berhak masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki” (HR Ahmad dan Thabrani).

Mendapat ampunan
“Burung-burung di udara, hewan di lautan, dan para Malaikat akan memohon ampunan kepada Allah bagi seorang wanita yang taat pada suaminya dan suaminya ridha kepadanya” (Muttafaqun ‘alaih). Perlu kita perhatikan bahwasanya ketaatan seorang istri kepada suaminya tentulah selama suaminya mengajak kepada kebaikan dan tidak mengajak bermaksiat kepada Allah.

Menjaga kehormatan suami

Amanah yang sungguh berat, karena kehormatan suami juga merupakan kehormatan istrinya. Dalam menjalankan tanggung jawab tersebut memang tidak mudah, sehingga pantaslah seorang suami ditakdirkan menjadi imam dalam sebuah rumah tangga, karena seorang suami berhak membimbing istrinya agar juga menjaga kehormatan suami dan keluarganya. Dalam hal ini keduanya mempunyai peran untuk saling mengingatkan agar kehormatan keluarga tetap terjaga dan tidak terjerumus dalam fitnah.

2. Tanggung jawab terhadap anak-anak

Selain menjaga kehormatan pada suami ada pula tanggung jawab seorang muslimah sebagai seorang ibu. Dalam hal ini peran dan tanggung jawab seorang ibu untuk mendidik anak-anak mereka jauh lebih utama dari pekerjaan kantornya sekalipun (bila mereka bekerja), karena pada hakikatnya yang bertanggung jawab mencari nafkah adalah seorang suami, sedang wanita berkewajiban untuk taat selama diperintah dalam kebaikan, ketaatan itu salah satunya dengan menjaga dan mendidik anak-anaknya.

Pendidikan anak sangat disarankan untuk memulainya sejak dini, bahkan sedari dalam kandungan. Oleh karena itu para muslimah harus mencari sosok imam yang baik bagi anak-anak mereka nanti, yaitu laki-laki shalih yang berilmu dan cukup finansialnya, sehingga ia akan bertanggung jawab sepenuhnya kepada istri dan generasi keturunannya di dunia dan insya Allah di akhirat kelak. Hal ini juga tercantum dalam QS. An-Nisa: 9 yang artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” 

3. Tanggung jawab terhadap masyarakat

Wanita muslimah yang sudah berumah tangga bukan berarti mereka hanya berdiam diri di dalam rumah dan enggan bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya. Baiknya mereka tetap beramar ma’ruf di lingkungan masyarakat, bahkan berusaha menjadi teladan yang baik, seperti tidak tamak dan sombong. Meski hal itu merupakan kewajiban, tentulah dalam prakteknya harus mendapat izin dari imam di keluarga tersebut, karena sejatinya seorang istri adalah makmum dari suami yang sama-sama tinggal dalam sebuah lingkup masyarakat dan masyarakat sendiri merupakan lahan dakwah yang utama bagi mereka.

Allahu a’lam bisshawab.

Astaghfirullahal ‘adzim.

Redaktur: Ardne

Sumber: Dakwatuna

Bolehkah Penghasilan Pekerja Muslimah Dipakai Sendiri?

Saat ini telah banyak dijumpai seorang wanita yang juga mencari nafkah, dan kondisi ini sudah sangat wajar pada era modern seperti ini mengingat kebutuhan hidup semakin tinggi.

Syeikh Muhammad Nur Abdullah, Presiden Komunitas Muslim Amerika Utara (ISNA) dan juga ahli fikih dari Dewan Fikih Amerika Utara membenarkan bahwa seluruh penghasilan yang didapatkan seorang wanita merupakan hak kaum Hawa sepenuhnya.

Namun, dia mengingatkan agar sebagian penghasilannya juga digunakan untuk keperluan keluarga, mengingat kondisi sulit seperti sekarang.

Pernyataannya tersebut didasarkan pada dalil yang disebutkan dalam Alquran, surah Annisa’  ayat 32 yang berbunyi,

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Terdapat sebuah kisah yang diceritakan Syeikh Abdullah, bahwa istri Abdullah ibn Mas’ud dulu juga bekerja dan mencari nafkah. Suatu hari, dia bertanya kepada Nabi saw. jika dia bisa menyumbangkan hartanya kepada suaminya.

Kemudian, Nabi Muhammad SAW menjawab, “Ya, dan Anda akan diberi imbalan dua kali.” (HR. An-Nasa’i).

Onislam.net melansir, Nur Abdullah menegaskan, pada kondisi ekonomi yang sulit seperti ini sangat disarankan kepada istri untuk berkontribusi kepada keluarga dengan berbagi penghasilannya untuk keluarganya. Beberapa cendekiawan menganggap ini sebagai kompensasi atas waktu seorang ibu jauh dari keluarga. Wallahuallam bi shawwab.

 

 

sumber: Republika Online

Pemikiran Wasathiyah Al Ghazali pada Kaum Muslimah

Syeikh Muhammad Al Ghazali merupakan seorang ulama Islam yang hidup di akhir abad ke-20. Pemikiranya wasathiyah (moderat) dalam memandang peran muslimah dalam kehidupan.

“Al Ghazali merupakan penentang paham liberalis, dan dia seorang pendukung gerakan wasathiyah,” cetus dosen Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Dr. Wail Ali Sayyid dalam seminar internasional Moderasi Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (3/9).

Wail Ali menjelaskan, Al Ghazali memiliki 60 tulisan pemikiran Islam. Salah satunya tentang kedudukan muslimah dalam kehidupan sehari-hari.

“Islam tidak pernah membatasi muslimah dalam bekerja, muslimah dapat bekerja dimanapun asalkan mereka tetap mengetahui batasan-batasan dalam Islam dan menjaga akhlak Islam,” ujar Wail Ali memaparkan pemikiran Al Ghazali.

Dia kemudian menceritakan saat Rasulullah SAW berperang, para istri beliau pun ikut berperang. Ada pula yang menjadi juru masak di medan perang, dan ada pula yang memberikan fatwa-fatwa, seperti yang dilakukan oleh Aisyah RA.

Belajar dari hal tersebut, Wail Ali menegaskan bahwa seorang muslimah tidak dilarang untuk berpartisipsi aktif di masyarakat.

Dia juga menyebutkan bahwa hadis yang menganjurkan seorang muslimah untuk shalat di rumah adalah hadis dhaif. Dia merujuk kepada Syeikh Muhammad Al Ghazali yang memperbolehkan muslimah untuk shalat berjamaah di masjid.

“Jadi saya sepakat jika Syeikh Al Ghazali dikatakan promoderat, karena dia mendukung kebebasan muslimah untuk bekerja dan beribadah. Keterbelakangan seorang muslimah sebenarnya hanya karena suaminya yang tidak mengizinkannya. Jika dia dizinkan, maka dia akan lebih maju lagi,” tegasnya.

 

sumber: Republika Online